Aku Rapopo (dimuat di Koran Joglosemar 13 Mei 2014)

Aku Rapopo



Kata “aku rapopo” kini menjadi cukup populer. Kata itu awalnya diucapkan oleh Jokowi dalam menjawab serangan lawan politiknya. Aku rapopo juga menjadi tema lagu Julia Peres. Terakhir dan terbaru, puisi berjudul Raisopopo dibuat Fadli Zon. Kata yang awalnya biasa saja itu kemudian seolah menjadi “sakral” dan “magis”. Mengandung maksud penuh arti. Kata itu berasal dari bahasa Jawa, terutama Jawa Tengah dan Yogyakarta. Kata ra kependekan dari ora, yang berarti tidak. Sementara popo adalah opo-opo yang berarti apa-apa. Oleh karena itu, aku rapopo memiliki maksud “saya tidak apa-apa”, i am fine. Namun demikian, kata itu kadang tak mengartikan makna sesungguhnya. Di balik kata rapopo bisa jadi opo-opo, bahkan lebih kompleks lagi. Melihat kata itu, terlebih diucapkan oleh Jokowi, berarti harus melihat hubungan mendasar antara pengucap dan apa yang diucap –bahasa- dalam konstelasi kebudayaan.

Jawa
Di Jawa, segala kata bisa menjadi penuh kias dan simbol. Saat orang Jawa disakiti, dengan mudah mereka akan tersenyum sambil berucap Gusti Allah mboten sare yang berarti “Tuhan tidak tidur”. Memang seolah tak ada hubungan langsung antara rasa sakit yang diderita dengan ucapan yang diproduksi. Namun demikian, kata tersebut memiliki makna yang dalam. Orang Jawa mencoba untuk iklas dan berharap agar Tuhanlah yang membalas perbuatan buruk yang ditimpakan pada mereka. Tentu kita semua tahu bahwa pembalasan Tuhan akan lebih berat daripada manusia bukan? Di satu sisi, orang Jawa mencoba untuk iklas, namun di sisi lain mereka nabok nyileh tangan (memukul dengan menggunakan tangan yang lain), berhadap pembalasan yang lebih kejam dan berat. Bahkan muncul pameo, kenapa blangkon di Jawa –terutama Solo- memiliki benjolan di bagian belakangnya? Bagi banyak orang (terutama di luar Jawa) benjolan itu diartikan sebagai perwujudan dari simbol sikap “memukul dari belakang”. Orang Jawa mampu menunjukkan dirinya tak tersakiti dengan ekspresi tawa dan senyum, namun sebenarnya hati dan perasaan terlukai, mbendol ngguri (dongkol di belakang). Mereka akan menunggu kesempatan yang pas untuk membalas sakit hati yang dideritanya. Adapaun istilah yang tepat adalah meneng-meneng ndlendemi yang berarti diam-diam menghanyutkan. Sikap yang menghanyutkan itulah yang dilukiskan dengan benjolan blangkon, walaupun kadang hubungan keduanya juga terkesan dipaksakan.
Orang Jawa kemudian dengan mudah mengatakan bahwa dirinya tidak masalah disakiti lewat ucapan aku rapopo. Sebagai wujud kepasrahan dan keiklasan diri. Namun, bisa saja mereka memendam dendam dan menunggu waktu yang tepat untuk membuktikan bahkan membalas semua serangan tersebut. Julia Peres berulangkali berdendang lagu Aku Rapopo kala diduakan oleh kekasihnya dengan tertawa dan senang. Namun tak lama kemudian ia menangis dan bersedih. Kata itu adalah ekspresi verbal yang nampak di luar, namun bisa jadi sangat berbeda dalam hati dan perasaan. Terlebih semakin lengkap kala yang mengucapkan kata itu adalah orang Jawa layaknya Jokowi. Dengan demikian, Jokowi tak dapat dilepaskan dari beban-beban kulturnya. Melihat Jokowi dengan segala sikap dan karakternya berarti menelisik tentang kebudayaan dan peradaban manusia Jawa masa kini.
Orang Jawa memiliki tutur kata halus, pelan dan santun. Ucapannya sedikit namun membekas. Sitik neng nentremake ati, sedikit namun menentramkan jiwa. Atau sebalinya, sitik neng nylekit, yang berarti sedikit kata-katanya tapi bikin sakit di hati. Segala tindak-tanduk dan ucapannya diukur dalam kuasa kebudayaan. Banyak kemudian yang mengatakan wong Jawa ora njawani, berarti orang Jawa yang tak mampu menjadi “manusia Jawa”. Kata itu terucap jika melihat orang Jawa yang berbuat jahat, culas, tidak sopan, urakan, kasar dan arogan. Stereotip Jawa yang halus dan santun juga tertuang dalam bentuk keseniannya. Brandts Buys lewat tulisannya yang berjudul De Toonkunst bij de Madereezen (1928) menganggap musik masyarakat pesisiran seperti Madura tidak jelas seperti suara kodok, sedangkan musik di Jawa (Solo) mengalun indah dan merdu. Kesenian di Solo dianggap adiluhung karena memiliki hubungan yang erat dengan keraton, sementara di luar itu adalah kesenian rakyat yang tak jarang dianggap kasar dan urakan.
Begitupun dengan bahasa. Gaya bicara dan diksi kata bahasa Surabaya dan Banyumas dianggap kasar, blak-blakan, tanpa tedeng aling-aling, pinggiran. Sementara di Solo (dan Yogya) adalah bahasa halus yang lembut dan santun. Karenanya, gaya bahasa Solo dipakai sebagai standart pelajaran materi Bahasa Jawa di Jawa. Sementara kata yang diucapkan oleh Jokowi, aku rapapa, adalah tergolong bahasa ngoko, berarti ucapan atau jawaban yang ditujukan kepada orang yang sebaya, lebih muda atau lebih rendah kedudukannya. Artinya, jawaban kata aku rapopo dari Jokowi sebenarnya sekaligus juga sindiran secara tak langsung, bahwa derajad lawan politik yang menyerangnya tak jauh lebih baik darinya. Bisa saja Jokowi menjawab dengan kata serupa (fonetik) seperti i am fine atau saya tidak masalah, baik-baik saja, seperti kebanyakan pejabat yang menjawab kritikan. Namun tafsir terhadap kata itu kemudian menjadi “mati” atau tak berkembang. Jokowi, walaupun hidup di Ibukota, berusaha “memainkan” kultur Jawa (fonemik) untuk memberi tafsir baru dalam dunia politik tanah air mutakhir.

Identitas
Kata itu menegaskan identitas. Ucapan Jokowi jika dimaknai lebih lanjut juga menjadi satir dalam dunia kebahasaan kita dewasa ini. Di mana anak-anak lebih dimanjakan dengan sajian bahasa “cepat saji” yang diproduksi tanpa arti. Semata hanya auforia sesaat. Kitapun kemudian dihidangkan dengan kata ”gaul”, “cabe-cabean”, “alay” dan lain sebagainya. Sementara di sisi lain pemujaan terhadap bahasa asing juga tiada henti disuluh. Agar terlihat lebih intelektual dan modern, tak jarang para pengamat dan pejabat itu menggunakan terminologi bahasa asing. Membuat masyarakat manggut-manggut terpukau, walau kadang tak diimbangi dengan pemahaman kejelasan arti, yang penting cas-cis-cus. Sementara Jokowi, orang nomor satu di Jakarta, dengan percaya diri membawa bahasa Jawa dalam kancah politik nasional. Jakarta, kota metropolis, Ibu Kota Negara Indonesia, pusat segala kemajuan dan moderanitas itu seolah diingatkan kembali tentang habitus –akar- tradisinya yang selama ini telah pudar.
Namun kata itu, aku rapopo, kadang juga tak mampu dimaknai sebagai sebuah pesan kultural. Kemudian semata hanya menjadi bahan candaan, cercaan, ejekan dan apalagi menjatuhkan. Hal ini terlihat ketika aku rapopo diucap oleh Jokowi kemudian diproduksi masal oleh banyak orang tanpa mempertimbangkan sisi gramatika, legasi, bahkan kultur yang terkandung di dalamnya. Tak ubahnya kata yang udik, ndeso dan memalukan. Aku rapopo bertebaran di media sosial dan percakapan sehari-hari tanpa memiliki maksud dan tujuan yang jelas. Semata terucap demi pengundang tawa. Menjadi kata banyolan dalam setiap program komedi di layar kaca. Kata itu semakin kehilangan makna. Ia menjadi beribu tafsir. Kultur Jawa di kata aku rapopo dalam konteks ini telah mati. Sama layaknya ketika penari Jawa yang tak lagi memiliki kuasa atas tubuhnya kala ia menari di diskotik. Setiap orang dapat dengan bebas menikmati tubuh (kata) itu menjadi apapun.
Kata itu menjadi menarik kala terucap oleh Jokowi. Sayangnya, lawan politik yang menyerangnya, serta masyarakat Ibu Kota banyak yang kurang begitu faham dengan kata kias dari Jokowi. Mereka seolah gegar budaya, sehingga tanggapan Jokowi lewat kata aku rapopo itu justru dimaknai sebagai sikap kalah, pasrah menerima segala caci dan maki. Jika memang ditafsirkan demikian, maka silahkan saja, karena aku rapopo!!
Aris Setiawan

Etnomusikolog, Pengajar di Fakultas Seni Pertunjukan ISI Solo  

Tidak ada komentar:

Pengikut