Memahami Soundcape
Isu ekologis beberapa waktu ini mengemuka. Dimulai dari tata kota, hingga isu yang paling tren berkaitan dengan perubahan iklim, termasuk pemanasan global dengan digelarnya KTT ke-15 Perubahan Iklim di Kopenhagen, Denmark.
Namun, satu hal yang seolah terlewat adalah persoalan soundscape. Soundscape merupakan pemandangan suara-suara yang ada di sekitar lingkungan kita. Istilah soundscape sendiri dimunculkan pertama kali oleh Murray Schafer dalam bukunya Ear Cleaning (1967) yang berasal dari dua impresi kata, yaitu sounds (bunyi) dan landscape (pemandangan).
Shin Nakagawa, seorang etnomusikolog dari Jepang lewat bukunya berjudul Musik dan Kosmos (2000), memandang perlunya menata kembali soundscape bagi kehidupan kita. Perkembangan spektrum teknologi dan ilmu pengetahuan ternyata juga berimplikasi pada perkembangan soundscape. Banyak hasil teknologi yang memiliki efek lain sebagai penghasil suara kini bermunculan. Beberapa di antaranya yaitu mesin pabrik, mobil, peralatan rumah tangga, sepeda motor, handphone dan lain sebagainya. Tanpa sadar bahwa soundscape yang ada terkadang menjelma menjadi polusi suara (distorted).
Faktor Budaya
Anderson Sutton (1996) mengindikasikan bahwa distorsi suara di Indonesia memiliki keterkaitan yang erat dengan faktor kebudayaan. Sutton menekankan bahwa masyarakat Indonesia menyukai sesuatu yang ramai. Hal ini dapat dicermati dari berbagai prosesi acara yang ada, baik dalam konteks seremonial maupun seni pertunjukan tradisinya.
Lihat saja arak-arakan sepeda motor waktu kampanye partai. Lebih khusus lagi seremonial pernikahan, hajatan yang menggunakan public address (PA) dengan suara yang distorted. Atau bahkan pertunjukan tradisi Sekaten di Solo, Jawa Tengah, saronen (sape sono) di Madura, ngarot di Jawa Barat, gordang sembilan di Sumatra yang kesemuanya dengan sengaja menghasilkan soundscape yang cukup gaduh. Kegaduhan yang ada ditujukan untuk menunjukkan eksistensi dan tanda kebesaran mereka. Semakin ramai dan kacau soundscape yang ditimbulkan, menunjukkan bahwa acara yang bersangkutan semakin berskala besar dan megah.
Selain itu, masyarakat Indonesia masih cenderung salah dalam memberlakukan teknologi yang memiliki implikasi penghasil suara. Mereka masih menempatkan fungsi utamanya tanpa menghiraukan efek lain yang ditimbulkan. Semisal mesin pabrik. Keberadaannya akan tetap dipertahankan sejauh masih dapat memproduksi barang dengan lancar, walaupun efek suara yang dihasilkan melebihi kapasitas normal. Atau contoh yang lebih umum adalah kendaraan bermotor seperti bus kota, bajaj, sepeda motor dan lain sebagainya. Tanpa berpikir tentang efek suara yang dihasilkan (sama seperti efek asap pada knalpot), kehadirannya akan tetap dipertahankan sejauh masih dapat dipergunakan sebagai alat transportasi keseharian.
Memahami Soundscape
Mengerti soundscape bagi Shin Nakagawa berarti memahami suara dengan bijak. Pertanyaan yang paling sederhana kini, apakah kita memahami suara lingkungan kita (soundscape) dengan benar?
Selama ini kita memberlakukan telinga kita dengan cukup arif ketika mendengarkan sebuah konser musik di gedung pertunjukan atau konser gamelan di pendapa. Detail-detail musikal dapat kita cerna dan terima dengan jelas sebagai sebuah sketsa bunyi yang menarik dan ideal. Selanjutnya tidak jarang kita akan memejamkan mata, mengangguk-anggukkan kepala atau bahkan tertawa dan menangis haru karena dapat begitu rinci dan jeli dalam menghayati asupan bunyi yang ada. Namun bagaimana dengan keadaan bunyi lingkungan kita? Efek suara pabrik-pabrik besar, bus kota, angkot, bajai atau klakson di kemacetan lalu lintas yang cenderung menimbulkan distorsi soundscape. Apakah kita juga memberlakukan hal yang sama pada telinga kita?
Shin Nakagawa menekankan bahwa kemampuan telinga kita cenderung menjadi tumpul ketika keluar dari panggung pertunjukan tersebut. Suara-suara lingkungan hanya menjadi simbol sepintas lalu. Noise atau kebisingan sudah menjadi makanan sehari-hari, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta. Padahal tanpa disadari, soundscape yang demikian membawa perkembangan telinga dan otak cenderung menurun.
Ahmad Rofii dan Andriana Yunita dari Fakultas Kedokteran UI dan Universitas Sumatra Utara, menekankan bahwa seringnya mendengarkan suara soundscape yang bising (noise) atau distorted akan dapat mengakibatkan ketulian. Hal semacam ini dalam ilmu kedokteran lazim disebut TAB (Tuli Akibat keBisingan) atau NIHL (Noise Induced Hearing Loss). Sementara Ikron dari Departemen Kesehatan Lingkungan UI menyatakan, bahwa distorsi soundscape banyak disebabkan oleh padatnya lalu lintas jalan serta efek mesin pabrik dan rumah tangga. Efek dari soundscape tersebut memiliki dampak yang besar bagi psikologis (otak) anak. Lebih lanjut, hasil penelitian Ikron (2005) menyatakan bahwa anak-anak sekolah dasar yang menerima kebisingan soundscape secara reguler berisiko mengalami gangguan psikologis, dibanding dengan anak-anak yang belajar di lingkungan tenang.
Djohan dalam bukunya Psikologi Musik (2005) menekankan bahwa suara atau bunyi membawa dua efek tersendiri terhadap psikologi seseorang. Tidak hanya satu sisinya yang bermanfaat layaknya musik klasik bagi perkembangan janin, atau musik gamelan sebagai terapi kejiwaan. Lebih dari itu, bunyi-bunyian yang cenderung tidak berstruktur, bising terlebih distorted dan berlangsung terus menerus, akan cepat menstimuli otak untuk stres. Oleh karena itu, wajar jika baru-baru ini The Jakarta Post (18 Oktober 2009) mewartakan bahwa hidup di Jakarta dan kota besar lainnya dapat membuat orang menjadi “gila”. Saya kira pemicunya tidak hanya dalam skala domain yang lebih besar yakni persoalan politik dan ekonomi (materi), namun juga lingkungan, dan soundscape yang dalam konteks ini menjadi salah satu faktor utamanya.
Oleh karena itu, kembali lagi bahwa sudah saatnya kita mengerti persoalan soundscape dengan benar, serta menempatkannya dalam bingkai koridor etika dan kesehatan. Dibutuhkan implementasi tegas terhadap penegakan peraturan yang sifatnya menata dan mengatur kembali soundscape, terkait suara-suara apa saja yang layak didengar dan yang tidak. Hal ini menjadi penting guna meraih satu kehidupan yang lebih nyaman dan lebih utama lagi sehat.
Aris Setiawan
Etnomusikolog, Staf Pengajar di ISI Surakarta