Rhoma, Dangdut dan Kisah Indonesia
DANGDUT tak semata musik yang mengisahkan goyang, apalagi lirik yang berbau sensual. Dangdut lebih dari sekadar urusan raga dan erotika. Sejarah mencatat, gema dangdut lewat tangan Rhoma Irama menjadi denting bunyi yang bukan semata urusan asmara, namun juga titian doa, nasionalitas, luapan agama, penghormatan, pengorbanan, serta kritik sosial. Tak ada dendang di antero panggung dangdut di negeri ini yang alpa menggunakan jasa lagu ciptaannya.
Dalam lirik itu, Rhoma banyak berkisah tentang Indonesia, jejak peradaban bangsa Indonesia. Bekal itulah yang ''konon'' dianggap layak oleh sebagian kalangan untuk mencalonkan Satria Bergitar tersebut sebagai presiden Republik Indonesia. Rhoma dianggap mengerti seluk-beluk masalah Indonesia yang tecermin lewat ziarah lirik lagunya (Jawa Pos, 11/11/2012).
Namun, dalam konteks ini, hendak dibicarakan hubungan Rhoma dengan dangdut dalam menarasikan Indonesia. Sejauh mana laju lagu dangdut ala Rhoma dan dangdut masa kini mampu berbicara banyak akan Indonesia? Apakah dominasi Rhoma masih begitu besar? Atau sebaliknya, Rhoma hanya menjadi kerikil kecil dari ingar-bingar perkembangan dangdut muthakir karena telah mengalami kebangkrutan dalam eksistensi dan narasi penciptaan warna baru. Bagaimana kedudukan sosok Rhoma dalam konstelasi ke-Indonesia-an masa kini?
Akar Rumput
Kehadiran Rhoma dalam jelajah musik dangdut tanah air di tahun 70-an boleh dikata terjadi dalam momentum yang pas. Suka Hardjana (2004) mencatat, Rhoma muncul dengan lagunya di kala masyarakat Indonesia pada masa itu merindukan terjadinya pembalikan antiphonal yang drastis dari impian-impian politis masa lalu ke impian-impian realistis yang lebih mampu memberikan harapan. Lagu-lagunya berada dalam poros putaran arus masyarakat kelas bawah. Tampilan lagunya dibentuk dari etalase masyarakat kampung, pedesaan, kerabat rakyat kecil yang menjadi mayoritas penduduk Indonesia kala itu. Rhoma mampu mengakomodasi citra lagu yang menggambarkan harapan dan cita-cita masyarakat dengan lebih realis dan tak muluk-muluk. Lewat dangdut Rhoma, masyarakat seolah menemukan oase yang menyegarkan dalam mengisahkan pelik dan susahnya himpitan kehidupan. Jangan heran kemudian jika Begadang (1978), Perjuangan dan Doa (1980) adalah salah satu lagu yang begitu populer bagi masyarakat Indonesia.
Kisah Rhoma adalah kisah dangdut. Tak ada yang menarik dalam sisi kehidupan Rhoma selain keterkaitannya dengan jenis musik ini. Dangdut yang awalnya disebut sebagai musik kampungan kemudian menjadi selebrasi cita-cita. Jejak sejarah dangdut tak lebih dari ‘musik kumuh’ yang peluh dengan citra negatif namun begitu beruntung saat dielaborasi oleh Rhoma Irama. Lewat kuasa dalam bermain musik rock, Rhoma dengan serta merta mengkonversi musik rakyat yang paling terbelakang (dangdut) dengan ramuan selera zaman yang paling kekinian (rock). Terobosan Rhoma ini boleh dikata frontal karena tak terjadi dalam musik-musik lain sezamannya. Begitu harum namanya hingga masyarakat menyematkan nama “raja dangdut”.
Masyarakat kelas bawah yang awalnya hanya menjadi saksi kelahiran sebuah musik kemudian harus menjadi lakon dalam kisah lagu Rhoma. Gelandangan, Kiamat, Gali Lubang Tutup Lubang adalah salah satunya. Dangdut menjadi kendaraan imajinasi dalam usaha meraih supremasi kehidupan yang lebih baik. Dangdut ala Rhoma juga mengisahkan Islam. Banyak dari liriknya yang berkisah doa (voice of Moslem). Hal ini yang menyebabkan banyak dari kalangan ulama yang merangkulnya. Dakwah lewat lagu dirasa lebih mengena daripada orasi seratus ulama. Oleh karenanya, kultur musik dangdut yang begitu kuat itu bahkan berpengaruh terhadap visi dan misi Rhoma sebagai calon presiden. Rhoma menyatakan, visi dan misinya sebagai capres nantinya tidak akan jauh berbeda dari lirik-lirik lagu dangdut yang selama ini dibawakannya (Tempo, 12/11/2012).
Kisah Indonesia
Sayangnya, ritus pengharapan dalam lirik dangdut ala Rhoma kadang tak seutuhnya berjalan dalam realitas kehidupan nyata. Kuasa dalam pesan lirik dangdutnya seolah tak serta merta mempresentasikan siapa penciptanya. Rhoma berlirik merdu dalam kisah keragaman Indonesia, namun tak juga menghendaki perbedaan sepenuhnya. Fenomena yang dapat kita lihat saat isu sara dihembuskan kala pemilihan gubernur Jakarta lalu. Indonesia menjadi begitu manis dalam setiap jengkal liriknya namun masih terasa pahit dalam senyatanya. Narasi lirik dangdut Rhoma terlihat hanya menjadi angan-angan dan doa semata.
Terlebih bagi perjalanan musik dangdut sekarang yang justru tak mampu dikontrol dalam kuasa ideal seperti yang diharapkan Rhoma. Persentuhan dangdut muthakir adalah kisah tubuh dan sensualitas semata, tak lebih dari itu. Perdebatan sengit dengan Inul beberapa waktu silam menjadi masa yang justru mengawali gerak eksploitasi tubuh itu untuk semakin tumbuh subur di musik dangdut. Panggung-panggung dangdut tanah air begitu banyak menciptakan ragam goyangan daripada memproduksi lagu dengan judul yang baru. Era Rhoma dengan gapaian cipta lagu -685 judul- yang menumentalpun telah mengalami kebangkrutan. Rhoma kini seolah mengalami kemandulan dalam mengisahkan Indonesia lewat lagu-lagunya. Jejak-jejak perjalanan sejarah Indonesia masa kini telah banyak yang terbuang dalam musik dangdut. Tak begitu menarik lagi sebagai sebuah titian ide dan rangsangan cipta. Rhoma justru disibukkan dengan kisah pelik politik yang berusaha melenakan dirinya dari dunia musik dangdut mutakhir.
Kini tak ada lagi dentum keragaman indonesia, ritus doa, kritik sosial dalam musik dangdut. Yang ada kemudian selebrasi kedangkalan tema. Tak dijumpai lagi Gelandangan, Begadang, 135 Juta, Judi, Monas masa kini, yang nampak kemudian hanya Belah Duren, Cinta Satu Malam, Keong Racun, Hamil Duluan, Pengen Dibolongin dan lagu sejenis lainnya. Dangdut muthakir diwujudkan sebagai perayaan goyang, bukan lagi cita-cita Indonesia. Keadaan yang harusnya menjadi kesempatan bagi Rhoma untuk kembali meluruskan musik ini, sejalan dengan kisah sejarah yang pernah dibuatnya dulu kala. Artinya, dalam musik dangdut sendiri masih membutuhkan sentuhan perjuangan Rhoma Irama. Sebagai seorang ‘raja’ tentunya ia memiliki kuasa dalam legitimasi jalur dangdut masa kini. Sayangnya, hal itu tak terjadi. Politik telah melenakannya, politik mengalihkan pandangannya, politik memang cenderung menggiurkan.
Dangdut dalam mengisahkan Indonesia semakin sayup-sayup tak terdengar seperti sedia kala. Sementara Rhoma lebih memilih lepas tangan dengan mencari gapaian dunia lain yang dirasa lebih menggairahkan. Keagungan sejarah musik dangdut sebagaimana dikisahkan oleh Philip Yampolsky lewat Smithsonian Folksways (1991) yang menyatakan dengan jelas bahwa dangdut adalah ‘musik nasional’ Indonesia semakin tak bisa dilacak lagi. Lajur Rhoma dalam musik dangdut seolah hanya menjadi mitos yang pernah tergores panjang.
Rhoma tak harus menjadi presiden Indonesia, karena tanpa disadari bahwa ia sejatinya sudah menjadi ‘presiden’ di dunianya sendiri. Dunia yang justru mampu mengisahkan Indonesia dengan lebih indah, yang belum tentu dapat diwujudkannya dalam realitas kehidupan nyata. Dunia Rhoma bukanlah dunia politik, dunia Rhoma adalah dunia dangdut.
Aris Setiawan
Pengajar di Jurusan Etnomusikologi Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta