Kampung dan Sejarah Kebudayaan
Memasuki hari besar seperti hari raya, sering kali terdengar istilah ‘pulang kampung’. Padahal tidak selalu tempat tujuan tersebut mencerminkan keadaan suatu kampung, bisa saja kota. Namun toh demikian tetap saja istilah kampung digunakan. Kenapa harus kampung? Sebegitu pentingkah kampung hingga seseorang merasa kehilangan identitasnya jika tidak memiliki kampung. Lalu bagaimana dengan ‘kampungan’?
Disadari atau
tidak, melihat kampung berarti melihat sejarah peradaban manusia. Dari
sana berlangsung sebuah tradisi pewarisan kebiasaan satu generasi ke
generasi berikutnya. Di sana pula muara bertemunya berbagai elemen
kehidupan, dari yang kultural hingga transenden. Lewat kampung, sebuah
kebudayaan sejatinya telah ditetaskan, mulai dari bahasa, kesenian,
teknologi, adat hingga kekuasan dan politik.
Lahir di Kampung
Tradisi
mendiami suatu wilayah telah berlangsung sejak zaman purba dulu.
Membentuk koloni dirasa lebih kuat dan bermanfaat dibanding harus hidup
secara individu. Dalam tulisan Agus Bing yang berjudul Rumah, Alam
Kecil di Jagad Raya (2009) menjelaskan bahwa ‘bermukim’ diambil dari
kata “mukim” dalam bahasa Arab yang berarti tiga elemen yakni membangun
keluarga, mencari lahan dan membangun tempat tinggal. Di situlah awal
mula manusia saling mengenal, bertemu, dan berinteraksi hingga membuat
kesepakatan-kesepakatan kolektif untuk melegalkan keutuhan kelompoknya.
Keadaan
hidup bersama itu yang kemudian memunculkan istilah kampung. Istilah
yang konon berasal dari bangsa Portugis “campo” yang berarti wadah
tempat bernaungnya sebuah koloni manusia. Dari wadah itu mereka
membentuk aturan, adat, rumah, kebiasaan, bahasa, pakaian dan lain
sebagainya yang menandakan sebuah legitimasi identitas. Dengan demikian
satu kampung memiliki corak yang khas dan berbeda dengan kampung
lainnya.
Setiap kampung memiliki pemikiran lokal yang diolah dan
dikerjakan secara lokal. Pemikiran-pemikiran demikian di saat ini
menjelma sebagai kearifan budaya yang tak ternilai harganya. Dari
kampunglah sikap kebersamaan dan kegotong-royongan lahir. Dari kampung
juga makanan-minuman khas seperti soto, tahu kupat, gudeg, rendang yang
menggiurkan itu ditetaskan. Bahkan dari kampung pula pelajaran
berharga terkait sistem pengetahuan dan teknologi dapat kita pelajari,
yang mana hal tersebut tak dapat kita peroleh dari pemikiran ‘modern’.
Lihat saja teknologi pengairan ala “Subak” di Bali, jamu tradisional di
Jawa serta rumah tahan gempa di Pauh Minang dan Pangalengan Bandung.
Kampung
sebenarnya tercipta tidak hanya sebatas mewakili bentuk dan wujud
kebendaan semata. Namun, ia merupakan representasi ungkapan dari “alam
imajinasi”, alam yang menggambarkan dunia seutuhnya. Kampung adalah
jagad rekaan, dunia khayalan sebagai repetisi dari yang nyata dan
ideal. Darinyalah berbagai tata cara yang dianggap mapan diberlakukan.
Bahkan kadang melewati batas nalar dengan lahirnya berbagai mitos,
legenda, atau sesuatu yang transenden. Lihatlah bagaimana sebuah
masyarakat harus melakukan kegiatan ritual untuk hasil panen yang
melimpah, sebuah persembahan bagi Dewi Sri. Atau bagaimana masyarakat di
kampung Jawa melakukan tradisi injak telur dan ruwatan ketika ritual
pernikahan, berbeda dengan Minang, Sunda atau Bali yang memiliki
konsepnya tersendiri namun berporos pada satu pemaknaan yang sama.
Kampung melegalkan lahirnya berbagai mitos akan kehidupan. Ahimsa Putra
lewat tulisannya Mitos dan Sinkretisasi Islam di Jawa (2006) menganggap
bahwa mitos sengaja dibuat sebagai bagian dari upaya membangun
jaringan struktur kebudayaan demi menguatkan identitas kelompok
tertentu.
Kampung pula yang menjadikan seseorang memiliki
kepercayaan diri. Bangga akan kampungnya melebihi kampung yang lain.
Sebuah prestise di mana kampungnya dianggap memiliki perangkat dan
konsep yang lebih maju dibanding kampung-kampung lainnya. Tak jarang
kita jumpai seseorang yang menyombongkan dirinya karena berasal dari
kampung tertentu. Hal yang kemudian menyebabkan budaya kekerasan atas
nama pembelaan kampung seringkali terjadi.
Bersumber dari
kampung, pemerintahan dan politik dijalankan. Untuk menjaga ketenangan
kampung terdapat seseorang yang ditugaskan menjadi juru pimpin.
Kedudukannya dihormati dan ditaati segala ucapannya. Bahkan kampunglah
yang mereduksi bahwa seorang pemimpin tidak dapat disematkan pada orang
biasa atau umum. Seorang pemimpin kampung adalah orang khusus yang
terpilih. Pemimpin atau sebut pula kepala suku dengan para perangkatnya
merupakan representasi kecil dari sebuah kekuasaan di jagad yang
makro. Bahkan kampung melegalkan mitos bahwa orang terpilih itu adalah
titisan dari yang suci. Konsep dewa raja di Jawa adalah contohnya.
Masyarakat kampung Jawa mempercayai bahwa raja adalah titisan dewa. Hal
inipun masih dipertahankan hingga kini. Setelah tiada, makam si
pemimpin menjadi begitu sakral, agung dan dipuja.
Pulang Kampung
Kampung
bukanlah sebatas wadah yang statis atau diam. Namun, kampung dapat
berpindah dan diadakan di dalam bangunan kampung yang lain. Umumnya
masyarakat pendatang akan mencari koloninya (dari daerah asal) untuk
membentuk kelompok dan berupaya mengkonstruksi kampung di lahannya yang
baru. Simaklah kampung Madura di Surabaya, kampung Minang di Jakarta
serta kampung Pecinan di Solo. Mereka menciptakan kampung baru di dalam
kampung lama. Membentuk cita rasa baru yang bersumber pada kampung
asalnya. Membuat jagad rekaan yang sebisa mungkin menyerupai jagad asal
di mana mereka dilahirkan. Kampung di dalam kampung.
Namun dewasa
ini istilah kampung yang membanggakan itu semakin bias ketika budaya
kota menyeruak ke permukaan. Kampung kemudian dianggap sebagai sebuah
representasi wadah yang ketinggalan zaman, udik, kuno dan kolot. Di
kota itulah, bangunan-bangunan megah pencakar langit bermunculan,
mobil-mobil indah bertebaran, serta berbagai aksesoris yang glamor
begitu membuncah. Kampung sendiri digunakan sebagai sapaan, ejekan dan
sekaligus hinaan bagi seseorang yang tak mampu bercengkerama dengan
struktur penekanan budaya kota yang konon modern itu, “dasar
kampungan!”. Tanpa sadar masyarakat kota berusaha meninggalkan cita rasa
kampung, padahal tanpa disadari pula mereka membutuhkan kampung
sebagai ruang identitasnya. Dari kampung manakah Anda?
Lewat
kampung, segala kenangan tergurat, masa kanak-kanak, bunyi-bunyian,
makanan, orang-orang, rumah, atau berbagai hal yang dijelaskan di atas.
Tak jarang hal tersebut membuat rindu untuk kembali lagi ke kampung
menikmati suasana itu. Menunggu momen yang tepat untuk menumpahkannya
bahkan bagi orang-orang yang mengaku lahir di kota sekalipun. Dan momen
itu muncul ketika hari raya akan tiba. Segala kenangan akan kampung
dapat kembali lagi diulang. Kemudian timbul satu ajakan, mari pulang
kampung!
Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di ISI Surakarta