30 tahun Gendhon Humardani (dimuat di Jawapos 1 September 2013)

30 tahun Gendhon Humardani


Nama Gendhon Humardani bagi seniman dan budayawan Indonesia angkatan tahun 1970-an hingga awal 1980-an bukanlah sebuah nama yang asing. Ia dikenal sebagai pakar dan kritikus seni pertunjukan yang sangat disegani dan berwibawa. Di tangannya kala itu, Pusat Kesenian Jawa Tengah (PKJT) dan Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) menjadi pusat unggulan kreativitas kekaryaan seni di Nusantara. Banyak seniman besar lahir di kedua lembaga itu. Rahayu Supanggah, I Wayan Sadra, AL, Suwardi, Pande Made Sukerta, Suprapto Suryodarmo adalah beberapa di antaranya. Mereka adalah mantan anak didik (mahasiswa) Gendhon Humardani yang dengan tekun menyemai pemikiran dan laku kreatif dari gurunya yang terkenal keras kepala itu. Akhir Agustus kmarin ini tepat 30 tahun Gendhon meninggalkan jagat seni pertunjukan Indonesia. Menuliskan kembali sosoknya tak semata menjadi usaha untuk mengenang apalagi sekadar nostalgia. Namun berusaha mendudukkan kembali arti penting kehadirannya, atas sumbangan dan jasa besar yang pernah ditorehkan bagi perkembangan kebudayaan dan terutama seni pertunjukan di Indonesia.

Pelopor
Gendhon lahir dengan nama lengkap Sedyono Djojokartiko Humardani pada 30 Juni 1923 dari pasangan Hoemardani Djojosoedarmo dengan Soenarti. Ayahnya adalah seorang usahawan kaya dan ibunya seorang putri priyayi terpandang berpangkat abdi-dalem Bupati Putri Lebet Kasunanan Surakarta bernama Nyai Tumenggung Setjapura. R.M. Soedarsono lewat tulisannya Gendhon Humardani: Pendobrak Kesenian Jawa Yang Beku (2003) menjelaskan bahwa sejatinya Gendhon tak dibesarkan sebagai seorang seniman. Ia lebih akrab bersentuhan dengan dunia intelektual yang memegang teguh prinsip logika atau rasio dari pada ‘rasa’. Kedokteran adalah minat awalnya. Bahkan ia sempat mendapatkan beasiswa dari The British Council untuk melanjutkan studi pascasarjana di Inggris bidang anatomi. Setelah berjalan satu tahun, Gendhon meminta perpanjangan studi ke Fakultas Kedokteran. Sayang, hal itu tidak disetujui. Uniknya, ia kemudian justru mendapat beasiswa dari The Rockefeller Foundation di New York, Amerika Serikat. Bukan untuk bidang kedokteran, namun seni tari.
Sepulangnya dari Amerika, Gendhon membawa perubahan besar bagi dunia seni pertunjukan Indonesia terutama Jawa. Ia menganggap bahwa tari tradisi Jawa mengalami kebekuan kreativitas, monoton, dan bahkan membosankan. Setiap di forum seminar, si perokok berat ini senantiasa menjadi perhatian utama. Bukan semata karena ide-ide frontalnya, namun juga sikapnya yang tempramental. Ekspresi pembawaan yang meledak-ledak. Tak jarang, kata-kata kasar dan umpatan keluar dari mulutnya untuk memperjelas maksud yang hendak disampaikan. Tak hanya dunia tari, seni pedalangan dan musik karawitan juga tak luput dari semprotnya. Namun, ia bukanlah orang yang hanya pandai bicara. Konsep, teori dan gagasannya tak terhenti dalam wacana, tapi diwujudkan dalam ekspresi karya seni. Rustopo dalam Gendhon Humardani Sang Gladiator (2001), Gendhon adalah pelopor dalam penciptaan pakeliran baru yang saat ini kita kenal dengan “pakeliran padat”. Ia juga memelopori sebuah garapan drama tari tanpa dialog verbal yang kemudian kita kenal sebagai “sendratari”.
Gendhon Humardani memimpin PKJT dan ASKI (sekarang Institut Seni Indonesia –ISI-) Surakarta pada tahun 1971. ASKI di bawah kepimpinannya menjadi “kawah candra dimuka” bagi calon sarjana yang nyeniman. Sejak pukul lima pagi, para mahasiswa tari diwajibkan mengikuti olah tubuh (biasa disebut injeksi) selama dua jam lebih. Mahasiswa yang tak memiliki kemampuan fisik prima, pasti tak sanggup mengikuti kegiatan itu. Bagi mahasiswa karawitan, untuk mencapai derajad Seniman Karawitan (S.Kar.) harus menampilkan karya konser sebanyak dua kali. Konser pertama berdurasi satu jam, dan yang kedua adalah karya penuh berdurasi kurang lebih dua jam. Bandingkan, saat ini ujian tugas akhir bisa dilakukan dengan hanya 10 sampai 15 menit saja.
Gendhon terkenal “angker” di kalangan mahasiswanya. Banyak yang tak lulus dan harus melakukan ujian ulang (termasuk Ben Suharto dari ASTI Yogyakarta). Di matanya, kesalahan sedikit tak dapat ditoleransi. Hasilnya memang dapat dilihat, mahasiswa dan lulusan ASKI memiliki olah kemampuan praktik yang unggul dibanding dengan yang lain. Para penari berpostur ideal, para pengrawit mampu menghafal gending dengan qatam. Dikisahkan oleh R.M. Soedarsono kala teman-temannya dari Amerika melihat ujian tugas akhir di ASKI kala itu dan berkomentar bahwa ujian seberat itu di Eropa dan Amerika sudah laku untuk meraih gelar M.F.A. (Master of Fine Arts). Gendhon mendidik tak pandang bulu. Konon salah satu doktor baru lulusan luar negeri kala itu harus mengepel pendopo ageng hanya karena menginjakkan sepatunya di lantai pendopo.

Sadra dan Panggah
Kisah pertemuan I Wayan Sadra dengan Gendhon Humardani kiranya menarik untuk kembali diungkap. Tanggal 8 Februari 1981, komponis asal Bali itu menampilkan komposisi musik berjudul “Lad-Lud-An” untuk acara Pekan Komponis Muda II di Taman Ismail Marzuki. Sadra tergolong komponis kontemporer yang gila akan kebaruan. Di tengah pertunjukan ia berdiri, berjalan pelan-pelan ke depan panggung, tangan kanannya diangkat pelan. Tepat di hadapan penonton terdepan, ia menjatuhkan genggangan yang ada ditangannya itu. Tiba-tiba bau busuk menyeruak kepermukaan. Ternyata benda padat itu adalah telur busuk. Hal itu diulangnya terus menerus. Penontonpun menjadi panik, sesekali mau muntah, tak terkecuali juga Gendhon Humardani. Karya itu menjadi diskusi dan perbincangan yang tiada usai, bahkan bertahun-tahun sesudahnya.
Di forum diskusi setelah acara berlangsung, Gendhon dengan lantang mengkritik habis karya Sadra. Tak jarang kata-kata pedas dan umpatan keluar darinya. Semua peserta diskusi diam, terhenyak, tak terkecuali Sadra. Berbagai pertanyaan dimunculkan Gendhon tentang karya itu. Uniknya, begitu mendengar jawaban Sadra, Gendhon yang awalnya menghujat karya itu kemudian memujanya. Tak disangkanya, komponis muda asal Bali itu kuat ditakaran konsep dan mampu melahap pertanyaan Gendhon dengan jawaban yang memukau. Setelah menghujat, Gendhon membisikkan rayuan pada Sadra agar mau mengajar di ASKI Surakarta dan menjadi PNS yang saat itu gajinya untuk beli beras saja tidak cukup. Melihat keseriusan Gendhon Humardani, Sadrapun tertarik dan pindah ke Surakarta pada tahun 1981.
Gendhon Humardani, di balik kata-kata kerasnya ternyata mampu melihat potensi terpendam dalam diri seorang pemuda layaknya Sadra. Setali tiga uang, Rahayu Supanggahpun demikian. Selama kuliah di ASKI ia banyak terlibat diskusi sengit dengan Gendhon. Sering tak sepaham dengan menentang ucapannya. Hal yang tak mungkin dijumpai bagi mahasiswa lain yang cenderung nurut dan manut. Panggah dengan logika berfikir yang dimilikinya kadang membuat Gendhon tak mampu lagi membantah. Bukannya beci, Gendhon justru sangat mencintainya. Di banyak forum seminar, Panggah selalu ditunjuk untuk mewakili kampus dan Gendhon jika berhalangan hadir. Gendhon memberi banyak kesempatan bagi komponis yang mengucir rambutnya itu untuk meningkatkan kemampuan intelektual. Hasilnya, Rahayu Supanggah tak hanya dikenal sebagai musisi kelas dunia, namun juga Etnomusikolog, teoritikus dan budayawan.
Sadra dan Panggah adalah contoh kecil guratan manis buah tangan Gendhon Humardani. Walaupun Sadra telah berpulang menyusul Gendhon tahun 2011, namun namanya masih membekas harum di blantika musik kontemporer hingga kini. Sepeninggal Gendhon, ASKI telah bermetamorfosis menjadi Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) dan ISI. Pertanyaannya kemudian, akankah muncul Gendhon-Gendhon baru? Atau justru kita saat ini hanya hidup dalam klangenan, bernostalgia bersama kenangan manis tentang sosok Gendhon Humardani tanpa mampu meneruskan jejak dan pemikirannya?
Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta

Tidak ada komentar:

Pengikut