Emake thulik teko-teko muputi genjer (2x)
Ulih sak tenong mungkur sedhot sing tulih-tulih
Genjer-genjer saiki wis digowo mulih
Jika anda pernah menyaksikan film Pengkhianatan G 30S/PKI besutan sutradara Arifin C.Noer tentu tidak asing lagi dengan sepenggal
teks lagu di atas. Ya, dalam film itu teks lagu yang berjudul
genjer-genjer di atas dinyanyikan oleh anggota Gerwani dan Pemuda Rakyat
ketika beberapa jendral diculik dan disiksa. Lagu yang diidentikkan
dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) tersebut menjadi haram di era orde
baru.
Setiap momen sejarah perjuangan di negeri ini
senantiasa ditandai dengan semangat militansi perjuangan lewat musik.
Lagu genjer-genjer secara lugas mengkisahkan bagaimana kondisi ekonomi
rakyat saat itu berada dalam titik nadir. Kelaparan dan kemiskinan
menyeruak, sehingga genjer (Limnocharis flava) yang merupakan
tanaman gulma dan biasanya dikonsumsi itik menjelma menjadi makanan
utama bagi sebagian rakyat Indonesia karena ketidak mampuannya membeli
beras dan daging.
Lagu genjer-genjer menjadi pelipur lara di
tengah dahaga akan kemakmuran. Terlebih Partai Komunis Indonesia semasa
jayanya menggunakan lagu ini sebagai medan perjuangan dalam menyampaikan
faham dan konstruksi nalar ideologinya. Persebaran lagu ini melalui
radio-radio yang kala itu cukup populer dengan penyanyi Lilis Suryani
dan Bing Slamet. Namun sejak pemberangusan faham komunis yang ditandai
dengan gerakan 30 September, lagu ini menjadi sayup-sayup dan semakin
tak terdengar lagi. Ibarat kitab Kamasutra di India yang awalnya
dilarang tapi kemudian menjadi buku terbajak paling laris di dunia,
begitu juga genjer-genjer, menjadi lagu haram namun paling sering
didendangkan, walau secara sembunyi-sembunyi. Kekokohannya bergulir
secara oral dari mulut ke mulut. Lagu ini menjadi abadi dalam detak
sanubari walaupun tak mampu menjulang menunjukkan eksistensinya lewat
bunyinya secara verbal.
Mistis
Jejak-jejak
perjuangan lewat musik senantiasa dapat dilihat dalam menghiasai
berbagai peristiwa penting di negeri ini. Wisnu Mintargo dalam bukunya Musik Revolusi Indonesia
(2008) memandang bahwa peristiwa bunyi juga menjelma sebagai peristiwa
sejarah peradaban manusia. Musik bukan semata rentetan nada dalam
menggali ungkapan estetika semata. Lebih dari itu, musik pada satu
ujudnya yang lain berupaya menjadi medan kritik dan katalisator semangat
militansi perjuangan dalam meraih satu impian hidup yang lebih mapan.
Musik jenis demikian lahir ketika terjadi ketimpangan dalam stuktur
kehidupan. John Lennon, Bob Marley, El Pamas, Sex Pistol, Iwan Fals,
Koes Plues adalah musisi dan kelompok musik yang dengan teguh
menziarahkan konsep bermusik lewat beberapa karyanya sebagai medan
perjuangan melawan ketertindasan.
Genjer-genjer pun demikian,
kehadirannya menggoreskan dan sekaligus mengingatkan kita akan luka lama
sejarah perjuangan anak negeri. Jika tangan tak mampu memanggul
senjata, musik adalah medium pilihan utama melawan ketimpangan (Suripan
Sadi Hutomo,1990). Genjer-genjer menjadi tonggak awal dimulainya
rentetan lagu perjuangan dan kritik. Di masa orde baru lagu-lagu jenis
tersebut banyak berseliweran. Bimbo lewat lagunya ‘tante sun’ yang
mengkritik dominasi ibu negara Tien Soeharto, atau Mogi Darusman yang
menggegerkan Indonesia lewat lagunya ‘rayap-rayap’ yang menyindir
koruptor dan secara otomatis lagu ini dipasung oleh Soeharto.
Namun
di luar kebisingan lagu-lagu bertemakan kritik lainnya. Genjer-genjer
mengguratkan aura mistis dan ketakutan masa silam hingga kini. Doktrin
kekejaman PKI oleh orde baru membuat genjer-genjer tidak dapat
menampakkan ujud jati dirinya sacara lebih terbuka. Hal terbaru yang
dapat kita amati ketika kontingan dari Indonesia membawakan lagu
tersebut dalam misi kesenian yang bertajuk Majelis Sastera Asia Tenggara
di Brunai Darussalam tanggal 17 September 2011 kemarin. Indonesia yang
diwakili beberapa seniman dari Banyuwangi mementaskan tetaer berjudul
‘Kidung Senyap Seorang Perempuan Sumirah’. Dalam ceritanya, Sumirah
adalah istri dari Muhammah Arief pencipta lagu Genjer-genjer. Namun
sayangnya, lagu tersebut tidak diperkenankan untuk dinyanyikan. Panitia
berpandangan bahwa lagu genjer-genjer mampu mematik konflik jika tetap
dimunculnya dalam pentas teater itu.
Tak hanya di Indonesia,
genjer-genjer mampu menghipnotis masyarakat dunia. Lagu yang sederhana
namun menyimpan banyak sejarah tabir kelam. Tabu untuk dinyanyikan,
haram jika didendangkan. Padahal jika dikembalikan pada kondratnya,
genjer-genjer tak lebih dari sekedar peristiwa bunyi yang tak berbeda
dengan bunyi lainnya.. Strukturnya dengan deretan nada, kontur melodi,
konsep harmoni menguratkan tadirnya sebagai sebuah musik, dan tak akan
pernah berubah. Peristiwa dan tragedi yang menyertainya menjadikan
genjer-genjer sarat akan mitos. Menjadi begitu sakral melebihi
mantra-mantra ritual yang pernah ada.
Melepas Beban
Beban-beban
sejarah yang menyertainya menjadikan genjer-genjer terkungkung dalam
sangkar yang tak mampu merestorasi ujudnya dengan lebih baik. Ia menjadi
monumen dan saksi bisu atas sebuah tragedi pilu. Di kala musik-musik
dan lagu perjuangan lainnya mampu merubah dirinya menyesuaikan zaman
dengan ditandai munculnya aransemen-aransemen baru, genjer-genjer masih
terpasung pada ujudnya yang lama. Sejarah menjadikannya bunyi dari
benturan suara yang kalah. Ia tetap menjadi musik namun yang paling
sayup-sayup terdengar di antara gempuran bunyi yang glamour.
Genjer-genjer seolah melukiskan derit sebuah tangisan sejarah suram.
Jangan menyanyikannya jika tidak ingin dicap sebagai PKI.
Pada
konsteks ini kekuatan musik telah melebihi segalanya. Ia mampu menjadi
begitu tajam melebihi tajamnya parang, dan menjadi panas melebihi bara
api. Tak heran jika musik menjadi sarana dan medium yang paling efektif
dalam mempangkitkan dan memompa semangat juang. Kehadirannya menjadi
kekal, karena setiap saat mampu dimunculkan lewat untaian nada-nadanya.
Musik menjadi jembatan yang menghubungkan manusia menapaki jalur sejarah
yang telah diguratnya. Tak jarang air mata akan menetes ketika
mendengar dan menyanyikannya. Namun terkadang sejarah pula yang memasung
sebuah musik layaknya genjer-genjer untuk berkembang. Ia tak mampu
menapaki jalan hidupnya sebagai sebuah karya seni dengan sifatnya yang
kinetis, berubah oleh tuntutan zaman.
Padahal zaman telah
berganti. Kini era keterbukaan dan kebebasan dalam berekspresi telah
digulirkan. Berbagai macam mitos kelam tereliminasi dan sedikit demi
sedikit mulai dapat terluruskan. Oleh karena itu sudah selayaknya dalam
masa peringatan G 30S/PKI kini kita mencoba melepas beban-beban kultural
dalam lagu tersebut. Mengembalikan kodratnya sebagai sebuah bunyi yang
tak lain adalah musik. Yang dapat dinyanyikan dengan bebas tanpa terusik
bias-bias ketakutan akan sejarah masa silam.
Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta