Dangdut Menggoyang
Politik
Setelah perdebatan sengit dalam
diskursus erotika dan raga pasca Inul dan Roma, apa yang dapat dilihat dari
panggung pertunjukan dangdut nusantara dewasa ini? Masihkan menyisahkan wacana
menarik untuk diangkat, didiskusikan dan diperdebatkan. Dangdut akhir-akhir ini
menjadi bunyi musik yang paling berisik. Persentuhannya dengan dunia politik
kala musim pemilu menambah warna baru bagi musik ini. Dangdut kemudian menjadi
corong dalam penyampaian misi propaganda partai dan caleg. Segala pesan politis
tersebut tak hanya disampaikan melalui orasi dan lagu, namun juga lewat raga
atau tubuh penyanyi. Goyangan membuat mata penonton tak berketip. Semakin
mengeksploitasi tubuh dianggap semakin berhasil dalam menghidupkan suasana
kampanye. Dangdut mutakhir kemudian mengguratkan dentum makna yang lebih luas
terkait interaksi yang terjadi antara tubuh penyanyi dengan penonton dan partai.
Dangdut dengan demikian menjadi medan yang mempertemukan berbagai lapisan.
Tak Padam
Dangdut masa kini berusaha memanjakan mata
lelaki. Perayaan goyangan dangdut hampir dapat kita amati di setiap panggung
hiburan musim kampanye. Ratusan bahkan ribuan penonton bersorak kencang saat
penyanyi melakukan atraksi goyang kayang sambil tetap konsisten menyanyikan lagunya.
Sesekali berganti goyangan ngebor, patah-patah, itik, ngecor, gergaji
dipertontonkan. Suasana tentu semakin mencengkram riuh. Bahkan tak jarang,
penyanyi menawarkan jasanya dalam bergoyang, “mau digoyang apa mas?” Ternyata,
detak perdebatan erotika tubuh dalam musik dangdut belum sepenuhnya padam. Inul
hanya sebuah masa yang justru mengawali gerak eksploitasi tubuh itu untuk
semakin tumbuh subur dengan pelbagai nama, jenis dan bentuknya.
Apa yang unik dari panggung-panggung
dangdut kerakyatan, seperti di musim kampanye misalnya? Di area panggung itu
ekspresi kenaturalan dapat lentur dipertontontan. Tanpa ada usaha dalam memoles
muka dangdut seperti yang sering kita lihat di layar televisi. Dangdut di
televisi kita cenderung permisif, santun dan kadang justru kelihatan menipu. Namun,
dangdut dalam layar kaca juga seolah menjadi musik yang termarjinalkan. Kalah
bersaing dengan musik-musik pop. Ruang-ruang tampilnya pun hanya dibatasi pada
jam-jam yang tidak menguntungkan untuk dilihat mata. Tergilas dengan sajian
musik yang lebih populis. Kalupaun ada kontestasi untuk menyanyi dangdut,
tentunya hanya berambisi meraih pamrih lewat iklan dan sms berbayar tanpa
disertai dengan kualitas dan penciptaan varian judul dan tema yang lebih
menggoda. Akibatnya, lagu-lagu dangdut terkesan mengulang-ulang lagu yang telah
ada. Di acara itu, menyanyi bukanlah hal yang utama. Paling penting adalah guyonan atau lawakan antara pembawa
acara dan para juri. Tak jarang kemudian jika banyak pengamat musik yang
menyatakan dangdut dengan segera akan menemui titik nadir kematiannya. Benarkan
demikian?
Anggapan tersebut salah besar. Arus
perkembangan musik dangdut berbeda dengan musik lain. Jika perkembangan
musik-musik lain seperti pop misalnya terpusat di Ibu Kota, maka dangdut justru
lebih bersifat arus bawah. Artinya, musik-musik pop membutuhkan televisi nasional
di Jakarta sebagai ruang publikasi agar masyarakat menyukai dan intens
mendengarnya. Dangdut berbalik arah, media televisi atau produser ibukota
justru terpengaruh dengan gaya dangdut yang berkembang di pelosok daerah. Lihatlah
gaya musikal koplo, kemunculannya di
layar kaca terhitung terlambat jika dibanding dengan beberapa daerah di Jawa
Timur, Banyuwangi dan Gresik misalnya. Lihat pula jem-jem (hentakan-hentakan)
musikal yang di daerah begitu ramai hingga mempengaruhi dangdut versi Ibukota.
Hal yang paling terbaru adalah penciptaan lagu dangdut yang dewasa ini banyak
disadur dari hasil karya cipta anak-anak daerah. Iwak Peyek, Nyanyian Pengamen, Bokong Semok, Oplosan, Seng Penting
Njoget adalah lagu-lagu yang sering kita dengarkan kala naik bus kota atau di
terminal yang disajikan oleh para pengamen jalanan. Namun kemudian lagu-lagu
itu dianggkat ke permukan oleh para produser musik dangdut Ibukota, dirubah
gaya dan penampilannya. Walhasil, masyarakat di segala pelosok negeripun mendengarkannya.
Jika jujur diakui, di Ibukota (dan layar
kaca), dangdut telah mengalami kebangkrutan penciptaan lagu baru. Sebaliknya, daerah-daerah
basis musik dangdut di Indonesia terutama Jawa menjadi sumber penciptaan ideal untuk
disadur, dipoles dan diperdagangkan. Begitupun kala pertunjukan di panggung
kampanye. Banyak muncul lagu-lagu baru yang cukup mempesona. Lirik yang baru,
gaya musikal lain yang terkadang dipadukan dengan unsur musik tradisi seperti
jaipongan dan kendang kempul Banyuwangian. Lagu-lagu dangdut di panggung
kampanye begitu dirayakan oleh para pengikutnya, tak peduli tua dan muda. Tak
canggung mereka untuk bergoyang, menunjukkan kebolehannya dalam berjoget. Tak
peduli juga siapa yang menghadirkan dangdut itu, apakah partai atau caleg, yang
penting bisa berdendang dan bergoyang, pokoke
njoget!!!
Kerakyatan
Sesedih apapun lagu dangdut pasti dapat
digoyangi. Hal inilah yang menjadikan varian musik ini begitu merakyat. Bukan
persoalan prestise dan gaya hidup
semata. Namun masyarakat akar rumput membutuhkan ruang luapan emosional yang
mampu mengalihkan perhatian mereka dari rutinitas hidup yang semakin tak
bersahabat. Dan dangdut mampu mengakomodasi gejolak itu lewat goyang dan gerak
tubuh. Tak ada sekat, dari tukang becak hingga pejabat, semua hadir untuk lebur
jadi satu. Mereka tak butuh dentum bunyi musik yang melankolis, apalagi mendayu-ndayu
penuh lirik asmara dan cinta. Sekali lagi, yang dibutuhkan mereka adalah
ekstase penumpahan berujud “goyang”. Tak jarang asupan minuman beralkohol menemani
dalam setiap panggung dangdut pemilu. Fenomena itu bukanlah satu hal yang aneh.
Bahkan sudah menjadi kelaziman dalam pertunjukan dangdut daerah. Musim pemilu
memberi satu pemaknaan baru terkait keberadaan musik dangdut tanah air. Darinya
kita bisa membaca detak keadaban masyarakat Indonesia yang menjadikan musik
sebagai tumpahan peluh dan kesahnya. Di musim penuh warna partai ini, anggapan
yang menganggap musik dangdut segera akan gulung tikar dan kalah bersaing
dengan musik pop sudah pasti sulit untuk terbukti.
Dangdut hidup bukan di tangan kapital
namun masyarakat akar rumput. Dangdut menjadi tolok ukur objektif dalam melihat
determinasi kebudayaan di Indonesia. Wajar kemudian jika Philip Yampolsky
merekam musik dangdut lewat Smithsonian
Folksways (1991) dan menyatakan dengan jelas bahwa bangdut adalah “musik
nasional” Indonesia. Dangdut menjadi bunyi yang paling efektif untuk menggalang
masa. Karenanya, banyak partai yang memanfaatkan untuk menarik simpatik
masyarakat luas. Terlebih, erotika tubuh penyanyi dirayakan dengan bebas. Caleg
dan partai dibentuk dari goyangan sensual penyanyi. Ironisnya, setelah mereka
terpilih, dengan lantang kemudian menyerukan undang-undang pornografi. Menolak
segala goyangan yang dianggap erotis dalam musik dangdut. Mereka lupa kala
kampanye, turut bergoyang ria dan bahkan membayar mahal sang ahli goyang yang
bertubuh seksi itu. Kampanye dengan menggunakan musik dangdut dan eksploitasi
erotika tubuh penyanyi menarasikan bahwa politik di Indonesia adalah politik
dangdut. Penuh goyangan. Dangdut bagaimanapun
juga telah menjadi bagian penting dari sejarah peradaban manusia Indonesia. Melihat
dangdut masa kini berarti melihat rupa dan ujud wajah kita.
Aris Setiawan
Etnomusikolog,
Pengajar di Fakultas Seni Pertunjukan ISI Surakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar