Dangdut Menggoyang Politik (dimuat di Koran Joglosemar, 28 Maret 2014)

Dangdut Menggoyang Politik



Setelah perdebatan sengit dalam diskursus erotika dan raga pasca Inul dan Roma, apa yang dapat dilihat dari panggung pertunjukan dangdut nusantara dewasa ini? Masihkan menyisahkan wacana menarik untuk diangkat, didiskusikan dan diperdebatkan. Dangdut akhir-akhir ini menjadi bunyi musik yang paling berisik. Persentuhannya dengan dunia politik kala musim pemilu menambah warna baru bagi musik ini. Dangdut kemudian menjadi corong dalam penyampaian misi propaganda partai dan caleg. Segala pesan politis tersebut tak hanya disampaikan melalui orasi dan lagu, namun juga lewat raga atau tubuh penyanyi. Goyangan membuat mata penonton tak berketip. Semakin mengeksploitasi tubuh dianggap semakin berhasil dalam menghidupkan suasana kampanye. Dangdut mutakhir kemudian mengguratkan dentum makna yang lebih luas terkait interaksi yang terjadi antara tubuh penyanyi dengan penonton dan partai. Dangdut dengan demikian menjadi medan yang mempertemukan berbagai lapisan.

Tak Padam
Dangdut masa kini berusaha memanjakan mata lelaki. Perayaan goyangan dangdut hampir dapat kita amati di setiap panggung hiburan musim kampanye. Ratusan bahkan ribuan penonton bersorak kencang saat penyanyi melakukan atraksi goyang kayang sambil tetap konsisten menyanyikan lagunya. Sesekali berganti goyangan ngebor, patah-patah, itik, ngecor, gergaji dipertontonkan. Suasana tentu semakin mencengkram riuh. Bahkan tak jarang, penyanyi menawarkan jasanya dalam bergoyang, “mau digoyang apa mas?” Ternyata, detak perdebatan erotika tubuh dalam musik dangdut belum sepenuhnya padam. Inul hanya sebuah masa yang justru mengawali gerak eksploitasi tubuh itu untuk semakin tumbuh subur dengan pelbagai nama, jenis dan bentuknya.
Apa yang unik dari panggung-panggung dangdut kerakyatan, seperti di musim kampanye misalnya? Di area panggung itu ekspresi kenaturalan dapat lentur dipertontontan. Tanpa ada usaha dalam memoles muka dangdut seperti yang sering kita lihat di layar televisi. Dangdut di televisi kita cenderung permisif, santun dan kadang justru kelihatan menipu. Namun, dangdut dalam layar kaca juga seolah menjadi musik yang termarjinalkan. Kalah bersaing dengan musik-musik pop. Ruang-ruang tampilnya pun hanya dibatasi pada jam-jam yang tidak menguntungkan untuk dilihat mata. Tergilas dengan sajian musik yang lebih populis. Kalupaun ada kontestasi untuk menyanyi dangdut, tentunya hanya berambisi meraih pamrih lewat iklan dan sms berbayar tanpa disertai dengan kualitas dan penciptaan varian judul dan tema yang lebih menggoda. Akibatnya, lagu-lagu dangdut terkesan mengulang-ulang lagu yang telah ada. Di acara itu, menyanyi bukanlah hal yang utama. Paling penting adalah guyonan atau lawakan antara pembawa acara dan para juri. Tak jarang kemudian jika banyak pengamat musik yang menyatakan dangdut dengan segera akan menemui titik nadir kematiannya. Benarkan demikian?
Anggapan tersebut salah besar. Arus perkembangan musik dangdut berbeda dengan musik lain. Jika perkembangan musik-musik lain seperti pop misalnya terpusat di Ibu Kota, maka dangdut justru lebih bersifat arus bawah. Artinya, musik-musik pop membutuhkan televisi nasional di Jakarta sebagai ruang publikasi agar masyarakat menyukai dan intens mendengarnya. Dangdut berbalik arah, media televisi atau produser ibukota justru terpengaruh dengan gaya dangdut yang berkembang di pelosok daerah. Lihatlah gaya musikal koplo, kemunculannya di layar kaca terhitung terlambat jika dibanding dengan beberapa daerah di Jawa Timur, Banyuwangi dan Gresik misalnya. Lihat pula jem-jem (hentakan-hentakan) musikal yang di daerah begitu ramai hingga mempengaruhi dangdut versi Ibukota. Hal yang paling terbaru adalah penciptaan lagu dangdut yang dewasa ini banyak disadur dari hasil karya cipta anak-anak daerah. Iwak Peyek, Nyanyian Pengamen, Bokong Semok, Oplosan, Seng Penting Njoget adalah lagu-lagu yang sering kita dengarkan kala naik bus kota atau di terminal yang disajikan oleh para pengamen jalanan. Namun kemudian lagu-lagu itu dianggkat ke permukan oleh para produser musik dangdut Ibukota, dirubah gaya dan penampilannya. Walhasil, masyarakat di segala pelosok negeripun mendengarkannya.
Jika jujur diakui, di Ibukota (dan layar kaca), dangdut telah mengalami kebangkrutan penciptaan lagu baru. Sebaliknya, daerah-daerah basis musik dangdut di Indonesia terutama Jawa menjadi sumber penciptaan ideal untuk disadur, dipoles dan diperdagangkan. Begitupun kala pertunjukan di panggung kampanye. Banyak muncul lagu-lagu baru yang cukup mempesona. Lirik yang baru, gaya musikal lain yang terkadang dipadukan dengan unsur musik tradisi seperti jaipongan dan kendang kempul Banyuwangian. Lagu-lagu dangdut di panggung kampanye begitu dirayakan oleh para pengikutnya, tak peduli tua dan muda. Tak canggung mereka untuk bergoyang, menunjukkan kebolehannya dalam berjoget. Tak peduli juga siapa yang menghadirkan dangdut itu, apakah partai atau caleg, yang penting bisa berdendang dan bergoyang, pokoke njoget!!!

Kerakyatan
Sesedih apapun lagu dangdut pasti dapat digoyangi. Hal inilah yang menjadikan varian musik ini begitu merakyat. Bukan persoalan prestise dan gaya hidup semata. Namun masyarakat akar rumput membutuhkan ruang luapan emosional yang mampu mengalihkan perhatian mereka dari rutinitas hidup yang semakin tak bersahabat. Dan dangdut mampu mengakomodasi gejolak itu lewat goyang dan gerak tubuh. Tak ada sekat, dari tukang becak hingga pejabat, semua hadir untuk lebur jadi satu. Mereka tak butuh dentum bunyi musik yang melankolis, apalagi mendayu-ndayu penuh lirik asmara dan cinta. Sekali lagi, yang dibutuhkan mereka adalah ekstase penumpahan berujud “goyang”. Tak jarang asupan minuman beralkohol menemani dalam setiap panggung dangdut pemilu. Fenomena itu bukanlah satu hal yang aneh. Bahkan sudah menjadi kelaziman dalam pertunjukan dangdut daerah. Musim pemilu memberi satu pemaknaan baru terkait keberadaan musik dangdut tanah air. Darinya kita bisa membaca detak keadaban masyarakat Indonesia yang menjadikan musik sebagai tumpahan peluh dan kesahnya. Di musim penuh warna partai ini, anggapan yang menganggap musik dangdut segera akan gulung tikar dan kalah bersaing dengan musik pop sudah pasti sulit untuk terbukti.
Dangdut hidup bukan di tangan kapital namun masyarakat akar rumput. Dangdut menjadi tolok ukur objektif dalam melihat determinasi kebudayaan di Indonesia. Wajar kemudian jika Philip Yampolsky merekam musik dangdut lewat Smithsonian Folksways (1991) dan menyatakan dengan jelas bahwa bangdut adalah “musik nasional” Indonesia. Dangdut menjadi bunyi yang paling efektif untuk menggalang masa. Karenanya, banyak partai yang memanfaatkan untuk menarik simpatik masyarakat luas. Terlebih, erotika tubuh penyanyi dirayakan dengan bebas. Caleg dan partai dibentuk dari goyangan sensual penyanyi. Ironisnya, setelah mereka terpilih, dengan lantang kemudian menyerukan undang-undang pornografi. Menolak segala goyangan yang dianggap erotis dalam musik dangdut. Mereka lupa kala kampanye, turut bergoyang ria dan bahkan membayar mahal sang ahli goyang yang bertubuh seksi itu. Kampanye dengan menggunakan musik dangdut dan eksploitasi erotika tubuh penyanyi menarasikan bahwa politik di Indonesia adalah politik dangdut. Penuh goyangan. Dangdut bagaimanapun juga telah menjadi bagian penting dari sejarah peradaban manusia Indonesia. Melihat dangdut masa kini berarti melihat rupa dan ujud wajah kita.

Aris Setiawan

Etnomusikolog, Pengajar di Fakultas Seni Pertunjukan ISI Surakarta

Tidak ada komentar:

Pengikut