Rhoma, Dangdut dan Kisah Indonesia (dimuat di Jawapos 24 November 2012)


Rhoma, Dangdut dan Kisah Indonesia


DANGDUT tak semata musik yang mengisahkan goyang, apalagi lirik yang berbau sensual. Dangdut lebih dari sekadar urusan raga dan erotika. Sejarah mencatat, gema dangdut lewat tangan Rhoma Irama menjadi denting bunyi yang bukan semata urusan asmara, namun juga titian doa, nasionalitas, luapan agama, penghormatan, pengorbanan, serta kritik sosial. Tak ada dendang di antero panggung dangdut di negeri ini yang alpa menggunakan jasa lagu ciptaannya.
Dalam lirik itu, Rhoma banyak berkisah tentang Indonesia, jejak peradaban bangsa Indonesia. Bekal itulah yang ''konon'' dianggap layak oleh sebagian kalangan untuk mencalonkan Satria Bergitar tersebut sebagai presiden Republik Indonesia. Rhoma dianggap mengerti seluk-beluk masalah Indonesia yang tecermin lewat ziarah lirik lagunya (Jawa Pos, 11/11/2012).
Namun, dalam konteks ini, hendak dibicarakan hubungan Rhoma dengan dangdut dalam menarasikan Indonesia. Sejauh mana laju lagu dangdut ala Rhoma dan dangdut masa kini mampu berbicara banyak akan Indonesia? Apakah dominasi Rhoma masih begitu besar? Atau sebaliknya, Rhoma hanya menjadi kerikil kecil dari ingar-bingar perkembangan dangdut muthakir karena telah mengalami kebangkrutan dalam eksistensi dan narasi penciptaan warna baru. Bagaimana kedudukan sosok Rhoma dalam konstelasi ke-Indonesia-an masa kini?


Akar Rumput
Kehadiran Rhoma dalam jelajah musik dangdut tanah air di tahun 70-an boleh dikata terjadi dalam momentum yang pas. Suka Hardjana (2004) mencatat, Rhoma muncul dengan lagunya di kala masyarakat Indonesia pada masa itu merindukan terjadinya pembalikan antiphonal yang drastis dari impian-impian politis masa lalu ke impian-impian realistis yang lebih mampu memberikan harapan. Lagu-lagunya berada dalam poros putaran arus masyarakat kelas bawah. Tampilan lagunya dibentuk dari etalase masyarakat kampung, pedesaan, kerabat rakyat kecil yang menjadi mayoritas penduduk Indonesia kala itu. Rhoma mampu mengakomodasi citra lagu yang menggambarkan harapan dan cita-cita masyarakat dengan lebih realis dan tak muluk-muluk. Lewat dangdut Rhoma, masyarakat seolah menemukan oase yang menyegarkan dalam mengisahkan pelik dan susahnya himpitan kehidupan. Jangan heran kemudian jika Begadang (1978), Perjuangan dan Doa (1980) adalah salah satu lagu yang begitu populer bagi masyarakat Indonesia.
Kisah Rhoma adalah kisah dangdut. Tak ada yang menarik dalam sisi kehidupan Rhoma selain keterkaitannya dengan jenis musik ini. Dangdut yang awalnya disebut sebagai musik kampungan kemudian menjadi selebrasi cita-cita. Jejak sejarah dangdut tak lebih dari ‘musik kumuh’ yang peluh dengan citra negatif namun begitu beruntung saat dielaborasi oleh Rhoma Irama. Lewat kuasa dalam bermain musik rock, Rhoma dengan serta merta mengkonversi musik rakyat yang paling terbelakang (dangdut) dengan ramuan selera zaman yang paling kekinian (rock). Terobosan Rhoma ini boleh dikata frontal karena tak terjadi dalam musik-musik lain sezamannya. Begitu harum namanya hingga masyarakat menyematkan nama “raja dangdut”.
Masyarakat kelas bawah yang awalnya hanya menjadi saksi kelahiran sebuah musik kemudian harus menjadi lakon dalam kisah lagu Rhoma. Gelandangan, Kiamat, Gali Lubang Tutup Lubang adalah salah satunya. Dangdut menjadi kendaraan imajinasi dalam usaha meraih supremasi kehidupan yang lebih baik. Dangdut ala Rhoma juga mengisahkan Islam. Banyak dari liriknya yang berkisah doa (voice of Moslem). Hal ini yang menyebabkan banyak dari kalangan ulama yang merangkulnya. Dakwah lewat lagu dirasa lebih mengena daripada orasi seratus ulama. Oleh karenanya, kultur musik dangdut yang begitu kuat itu bahkan berpengaruh terhadap visi dan misi Rhoma sebagai calon presiden. Rhoma menyatakan, visi dan misinya sebagai capres nantinya tidak akan jauh berbeda dari lirik-lirik lagu dangdut yang selama ini dibawakannya (Tempo, 12/11/2012).

Kisah Indonesia
Sayangnya, ritus pengharapan dalam lirik dangdut ala Rhoma kadang tak seutuhnya berjalan dalam realitas kehidupan nyata. Kuasa dalam pesan lirik dangdutnya seolah tak serta merta mempresentasikan siapa penciptanya. Rhoma berlirik merdu dalam kisah keragaman Indonesia, namun tak juga menghendaki perbedaan sepenuhnya. Fenomena yang dapat kita lihat saat isu sara dihembuskan kala pemilihan gubernur Jakarta lalu. Indonesia menjadi begitu manis dalam setiap jengkal liriknya namun masih terasa pahit dalam senyatanya. Narasi lirik dangdut Rhoma terlihat hanya menjadi angan-angan dan doa semata.
Terlebih bagi perjalanan musik dangdut sekarang yang justru tak mampu dikontrol dalam kuasa ideal seperti yang diharapkan Rhoma. Persentuhan dangdut muthakir adalah kisah tubuh dan sensualitas semata, tak lebih dari itu. Perdebatan sengit dengan Inul beberapa waktu silam menjadi masa yang justru mengawali gerak eksploitasi tubuh itu untuk semakin tumbuh subur di musik dangdut. Panggung-panggung dangdut tanah air begitu banyak menciptakan ragam goyangan daripada memproduksi lagu dengan judul yang baru. Era Rhoma dengan gapaian cipta lagu -685 judul- yang menumentalpun telah mengalami kebangkrutan. Rhoma kini seolah mengalami kemandulan dalam mengisahkan Indonesia lewat lagu-lagunya. Jejak-jejak perjalanan sejarah Indonesia masa kini telah banyak yang terbuang dalam musik dangdut. Tak begitu menarik lagi sebagai sebuah titian ide dan rangsangan cipta. Rhoma justru disibukkan dengan kisah pelik politik yang berusaha melenakan dirinya dari dunia musik dangdut mutakhir.
Kini tak ada lagi dentum keragaman indonesia, ritus doa, kritik sosial dalam musik dangdut. Yang ada kemudian selebrasi kedangkalan tema. Tak dijumpai lagi GelandanganBegadang, 135 Juta, Judi, Monas masa kini, yang nampak kemudian hanya Belah DurenCinta Satu MalamKeong Racun, Hamil Duluan, Pengen Dibolongin dan lagu sejenis lainnya. Dangdut muthakir diwujudkan sebagai perayaan goyang, bukan lagi cita-cita Indonesia. Keadaan yang harusnya menjadi kesempatan bagi Rhoma untuk kembali meluruskan musik ini, sejalan dengan kisah sejarah yang pernah dibuatnya dulu kala. Artinya, dalam musik dangdut sendiri masih membutuhkan sentuhan perjuangan Rhoma Irama. Sebagai seorang ‘raja’ tentunya ia memiliki kuasa dalam legitimasi jalur dangdut masa kini. Sayangnya, hal itu tak terjadi. Politik telah melenakannya, politik mengalihkan pandangannya, politik memang cenderung menggiurkan.
Dangdut dalam mengisahkan Indonesia semakin sayup-sayup tak terdengar seperti sedia kala. Sementara Rhoma lebih memilih lepas tangan dengan mencari gapaian dunia lain yang dirasa lebih menggairahkan. Keagungan sejarah musik dangdut sebagaimana dikisahkan oleh Philip Yampolsky lewat Smithsonian Folksways (1991) yang menyatakan dengan jelas bahwa dangdut adalah ‘musik nasional’ Indonesia semakin tak bisa dilacak lagi. Lajur Rhoma dalam musik dangdut seolah hanya menjadi mitos yang pernah tergores panjang.
Rhoma tak harus menjadi presiden Indonesia, karena tanpa disadari bahwa ia sejatinya sudah menjadi ‘presiden’ di dunianya sendiri. Dunia yang justru mampu mengisahkan Indonesia dengan lebih indah, yang belum tentu dapat diwujudkannya dalam realitas kehidupan nyata. Dunia Rhoma bukanlah dunia politik, dunia Rhoma adalah dunia dangdut.

Aris Setiawan
Pengajar di Jurusan Etnomusikologi Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta

Sinden di Ambang Zaman (dimuat di Suara Merdeka, 3 November 2012)




Sinden di Ambang Zaman

Hal yang cukup ‘mencengangkan’ sekaligus juga menggembirakan saat Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) Universitas Negeri Semarang (Unnes), Ikatan Keluarga Alumni (IKA) Unnes, dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jateng akan menggelar acara kompetisi bertajuk “Sinden Idol 2012”. Pendaftaran dan penjaringannya dibuka pada 15 Oktober-15 November 2012 mendatang. Sebuah ajang pencarian sinden-sinden berbakat di Jawa Tengah. Tak main-main hadiahnya sangat menggiurkan. Untuk pemenang pertama mendapatkan 20 juta, kedua 15 juta dan ketiga 10 juta.
Sinden sendiri berarti vokal tunggal yang (kebanyakan) dibawakan oleh wanita. Namun, agak berbeda pengertian sinden dengan vokalis dalam musik pada umumnya. Sinden bukanlah vokalis. Vokalis adalah orang yang bernyanyi dan diiringi dengan instrumen musik. Vokalis menjadi pusat perhatian karena tema dan pesan utama tertampung dalam balutan lirik-liriknya. Dengan demikian, vokalis menjadi acuan dalam sebuah pertunjukan musik. Sementara pengertian sinden tidak demikian. Kedudukan sinden setara dengan instrumen gamelan lain. Tidak mencoba diiringi maupun mengiringi. Singkatnya, sinden juga dianggap sebagai satu kesatuan instrumen gamelan. Agar terwujudnya capaian rasa gending yang ideal, maka semua instrumen harus saling bersinergi antara satu dengan yang lain, tak terkecuali sinden.

Warna Lain
Susan Pratt Walton dalam disertasinya yang berjudul “Heavenly Nymphs and Earthy Delights: Javanese Female Singers, Their Music and Their Lives” (1996) dengan lugas menyatakan, walaupun suara sinden lebih terdengar nyaring daripada instrumen gamelan lainnya tapi bukan berarti ia menjadi panutan dan dasar acuan. Karena dalam hampir keutuhan sajian, sinden tidak berperan sebagai pemimpin bagi keseluruhan ansambel layaknya vokalis dalam orkestra musik Barat. Namun, sinden menjadi begitu istimewa karena boleh dikata ialah satu-satunya yang memberi ‘warna lain’ dalam pertunjukan karawitan. Bukan karena apa yang disajikan, namun oleh siapa yang melagukannya. Membicarakan sinden berarti membicarakan gender –jenis kelamin-. Ya! Sinden adalah wanita yang kadang memberi guratan nuansa lain dalam ingar-bingar kuasa laki-laki atas gamelan.
Bukan satu hal yang aneh, fenomena tergusurnya wanita dalam jagat “musik tradisi” kita sudah lama diberlangsungkan. Kuasa laki-laki masih sangat dominan. Musik-musik tradisi Nusantara dan khususnya Jawa menempatkan supremasinya sebagai satu dari sekian banyak olah kebudayaan yang memiliki wajah dan jiwa kekerasan kalau bukannya kelelakian. Wanita hanya menjadi simbol yang mengguratkan aura feminisitas sehingga kehadirannya kadang dianggap kurang layak jika menghuni ruang-ruang dengan imaji yang maskulin. Wanita mengalami kebangkrutan eksistensi dalam jagat musik tradisi di Jawa. Adanya sinden seolah memberi oasis yang menyegarkan bagi denyut hidup wanita dalam musik tradisi terutama karawitan Jawa.
Apa yang unik dari (pe)sinden? Pertama, lihatlah posisi duduknya, mereka bersimpuh dalam balutan kain jarik dengan posisi punggung yang tegak. Tak cukup dengan hanya hitungan menit, namun jam. Bahkan semalam suntuk mereka harus duduk dengan posisi demikian untuk menemani sang dalang mempergelarkan pertunjukan wayang kulit. Adakalanya terjadi interaksi yang harmonis antara sinden dan dalang. Sinden tak dibekali ruang untuk berolah tubuh layaknya penyanyi-penyanyi lain di abad ini. Kuasa sinden tak dilihat dalam domain fisiknya, namun olah dan kemerduan vokalnya. Jangan heran kemudian jika sinden-sinden idola dari masa ke masa bertubuh bongsor namun memiliki dentuman suara yang mampu memikat hati kaum adam.
Era Narto Sabdo -dalang kondang-, banyak mengubah citra sinden di mata masyarakat. Sinden, tidak lagi harus duduk di belakang dalang. Sinden kemudian berada di samping kanan sang dalang, namun bertolak belakang arah hadap. Sinden secara langsung menjadi etalase bagi mata penonton. Dengan arah hadap yang demikian, mengharuskan para pesinden untuk tampil cantik dan menawan. Era suara kemudian harus diimbangi dengan citra visual. Walhasil, banyak sinden yang kemudian merawat tubuhnya untuk tampil ‘seseksi’ mungkin dengan dandanan yang menor.
Kedua, seorang sinden harus memiliki penguasaan bekal musikal yang mumpuni. Pesinden berada dalam pusaran tafsir dan imajinasi musikal tinggi. Karenanya, tak semua vokalis wanita mampu menjadi pesinden. Ia harus sadar betul cara mengornamentasi sebuah gending dengan tafsir teks (cakepan), irama, rasa, tempo dan tentu saja garap. Sinden yang handal berarti telah qatam akan semua itu. Seorang sinden diuji bukan dari kualitas suara semata, namun kesatuan yang terjalin dengan gending yang dibawakan. Oleh karena itu, pesinden berbeda dengan penembang. Disebut sinden karena kehadirannya yang menyertai sebuah gending walaupun teks vokal yang disajikan adakalanya berupa tembang. Sementara penembang bisa melagukan vokal secara mandiri tanpa adanya (iringan) gending gamelan. Singkatnya, pesinden sudah pasti penembang, namun penembang bukan berarti seorang pesinden. Hal ini wajib diketahui agar keduanya tidak saling silang pengertian.

Kompetisi
Sinden Idol 2012 seolah berusaha memberikan sejumlah tawaran alternatif akan pemikiran dan generasi penerus sinden di Jawa pada umumnya. Diharapkan, kompetisi ini mampu memunculkan dan sekaligus mencetak generasi baru sinden yang bermutu. Mengembalikan kodrat sinden dalam takaran penilaian auditif (suara) bukan lagi glamournya visual yang selama ini banyak menghiasi wajah pertunjukan wayang kulit muthakir. Namun sayang, ada beberapa catatan yang kurang diperhatikan dalam kompetisi itu.
Dari press release di media serta informasi yang didapat dari website Unnes, tak ada batasan usia bagi peserta. Hal ini mengingatkan jenis kompetisi serupa yang beberapa waktu lalu (September) diberlangsungkan di ISI Yogyakarta dalam mencari sosok pemain -instrumen- gender berbakat. Tak ada batasan usia. Peserta terdiri dari para empu gender di Jawa Tengah dan Yogya. Bahkan tim penilai konon adalah anak didiknya, kalah senior. Akibatnya, hampir semua pemenang adalah generasi penggender yang sudah dikenal publik. Tak satupun peserta muda yang mendapatkan nomor di ajang itu.
Bisa jadi pula, banyak pesinden yang sudah mahsyur dan ternama akan mengikuti lomba Sinden Idol 2012. Jika demikian ambisi dalam mencari bibit-bibit sinden baru akan mengalami kebuntuan. Karena tak diragukan lagi, para senior sinden tersebut telah teruji di mata masyarakat, sehingga menjadi tabu jika dipersaingan itu ia kalah. Di sisi lain, batasan wilayah sindenan juga tidak dijelaskan secara spesifik, hanya berkisar pada gaya Jawa Tengahan. Padahal kita tahu, sindenan banyak variasi dan gayanya. Ada versi Surakarta, Semarangan, Sragenan, bahkan Banyumas dan Tegal. Suraji dalam tesisnya yang berjudul “Sindenan Gaya Surakarta” (2005) mencirikan dengan spesifik gaya sindenan Surakarta dibanding dengan lainnya. Bahkan di wilayah Surakarta sendiri banyak ragam dan versi yang tidak bisa dikomparasi baik buruk antar satu dengan lainnya.
Pertanyaannya kemudian bagaimana jika peserta Sinden Idol 2012 membawakan sinden dengan versi yang beraneka ragam tersebut? Satu sinden memiliki citra penilaian yang berbeda. Bisa jadi, apa yang dianggap bagus bagi gaya A adalah sepele di gaya B, atau sebaliknya. Sampai di sini, batasan dan kriteria penilaian harus lebih dapat diperjelas. Hal itu menjadi “pekerjaan rumah” bagi panitia. Walaupun demikian, Sinden Idol 2012 patut untuk diapresiasi sebagai sebuah langkah kongkrit institusi, terkait pembelaan terhadap kesenian tradisi. Karena bukan rahasia lagi, denyut hidup kesenian tradisi dewasa ini semakin tak mampu menunjukkan detaknya. Tertimbun dalam tumpukan jerami seni-seni populis yang glamour dan gemerlap.
Aris Setiawan
Pengajar di Jurusan Etnomusikologi Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta

Pengikut