Refleksi 30 Tahun Taman Budaya Jawa Tengah Berproses
Tahun ini Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT) genap berusia 30 Tahun. Sebuah usia yang tidak muda lagi. Uniknya apabila Taman Budaya di seluruh Indonesia berada di pusat pemerintahan yakni ibukota provinsi, maka TBJT justru berada di Solo bukan Semarang (ibukota). Pemilihan Solo sebagai tempat berdirinya taman budaya bukanlah tanpa alasan. Solo dipandang sebagai muara dari medan yang mengkultuskan seni sebagai detak hidupnya. Jika keberadaan keraton menjadi sentra seni-seni yang adi luhung itu, maka taman budaya justru lebih terbuka dengan mengangkat pula seni-seni rakyat yang selama ini terpinggirkan.
Solo telah
berproses menjadi kota yang begitu glamour. Berbagai event seni tingat
dunia diadakan di kota ini. Tahun ini saja setidaknya terdapat 30-an
lebih festival seni yang konon berkaliber internasional.
Panggung-panggung megah pertunjukan dengan banyak memanfaatkan ruang
publik bertebaran. Berbagai prosesi carnaval atau pawai budaya juga
nampak di jalan-jalan pusat kota. Hal ini sedikit banyak merubah konsep
ruang pewacanaan seni. Jika segala aktivitas budaya di Solo dalam dekade
terakhir ini mampu dihadirkan pada berbagai ruang dan tempat di manapun
itu, lalu bagaimana dengan TBJT? Akankah keberadaannya masih perlu
dipertahankan? Atau sebaliknya, di usianya yang seperempat abad lebih
itu justru mengkultuskan dirinya sebagai wadah penting yang turut
berproses dalam percaturan sejarah dan polemik seni di Solo, Jawa Tengah
dan Indonesia pada umumnya.
Sejarah
Rintisan
lahirnya TBJT pertama kali ditetaskan oleh Gendhon Humardani yang kala
itu menjabat sebagai direktur ASKI (Akademi Seni Karawitan Indonesia,
sekarang Institut Seni Indonesia -ISI-) dan pemimpin proyek Pengembangan
Kesenian Jawa Tengah (PKJT). Tepat pada tahun 1981 -tak terekam jejak
tanggal dan bulannya-, TBJT mulai berdiri. Kehadirannya dirasa penting
oleh berbagai kalangan sehingga wacana lahirnya TBJT telah mengemuka
walaupun tidak diimbangi dengan prasarana yang memadai. Pada awalnya,
TBJT menempati bangunan keraton dan satu atap bersama ASKI dan PKJT di
Sasono Mulyo Baluarti Surakarta. Dengan demikian, proses kerjanya saling
berbagi fasilitas antar satu instansi yang lain. Baru pada tahun 1987
aktifitas TBJT dipindah ke tempatnya yang baru di jalan Ir. Sutami 57
Surakarta hingga saat ini.
Dibentuknya TBJT tak lepas dari
semangat militansi dalam menjaga detak dan denyut kehidupan seni-seni
tradisi yang ada. Tentu dalam sebuah kurun tujuan yang mulia itu
bukannya tanpa hambatan yang problematik. Boleh dikata, dewasa ini taman
budaya menjadi palang pintu terakhir dalam menyuplai oksigen bagi
seni-seni tradisi yang sedang kembang kempis di balik gemerlapnya
seni-seni populer yang cenderung glamour dan megah. Di kala seni-seni
populis membuncah, menguasai jepretan lensa media yang setiap hari dapat
kita jumpai di layar kaca, taman budaya masih saja ‘bersikeras’
menyajikan yang tradisi itu, yang bagi sebagian orang dianggap kuno
alias ketinggalan zaman. Sebuah perjuangan dan tanggung jawab yang patut
diapresiasi.
Oleh karena itu, di kala Solo sibuk menghiasi
dirinya dengan berbagai aksesoris seni rekaan yang glamour dan megah,
mencoba meraih supremasi sebagai ‘kota budaya’ (the spirit of Java),
adanya TBJT justru menjadi medan kritik yang tajam. Bagaimanapun
derasnya budaya pop merekonstruksi wajah kota, namun habitus akar
tradisi juga harus senantiasa dipupuk, dijaga dan diolah sebagai sumber
baru yang ideal. Di titik inilah TBJT memainkan perannya. Pada saat
perayaan budaya tandingan menyeruak seperti SIPA (Solo International
Performing Arts), SIEM (Solo International Ethnic Music), Solo Batik
Carnival, Indonesia Performing Art Mart (IPAM), Bengawan Solo Festival
(BSF), Kampong Arts Festival dan seabreg lainnya dengan menghadirkan
berbagai ekspresi seni mutakhir, TBJT justru tetap mempertahankan
kodratnya di luar kebisingan itu. TBJT masih sibuk mewacanakan musik
keroncong, karawitan (klenengan), wayang kulit, festival dalang cilik, musik rakyat, ketoprak, dan sebagainya.
Imbasnya,
tak jarang pengagum setia taman budaya justru lahir dari masyarakat
‘pinggiran’. Masyarakat yang selama ini dianggap kalah dan tak mampu
menunjukkan eksistensinya dalam mengimbangi struktur kebudayaan yang
mewah dan populis itu. Masyarakat yang masih mengais-ngais nilai tradisi
dalam penekanan peradaban modern. Namun, justru masyarakat yang
dianggap kalah itulah sejatinya kita dapat menemukan pemaknaan akan
bingkai ke Indonesiaan atau mungkin ke Jawa dan Solo-an. Masyarakat yang
karena kegigihannya dalam membentengi diri dengan tradisi dari dinamika
budaya pop yang gemerlap dan cenderung menjebak. Namun apakah tujuan
TBJT telah terpenuhi dan berhenti pada titik yang demikian? Atau
diperlukan solusi dalam mengimbangi kegaduhan wadah-wadah baru yang
membuncah di Solo saat ini?
Problematik
Ironisnya,
selama ini lewat TBJT kita tidak menjumpai tawaran alternatif yang
membuka prospek dan horizon pemikiran problematik akan kesenian di Solo
dan Jawa Tengah, baik di masa kini dan yang akan datang. Sebagai sebuah
wadah, TBJT tentu bukan semata ruang yang menarik jika konsep pewacanaan
seni mengacu dari barang yang sudah jadi atau bahkan yang tradisi tanpa
restorasi. Di balik kegaduhan berbagai festival seni di Solo, harusnya
TBJT juga memiliki solusi perimbangan dalam mendudukkan derajad
keberadaannya sebagai institusi yang prestisus dan diperhitungkan. Mampu
menampilkan spirit pemikiran ‘lain’ akan seni, tidak sekadar repetisi
atau bahkan meniru ramainya pasar. Hal ini menjadi penting dalam
mewacakan kepada masyarakat, bahwa detak hidup TBJT yang ke 30 tahun
kini tidak lagi hanya sebatas wadah konservasi seni, namun mampu
berperan sebagai katalisator dan laboratorium ‘menemukan dan menjadi’
dalam sebuah proses berkesenian.
Terlebih beberapa waktu lalu Temu
Taman Budaya se-Indonesia telah diberlangsungkan di TBJT (22- 26 Juli
2011). Tak kurang 25 kelompok perwakilan taman budaya se Indonesia turut
ambil bagian. Sayangnya, forum tersebut seolah sekadar rutinitas
tahunan yang tiada menelurkan hasil. Sebatas menghamburkan dana dalam
kemarakan tontonan dan pesta seni semata. Padahal harusnya lewat forum
itu medan transaksi dapat diberlangsungkan, muara bertemunya beragam
profesi yang saling berinteraksi seperti seniman, birokrat, pengusaha,
masyarakat umum bahkan mahasiswa, guna bersinergi dalam merumuskan ruang
hidup taman budaya di masa depan. Sayang hal tersebut tidak
terealiasasi.
Berkaca lewat 30 tahun kehadirannya di Solo, tentu
tidak berlebihan jika harapan disematkan pada TBJT untuk turut pula
berproses, bersaing dengan wadah-wadah baru yang lebih populis dengan
melahirkan gebrakan yang fenomenal. Jangan merasa tua dan bergelut
dengan kemonotonan. Dunia berubah, Solo juga telah berubah, berbeda
dengan 30 tahun silam. Oleh karena itu TBJT sudah selayaknya mampu
menunjukkan denyut kehidupan sebuah proses dalam membangun konstruksi
wadah pewacanaan seni yang ‘ideal’ dan representatif di masa kini dan
yang akan datang. Selamat hari jadimu, dan selamat berproses...!
Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta