Konser Gamelan Langka di Ibukota (dimuat di Majalah Gong edisi Desember 2009)

 Konser Gamelan Langka di Ibukota


Agak berbeda dengan Festival Kesenian Indonesia (FKI) sebelumnya, kali ini lebih greget. Dengan mengangkat identitas sebagai tema utama, FKI VI di Jakarta lebih dapat membasahi dirinya dengan bingkai tradisi yang pekat. Hal yang cukup menonjol dapat dilihat dari ragam acara yang disuguhkan. Salah satu acara yang cukup menarik adalah konser “gamelan langka”, di Graha Bakti Budaya Taman Ismail Marzuki (6 Oktober 2009 pukul 19.30), oleh tiga perguruan tinggi seni, ISI Surakarta, STSI Bandung dan ISI Denpasar. Malam itu mereka membawa dan seolah menempatkan kembali dirinya sebagai satu pilar penyokong kebudayaan dengan mengangkat idiom tradisi sebagai sebuah identitasnya.

Eksotisme Sekaten
Sajian pembuka malam itu diisi dengan gamelan sekaten dari ISI Surakarta. Gamelan sekaten yang tergolong sebagai salah satu gamelan tertua diantara perangkat gamelan lainnya di Surakarta termasuk dalam bingkai gamelan pakurmatan. Bermula dari asal katanya ‘kurmat’, menunjukkan bahwa sebenarnya gamelan jenis ini dipergunakan sebagai sarana untuk menghormat atau menyembah pada sesuatu. Di daerah asalnya, Solo, gamelan sekaten dimiliki oleh Keraton Kasunan Surakarta yang hanya dibunyikan setahun sekali untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad tepatnya pada bulan maulud, grebeg maulud.
Sekaten yang selama ini seolah terpenjara pada ruangnya yang ‘pertisius’, mencoba dihadirkan kembali dengan format yang berbeda oleh Supardi dan AL Suwardi, komponis dari ISI Surakarta. Dengan memakai kostum layaknya para pengrawit (pemusik) keraton, abdidalem, dan kalung samir yang adi luhung itu, pemusik dari ISI Surakarta seolah membawa kita menapaki jejak-jejak kejayaan keraton di masa silam.
Komposisi musik diawali oleh instrumen bonang, kemudian menghantarkan pada ruang orkestrasi musikal yang begitu kompleks. Empat pesinden yang kehadirannya tidak lazim dalam komposisi musik sekaten, melagukan alunan melodi vokal Jawa yang sesekali harus terbata-bata menyesuaikan dinamika tangga nada gamelan. Memang semua masih dalam tahap eksperimentasi. Segala kemungkinan dapat terjadi.
Sekaten begitu anggun, ukurannya lima kali lipat dari gamelan biasa (ageng), suaranya begitu menggema dan mampu menerobos sekat-sekat perhatian audiens. Sayangnya hal tersebut tidak diimbangi dengan ukuran-ukuran musikal yang ketat. AL Suwardi dan Supardi nampak masih terikat cukup kencang dengan tali ketradisiannya. Barangkali karena latar belakang kedua komposer yang telah melakukan pengembaraan pada sistem pendidikan tradisi yang pekat. Imbasnya, ketika mencoba kebaharuan sekaten, banyak metrum yang saling tumpang tindih dalam komposisinya. Hal yang cukup terasa ketika pertemuan antara lima rebana dengan gamelan carabalen dengan tempo yang saling tak mau mengalah, alias kehilangan ketukan. Beruntung, komposisi ini diakhiri dengan babak yang menggoda, dinamika yang mulai menghanggat cepat, jalinan permainan yang atraktif namun rapi, cocok dengan nuansa Ibokota yang ramai.
Mengulang Tradisi
Bingkai-bingkai tradisi dalam ruang kebudayaan terutama seni yang selama ini kita anggap -atau bahkan telah- mati, ternyata hanya bersembunyi, dan menunggu saat yang tepat untuk berani menampakkan wujudnya kembali. Mungkin, malam itu adalah saat yang pas dimana gong renteng harus muncul. Gong renteng selama ini terpendam dalam bingkai kesakralannya, tanpa mampu menjadi bentuknya yang lebih populis, yang konon katanya menghendaki takdirnya untuk mati, ternyata membahana dalam panggung pertunjukan TIM yang megah. Begitu apa adanya, tanpa resistensi, tanpa inovasi, dan bergeliat pasti diantara derasnya gesekan nuansa metropolis ibukota.
STSI Bandung yang selama ini terkenal dalam kelincahan jaipongnya, ternyata mampu membawa komposisi musik tradisi sakralnya dengan begitu fasih. Malam itu, tanpa gubahan dan aransemen ulang, mereka menghidangkan komposisi gamelan renteng pada warga ibokota. Dengan jalinan instrumen konkoang, cempres, peneteg dan gong yang hampir tanpa cacat, otomatis malam itu nuansa sunda telah mengguyur TIM.
Tapi ada satu hal yang seolah terlewat, mereka menyuguhkan oncom pada penggemar pizza. Tanpa dimasak dengan lebih matang dengan bumbu kreativitas yang tinggi, komposisi gamelan renteng malam itu hanya menjadi makanan lama yang seolah mulai “membasi”. Tanpa disadari bahwa seni memiliki sifatnya yang nomadik, dapat dengan lentur bergerak menuruti laju peradaban. Kenapa harus takut untuk memberi bumbu pada tradisi jika racikan bumbu yang lama terasa kurang? Niscaya, gamelan renteng sudah selayaknya tidak hanya menjadi sekedar mitos belaka. Harus dibutuhkan keberanian untuk memperpanjang denyut nadinya, dengan sentuhan kreativitas dan rasa baru yang lebih menggairahkan.

Evolusi Gamelan
Dalam terminologi Darwin, perkembangan sebuah peradaban itu dimulai pada satu tingkatan yang paling sederhana dan hingga mencapai derajadnya yang semakin kompleks. Kesenian termasuk gamelanpun demikian adanya. Para musisi bali yang pada malam itu menutup pementasan, meyakini bahwa varian gamelan di Bali sebenarnya bermuara pada satu spektrum yang sama. Dengan mengambil tema evolusi gamelan, ISI Denpasar mengetengahkan empat varian gamelannya. Gamelan slonding, gambuh, semar pagulingan, gong gede, kesemuanya saling bertautan, evolutif.
Penjelajahan ruang kreatif malam itu dimulai dengan gamelan yang paling tua, slonding. Disusul kemudian konser suling gambuh, semar pagulingan dan terakhir yang paling muda, gong gede. Layaknya musik Bali yang selama ini sering kita lihat, malam itu begitu atraktif, interloking yang terjadi antar pemain cukup membuat audiens terkesima. Dengan melakukan eksperimentasi yang ketat, para pemusik bali mencoba mengais kemungkinan-kemungkinan yang dapat dilakukan dengan memanfaatkan medium tradisi sebagai jembatannya.
Terbukti, tak hanya permainan yang atraktif saja. ISI Denpasar malam itu dapat mendudukkan empat gamelan dalam satu konstelasi kesepahaman rasa yang sama, tidak ada yang subdominan maupun yang dominan. Terlebih empat reportoar gamelan yang ada terkadang dimainkan bersamaan dalam satu komposisi musik (gending) yang indah. Made Kartawan, salah satu komposer mengatakan bahwa di Bali sendiri sangat jarang dapat melihat dua terlebih empat gamelan yang berbeda ditampilkan pada satu tempat yang sama dalam bingkai instrumentasi musikal, jadi beruntunglah Jakarta pada malam itu.
Ada kesan tersendiri melihat konser gamelan dari ISI Denpasar. Tampak bagaimana mereka kurang arif dalam memperlakukan keempat “gamelan langkanya”, semua dibunyikan di luar batas mainstream. Dengan mengangkat satu spektrum dinamika yang cepat namun menghentak, tanpa sadar mereka telah menjiplak dan menjadikan keempat gamelan tersebut menjadi ‘gong kebyar’, salah satu gamelan (Bali) yang begitu populer karena kelincahan permaianannya yang atraktif. Sehingga malam itu yang tampak bukan lagi konser empat gamelan (slonding, gambuh, semar pagulingan, gong gede) yang begitu deras nuansa sakral tradisinya, namun sebatas prototipe gamelan yang lebih populis.

Namun demikian Hidangan yang mencoba disuguhkan ISI Surakarta, STSI Bandung dan juga ISI Denpasar menjadi akhir yang manis untuk konser ‘gamelan langka’ yang juga langka terjadi di Ibukota.
Dengan menghadirkan sub wilayah kultur yang masih pekat bingkai tradisinya, bisa jadi, FKI kali ini seolah sengaja dihadirkan sebagai satu stimulan awal, merangsang Jakarta untuk kembali memperkuat habitus akar budayanya.

Aris Setiawan
Etnomusikolog, tinggal di Solo

Pengikut