Gamelan Mendunia Karena Unik dan Humanis
Bahkan,
menurut Rahayu Supanggah, penggagas Festival Gamelan Dunia, Singapura
tahun ini telah menjadikan gamelan sebagai mata pelajaran wajib di
berbagai sekolah dasar pada hampir sebagian wilayahnya. Sebelumnya, hal
serupa pun terjadi di Eropa, Amerika, bahkan Jepang. Di negara-negara
maju tersebut, gamelan telah menjadi mata kuliah wajib pada
universitas-universitas unggulan. Gamelan tidak lagi menempati posisi
sebagai alat musik ”rendahan”, ”tak beradab”, atau hal negatif lain
sebagaimana pandangan para sarjana atau peneliti ”Barat” dalam menilai
budaya kita dulu (Rizaldi Siagian, Kompas 13/12/2009). Gamelan kini
telah gagah bersanding dengan alat musik bangsa lain sebagai sarana
pembelajaran yang terbentang ke penjuru dunia.
Di Amerika, gamelan
Jawa nangkring di universitas-universitas unggulan, seperti Universitas
California di Berkeley (gamelan Kyai Udan Mas), San Jose University
(gamelan Sekar Kembar), Lewis and Clark College (Kyai Guntur Sari),
Michigan, Wiscounsin, Northern Illinois, Oberlin, Wesleyan, dan ratusan
universitas terkemuka lainnya.
Sementara di Jepang, gamelan sudah
menjadi media ajar di berbagai universitas, seperti Tokyo University of
Fine Art and Music dengan grup gamelannya yang bernama Kyai Lambang
Sari, di Kuntachi College of Music (Gamelan Sekar Jepun), Dharma Budaya
Osaka University, Hyogo University, Tokyo Osaka-Tohogakuen (semuanya
college of music). Sementara ratusan bahkan ribuan lainnya tersebar di
Benua Eropa.
Unik
Konsep bunyi
gamelan tidak hanya ditentukan oleh kandungan teoretis fisika seperti
halnya sistem bunyi pada musik Barat. Misalnya bagaimana alat musik
Barat memiliki pitch yang akurat dalam jarak yang beraturan (interval)
dengan berbagai perimbangan-pertimbangan ukuran frekuensi tertentu. Hal
tersebut menghasilkan totalitas warna bunyi yang bersifat baku dan
absolut (Aris Setiawan, 2009).
Namun, dengan sistem bunyi ”musik
Barat” (diatonis) yang seragam itu, berarti tak ada pilihan dan
kemungkinan lain yang bisa ditoleransi. Sistem nada menjadi begitu ketat
dengan harga mati. Sedikit saja ia berubah, maka dianggap salah atau
keliru. Dengan demikian, nada dalam berbagai alat Musik Barat itu
(gitar, piano, saksofon, biola, dan lain sebagainya) adalah sama,
terstandar.
Bagi Suka Hardjana (2004), dalam gamelan segala aspek
yang berkaitan dengan bunyi sebagai totalitas getaran dan gelombang
suara diterima sebagai suatu kenyataan. Akibatnya, segala hal yang
berhubungan dengan pencapaian bunyi dalam gamelan tidak mengenal salah
atau keliru. Nada minir, sumbang (falsch) sengaja dihadirkan demi
tercapainya kesan dan pencapaian kadar estetik yang tinggi. Lihatlah
bagaimana masyarakat Malang (Pelog Temor) dalam melantunkan vokal
gamelan yang terkesan sumbang, interval nada vokal dengan nada gamelan
tidak match, terdapat jarak. Atau gending Pamegatsih di Surakarta yang
juga banyak menggunakan nada-nada minir. Bagi komponis musik Barat,
tentu saja hal tersebut dianggap salah karena falsch. Namun, bagi dunia
gamelan, hal itu adalah kekuatan estetika yang terdalam. Tidak ada
batasan seberapa persen kadar keminiran (sumbang) nada yang dapat
ditoleransi. Dengan demikian, gamelan dapat memicu munculnya beribu nada
baru.
Keunikan wilayah nada seperti tersebut di atas, menjadikan
gamelan sebagai bahan eksperimen yang penting bagi seniman dan akademisi
di dunia. Pengembaraan bunyi, eksplorasi berbagai kemungkinan
senantiasa dilakukan untuk membentuk gamelan menjadi maistream budaya
baru bagi kultur mereka yang cenderung berbeda. Bahkan tidak menutup
kemungkinan dalam penjelajahannya, mereka akan menemukan satu formula
musikal yang berbeda dengan di Nusantara, dan menjadi salah satu pisau
unggulan gamelan di luar Indonesia. Itulah yang terjadi pada kelompok
gamelan Lambang Sari dari Jepang sewaktu tampil di Solo International
Performing Arts (SIPA) pada 18 Juli 2010 lalu. Mereka memainkan gamelan
dengan kaidah-kaidah musikal menurut cara pandang mereka sendiri, bukan
lagi ”Jawasentris”. Akibatnya, muncul nuansa dan warna musikal baru yang
lebih segar.
Humanis
Gamelan
tumbuh subur di beberapa bagian dunia juga karena makna musikalnya yang
humanis. Hal inilah yang melatarbelakangi gamelan di beberapa negara
digunakan sebagai sarana pendidikan kepribadian. Bahkan, di Perancis
digunakan sebagai sarana terapi kejiwaan di berbagai penjara yang ada
(Danis Sugianto, 2009).
Bermain gamelan berarti menghayati akan
arti kebersamaan. Gamelan tidak dapat dimainkan secara tunggal. Berbeda
dengan musik Barat, seperti piano, gitar, biola yang dapat melangsungkan
konser secara mandiri. Namun, dalam gamelan, hal tersebut tidak dapat
dilakukan. Tidak mungkin bonang, kendang, demung, kempul, atau bahkan
kenong melangsungkan konser tunggal tanpa disertai instrumen gamelan
lainnya. Mereka harus hidup dalam hierarki satu kesatuan musikal. Saling
mengikat antara satu instrumen dengan instrumen lain, sehingga saling
membutuhkan. Dengan demikian, rasa kebersamaan tergelar dalam makna
filosofisnya.
Bermain gamelan berarti menghilangkan sifat egois
dan individual. Setiap pemain harus menghargai pemain lainnya. Tidak ada
yang paling menonjol. Semua bermain dalam satu kesetaraan bunyi, tidak
ada yang lebih keras dan lebih lirih. Semua terikat dalam hukum-hukum
dan kaidah toleransi yang tinggi. Ketika satu instrumen memberi aba-aba
atau kode musikal, maka instrumen lain harus tanggap. Pada konteks ini
tidak ada konduktor (pemimpin), semua bermain dalam takaran kebersamaan
untuk saling mengerti dan dimengerti. Komunikasi musikal menjadi hal
utama dan ”rasa” adalah pencapaian tertinggi yang dituju.
Rahayu
Supanggah, yang juga guru besar bidang gamelan —karawitan—pernah menjadi
saksi bagaimana orang-orang non- pribumi menangis karena gamelan.
Mereka yang terkenal individual, kemudian harus turut larut dalam
kaidah-kaidah kebersamaan yang dibangun oleh gramatika musikal gamelan.
Pada titik inilah ”rasa” berubah menyentuh sensibilitas perasaan
terdalam manusia. Bagitulah gamelan dihayati dan dimengerti oleh
masyarakat di dunia. Mereka semakin sadar akan arti penting hadirnya
gamelan. Sementara di Indonesia?
Aris Setiawan Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta