Refleksi 30 Tahun Taman Budaya Jawa Tengah Berproses (dimuat di Koran Joglosemar, 20 September 2011)

 Refleksi 30 Tahun Taman Budaya Jawa Tengah Berproses


Tahun ini Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT) genap berusia 30 Tahun. Sebuah usia yang tidak muda lagi. Uniknya apabila Taman Budaya di seluruh Indonesia berada di pusat pemerintahan yakni ibukota provinsi, maka TBJT justru berada di Solo bukan Semarang (ibukota). Pemilihan Solo sebagai tempat berdirinya taman budaya bukanlah tanpa alasan. Solo dipandang sebagai muara dari medan yang mengkultuskan seni sebagai detak hidupnya. Jika keberadaan keraton menjadi sentra seni-seni yang adi luhung itu, maka taman budaya justru lebih terbuka dengan mengangkat pula seni-seni rakyat yang selama ini terpinggirkan.
Solo telah berproses menjadi kota yang begitu glamour. Berbagai event seni tingat dunia diadakan di kota ini. Tahun ini saja setidaknya terdapat 30-an lebih festival seni yang konon berkaliber internasional. Panggung-panggung megah pertunjukan dengan banyak memanfaatkan ruang publik bertebaran. Berbagai prosesi carnaval atau pawai budaya juga nampak di jalan-jalan pusat kota. Hal ini sedikit banyak merubah konsep ruang pewacanaan seni. Jika segala aktivitas budaya di Solo dalam dekade terakhir ini mampu dihadirkan pada berbagai ruang dan tempat di manapun itu, lalu bagaimana dengan TBJT? Akankah keberadaannya masih perlu dipertahankan? Atau sebaliknya, di usianya yang seperempat abad lebih itu justru mengkultuskan dirinya sebagai wadah penting yang turut berproses dalam percaturan sejarah dan polemik seni di Solo, Jawa Tengah dan Indonesia pada umumnya.

Sejarah
Rintisan lahirnya TBJT pertama kali ditetaskan oleh Gendhon Humardani yang kala itu menjabat sebagai direktur ASKI (Akademi Seni Karawitan Indonesia, sekarang Institut Seni Indonesia -ISI-) dan pemimpin proyek Pengembangan Kesenian Jawa Tengah (PKJT). Tepat pada tahun 1981 -tak terekam jejak tanggal dan bulannya-, TBJT mulai berdiri. Kehadirannya dirasa penting oleh berbagai kalangan sehingga wacana lahirnya TBJT telah mengemuka walaupun tidak diimbangi dengan prasarana yang memadai. Pada awalnya, TBJT menempati bangunan keraton dan satu atap bersama ASKI dan PKJT di Sasono Mulyo Baluarti Surakarta. Dengan demikian, proses kerjanya saling berbagi fasilitas antar satu instansi yang lain. Baru pada tahun 1987 aktifitas TBJT dipindah ke tempatnya yang baru di jalan Ir. Sutami 57 Surakarta hingga saat ini.
Dibentuknya TBJT tak lepas dari semangat militansi dalam menjaga detak dan denyut kehidupan seni-seni tradisi yang ada. Tentu dalam sebuah kurun tujuan yang mulia itu bukannya tanpa hambatan yang problematik. Boleh dikata, dewasa ini taman budaya menjadi palang pintu terakhir dalam menyuplai oksigen bagi seni-seni tradisi yang sedang kembang kempis di balik gemerlapnya seni-seni populer yang cenderung glamour dan megah. Di kala seni-seni populis membuncah, menguasai jepretan lensa media yang setiap hari dapat kita jumpai di layar kaca, taman budaya masih saja ‘bersikeras’ menyajikan yang tradisi itu, yang bagi sebagian orang dianggap kuno alias ketinggalan zaman. Sebuah perjuangan dan tanggung jawab yang patut diapresiasi.
Oleh karena itu, di kala Solo sibuk menghiasi dirinya dengan berbagai aksesoris seni rekaan yang glamour dan megah, mencoba meraih supremasi sebagai ‘kota budaya’ (the spirit of Java), adanya TBJT justru menjadi medan kritik yang tajam. Bagaimanapun derasnya budaya pop merekonstruksi wajah kota, namun habitus akar tradisi juga harus senantiasa dipupuk, dijaga dan diolah sebagai sumber baru yang ideal. Di titik inilah TBJT memainkan perannya. Pada saat perayaan budaya tandingan menyeruak seperti SIPA (Solo International Performing Arts), SIEM (Solo International Ethnic Music), Solo Batik Carnival, Indonesia Performing Art Mart (IPAM), Bengawan Solo Festival (BSF), Kampong Arts Festival dan seabreg lainnya dengan menghadirkan berbagai ekspresi seni mutakhir, TBJT justru tetap mempertahankan kodratnya di luar kebisingan itu. TBJT masih sibuk mewacanakan musik keroncong, karawitan (klenengan), wayang kulit, festival dalang cilik, musik rakyat, ketoprak, dan sebagainya.
Imbasnya, tak jarang pengagum setia taman budaya justru lahir dari masyarakat ‘pinggiran’. Masyarakat yang selama ini dianggap kalah dan tak mampu menunjukkan eksistensinya dalam mengimbangi struktur kebudayaan yang mewah dan populis itu. Masyarakat yang masih mengais-ngais nilai tradisi dalam penekanan peradaban modern. Namun, justru masyarakat yang dianggap kalah itulah sejatinya kita dapat menemukan pemaknaan akan bingkai ke Indonesiaan atau mungkin ke Jawa dan Solo-an. Masyarakat yang karena kegigihannya dalam membentengi diri dengan tradisi dari dinamika budaya pop yang gemerlap dan cenderung menjebak. Namun apakah tujuan TBJT telah terpenuhi dan berhenti pada titik yang demikian? Atau diperlukan solusi dalam mengimbangi kegaduhan wadah-wadah baru yang membuncah di Solo saat ini?

Problematik
Ironisnya, selama ini lewat TBJT kita tidak menjumpai tawaran alternatif yang membuka prospek dan horizon pemikiran problematik akan kesenian di Solo dan Jawa Tengah, baik di masa kini dan yang akan datang. Sebagai sebuah wadah, TBJT tentu bukan semata ruang yang menarik jika konsep pewacanaan seni mengacu dari barang yang sudah jadi atau bahkan yang tradisi tanpa restorasi. Di balik kegaduhan berbagai festival seni di Solo, harusnya TBJT juga memiliki solusi perimbangan dalam mendudukkan derajad keberadaannya sebagai institusi yang prestisus dan diperhitungkan. Mampu menampilkan spirit pemikiran ‘lain’ akan seni, tidak sekadar repetisi atau bahkan meniru ramainya pasar. Hal ini menjadi penting dalam mewacakan kepada masyarakat, bahwa detak hidup TBJT yang ke 30 tahun kini tidak lagi hanya sebatas wadah konservasi seni, namun mampu berperan sebagai katalisator dan laboratorium ‘menemukan dan menjadi’ dalam sebuah proses berkesenian.
Terlebih beberapa waktu lalu Temu Taman Budaya se-Indonesia telah diberlangsungkan di TBJT (22- 26 Juli 2011). Tak kurang 25 kelompok perwakilan taman budaya se Indonesia turut ambil bagian. Sayangnya, forum tersebut seolah sekadar rutinitas tahunan yang tiada menelurkan hasil. Sebatas menghamburkan dana dalam kemarakan tontonan dan pesta seni semata. Padahal harusnya lewat forum itu medan transaksi dapat diberlangsungkan, muara bertemunya beragam profesi yang saling berinteraksi seperti seniman, birokrat, pengusaha, masyarakat umum bahkan mahasiswa, guna bersinergi dalam merumuskan ruang hidup taman budaya di masa depan. Sayang hal tersebut tidak terealiasasi.
Berkaca lewat 30 tahun kehadirannya di Solo, tentu tidak berlebihan jika harapan disematkan pada TBJT untuk turut pula berproses, bersaing dengan wadah-wadah baru yang lebih populis dengan melahirkan gebrakan yang fenomenal. Jangan merasa tua dan bergelut dengan kemonotonan. Dunia berubah, Solo juga telah berubah, berbeda dengan 30 tahun silam. Oleh karena itu TBJT sudah selayaknya mampu menunjukkan denyut kehidupan sebuah proses dalam membangun konstruksi wadah pewacanaan seni yang ‘ideal’ dan representatif di masa kini dan yang akan datang. Selamat hari jadimu, dan selamat berproses...!

Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta

Pengikut