Lagu Anak dilibas Syair Asmara (dimuat di Kompas edisi 3 Maret 2009)

Lagu Anak dilibas Syair Asmara  


Di layar kaca sering kali kita lihat berbagai acara yang mengusung dunia anak-anak sebagai pilihan menu utama. Berbagai kontes dan lomba penyanyi anak bermunculan di banyak stasiun televisi. Setiap anak dari penjuru Nusantara yang terpilih berlomba- lomba mengeluarkan kemampuan terbaik dalam berolah vokal. Terkadang, ambitus suara yang muncul kerap kali sumbang atau mimik yang kurang dapat menghayati tema lagu yang dilantunkan. Kalaupun keduanya dapat diekspresikan dengan baik, toh, pada akhirnya menjadi aneh karena yang melagukan anak-anak. Kenapa demikian?
Jawabannya simpel karena syair lagu yang dibawakan senantiasa bertemakan cinta dan asmara sehingga memosisikan anak-anak dalam satu ruang yang penuh keterbatasan.
Di tahun 1980-an banyak penyanyi anak-anak yang cukup terkenal seperti Adi Bing Slamet, Ira Maya Sopha. Tahun 1990-an, penyanyi seperti Cikita Meydi, Eno Lerian, Leoni, Dea Ananda, dan banyak lagi yang kesemuanya memberi ikon masa kanak-kanak yang khas lewat lagunya tentang persahabatan, pendidikan, kasih sayang ibu, sebuah harapan dan cita-cita layaknya syair lagu Joshua yang berangan menjadi seorang Habibie, atau banyak hal tentang semangat militansi dunia anak. Kini, ke mana tema-tema lagu anak tersebut? Kasihan, jangan-jangan anak-anak telah kehilangan dunianya.
"Wanita racun dunia" merupakan sepenggal syair yang saat itu mengisi ruang acara pentas penyanyi cilik di salah satu stasiun televisi terkemuka. Bagaimana apabila kalimat tersebut diterjemahkan ke dalam dunia anak-anak yang notabene berada dalam masa transisi, dunia tanpa filter, lugu dan apa adanya?
Musik ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi, secara psikologis, musik dapat membawa peran yang positif dalam pembentukan mental dan perilaku. Misalnya, musik klasik yang senantiasa digunakan sebagai sarana terapi oleh banyak ibu hamil atau musik gamelan yang pada banyak tempat dipercaya sebagai sarana yang dapat menghubungkan manusia dengan Tuhannya-lihat upacara di Bali, Jawa.
Di sisi yang berbeda terkadang musik justru dapat mengonstruksi mental, perilaku, dan sikap ke dalam sebuah ruang yang terisolasi, asing, aneh, bahkan cenderung indoktrinatif dan intervensial. Simak saja banyak pemuda yang kehilangan jati diri dan mengubah penampilannya karena mendengar jenis aliran musik tertentu, atau seseorang yang nekat mengakhiri nyawa karena terinspirasi beberapa lagu aneh-lihat efek lagu Marylin Manson di tahun 1990-an-dan banyak hal lainnya.
Oleh karena itu, musik juga ibarat bahasa. Di dalamnya mengandung berbagai alunan kata yang penuh muatan pesan. Apabila disuarakan oleh orang yang pas, pesan dapat tersampaikan dengan baik dan komunikatif-terlepas dari implikasi baik dan buruknya. Apabila tidak, layaknya seorang dalang wayang Jawa yang nekat pentas di permukiman masyarakat Papua, terlihat aneh dengan bahasa yang membingungkan. Begitu pula dengan musik di dunia anak-anak kita saat ini. Mereka harus bersuara, tetapi yang disuarakan bukan lagi dari hati yang mewakili mereka, bukan lagi tema-tema dunianya yang dibawa. Mereka harus bernyanyi tetapi bukan lagi bertema pendidikan, persahabatan, cita-cita, kasih sayang ibu, tapi bertema asmara dan cinta-cintaan. Kini, mereka hanya menjadi semacam wadah yang dieksploitasi sedemikian rupa guna memenuhi tuntutan materi.
Soal materi
Patut kita sadari, membiarkan anak-anak membawakan lagu-lagu bertema asmara dan cinta-cintaan akan membawa banyak konsekuensi logis bagi mereka. Pertama, jangkauan (ambitus) vokal anak-anak tentu sangat berbeda dengan orang dewasa. Akibatnya, ketika mereka membawakan lagu asmara atau cinta-cintaan yang notabene lagu orang dewasa, suara mereka akan cenderung sumbang karena tidak mampu menjangkau nada tinggi atau rendah dengan baik sehingga terkesan dipaksakan.
Kedua, belum atau bahkan tidak akan mampu dalam menghayati tema lagu yang dibawakan karena mereka belum pernah mengalami masa dewasa dengan mengenal apa yang namanya "asmara" dan "cinta- cintaan-. Lebih parahnya, apabila mereka dapat menghayati dan mengerti arti tema lagu asmara yang mereka nyanyikan, tidakkah mereka beranjak "dewasa sebelum waktunya-?
Beberapa waktu yang lalu muncul berita tentang pelecehan seksual oleh seorang siswa SMP terhadap teman sebayanya. Seorang anak SMA yang nekat mengakhiri hidup karena tidak lulus ujian atau bahkan karena diputus oleh kekasihnya. Ada juga perbuatan mesum salah seorang siswa SMP yang terekam kamera telepon seluler. Alih-alih atas dasar kredo "cinta", seorang anak SMP rela menikah dengan orang yang layak menjadi kakeknya. Entah apa yang ada dalam benak anak- anak masa kini? Mungkinkah hal itu dapat dipandang sebagai sebuah era di mana cekaknya mentalitas berpikir dunia anak menjadi tren? Atau tidakkah salah satu penyebabnya juga karena persoalan sepele di atas, yakni masalah penempatan musik?
Memang terlalu dini menyangkutpautkan persoalan itu dengan realitas musik bertema "asmara dan cinta-cintaan" dalam dunia anak- anak. Setiap orang dapat melagukannya dengan ekspresi dan pembawaan masing-masing, terlebih untuk kepentingan materi. Musik dapat digubah menjadi alat yang mampu mendatangkan timbunan rupiah yang terkadang lebih penting dari efektivitas musik itu sendiri. Akan tetapi, jangan hanya persoalan materi kita akan mengorbankan dan menghilangkan sebuah masa. Masa di mana penuh imajinasi, canda tawa, keluguan, dan apa adanya, yakni "masa anak-anak".
Di sini sama sekali tidak ada maksud untuk menyalahkan musik. Hal ini karena pada dasarnya musik adalah benda mati yang akan hidup ketika manusia membutuhkannya. Bukan juga hendak menyalahkan anak- anak yang beranjak dewasa sebelum waktunya karena melagukan sebuah musik. Namun, sudah selayaknya kita kembalikan sebuah masa bagi anak- anak yang kini telah hilang dengan menempatkan musik pada koridor dan ruang yang semestinya.

ARIS SETIAWAN 
Dosen Etnomusikologi Institut Seni Indonesia Surakarta

Pengikut