Kampung dan Sejarah Kebudayaan (dimuat di Koran Joglosemar 24 Agustus 2011)

Kampung dan Sejarah Kebudayaan 

 

Memasuki hari besar seperti hari raya, sering kali terdengar istilah ‘pulang kampung’. Padahal tidak selalu tempat tujuan tersebut mencerminkan keadaan suatu kampung, bisa saja kota. Namun toh demikian tetap saja istilah kampung digunakan. Kenapa harus kampung? Sebegitu pentingkah kampung hingga seseorang merasa kehilangan identitasnya jika tidak memiliki kampung. Lalu bagaimana dengan ‘kampungan’?
Disadari atau tidak, melihat kampung berarti melihat sejarah peradaban manusia. Dari sana berlangsung sebuah tradisi pewarisan kebiasaan satu generasi ke generasi berikutnya. Di sana pula muara bertemunya berbagai elemen kehidupan, dari yang kultural hingga transenden. Lewat kampung, sebuah kebudayaan sejatinya telah ditetaskan, mulai dari bahasa, kesenian, teknologi, adat hingga kekuasan dan politik.

Lahir di Kampung
Tradisi mendiami suatu wilayah telah berlangsung sejak zaman purba dulu. Membentuk koloni dirasa lebih kuat dan bermanfaat dibanding harus hidup secara individu. Dalam tulisan Agus Bing yang berjudul Rumah, Alam Kecil di Jagad Raya (2009) menjelaskan bahwa ‘bermukim’ diambil dari kata “mukim” dalam bahasa Arab yang berarti tiga elemen yakni membangun keluarga, mencari lahan dan membangun tempat tinggal. Di situlah awal mula manusia saling mengenal, bertemu, dan berinteraksi hingga membuat kesepakatan-kesepakatan kolektif untuk melegalkan keutuhan kelompoknya.
Keadaan hidup bersama itu yang kemudian memunculkan istilah kampung. Istilah yang konon berasal dari bangsa Portugis “campo” yang berarti wadah tempat bernaungnya sebuah koloni manusia. Dari wadah itu mereka membentuk aturan, adat, rumah, kebiasaan, bahasa, pakaian dan lain sebagainya yang menandakan sebuah legitimasi identitas. Dengan demikian satu kampung memiliki corak yang khas dan berbeda dengan kampung lainnya.
Setiap kampung memiliki pemikiran lokal yang diolah dan dikerjakan secara lokal. Pemikiran-pemikiran demikian di saat ini menjelma sebagai kearifan budaya yang tak ternilai harganya. Dari kampunglah sikap kebersamaan dan kegotong-royongan lahir. Dari kampung juga makanan-minuman khas seperti soto, tahu kupat, gudeg, rendang yang menggiurkan itu ditetaskan. Bahkan dari kampung pula pelajaran berharga terkait sistem pengetahuan dan teknologi dapat kita pelajari, yang mana hal tersebut tak dapat kita peroleh dari pemikiran ‘modern’. Lihat saja teknologi pengairan ala “Subak” di Bali, jamu tradisional di Jawa serta rumah tahan gempa di Pauh Minang dan Pangalengan Bandung.
Kampung sebenarnya tercipta tidak hanya sebatas mewakili bentuk dan wujud kebendaan semata. Namun, ia merupakan representasi ungkapan dari “alam imajinasi”, alam yang menggambarkan dunia seutuhnya. Kampung adalah jagad rekaan, dunia khayalan sebagai repetisi dari yang nyata dan ideal. Darinyalah berbagai tata cara yang dianggap mapan diberlakukan. Bahkan kadang melewati batas nalar dengan lahirnya berbagai mitos, legenda, atau sesuatu yang transenden. Lihatlah bagaimana sebuah masyarakat harus melakukan kegiatan ritual untuk hasil panen yang melimpah, sebuah persembahan bagi Dewi Sri. Atau bagaimana masyarakat di kampung Jawa melakukan tradisi injak telur dan ruwatan ketika ritual pernikahan, berbeda dengan Minang, Sunda atau Bali yang memiliki konsepnya tersendiri namun berporos pada satu pemaknaan yang sama. Kampung melegalkan lahirnya berbagai mitos akan kehidupan. Ahimsa Putra lewat tulisannya Mitos dan Sinkretisasi Islam di Jawa (2006) menganggap bahwa mitos sengaja dibuat sebagai bagian dari upaya membangun jaringan struktur kebudayaan demi menguatkan identitas kelompok tertentu.
Kampung pula yang menjadikan seseorang memiliki kepercayaan diri. Bangga akan kampungnya melebihi kampung yang lain. Sebuah prestise di mana kampungnya dianggap memiliki perangkat dan konsep yang lebih maju dibanding kampung-kampung lainnya. Tak jarang kita jumpai seseorang yang menyombongkan dirinya karena berasal dari kampung tertentu. Hal yang kemudian menyebabkan budaya kekerasan atas nama pembelaan kampung seringkali terjadi.
Bersumber dari kampung, pemerintahan dan politik dijalankan. Untuk menjaga ketenangan kampung terdapat seseorang yang ditugaskan menjadi juru pimpin. Kedudukannya dihormati dan ditaati segala ucapannya. Bahkan kampunglah yang mereduksi bahwa seorang pemimpin tidak dapat disematkan pada orang biasa atau umum. Seorang pemimpin kampung adalah orang khusus yang terpilih. Pemimpin atau sebut pula kepala suku dengan para perangkatnya merupakan representasi kecil dari sebuah kekuasaan di jagad yang makro. Bahkan kampung melegalkan mitos bahwa orang terpilih itu adalah titisan dari yang suci. Konsep dewa raja di Jawa adalah contohnya. Masyarakat kampung Jawa mempercayai bahwa raja adalah titisan dewa. Hal inipun masih dipertahankan hingga kini. Setelah tiada, makam si pemimpin menjadi begitu sakral, agung dan dipuja.

Pulang Kampung
Kampung bukanlah sebatas wadah yang statis atau diam. Namun, kampung dapat berpindah dan diadakan di dalam bangunan kampung yang lain. Umumnya masyarakat pendatang akan mencari koloninya (dari daerah asal) untuk membentuk kelompok dan berupaya mengkonstruksi kampung di lahannya yang baru. Simaklah kampung Madura di Surabaya, kampung Minang di Jakarta serta kampung Pecinan di Solo. Mereka menciptakan kampung baru di dalam kampung lama. Membentuk cita rasa baru yang bersumber pada kampung asalnya. Membuat jagad rekaan yang sebisa mungkin menyerupai jagad asal di mana mereka dilahirkan. Kampung di dalam kampung.
Namun dewasa ini istilah kampung yang membanggakan itu semakin bias ketika budaya kota menyeruak ke permukaan. Kampung kemudian dianggap sebagai sebuah representasi wadah yang ketinggalan zaman, udik, kuno dan kolot. Di kota itulah, bangunan-bangunan megah pencakar langit bermunculan, mobil-mobil indah bertebaran, serta berbagai aksesoris yang glamor begitu membuncah. Kampung sendiri digunakan sebagai sapaan, ejekan dan sekaligus hinaan bagi seseorang yang tak mampu bercengkerama dengan struktur penekanan budaya kota yang konon modern itu, “dasar kampungan!”. Tanpa sadar masyarakat kota berusaha meninggalkan cita rasa kampung, padahal tanpa disadari pula mereka membutuhkan kampung sebagai ruang identitasnya. Dari kampung manakah Anda?
Lewat kampung, segala kenangan tergurat, masa kanak-kanak, bunyi-bunyian, makanan, orang-orang, rumah, atau berbagai hal yang dijelaskan di atas. Tak jarang hal tersebut membuat rindu untuk kembali lagi ke kampung menikmati suasana itu. Menunggu momen yang tepat untuk menumpahkannya bahkan bagi orang-orang yang mengaku lahir di kota sekalipun. Dan momen itu muncul ketika hari raya akan tiba. Segala kenangan akan kampung dapat kembali lagi diulang. Kemudian timbul satu ajakan, mari pulang kampung!

Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di ISI Surakarta

Pengikut