Beban Sejarah Genjer-Genjer (dimuat di Koran Tempo edisi 1 Oktober 2011)

Beban Sejarah Genjer-Genjer  

 
Genjer-genjer nong kedokan pating keleler (2x)
Emake thulik teko-teko muputi genjer (2x)
Ulih sak tenong mungkur sedhot sing tulih-tulih
Genjer-genjer saiki wis digowo mulih

Jika anda pernah menyaksikan film Pengkhianatan G 30S/PKI besutan sutradara Arifin C.Noer tentu tidak asing lagi dengan sepenggal teks lagu di atas. Ya, dalam film itu teks lagu yang berjudul genjer-genjer di atas dinyanyikan oleh anggota Gerwani dan Pemuda Rakyat ketika beberapa jendral diculik dan disiksa. Lagu yang diidentikkan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) tersebut menjadi haram di era orde baru.
Setiap momen sejarah perjuangan di negeri ini senantiasa ditandai dengan semangat militansi perjuangan lewat musik. Lagu genjer-genjer secara lugas mengkisahkan bagaimana kondisi ekonomi rakyat saat itu berada dalam titik nadir. Kelaparan dan kemiskinan menyeruak, sehingga genjer (Limnocharis flava) yang merupakan tanaman gulma dan biasanya dikonsumsi itik menjelma menjadi makanan utama bagi sebagian rakyat Indonesia karena ketidak mampuannya membeli beras dan daging.
Lagu genjer-genjer menjadi pelipur lara di tengah dahaga akan kemakmuran. Terlebih Partai Komunis Indonesia semasa jayanya menggunakan lagu ini sebagai medan perjuangan dalam menyampaikan faham dan konstruksi nalar ideologinya. Persebaran lagu ini melalui radio-radio yang kala itu cukup populer dengan penyanyi Lilis Suryani dan Bing Slamet. Namun sejak pemberangusan faham komunis yang ditandai dengan gerakan 30 September, lagu ini menjadi sayup-sayup dan semakin tak terdengar lagi. Ibarat kitab Kamasutra di India yang awalnya dilarang tapi kemudian menjadi buku terbajak paling laris di dunia, begitu juga genjer-genjer, menjadi lagu haram namun paling sering didendangkan, walau secara sembunyi-sembunyi. Kekokohannya bergulir secara oral dari mulut ke mulut. Lagu ini menjadi abadi dalam detak sanubari walaupun tak mampu menjulang menunjukkan eksistensinya lewat bunyinya secara verbal.

Mistis
Jejak-jejak perjuangan lewat musik senantiasa dapat dilihat dalam menghiasai berbagai peristiwa penting di negeri ini. Wisnu Mintargo dalam bukunya Musik Revolusi Indonesia (2008) memandang bahwa peristiwa bunyi juga menjelma sebagai peristiwa sejarah peradaban manusia. Musik bukan semata rentetan nada dalam menggali ungkapan estetika semata. Lebih dari itu, musik pada satu ujudnya yang lain berupaya menjadi medan kritik dan katalisator semangat militansi perjuangan dalam meraih satu impian hidup yang lebih mapan. Musik jenis demikian lahir ketika terjadi ketimpangan dalam stuktur kehidupan. John Lennon, Bob Marley, El Pamas, Sex Pistol, Iwan Fals, Koes Plues adalah musisi dan kelompok musik yang dengan teguh menziarahkan konsep bermusik lewat beberapa karyanya sebagai medan perjuangan melawan ketertindasan.
Genjer-genjer pun demikian, kehadirannya menggoreskan dan sekaligus mengingatkan kita akan luka lama sejarah perjuangan anak negeri. Jika tangan tak mampu memanggul senjata, musik adalah medium pilihan utama melawan ketimpangan (Suripan Sadi Hutomo,1990). Genjer-genjer menjadi tonggak awal dimulainya rentetan lagu perjuangan dan kritik. Di masa orde baru lagu-lagu jenis tersebut banyak berseliweran. Bimbo lewat lagunya ‘tante sun’ yang mengkritik dominasi ibu negara Tien Soeharto, atau Mogi Darusman yang menggegerkan Indonesia lewat lagunya ‘rayap-rayap’ yang menyindir koruptor dan secara otomatis lagu ini dipasung oleh Soeharto.
Namun di luar kebisingan lagu-lagu bertemakan kritik lainnya. Genjer-genjer mengguratkan aura mistis dan ketakutan masa silam hingga kini. Doktrin kekejaman PKI oleh orde baru membuat genjer-genjer tidak dapat menampakkan ujud jati dirinya sacara lebih terbuka. Hal terbaru yang dapat kita amati ketika kontingan dari Indonesia membawakan lagu tersebut dalam misi kesenian yang bertajuk Majelis Sastera Asia Tenggara di Brunai Darussalam tanggal 17 September 2011 kemarin. Indonesia yang diwakili beberapa seniman dari Banyuwangi mementaskan tetaer berjudul ‘Kidung Senyap Seorang Perempuan Sumirah’. Dalam ceritanya, Sumirah adalah istri dari Muhammah Arief pencipta lagu Genjer-genjer. Namun sayangnya, lagu tersebut tidak diperkenankan untuk dinyanyikan. Panitia berpandangan bahwa lagu genjer-genjer mampu mematik konflik jika tetap dimunculnya dalam pentas teater itu.
Tak hanya di Indonesia, genjer-genjer mampu menghipnotis masyarakat dunia. Lagu yang sederhana namun menyimpan banyak sejarah tabir kelam. Tabu untuk dinyanyikan, haram jika didendangkan. Padahal jika dikembalikan pada kondratnya, genjer-genjer tak lebih dari sekedar peristiwa bunyi yang tak berbeda dengan bunyi lainnya.. Strukturnya dengan deretan nada, kontur melodi, konsep harmoni menguratkan tadirnya sebagai sebuah musik, dan tak akan pernah berubah. Peristiwa dan tragedi yang menyertainya menjadikan genjer-genjer sarat akan mitos. Menjadi begitu sakral melebihi mantra-mantra ritual yang pernah ada.

Melepas Beban
Beban-beban sejarah yang menyertainya menjadikan genjer-genjer terkungkung dalam sangkar yang tak mampu merestorasi ujudnya dengan lebih baik. Ia menjadi monumen dan saksi bisu atas sebuah tragedi pilu. Di kala musik-musik dan lagu perjuangan lainnya mampu merubah dirinya menyesuaikan zaman dengan ditandai munculnya aransemen-aransemen baru, genjer-genjer masih terpasung pada ujudnya yang lama. Sejarah menjadikannya bunyi dari benturan suara yang kalah. Ia tetap menjadi musik namun yang paling sayup-sayup terdengar di antara gempuran bunyi yang glamour. Genjer-genjer seolah melukiskan derit sebuah tangisan sejarah suram. Jangan menyanyikannya jika tidak ingin dicap sebagai PKI.
Pada konsteks ini kekuatan musik telah melebihi segalanya. Ia mampu menjadi begitu tajam melebihi tajamnya parang, dan menjadi panas melebihi bara api. Tak heran jika musik menjadi sarana dan medium yang paling efektif dalam mempangkitkan dan memompa semangat juang. Kehadirannya menjadi kekal, karena setiap saat mampu dimunculkan lewat untaian nada-nadanya. Musik menjadi jembatan yang menghubungkan manusia menapaki jalur sejarah yang telah diguratnya. Tak jarang air mata akan menetes ketika mendengar dan menyanyikannya. Namun terkadang sejarah pula yang memasung sebuah musik layaknya genjer-genjer untuk berkembang. Ia tak mampu menapaki jalan hidupnya sebagai sebuah karya seni dengan sifatnya yang kinetis, berubah oleh tuntutan zaman.
Padahal zaman telah berganti. Kini era keterbukaan dan kebebasan dalam berekspresi telah digulirkan. Berbagai macam mitos kelam tereliminasi dan sedikit demi sedikit mulai dapat terluruskan. Oleh karena itu sudah selayaknya dalam masa peringatan G 30S/PKI kini kita mencoba melepas beban-beban kultural dalam lagu tersebut. Mengembalikan kodratnya sebagai sebuah bunyi yang tak lain adalah musik. Yang dapat dinyanyikan dengan bebas tanpa terusik bias-bias ketakutan akan sejarah masa silam.


Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta

Pengikut