Runtuhnya (Nilai) Keraton Solo (dimuat di Koran Wawasan 14 September 2013)

                                       Runtuhnya (Nilai) Keraton Solo



Berulang lagi, publik dikejutkan dengan kegaduhan para penguhuni Keraton Kasunanan Surakarta. Seperti yang diberitakan Wawasan secara beruntun (28 Agustus-04 September 2013), Keraton Surakarta kondisinya semakin bobrok. Tak hanya dalam konteks bangunan saja yang telah rapuh, namun juga sikap kedewasaan dan kesantunan yang tak lagi dimiliki penghuninya. Kisah-kisah adab budaya yang konon disebut adi luhung itu kemudian hanya menjadi mitos dan dongeng. Keraton telah mengalami metemorfosis, dari muara kosmis –jagat kecil- masyarakat Jawa menjadi panggung pertunjukan kekerasan. Wajar kemudian jika citra keraton mengalami kemunduran. Terlebih isu untuk menjadikan Daerah Istimewa Surakarta (DIS) semakin berhembus kencang. Tentu kegaduhan tersebut menjadi catatan tersendiri.

Nilai
Keraton menjadi pusat dari nilai-nilai masyarakat Jawa dan Surakarta pada khususnya. Kehalusan budi pekerti, kedewasaan dalam menyikapi sebuah masalah, kesantunan adalah sikap yang senantiasa didengung-dengungkan dan lahir darinya. Masyarakat memandang keraton sebagai jagat mikro, tempat bergumulnya segala adab budaya, dari yang nyata hingga transenden. Keraton tak sekedar bangunan tembok berbeton. Namun sarat akan nilai dan makna. Memasukinya berarti harus bersedia merubah prilaku, unggah-ungguh, tata krama. Tak semua orang dapat dengan bebas melenggang. Ada syarat tentang pakaian yang harus digunakan, posisi jalan, posisi duduk, bahasa dan lain sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa keraton menjunjung tinggi norma dan etika.
Ritual-ritual sakral dilangsungkan demi mempertontonkan bahwa keraton masih memiliki legitimasi kuat dalam konteks kebudayaan, walaupun domain ekonomi dan politik tak lagi mampu digenggam. Namun sayang, keraton tak lagi seperti dahulu kala. Banyak hal yang telah hilang. Kebudayaan yang selama ini masih menjadi penanda detak hidupnya juga semakin tak terbaca. Lihatlah prosesi sakral Jumenengan beberapa waktu lalu yang tak dapat dihadiri oleh Raja. Padahal ritual itu dilangsungkan untuk Raja guna menyaksikan tari Bedaya Ketawang. Masyarakat harusnya dapat langsung melihat junjungannya itu, yang selama ini diidolakannya. Ritual itu kemudian hanya menjadi agenda wajib yang semikin kehilangan makna. Masyarakat semakin lama tak lagi menggantungkan ritus kosmik hidupnya pada keraton.
Apalagi dalam beberapa waktu terakhir, begitu mudahnya seseorang mendapatkan gelar kebangsawanan. Mulai dari pejabat publik hingga artis yang tak jelas apa sumbangan besarnya bagi peradaban kebudayaan Jawa. Konon isu “komersialisasi” gelar begitu pekat didengungkan oleh publik. Keraton menjadi sarkastik. Membutuhkan supremasi untuk mengangkat pamornya kembali. Hal yang cukup menggembirakan sebenarnya terjadi saat rekonsiliasi antara raja kembar saat itu –Hanggabeni dan Tedjowulan-. Publik menyambut positif akan hal ini dan berharap kekisruhan segera dapat diakhiri. Namun selang beberapa waktu, kita kembali dikejutkan dengan peristiwa 26 Agustus 2013 lalu. Acara yang sedianya menganggat Tedjowulan sebagai Maha Patih itu dibubarkan secara paksa oleh pihak yang mengatas namakan Dewan Adat Keraton di bawah Gusti Moeng (adik dari raja saat ini).
Bahkan, logika dan tata nilai tak lagi digunakan. Pihak-pihak yang bertikai telah menjurus dalam aksi kekerasan. Parang, kayu dan batu sudah rapat digenggaman tangan. Terlebih, tak berselang lama, salah satu pintu keraton didobrak dengan menggunakan mobil jeep warna putih. Tak lagi penting pintu sebagai benda cagar budaya, sisa peninggalan kejayaan Mataram. Bagi mereka, yang paling utama adalah hasrat memuaskan diri. Ironisnya, Raja kemudian kehilangan segala atas legitimasi kekuasaannya. Dewan Adat Keraton memutuskan menon-aktifkan supremasi raja sementara waktu. Otomatis, segala hal yang berhubungan dengan raja telah digantikan oleh lembaga itu. Raja bagaikan boneka yang dapat dengan mudah dicopot dan pasang kestatusannya. Lembaga adat nampak begitu berkuasa (Wawasan, 4 September 2013)
Keraton dengan demikian telah mengalami kebangkrutan eksistensi. Banyak pihak menyayangkan terjadinya kegaduhan itu. Namun tak sedikit yang menganggapnya sebagai tontonan biasa yang sering terjadi, alias tak kaget. Hal ini menunjukkan bahwa bara permusuhan di dalam tembok keraton masih menyala terang, belum –atau mungkin tak bisa?-sirna. Setiap saat dapat muncul lagi kepermukaan. Banyak pertanyaan yang mengemuka, apa yang sebenarnya dicari oleh pihak-pihak yang bertikai itu, toh keraton tak lagi memiliki kekuatan ekonomi dan politik ideal. Apakah hanya demi kepuasan diri sehingga mengorbankan citra keraton secara keseluruhan. Wajar jika publik menilai ada sebagian orang yang memanfaatkan kegaduhan ini dalam meraih ambisi yang penuh pamrih.

Dialog
Kebudayaan Jawa senantiasa mengedepankan prinsip dialogis (rembugan). Bisa saja kedua belah pihak yang bertikai duduk bersama, rendah hati, saling nguda rasa atau berkeluh kesah terkait apa yang dirasakan. Tentu dalam proses itu tak harus merasa paling tinggi atau rendah, benar atau salah, namun setara. Mediasi dapat dilakuakan dengan mengundang kepala daerah setempat atau sosok yang dianggap memiliki kredibilitas. Rasa memiliki terhadap keraton juga harus dimunculkan. Sehingga dialog tak tak semata demi kepentigan pribadi namun keberlangsungan hidup keraton ke depan.  Tentu hal tersebut tidaklak sulit bagi orang-orang yang memegang teguh prinsip kesantunan dan tata krama, apalagi para penghuni keraton yang “darah biru” itu.
Masyarakat akan menilai sejauh mana keraton telah tumbuh semakin dewasa. Atau justru sebaliknya, keraton semakin tak tentu arah karena sikap acuh para penghuninya. Jangan salahkan publik jika semakin berjarak. Semua karena apa yang mereka lihat, dengar dan rasakan terhadap keraton. Penghuni keraton seharusnya mampu menjadi tauladan berharga bagi pembentukan sikap dan karakter masyarakat Jawa dan Surakarta pada khususnya. Terlebih public hearing juga tak pernah dilakukan pihak keraton dalam menyerap aspirasi, tanggapan dan pandangan masyarakat. Keratonpun seolah menjadi bebal kritik. Para penghuninya terlenakan dengan gelar yang disandang tanpa mampu bersosialisasi dengan baik dengan masyarakat di akar rumput.
Keraton sebagai sebuah bangunan tentu masih selayaknya kita pertahankan keberadannya, terlepas dari kekisruhan yang terjadi. Jangan sampai perusakan dihalalkan hanya karena demi sebuah eksistensi segelintir pihak. Budaya dialog dan duduk bersama menjadi wajib dilakukan agar masyarakat dapat dengan gamblang menyikapi dan mengetahui duduk perkaranya. Solusi dengan tidak merugikan salah satu pihak bukanlah hal mustahil untuk dicetuskan. Namun toh jika berulang kali cara ini tak menemukan titik temu, berarti benar apa kata sejarawan muda asal Solo, Heri Pritaymoko, penghuni keraton kekanak-kanakan, tak lagi memegang nilai-nilai luhur. Harusnya malu dengan perjuangan dan nama besar yang pernah disandang keraton Surakarta di masa jayanya dahulu kala.
Kita semua tentu berharap keraton mampu kembali menjadi muara tuntunan bagi masyarakat Jawa dan Surakarta. Wacana DIS menjadi cambuk dalam melihat sejauh mana kesiapan keraton dalam berproses dan menyiapkan diri sebagai pusat pemerintahan. Atau justru wacana itu hanya menjadi penghangat yang dimanfaatkan segelintir pihak di balik kekisruhan yang terjadi. Jika demikian, masyarakat selaku penonton akan bertepuk tangan menyaksikan kegaduhan yang mungkin akan kembali lagi berulang.
Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta


Tidak ada komentar:

Pengikut