Hari Tari dan Semangat Noverre
Tanggal 29 April 2010
diperingati sebagai haritari dunia (world dance day). Setiap negara
memperingatinya dengan seksama, termasuk Indonesia. Sudah tiga tahun
inidi solo (Institut Seni Indonesia), tempat di mana seni-seni kraton
itu hidupdan berkembang baik, telah tercipta tradisi menari 24 jam
nonstop guna menyemarakkanhari tari ini. Pesertanyapun datang dari
penjuru Indonesia. Kalimantan, Sumatra, Sulawesi, Jawa, Bali dan lain
sebagainya. Semua akan menampilkan 'tari-tari tradisi' mereka yang
begitu eksotik. Tidak hanya itu, masyarakat duniapun diminta untuk
menari dengan mengkesplorasi gerak sebebas-bebasnya pada har ini.
Di
balik kondisi dan situasi sosial budaya negarayang carut marut dalam
beberapa dekade terakhir, berbagai hal dapat menjelma menjadi medium
dalam melepas semua beban yang ada, termasuk gerak. Maka tidak terlalu
berlebihan jika efektivitas dan sumbangan gerak lewat hari tari dunia
kini lebih dapat dimaknai sebagai ruang kontemplasi, ekspresi dan
aktualisasi diri, terutama bagi ruang-ruang hidup seni tradisi.
29 April dan Noverre
Tahun
1982, International Dance Council (CID) sebuah payung untuk semua jenis
tari di UNESCO menetapkan tanggal 29 April sebagai hari tari dunia
(world dance day). Tanggal tersebut sengaja diambil bertepatan dengan
hari kelahiran tokoh tari balet modern, Jean Georges Noverre. Dan setiap
tahunnya, insan tari di seluruh dunia memperingatinya dengan
menyelenggarakan berbagai aktifitas yang berkaitandengan gerak.
Noverre
lahirdi Paris (Perancis) tahun 1727 dari pasangan Jean Louys dan Marie
Anne de laGrange. Ayahnya adalah seorang tentara, dan mengharapkan
Noverre juga mengikuti jejaknya untuk mengejar karir sebagai militer.
Anehnya, Noverre justru tertarik pada dunia tari dan belajar balet pada
Louis Dupre, seorang penari profesional. Noverre memiliki bakat sebagai
seorang penari balet yang handal. Ia banyak menghabiskan waktu untuk
belajar tari ini di Inggris, Italy dan Prancis. Pada akhirnya, berbagai
karya tari balet ciptaannya telah dipentaskan di banyak negara dan mampu
menarik perhatian banyak orang.
Noverre dikenal sebagai pribadi
yang anti kemapanan bahkan terkesan kontroversial. Ia banyak menentang
kaidah-kaidah tradisi dalam tari balet. Hal yang cukup menonjol adalah
penemuannya tentang balletde'action (Noverre, 2004), yakni sebuah
pemikiran yang menggabungkan konsep balet dengan pantomim. Menurutnya,
balet dapat mengaduk emosi penonton dengan menggunakan gerakan-gerakan
ekspresif, berkarakter dan dramatis tanpa harus ditekankan dengan verbal
lewat suara atau nyanyian.
Selain itu, Noverre secara
kontroversial juga pernah melakukan perubahan kostum tari balet. Dalam
karyanya Les Caprices de Galathée (1957), ia memakaikan garbed penari
dari kulit harimaudan sepatu terbuat dari kulit kayu. Sikapnya yang
naturalis terhadap kostum inilah yang di kemudian hari menempatkan
namanya sebagai barisan terdepan tokoh 'pencerahan Perancis' (Kant,
2007).
Pandangan-pandangannya yang frontal tersebut banyak
terungkap lewat teks yang ditulisanya seperti Letters on Dancing and
Ballet dan The Encyclopedia of Dance and Ballet (1977).
Tentupemikirannya banyak mendapat kritik dan pertentangan dari para
penari baletprofesional lainnya. Namun, layaknya kitab Kama Sutra di
India, dicetak dan ditentang,namun kemudian menjadi buku terbajak paling
laris di dunia. Begitu pula karya-karyaNoverre. Namaya paling sering
dikutip dalam literatur tari di seluruh dunia. Banyak gagasan dan
teori-teorinya yanghingga kini masih diimplementasikan di kelas-kelas
pendidikan tari. Misalnya, gagasan Noverre yang paling menonjol adalah
bahwa seorang guru harus mendorong siswa untuk menemukan bakat dan
gayanya sendiri, daripada meniru pengajarnya atau gaya penari populer
lainnya.
Dengan demikian wajar jika teman-teman Noverre termasuk
Mozart, Voltaire menyebutnya sebagai "the Shakespeare of the dance"
(Guest 2006). Dan cara khusus namanya menggema menjadi bapak balet
dunia, hingga tanggal kelahirannyapun menjelma menjadi hari tari dunia
Tradisi tak boleh mati
Jean
George sNoverre lewat 'gerakan-gerakan' kontroversial yang dibuatnya,
memberipencerahan pada kita bahwa tradisi membutuhkan sentuhan-sentuhan
perubahan.Tradisi memiliki sifatnya yang nomadik. Senantiasa berkembang,
tidak satatis, dan terus melaju menuruti laju jaman. Dengan merubah
tradisi (tari), Neverre awalnya menjadi tokoh paling dibenci namun
kemudian paling dicintai. Berkacapada seni-seni tradisi kita dewasa ini,
sejauh mana kita sudah melakukan perubahan, penyesuaian, gebrakan baru
demi kelangsungan hidupnya? Ataukah sebaliknya, seni-seni tradisi kita
masih berjalan di tempat, tidak mampu lagi berkomunikasi dengan zaman?
Suka
Hardjana (2005) mencatat bahwa seni tradisi kita kini berada di
persimpangan jalan. Di satu sisi, kita masih kekeh mencoba
mempertahankan, melestarikan, dan memberlangsugkan seperti apa adanya.
Namun disisi lain, perkembangan media dan teknologi mengharuskan
seni-seni tradisi kita berbenturan dan bercengkrama dengan seni-seni
yang sifatnya pasaran dan glamou. Pada akhirnya, jika salah satu tidak
mampu mengimbangi yang lain, maka akandikorbankan sebagai satu ruang
yang kalah. Ironisnya, bukan hal yang asing lagibahwa seni-seni tradisi
kita kini mengalami masa itu (kalah).
Dengan dirayakannya 'hari
tari dunia' kemarin, secara tidak langsung membawa pesan pada diri kita
untuk tidak hanya sekedar mengekspresikan (tari) tradisi lewat gerak
yang statis dan itu-itu saja. Namun, justru mendekatkan memori kita pada
semangat militansi perjuangan yang dibangun dandilakukan oleh Noverre
dalam merajut kembali ruang hidup tradisi, perubahan mutlak diperlukan.
Menghargai hasil jirih payah Noverre tidak hanya cukup dengan menari dan
berpesta, namun mencerna dan membangun atau bahkan meneruskan
pilar-pilar pemikiran yang telah digulirkan olehnya.
Dengan
demikian wajar jika ke depan, lewat 'haritari dunia' akan muncul
Noverre-Noverre baru di Indonesia. Membawa faham-faham yang baru atau
bahkan lebih frontal dan kontroversial. Hingga mendudukkan derajat
pemikiran dan geraknya untuk dikenangbukan lagi sebagai hari tari dunia,
namun 'Hari Tari Indonesia'.
Berkaca pada Noverre. Tradisi, jika
dibiarkan itu-itu saja semakin lama juga akan semakin terasa "membasi"
pula. Selamat bergerak dan menari. Dengan gerak, ekspresikan apa yang
menjadi ekspresimu.
Aris Setiawan
Etnomusikolog, Staf Pengajardi ISI Surakarta