Kevakuman Musik Kritik (dimuat di Koran Tempo, 8 Januari 2011)

 Kevakuman Musik Kritik



Potret dunia musik pop Indonesia kini telah berkembang pesat. Hal ini ditandai dengan banyaknya acara dalam layar televisi yang mengusung musik sebagai tema utamanya. Walaupun demikian justru musik dewasa ini telah berubah menjadi begitu glamour. Musik tidak lagi harus merekam jejak momen penting layaknya semangat militansi perjuangan dulu dengan lahirnya lagu-lagu nasionalis. Musik kini menjadi begitu feminim dengan menjajakan ‘cinta atau asmara’ sebagai tema utamanya, terlebih untuk tema ‘kritik’, kini telah luput dari bidikan.

Mandul
Seakan ada yang tertinggal oleh kemarakan dalam dunia bunyi. Musik kritik sebagai musik yang bertema kritik kini tidak lagi menarik perhatian media massa. Musik kritik sebagai suara, tetapi yang paling tak terdengar oleh publik. Ketika berbagai penghargaan musik diberlangsungkan, dari banyaknya kategori, belum ada nominasi yang mengarah pada kategori musik kritik. Semua tema berbau romantisme cinta-cintaan dan asmara semata.
Sebelumnya salah satu pemicu musik kritik Indonesia yang cukup terkenal adalah Iwan Fals. Iwan dengan lagu-lagunya yang khas seperti Bento (1989), Umar Bakri (1981), Tikus-tikus Kantor (1986) telah berhasil membuat fakta sejarah dengan mengusung musik kritiknya yang dikemudian hari dikenal sebagai "nyanyian suara rakyat" (Irawan, 2004).
Keberhasilan musik kritik tidak hanya pernah terjadi di dalam negeri. Simak saja Bob Marley dengan semangat tema musiknya menentang anti rasis, yang dikemudian hari turut membawa masyarakat Jamaika ke zaman perubahan. Atau Sex Pistol lewat syair-syair lagunya yang menyuarakan semangat anti kolonial, aborsi, kekejaman yang dikemudian hari mengharumkan namanya untuk dikenal masyarakat Inggris.
Dalam dunia musik kritik, bunyi tidak lagi memproduksi untaian nada-nada indah, tetapi menjadi segumpal teks yang penuh makna. Dinamika, tempo, orkestrasi, ritme, warna nada, hanyalah bagian kecil dari panorama musikal yang berusaha mendukung narasi teks utama sebagai sebuah tema. Bunyi tidak lagi diproduksi untuk ruangnya yang estetis, namun lebih mengedepankan pada sisi etisnya. Etika mengalahkan estetika.
Bunyi dalam musik kritik adalah akumulasi dari rajutan resistensi pada fenomena yang terjadi. Dengan demikian apapun dapat menjadi temanya. Politik, budaya, alam, gender, hukum, ekonomi, kekerasan adalah wajah-wajah yang dapat lahir sebagai bidikan tema utama. Sayang, selama ini kritik terhadap wajah-wajah itu hanya muncul dalam barisan huruf pada surat kabar, deretan kata dan gambar dalam media elektronik. Selebihnya dalam untaian nada teks musik, wajah-wajah itu kini menjadi begitu tabu. Kevakuman terjadi setelah era Iwan Fals. Indonesia mandul musik kritik.

Sebuah Resistensi
Musik kritik muncul sebagai penolakan terhadap berbagai ketimpangan yang terjadi. Iwan Fals lewat lagunya Wakil Rakyat (1987), lahir dari resisten prilaku birokrat yang tidur waktu sidang soal rakyat. Ebiet G. Ade, dengan lagunya Berita Kepada Kawan  (1995) adalah kritik terhadap perusakan alam dan bencana di Indonesia. Musik kritik lahir bukannya mengada-ada (superficial), namun didasarkan atas pergulatan panjang dalam mencerna sebuah fonomena.
Musik kritik tidak bermaksud memberikan jawaban yang solutif terhadap apa yang dikritiknya. Tugas kritikus hanyalah mengkritik (Dharsono, 2007), begitu pula dalam musik. Pelaku musik kritik bukanlah ekonom, budayawan, politikus, yang dapat memberikan solusi. Pelaku musik kritik hanyalah seniman atau musisi biasa dengan berbagai keterbatasannya. Oleh karena itu, Ebiet G. Adepun tidak memberikan jalan keluar pada musik kritiknya. Kalaupun ada, hanya ‘tanyakan pada rumput yang bergoyang’.
Terjun dalam dunia musik kritik membutuhkan keberanian. Hanya orang-orang bernyali yang mampu. Tanyakan seberapa sering Iwan Fals harus berurusan dengan polisi ketika musik kritiknya menggema di era orde baru dulu. Seberapa sering pula, ia harus dicekal ketika melakukan pementasan. Layaknya kitab Kama Sutra di India, di cekal namun kemudian menjadi buku terbajak paling laris di dunia. Begitu juga Iwan. Musik kritiknya dilarang namun dikemudian menjadi musik yang kehadirannya paling dinanti, hingga menjadikannya seorang pahlawan. Bahkan majalah Time Asia (April, 2002) menyebutnya sebagai Pahlawan Asia -‘The Asian Heroes’-.
Pada sisi keuntungan, musik kritik sama sekali tidak berhubungan dengan perhitungan yang materialis. Bukan hasil finansial yang mencoba digapai. Kalaupun ada, hanyalah efek sampingan semata. Musik kritik mengajarkan pada musisi atau seniman untuk tanggap pada fenomena, lebih toleran terhadap sesama. Tidak penting seberapa laris musik kritiknya, namun seberapa besar efek yang disandang dari temanya.  
Wajar jika untuk saat ini belum ada (atau bahkan tidak ada) yang berani terjun ke dunia musik ini. Musik-musik pada umumnya kini memburu materi dan popularitas, bukan kebulatan tekad dalam menyampaikan suara hati nurani dalam mewakili kaum-kaum utopia yang tertindas.
Dalam kesunyian musik kritik, menjadi ironis, musisi yang awalnya bergelut dengannya kini harus berakhir pula sebagai musisi yang biasa-biasa aja, layaknya Iwan Fals. Iapun kini nampaknya turut larut dalam romantisme tema cinta-cintaan dan asmara. Atau mungkin musik kritik kini justru telah banyak tercipta, termasuk Iwan, namun media yang tak mau menjamahnya.
Karena itu, di balik kondisi negara yang semakin tidak menentu ini, ditandai dengan berbagai persoalan layaknya korupsi, kekerasan, hukum, bencana alam, harusnya mampu memicu munculnya banyak musik kritik. Sayang, hingga detik ini musik kritik Indonesia masih bisu, di balik berbagai persoalan tersebut ternyata menjadikannya justru semakin tak bersuara alias mandul.  


Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta

Pengikut