Lagu Anak dilibas Syair Asmara
Di layar kaca sering kali kita lihat berbagai acara yang mengusung dunia anak-anak sebagai pilihan menu utama. Berbagai kontes dan lomba penyanyi anak bermunculan di banyak stasiun televisi. Setiap anak dari penjuru Nusantara yang terpilih berlomba- lomba mengeluarkan kemampuan terbaik dalam berolah vokal. Terkadang, ambitus suara yang muncul kerap kali sumbang atau mimik yang kurang dapat menghayati tema lagu yang dilantunkan. Kalaupun keduanya dapat diekspresikan dengan baik, toh, pada akhirnya menjadi aneh karena yang melagukan anak-anak. Kenapa demikian?
Jawabannya simpel karena syair lagu yang dibawakan
senantiasa bertemakan cinta dan asmara sehingga memosisikan anak-anak
dalam satu ruang yang penuh keterbatasan.
Di tahun 1980-an banyak
penyanyi anak-anak yang cukup terkenal seperti Adi Bing Slamet, Ira Maya
Sopha. Tahun 1990-an, penyanyi seperti Cikita Meydi, Eno Lerian, Leoni,
Dea Ananda, dan banyak lagi yang kesemuanya memberi ikon masa
kanak-kanak yang khas lewat lagunya tentang persahabatan, pendidikan,
kasih sayang ibu, sebuah harapan dan cita-cita layaknya syair lagu
Joshua yang berangan menjadi seorang Habibie, atau banyak hal tentang
semangat militansi dunia anak. Kini, ke mana tema-tema lagu anak
tersebut? Kasihan, jangan-jangan anak-anak telah kehilangan dunianya.
"Wanita
racun dunia" merupakan sepenggal syair yang saat itu mengisi ruang
acara pentas penyanyi cilik di salah satu stasiun televisi terkemuka.
Bagaimana apabila kalimat tersebut diterjemahkan ke dalam dunia
anak-anak yang notabene berada dalam masa transisi, dunia tanpa filter,
lugu dan apa adanya?
Musik ibarat pedang bermata dua. Di satu
sisi, secara psikologis, musik dapat membawa peran yang positif dalam
pembentukan mental dan perilaku. Misalnya, musik klasik yang senantiasa
digunakan sebagai sarana terapi oleh banyak ibu hamil atau musik gamelan
yang pada banyak tempat dipercaya sebagai sarana yang dapat
menghubungkan manusia dengan Tuhannya-lihat upacara di Bali, Jawa.
Di
sisi yang berbeda terkadang musik justru dapat mengonstruksi mental,
perilaku, dan sikap ke dalam sebuah ruang yang terisolasi, asing, aneh,
bahkan cenderung indoktrinatif dan intervensial. Simak saja banyak
pemuda yang kehilangan jati diri dan mengubah penampilannya karena
mendengar jenis aliran musik tertentu, atau seseorang yang nekat
mengakhiri nyawa karena terinspirasi beberapa lagu aneh-lihat efek lagu
Marylin Manson di tahun 1990-an-dan banyak hal lainnya.
Oleh
karena itu, musik juga ibarat bahasa. Di dalamnya mengandung berbagai
alunan kata yang penuh muatan pesan. Apabila disuarakan oleh orang yang
pas, pesan dapat tersampaikan dengan baik dan komunikatif-terlepas dari
implikasi baik dan buruknya. Apabila tidak, layaknya seorang dalang
wayang Jawa yang nekat pentas di permukiman masyarakat Papua, terlihat
aneh dengan bahasa yang membingungkan. Begitu pula dengan musik di dunia
anak-anak kita saat ini. Mereka harus bersuara, tetapi yang disuarakan
bukan lagi dari hati yang mewakili mereka, bukan lagi tema-tema dunianya
yang dibawa. Mereka harus bernyanyi tetapi bukan lagi bertema
pendidikan, persahabatan, cita-cita, kasih sayang ibu, tapi bertema
asmara dan cinta-cintaan. Kini, mereka hanya menjadi semacam wadah yang
dieksploitasi sedemikian rupa guna memenuhi tuntutan materi.
Soal materi
Patut
kita sadari, membiarkan anak-anak membawakan lagu-lagu bertema asmara
dan cinta-cintaan akan membawa banyak konsekuensi logis bagi mereka.
Pertama, jangkauan (ambitus) vokal anak-anak tentu sangat berbeda dengan
orang dewasa. Akibatnya, ketika mereka membawakan lagu asmara atau
cinta-cintaan yang notabene lagu orang dewasa, suara mereka akan
cenderung sumbang karena tidak mampu menjangkau nada tinggi atau rendah
dengan baik sehingga terkesan dipaksakan.
Kedua, belum atau bahkan
tidak akan mampu dalam menghayati tema lagu yang dibawakan karena
mereka belum pernah mengalami masa dewasa dengan mengenal apa yang
namanya "asmara" dan "cinta- cintaan-. Lebih parahnya, apabila mereka
dapat menghayati dan mengerti arti tema lagu asmara yang mereka
nyanyikan, tidakkah mereka beranjak "dewasa sebelum waktunya-?
Beberapa
waktu yang lalu muncul berita tentang pelecehan seksual oleh seorang
siswa SMP terhadap teman sebayanya. Seorang anak SMA yang nekat
mengakhiri hidup karena tidak lulus ujian atau bahkan karena diputus
oleh kekasihnya. Ada juga perbuatan mesum salah seorang siswa SMP yang
terekam kamera telepon seluler. Alih-alih atas dasar kredo "cinta",
seorang anak SMP rela menikah dengan orang yang layak menjadi kakeknya.
Entah apa yang ada dalam benak anak- anak masa kini? Mungkinkah hal itu
dapat dipandang sebagai sebuah era di mana cekaknya mentalitas berpikir
dunia anak menjadi tren? Atau tidakkah salah satu penyebabnya juga
karena persoalan sepele di atas, yakni masalah penempatan musik?
Memang
terlalu dini menyangkutpautkan persoalan itu dengan realitas musik
bertema "asmara dan cinta-cintaan" dalam dunia anak- anak. Setiap orang
dapat melagukannya dengan ekspresi dan pembawaan masing-masing, terlebih
untuk kepentingan materi. Musik dapat digubah menjadi alat yang mampu
mendatangkan timbunan rupiah yang terkadang lebih penting dari
efektivitas musik itu sendiri. Akan tetapi, jangan hanya persoalan
materi kita akan mengorbankan dan menghilangkan sebuah masa. Masa di
mana penuh imajinasi, canda tawa, keluguan, dan apa adanya, yakni "masa
anak-anak".
Di sini sama sekali tidak ada maksud untuk menyalahkan
musik. Hal ini karena pada dasarnya musik adalah benda mati yang akan
hidup ketika manusia membutuhkannya. Bukan juga hendak menyalahkan anak-
anak yang beranjak dewasa sebelum waktunya karena melagukan sebuah
musik. Namun, sudah selayaknya kita kembalikan sebuah masa bagi anak-
anak yang kini telah hilang dengan menempatkan musik pada koridor dan
ruang yang semestinya.
ARIS SETIAWAN
Dosen Etnomusikologi Institut Seni Indonesia Surakarta
Dosen Etnomusikologi Institut Seni Indonesia Surakarta