30 tahun Gendhon Humardani
Nama Gendhon Humardani bagi
seniman dan budayawan Indonesia angkatan tahun 1970-an hingga awal 1980-an bukanlah
sebuah nama yang asing. Ia dikenal sebagai pakar dan kritikus seni pertunjukan
yang sangat disegani dan berwibawa. Di tangannya kala itu, Pusat Kesenian Jawa
Tengah (PKJT) dan Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) menjadi pusat
unggulan kreativitas kekaryaan seni di Nusantara. Banyak seniman besar lahir di
kedua lembaga itu. Rahayu Supanggah, I Wayan Sadra, AL,
Suwardi, Pande Made Sukerta, Suprapto Suryodarmo adalah beberapa di
antaranya. Mereka adalah mantan anak didik (mahasiswa) Gendhon Humardani yang
dengan tekun menyemai pemikiran dan laku kreatif dari gurunya yang terkenal
keras kepala itu. Akhir Agustus kmarin ini tepat 30 tahun Gendhon meninggalkan
jagat seni pertunjukan Indonesia. Menuliskan kembali sosoknya tak semata
menjadi usaha untuk mengenang apalagi sekadar nostalgia. Namun berusaha
mendudukkan kembali arti penting kehadirannya, atas sumbangan dan jasa besar
yang pernah ditorehkan bagi perkembangan kebudayaan dan terutama seni
pertunjukan di Indonesia.
Pelopor
Gendhon lahir dengan nama lengkap
Sedyono Djojokartiko Humardani pada 30 Juni 1923 dari pasangan Hoemardani
Djojosoedarmo dengan Soenarti. Ayahnya adalah seorang usahawan kaya dan ibunya
seorang putri priyayi terpandang berpangkat abdi-dalem
Bupati Putri Lebet Kasunanan Surakarta bernama Nyai Tumenggung Setjapura. R.M.
Soedarsono lewat tulisannya Gendhon
Humardani: Pendobrak Kesenian Jawa Yang Beku (2003) menjelaskan bahwa
sejatinya Gendhon tak dibesarkan sebagai seorang seniman. Ia lebih akrab
bersentuhan dengan dunia intelektual yang memegang teguh prinsip logika atau
rasio dari pada ‘rasa’. Kedokteran adalah minat awalnya. Bahkan ia sempat
mendapatkan beasiswa dari The British Council untuk melanjutkan studi
pascasarjana di Inggris bidang anatomi. Setelah berjalan satu tahun, Gendhon
meminta perpanjangan studi ke Fakultas Kedokteran. Sayang, hal itu tidak disetujui.
Uniknya, ia kemudian justru mendapat beasiswa dari The Rockefeller Foundation
di New York, Amerika Serikat. Bukan untuk bidang kedokteran, namun seni tari.
Sepulangnya dari Amerika, Gendhon
membawa perubahan besar bagi dunia seni pertunjukan Indonesia terutama Jawa. Ia
menganggap bahwa tari tradisi Jawa mengalami kebekuan kreativitas, monoton, dan
bahkan membosankan. Setiap di forum seminar, si perokok berat ini senantiasa
menjadi perhatian utama. Bukan semata karena ide-ide frontalnya, namun juga sikapnya
yang tempramental. Ekspresi pembawaan yang meledak-ledak. Tak jarang, kata-kata
kasar dan umpatan keluar dari mulutnya untuk memperjelas maksud yang hendak
disampaikan. Tak hanya dunia tari, seni pedalangan dan musik karawitan juga tak
luput dari semprotnya. Namun, ia bukanlah orang yang hanya pandai bicara.
Konsep, teori dan gagasannya tak terhenti dalam wacana, tapi diwujudkan dalam
ekspresi karya seni. Rustopo dalam Gendhon
Humardani Sang Gladiator (2001), Gendhon adalah pelopor dalam penciptaan
pakeliran baru yang saat ini kita kenal dengan “pakeliran padat”. Ia juga memelopori
sebuah garapan drama tari tanpa dialog verbal yang kemudian kita kenal sebagai
“sendratari”.
Gendhon Humardani memimpin PKJT
dan ASKI (sekarang Institut Seni Indonesia –ISI-) Surakarta pada tahun 1971.
ASKI di bawah kepimpinannya menjadi “kawah candra dimuka” bagi calon sarjana
yang nyeniman. Sejak pukul lima pagi, para mahasiswa tari diwajibkan mengikuti
olah tubuh (biasa disebut injeksi) selama dua jam lebih. Mahasiswa yang tak
memiliki kemampuan fisik prima, pasti tak sanggup mengikuti kegiatan itu. Bagi
mahasiswa karawitan, untuk mencapai derajad Seniman Karawitan (S.Kar.) harus
menampilkan karya konser sebanyak dua kali. Konser pertama berdurasi satu jam,
dan yang kedua adalah karya penuh berdurasi kurang lebih dua jam. Bandingkan,
saat ini ujian tugas akhir bisa dilakukan dengan hanya 10 sampai 15 menit saja.
Gendhon terkenal “angker” di
kalangan mahasiswanya. Banyak yang tak lulus dan harus melakukan ujian ulang
(termasuk Ben Suharto dari ASTI Yogyakarta). Di matanya, kesalahan sedikit tak dapat ditoleransi.
Hasilnya memang dapat dilihat, mahasiswa dan lulusan ASKI memiliki olah
kemampuan praktik yang unggul dibanding dengan yang lain. Para penari berpostur
ideal, para pengrawit mampu menghafal gending dengan qatam. Dikisahkan oleh
R.M. Soedarsono kala teman-temannya dari Amerika melihat ujian tugas akhir di
ASKI kala itu dan berkomentar bahwa ujian seberat itu di Eropa dan Amerika
sudah laku untuk meraih gelar M.F.A. (Master of Fine Arts). Gendhon mendidik
tak pandang bulu. Konon salah satu doktor baru lulusan luar negeri kala itu
harus mengepel pendopo ageng hanya karena menginjakkan sepatunya di lantai
pendopo.
Sadra
dan Panggah
Kisah pertemuan I Wayan Sadra
dengan Gendhon Humardani kiranya menarik untuk kembali diungkap. Tanggal 8
Februari 1981, komponis asal Bali itu menampilkan komposisi musik berjudul
“Lad-Lud-An” untuk acara Pekan Komponis Muda II di Taman Ismail Marzuki. Sadra
tergolong komponis kontemporer yang gila akan kebaruan. Di tengah pertunjukan
ia berdiri, berjalan pelan-pelan ke depan panggung, tangan kanannya diangkat
pelan. Tepat di hadapan penonton terdepan, ia menjatuhkan genggangan yang ada
ditangannya itu. Tiba-tiba bau busuk menyeruak kepermukaan. Ternyata benda
padat itu adalah telur busuk. Hal itu diulangnya terus menerus. Penontonpun
menjadi panik, sesekali mau muntah, tak terkecuali juga Gendhon Humardani.
Karya itu menjadi diskusi dan perbincangan yang tiada usai, bahkan
bertahun-tahun sesudahnya.
Di forum diskusi setelah acara
berlangsung, Gendhon dengan lantang mengkritik habis karya Sadra. Tak jarang
kata-kata pedas dan umpatan keluar darinya. Semua peserta diskusi diam,
terhenyak, tak terkecuali Sadra. Berbagai pertanyaan dimunculkan Gendhon
tentang karya itu. Uniknya, begitu mendengar jawaban Sadra, Gendhon yang
awalnya menghujat karya itu kemudian memujanya. Tak disangkanya, komponis muda
asal Bali itu kuat ditakaran konsep dan mampu melahap pertanyaan Gendhon dengan
jawaban yang memukau. Setelah menghujat, Gendhon membisikkan rayuan pada Sadra
agar mau mengajar di ASKI Surakarta dan menjadi PNS yang saat itu gajinya untuk
beli beras saja tidak cukup. Melihat keseriusan Gendhon Humardani, Sadrapun
tertarik dan pindah ke Surakarta pada tahun 1981.
Gendhon Humardani, di balik kata-kata
kerasnya ternyata mampu melihat potensi terpendam dalam diri seorang pemuda
layaknya Sadra. Setali tiga uang, Rahayu Supanggahpun demikian. Selama kuliah
di ASKI ia banyak terlibat diskusi sengit dengan Gendhon. Sering tak sepaham
dengan menentang ucapannya. Hal yang tak mungkin dijumpai bagi mahasiswa lain
yang cenderung nurut dan manut. Panggah dengan logika berfikir yang dimilikinya
kadang membuat Gendhon tak mampu lagi membantah. Bukannya beci, Gendhon justru
sangat mencintainya. Di banyak forum seminar, Panggah selalu ditunjuk untuk
mewakili kampus dan Gendhon jika berhalangan hadir. Gendhon memberi banyak
kesempatan bagi komponis yang mengucir rambutnya itu untuk meningkatkan
kemampuan intelektual. Hasilnya, Rahayu Supanggah tak hanya dikenal sebagai musisi
kelas dunia, namun juga Etnomusikolog, teoritikus dan budayawan.
Sadra dan Panggah adalah contoh
kecil guratan manis buah tangan Gendhon Humardani. Walaupun Sadra telah
berpulang menyusul Gendhon tahun 2011, namun namanya masih membekas harum di blantika
musik kontemporer hingga kini. Sepeninggal Gendhon, ASKI telah bermetamorfosis
menjadi Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) dan ISI. Pertanyaannya kemudian,
akankah muncul Gendhon-Gendhon baru? Atau justru kita saat ini hanya hidup
dalam klangenan, bernostalgia bersama kenangan manis tentang sosok Gendhon
Humardani tanpa mampu meneruskan jejak dan pemikirannya?
Aris
Setiawan
Etnomusikolog,
Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar