Runtuhnya
(Nilai) Keraton Solo
Berulang lagi, publik dikejutkan dengan
kegaduhan para penguhuni Keraton Kasunanan Surakarta. Seperti yang diberitakan Wawasan
secara beruntun (28 Agustus-04 September 2013), Keraton Surakarta kondisinya semakin
bobrok. Tak hanya dalam konteks bangunan saja yang telah rapuh, namun juga
sikap kedewasaan dan kesantunan yang tak lagi dimiliki penghuninya. Kisah-kisah
adab budaya yang konon disebut adi luhung itu kemudian hanya menjadi mitos dan
dongeng. Keraton telah mengalami metemorfosis, dari muara kosmis –jagat kecil-
masyarakat Jawa menjadi panggung pertunjukan kekerasan. Wajar kemudian jika
citra keraton mengalami kemunduran. Terlebih isu untuk menjadikan Daerah
Istimewa Surakarta (DIS) semakin berhembus kencang. Tentu kegaduhan tersebut
menjadi catatan tersendiri.
Nilai
Keraton menjadi pusat dari nilai-nilai
masyarakat Jawa dan Surakarta pada khususnya. Kehalusan budi pekerti,
kedewasaan dalam menyikapi sebuah masalah, kesantunan adalah sikap yang senantiasa
didengung-dengungkan dan lahir darinya. Masyarakat memandang keraton sebagai
jagat mikro, tempat bergumulnya segala adab budaya, dari yang nyata hingga
transenden. Keraton tak sekedar bangunan tembok berbeton. Namun sarat akan
nilai dan makna. Memasukinya berarti harus bersedia merubah prilaku, unggah-ungguh, tata krama. Tak semua orang dapat dengan bebas melenggang. Ada
syarat tentang pakaian yang harus digunakan, posisi jalan, posisi duduk, bahasa
dan lain sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa keraton menjunjung tinggi norma
dan etika.
Ritual-ritual sakral dilangsungkan demi
mempertontonkan bahwa keraton masih memiliki legitimasi kuat dalam konteks
kebudayaan, walaupun domain ekonomi dan politik tak lagi mampu digenggam. Namun
sayang, keraton tak lagi seperti dahulu kala. Banyak hal yang telah hilang.
Kebudayaan yang selama ini masih menjadi penanda detak hidupnya juga semakin tak
terbaca. Lihatlah prosesi sakral Jumenengan
beberapa waktu lalu yang tak dapat dihadiri oleh Raja. Padahal ritual itu
dilangsungkan untuk Raja guna menyaksikan tari Bedaya Ketawang. Masyarakat harusnya dapat langsung melihat
junjungannya itu, yang selama ini diidolakannya. Ritual itu kemudian hanya
menjadi agenda wajib yang semikin kehilangan makna. Masyarakat semakin lama tak
lagi menggantungkan ritus kosmik hidupnya pada keraton.
Apalagi dalam beberapa waktu terakhir,
begitu mudahnya seseorang mendapatkan gelar kebangsawanan. Mulai dari pejabat
publik hingga artis yang tak jelas apa sumbangan besarnya bagi peradaban kebudayaan
Jawa. Konon isu “komersialisasi” gelar begitu pekat didengungkan oleh publik. Keraton
menjadi sarkastik. Membutuhkan supremasi untuk mengangkat pamornya kembali. Hal
yang cukup menggembirakan sebenarnya terjadi saat rekonsiliasi antara raja
kembar saat itu –Hanggabeni dan Tedjowulan-. Publik menyambut positif akan hal
ini dan berharap kekisruhan segera dapat diakhiri. Namun selang beberapa waktu,
kita kembali dikejutkan dengan peristiwa 26 Agustus 2013 lalu. Acara yang
sedianya menganggat Tedjowulan sebagai Maha Patih itu dibubarkan secara paksa
oleh pihak yang mengatas namakan Dewan Adat Keraton di bawah Gusti Moeng (adik
dari raja saat ini).
Bahkan, logika dan tata nilai tak lagi
digunakan. Pihak-pihak yang bertikai telah menjurus dalam aksi kekerasan.
Parang, kayu dan batu sudah rapat digenggaman tangan. Terlebih, tak berselang
lama, salah satu pintu keraton didobrak dengan menggunakan mobil jeep warna
putih. Tak lagi penting pintu sebagai benda cagar budaya, sisa peninggalan
kejayaan Mataram. Bagi mereka, yang paling utama adalah hasrat memuaskan diri.
Ironisnya, Raja kemudian kehilangan segala atas legitimasi kekuasaannya. Dewan
Adat Keraton memutuskan menon-aktifkan supremasi raja sementara waktu.
Otomatis, segala hal yang berhubungan dengan raja telah digantikan oleh lembaga
itu. Raja bagaikan boneka yang dapat dengan mudah dicopot dan pasang kestatusannya.
Lembaga adat nampak begitu berkuasa (Wawasan, 4 September 2013)
Keraton dengan demikian telah mengalami
kebangkrutan eksistensi. Banyak pihak menyayangkan terjadinya kegaduhan itu.
Namun tak sedikit yang menganggapnya sebagai tontonan biasa yang sering
terjadi, alias tak kaget. Hal ini menunjukkan bahwa bara permusuhan di dalam
tembok keraton masih menyala terang, belum –atau mungkin tak bisa?-sirna.
Setiap saat dapat muncul lagi kepermukaan. Banyak pertanyaan yang mengemuka,
apa yang sebenarnya dicari oleh pihak-pihak yang bertikai itu, toh keraton tak
lagi memiliki kekuatan ekonomi dan politik ideal. Apakah hanya demi kepuasan
diri sehingga mengorbankan citra keraton secara keseluruhan. Wajar jika publik
menilai ada sebagian orang yang memanfaatkan kegaduhan ini dalam meraih ambisi
yang penuh pamrih.
Dialog
Kebudayaan Jawa senantiasa mengedepankan
prinsip dialogis (rembugan). Bisa
saja kedua belah pihak yang bertikai duduk bersama, rendah hati, saling nguda rasa atau berkeluh kesah terkait
apa yang dirasakan. Tentu dalam proses itu tak harus merasa paling tinggi atau
rendah, benar atau salah, namun setara. Mediasi dapat dilakuakan dengan
mengundang kepala daerah setempat atau sosok yang dianggap memiliki
kredibilitas. Rasa memiliki terhadap keraton juga harus dimunculkan. Sehingga
dialog tak tak semata demi kepentigan pribadi namun keberlangsungan hidup
keraton ke depan. Tentu hal tersebut
tidaklak sulit bagi orang-orang yang memegang teguh prinsip kesantunan dan tata
krama, apalagi para penghuni keraton yang “darah biru” itu.
Masyarakat akan menilai sejauh mana
keraton telah tumbuh semakin dewasa. Atau justru sebaliknya, keraton semakin
tak tentu arah karena sikap acuh para penghuninya. Jangan salahkan publik jika
semakin berjarak. Semua karena apa yang mereka lihat, dengar dan rasakan
terhadap keraton. Penghuni keraton seharusnya mampu menjadi tauladan berharga
bagi pembentukan sikap dan karakter masyarakat Jawa dan Surakarta pada
khususnya. Terlebih public hearing juga
tak pernah dilakukan pihak keraton dalam menyerap aspirasi, tanggapan dan
pandangan masyarakat. Keratonpun seolah menjadi bebal kritik. Para penghuninya
terlenakan dengan gelar yang disandang tanpa mampu bersosialisasi dengan baik
dengan masyarakat di akar rumput.
Keraton sebagai sebuah bangunan tentu
masih selayaknya kita pertahankan keberadannya, terlepas dari kekisruhan yang
terjadi. Jangan sampai perusakan dihalalkan hanya karena demi sebuah eksistensi
segelintir pihak. Budaya dialog dan duduk bersama menjadi wajib dilakukan agar
masyarakat dapat dengan gamblang menyikapi dan mengetahui duduk perkaranya.
Solusi dengan tidak merugikan salah satu pihak bukanlah hal mustahil untuk
dicetuskan. Namun toh jika berulang kali cara ini tak menemukan titik temu,
berarti benar apa kata sejarawan muda asal Solo, Heri Pritaymoko, penghuni
keraton kekanak-kanakan, tak lagi memegang nilai-nilai luhur. Harusnya malu
dengan perjuangan dan nama besar yang pernah disandang keraton Surakarta di
masa jayanya dahulu kala.
Kita semua tentu berharap keraton mampu
kembali menjadi muara tuntunan bagi masyarakat Jawa dan Surakarta. Wacana DIS
menjadi cambuk dalam melihat sejauh mana kesiapan keraton dalam berproses dan
menyiapkan diri sebagai pusat pemerintahan. Atau justru wacana itu hanya
menjadi penghangat yang dimanfaatkan segelintir pihak di balik kekisruhan yang
terjadi. Jika demikian, masyarakat selaku penonton akan bertepuk tangan
menyaksikan kegaduhan yang mungkin akan kembali lagi berulang.
Aris Setiawan
Etnomusikolog,
Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar