Kevakuman Musik Kritik
Potret
dunia musik pop Indonesia kini telah berkembang pesat. Hal ini ditandai
dengan banyaknya acara dalam layar televisi yang mengusung musik
sebagai tema utamanya. Walaupun demikian justru musik dewasa ini telah
berubah menjadi begitu glamour. Musik tidak lagi harus merekam jejak
momen penting layaknya semangat militansi perjuangan dulu dengan
lahirnya lagu-lagu nasionalis. Musik kini menjadi begitu feminim dengan
menjajakan ‘cinta atau asmara’ sebagai tema utamanya, terlebih untuk
tema ‘kritik’, kini telah luput dari bidikan.
Mandul
Seakan
ada yang tertinggal oleh kemarakan dalam dunia bunyi. Musik kritik
sebagai musik yang bertema kritik kini tidak lagi menarik perhatian
media massa. Musik kritik sebagai suara, tetapi yang paling tak
terdengar oleh publik. Ketika berbagai penghargaan musik
diberlangsungkan, dari banyaknya kategori, belum ada nominasi yang
mengarah pada kategori musik kritik. Semua tema berbau romantisme
cinta-cintaan dan asmara semata.
Sebelumnya salah satu pemicu
musik kritik Indonesia yang cukup terkenal adalah Iwan Fals. Iwan dengan
lagu-lagunya yang khas seperti Bento (1989), Umar Bakri (1981), Tikus-tikus Kantor (1986)
telah berhasil membuat fakta sejarah dengan mengusung musik kritiknya
yang dikemudian hari dikenal sebagai "nyanyian suara rakyat" (Irawan,
2004).
Keberhasilan musik kritik tidak hanya pernah terjadi di
dalam negeri. Simak saja Bob Marley dengan semangat tema musiknya
menentang anti rasis, yang dikemudian hari turut membawa masyarakat
Jamaika ke zaman perubahan. Atau Sex Pistol lewat syair-syair lagunya
yang menyuarakan semangat anti kolonial, aborsi, kekejaman yang
dikemudian hari mengharumkan namanya untuk dikenal masyarakat Inggris.
Dalam
dunia musik kritik, bunyi tidak lagi memproduksi untaian nada-nada
indah, tetapi menjadi segumpal teks yang penuh makna. Dinamika, tempo,
orkestrasi, ritme, warna nada, hanyalah bagian kecil dari panorama
musikal yang berusaha mendukung narasi teks utama sebagai sebuah tema.
Bunyi tidak lagi diproduksi untuk ruangnya yang estetis, namun lebih
mengedepankan pada sisi etisnya. Etika mengalahkan estetika.
Bunyi
dalam musik kritik adalah akumulasi dari rajutan resistensi pada
fenomena yang terjadi. Dengan demikian apapun dapat menjadi temanya.
Politik, budaya, alam, gender, hukum, ekonomi, kekerasan adalah
wajah-wajah yang dapat lahir sebagai bidikan tema utama. Sayang, selama
ini kritik terhadap wajah-wajah itu hanya muncul dalam barisan huruf
pada surat kabar, deretan kata dan gambar dalam media elektronik.
Selebihnya dalam untaian nada teks musik, wajah-wajah itu kini menjadi
begitu tabu. Kevakuman terjadi setelah era Iwan Fals. Indonesia mandul
musik kritik.
Sebuah Resistensi
Musik kritik muncul sebagai penolakan terhadap berbagai ketimpangan yang terjadi. Iwan Fals lewat lagunya Wakil Rakyat (1987), lahir dari resisten prilaku birokrat yang tidur waktu sidang soal rakyat. Ebiet G. Ade, dengan lagunya Berita Kepada Kawan (1995) adalah kritik terhadap perusakan alam dan bencana di Indonesia. Musik kritik lahir bukannya mengada-ada (superficial), namun didasarkan atas pergulatan panjang dalam mencerna sebuah fonomena.
Musik
kritik tidak bermaksud memberikan jawaban yang solutif terhadap apa
yang dikritiknya. Tugas kritikus hanyalah mengkritik (Dharsono, 2007),
begitu pula dalam musik. Pelaku musik kritik bukanlah ekonom, budayawan,
politikus, yang dapat memberikan solusi. Pelaku musik kritik hanyalah
seniman atau musisi biasa dengan berbagai keterbatasannya. Oleh karena
itu, Ebiet G. Adepun tidak memberikan jalan keluar pada musik kritiknya.
Kalaupun ada, hanya ‘tanyakan pada rumput yang bergoyang’.
Terjun
dalam dunia musik kritik membutuhkan keberanian. Hanya orang-orang
bernyali yang mampu. Tanyakan seberapa sering Iwan Fals harus berurusan
dengan polisi ketika musik kritiknya menggema di era orde baru dulu.
Seberapa sering pula, ia harus dicekal ketika melakukan pementasan.
Layaknya kitab Kama Sutra di India, di cekal namun
kemudian menjadi buku terbajak paling laris di dunia. Begitu juga Iwan.
Musik kritiknya dilarang namun dikemudian menjadi musik yang
kehadirannya paling dinanti, hingga menjadikannya seorang pahlawan.
Bahkan majalah Time Asia (April, 2002) menyebutnya sebagai Pahlawan Asia -‘The Asian Heroes’-.
Pada
sisi keuntungan, musik kritik sama sekali tidak berhubungan dengan
perhitungan yang materialis. Bukan hasil finansial yang mencoba digapai.
Kalaupun ada, hanyalah efek sampingan semata. Musik kritik mengajarkan
pada musisi atau seniman untuk tanggap pada fenomena, lebih toleran
terhadap sesama. Tidak penting seberapa laris musik kritiknya, namun
seberapa besar efek yang disandang dari temanya.
Wajar jika
untuk saat ini belum ada (atau bahkan tidak ada) yang berani terjun ke
dunia musik ini. Musik-musik pada umumnya kini memburu materi dan
popularitas, bukan kebulatan tekad dalam menyampaikan suara hati nurani
dalam mewakili kaum-kaum utopia yang tertindas.
Dalam kesunyian
musik kritik, menjadi ironis, musisi yang awalnya bergelut dengannya
kini harus berakhir pula sebagai musisi yang biasa-biasa aja, layaknya
Iwan Fals. Iapun kini nampaknya turut larut dalam romantisme tema
cinta-cintaan dan asmara. Atau mungkin musik kritik kini justru telah
banyak tercipta, termasuk Iwan, namun media yang tak mau menjamahnya.
Karena
itu, di balik kondisi negara yang semakin tidak menentu ini, ditandai
dengan berbagai persoalan layaknya korupsi, kekerasan, hukum, bencana
alam, harusnya mampu memicu munculnya banyak musik kritik. Sayang,
hingga detik ini musik kritik Indonesia masih bisu, di balik berbagai
persoalan tersebut ternyata menjadikannya justru semakin tak bersuara
alias mandul.
Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta