Maestro Tari
Malang Berpulang
Saat Mbah Karimun sang maestro tari
topeng dari Malang itu berpulang untuk selamanya, hatinya sangat terpukul.
Maklum saja, ia telah mengenal sosok gurunya itu dengan cukup lama. Karimun
adalah tokoh yang paling dikaguminya. Tak mengherankan kemudian jika segala
gerak dan olah tubuhnya terinspirasi dari Karimun. Dialah Chattam Amat Redjo, pria kelahiran 13 Oktober 1943 itu telah
mampu mewarisi anugerah gerak tari topeng Malangan dengan cukup terampil. Chattam
adalah sang maestro, sosok pengganti setelah Karimun. Namun, kini ia telah
pergi untuk selamanya pada 2 Juni 2013. Mengguratkan jejak kenangan manis dalam
mewarnai sejarah dunia tari di Jawa Timur. Menuliskan sosoknya, tak semata
mengenang, namun mencoba memaknai dan mengkontemplasikan kembali kehadiran dan
sumbangsih atas segala jasanya.
Multi Talenta
Chattam
mengawali profesinya sebagai seorang seniman sejak tahun 1958. Ia terlibat
aktif dalam pertunjukan Ludruk Sopo Nyono di Malang. Tak hanya pandai menari,
pria berkacamata itu juga pandai dalam bermain gamelan, apalagi ngidung (melantunkan vokal). Kelebihan itulah
yang menjadikan gerakannya hidup, menyatu dan luruh dengan musik. Hal yang langka
ditemui pada para penari masa kini. Kebanyakan penari muda di abad kini hanya
mengenal gerak semata. Mereka tak mau mengerti urusan musik apalagi vokal. Tak
jarang banyak yang falsh ketika
bersenandung menyesuaikan laras gamelan. Akibatnya, tari yang dibawakan telah
mempribadi, tunggal, tak mampu menjadi senyawa dengan musik atau sentrum yang
lain.
Kemampuan
Chattam mulai diperhitungkan kala terpilih sebagai duta seni Indonesia di
Jepang dan Singapura pada tahun 1989. Ia membawakan tari topeng Malangan.
Banyak orang merinding kala menyaksikannya menari. Topeng itu seolah bernyawa dibuatnya,
kokoh dan berwibawa. Sejak saat itu namanya mulai menjadi perbincangan hangat
di kalangan seniman dan budayawan Jawa Timur. Hingga suatu saat, kabar kemaestroannya
terdengar pula oleh Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW) Surabaya.
Satu-satunya perguruan tinggi seni kesenimanan di Jawa Timur itu kemudian
memintanya untuk mengajar di Jurusan tari (1985-1989). Bagi kalangan
mahasiswanya, Chattam adalah pribadi yang cukup bersahaja, santun namun tegas.
Chattam
menjadi rujukan peneliti tari dan musik Jawatimuran, khususnya malang. Ia tak
segan-segan mencontohkan langsung gerak maupun pola musikal tari topeng agar
membuat orang mafhum dan lebih dekat tentunya. Pria yang dalam beberapa waktu
terakhir juga mengajar di Program Studi Pendidikan Seni Tari Universitas Negeri
Malang (UM) itu sangat bahagia apabila ada genarasi muda yang serius belajar
Tari Topeng Malangan. Chattampun memiliki Sanggar Swastika yang telah
dirawatnya sejak 1979, tempat untuk berlatih dan mengenal kebudayaan tari. Ia tidak
banyak menuntut, apalagi mematok biaya tinggi bagi murid sanggarnya. Bahkan tak
jarang ia harus merugi untuk mengidupi sanggarnya itu. Namun semua adalah
bagian dari tirakat budaya. Panggilan hati guna menjaga detak habitus topeng
Malangan.
Berulang
kali penari ulung itu mendapatkan penghargaan bergengsi. Trofi Festival Panji
di Yogyakarta pada 1978, trofi Sri Paduka Paku Alam VIII Yogyakarta, penyaji
terbaik lomba penata tari pada 1978, serta piagam penghargaan Australian
Government 2004 telah direngkuhnya. Terakhir, lewat Dewan Kesenian Jawa Timur
(DKJT), Chattam mendapatkan penghargaan dari Gubernur Jatim Soekarwo atas
pengabdiannya di bidang seni dan budaya pada tahun 2009. Chattam tak lantas
berbesar diri atas semua penghargaan itu, ia tetaplah sederhana, apa adanya.
Sosok yang bukan siapa-siapa, tapi menemukan hidup dan keagungannya di atas
panggung. Wajar kemudian jika di acara Maestro! Maestro! #7, di Graha Bhakti Budaya,
Taman Ismail Marzuki, Jakarta (2012) ia menjadi bintang yang paling ditunggu-tunggu
penampilannya.
Atas
nama seni tari, Chattam membawa harum nama Jawa Timur, khususnya Malang.
Walaupun tak dipungkiri, perhatian Pemerintah Daerah di tempatnya tinggal cukup
minim. Maestro hanyalah sekedar nama yang dilekatkan dengan derajadnya yang
agung, namun di balik itu Chattam harus hidup dengan penuh kekurangan materi. Tapi
resiko itu bukannya tak dipertimbangkan. Ia sadar, menjadi seniman berarti siap
untuk hidup melarat. Menari kemudian bukan semata menjadi profesi, namun ibadah
dan ritus hidup. Tari telah menyatu dengan darah dan nafasnya. Kepergiannya kini
menarasikan kepedihan yang dalam bagi pecinta kebudayaan dan seni tradisi Jawa
Timur. Penjaga gawang tradisi itu telah gugur. Menyisakan segumpal tanya, siapa
pewaris sesudahnya?
Mengais Tradisi
Chattam
bukanlah semata penari. Ia juga mampu memberi warna lain dalam gerak yang
dibawakannya. Ia membuat tari Remo, Topeng Patih, Kebar, Kembang Genjet, Grebeg
Sabrang, Klono, Sembran, Gelang Alit, Baskalan selalu nampak baru dibawakannya.
Ia tak terhenti dalam gerakan-gerakan yang selama ini dianggap pakem. Namun
mampu memunculkan improvisasi gerak yang menggoda. Improvisasi yang masih
berada dalam batas-batas logika estetika tari. Penari yang baik adalah penari
yang mampu mencairkan tradisi kebekuan gerak agar nampak baru. Cara Chattam
menari kemudian membawa derajadnya sebagai satu gaya tersendiri. Ujud geraknya
tak semata dikenal sebagai Tari Topeng Malangan, namun Tari Topeng gaya
Chattam. Namanya melegenda, menjadi gaya personal mengalahkan gaya kedaerahan. Ia
memberi satu pelajaran berharga, bahwa tradisi tidaklah beku apalagi membatu.
Tradisi adalah bahan, pijakan dan sumber inspirasi baru.
Jawa
Timur dalam beberapa waktu terakhir memang telah banyak kehilangan maestro seni
pertunjukan. Sebelum Chattam, di dunia tari, Karimun telah terlebih dahulu
berpulang (2010), di dunia pedalangan ada Soelaiman yang tutup usia di tahun
2011. Sementara di dunia karawitan, Jawa Timur telah kehilangan Diyat Sariredjo
(2008) dan Silan (2012). Kisah Maestro-maestro itu hanya menjadi kenangan manis
pelipur lara di balik semakin abainya generasi muda masa kini pada seni
tradisi. Jangan heran kemudian jika ke depan Jawa Timur krisis sosok empu. Sementara
di sisi lain, banyak institusi pendidikan seni semacam Universitas Negeri
Malang, Universitas Negeri Surabaya dengan Jurusan Pendidikan Seni Tari Drama
dan Musiknya, serta STKW Surabaya dengan Jurusan Kesenimanan Tarinya belum
mampu melahirkan Chattam-Chattam baru.
Para
sarjana seni (pertunjukan) mutakhir lebih disibukkan dengan urusan seni eksperimentatif.
Tak lagi genting dalam mengais tradisi sebagai sumber. Gaya kontemporer yang
sedang ramai di pasar menjadi rujukan utama. Dengan pola gerak yang kadang tak
teratur alias acak-acakan, musik dari bunyi noise
gergaji atau batu, dan kostum yang hanya memakai celana dalam adalah citra seni
yang konon dianggap lebih menjanjikan untuk hidup. Jangan kaget kemudian jika
penyajian tugas akhir di kampus-kampus pendidikan seni tersebut tak lagi dapat
dijumpai Tari Remo, Topeng Malangan, Muang Sangkal maupun Baskalan dan Bapang.
Dengan
demikian, kepergian Chattam Amat Redjo kemudian juga menjadi satir bagi pelaku
seni tradisi dan pemangku kebijakan pendidikan seni di Jawa Timur. Jika proses
regenerasi tak dilakukan dengan baik, maka dalam beberapa waktu ke depan, tak
hanya krisis empu, tapi kesenian tradisi (pertunjukan) juga akan menjadi mitos
pelengkap dalam ingar-bingar cerita kebudayaan populer. Selamat jalan Cak Chattam
Amat Redjo, menarilah di alam sana, hiburlah Tuhan dengan kehadiran gerakmu.
Aris Setiawan
Etnomusikolog Asal Surabaya, Pengajar di Institut Seni
Indonesia Surakarta
1 komentar:
Selamat jalan Maestro tari tradisi Jawa Timur..semoga akan ada pengganti seniman-seniman tradisi yang mumpuni untuk memajuan dan mengembangkan kebudayaan bangsa tercinta ini..
Posting Komentar