Tubuh-Tubuh: Pembebasan Belenggu Populis (dimuat di Majalah Gong edisi Juli 2009))

 Tubuh-Tubuh: Pembebasan Belenggu Populis



Pertunjukan kedua telah usai, sesosok pria dengan rambutnya yang ikal mengambil alih acara. Penonton yang sebelumnya berada di pelataran panggung dan emperan penginapan Wisma Seni Taman Budaya disuruhnya naik ke atas. Area gerak yang sebelumnya longgar, kini sempit karena dipenuhi penonton yang duduk di setiap tepinya. Lampu dengan cahayanya yang kecoklatan menyala hingga terang penuh, nampak dua orang terikat kain putih dan menutupi hampir separuh badannya, terjerat tak berdaya pada dua pilar sebelah kanan dan kiri panggung. Tiba-tiba keduanya melantunkan terompet khas Ponorogo, menggema dengan nadanya yang saling tumpang tindih.
Demikian awal adegan dimulainya tari karya Wisnu H.P. yang dilangsungkan dalam forum ‘Bukan Sekedar Tari’ di Wisma Seni Taman Budaya Surakarta pada 25 April 2009. Karya yang kurang lebih berdurasi 45 menit itu mengambil judul “tubuh-tubuh” dengan melibatkan dua pemain musik dan satu penari yang diperankan Wisnu HP sendiri.
Jarak dengan penonton menjadi begitu dekat, Wisnu bergeliat dan menari persis semeter di depan mereka. Gerakannya begitu sederhana. Dengan menggunakan celana doreng ala tentara dan kaos putih, Wisnu H.P. bergerak dengan lenturnya. Sesekali Ia kayang, menjatuhkan dirinya di lantai dengan begitu keras, bergeliat layaknya cacing, bangun dan mengambil posisi tegak dengan kepala di bawah dan kaki lurus ke atas. Gerak-gerak yang ditampilkan seolah mencoba untuk mengeksploitasi sedemikian rupa sisi tubuhnya. Ekspoitasi yang dilakukan tidak hanya sekedar gerak yang populis layaknya dalam tari-tari populer dan tradisi. Gerak yang muncul menjadi begitu asing, menjadi bentuk yang dihasilkan dari pergulatan panjang dengan eksperimen yang ketat.
Bagi Wisnu H.P., tubuh selama ini telah terperangkap oleh rutinitas sosial, sehingga terkungkung dalam ruang gerak yang terkesan monoton. Berjalan, berlari, duduk, berdiri, tengkurap, bersila atau gerakan populis lainnya, menjadi inspirasi dalam menciptakan karyanya dengan mencoba mengeruk gerak-gerak di luar mainstream. Seolah sadar akan resikonya, Wisnu begitu hati-hati mempertontonkan hasil eksperimen yang telah Ia lakukan. Sekali Ia melakukan gerakan yang salah, tidak menutup kemungkinan akan terjadi kontraksi kesakitan pada tubuhnya.
Di akhir tari, Wisnu mengikat kedua kakinya dengan kain putih panjang, tersalur pada bagian atas tiang panggung yang membujur secara horizon. Beberapa diantara penonton dikomandonya untuk menarik pangkal kain layaknya mengerek bendera, kemudian kedua kaki pun terangkat, semakin lama kemudian membentuk pemandangan yang menakjubkan. Diantara panggung kecil yang dipenuhi penonton tersebut, terlihat sesosok manusia tergantung, kepalanya berada di bawah taktersentuh lantai dan kakinya tertarik ke atas oleh kain putih.
Penontonpun mencoba menerka-nerka apa maksud dan makna yang mencoba disampaikan sang koreografer. Belum habis penonton dibuatnya binggung, tiba-tiba screen putih di belakang penari menampakkan gambar-gambar visual yang menarik. Nampak sang koreografer, Wisnu H.P., melakukan gerakan yang asing dan terkadang serupa –dipanggung- pada tempat dan lingkungan yang berbeda. Di bukit berbatu yang terjal, tepat pada sebuah baru kecil yang menjorok ke jurang, dengan hati-hati ia melakukan posisi tegak dengan kepala di bawah dan kaki di atas. Di sungai dengan airnya yang deras, Wisnu tergantung pada sebuah bambu, bergerak dengan kepala yang rambutnya tersentuh derasnya arus air. Meleset sedikit, nyawa menjadi taruhannya.
Tak terasa selama hampir 20 menit (dari 30 menit) penonton dibuatnya terpesona menyaksikan pengembaraan geraknya diberbagai tempat melalui screen yang ada, selama itu pula tanpa sadar wujud dan tubuh Wisnu yang sesengguhnya tergantung terbalik pada tiang panggung. Sesekali penonton menghampirinya, bertanya apakah Ia tidak apa-apa, jangan-jangan darah telah menggumpal di otak dan beresiko fatal. Beberapa penonton mencoba menawarkan untuk menyudahi aksi pertunjukannya yang berbahaya, namun Ia menolak dan berseru ‘lanjutkan’.

Terbebas dari Belenggu Populis
Tubuh bukan hanya kumpulan tulang dan daging yang dirangkai sedemikian rupa hingga menjadi keajaiban medis, tapi tubuh juga sebuah ‘diri’. Dengan demikian, tubuh tidak hanya sebuah makna bendawi semata, namun tubuh sebagai sebuah ‘diri’ memiliki berbagai sisi yang sosial. Kemudian berbagai pergulatan untuk menempatkan tubuh sebagai diri diberlangsungkan, mengenai ikatan-ikatan, makna, nilai, kriteria hidup dan mati, serta bagaimana Ia seharusnya ditinggal, disiksa, dan dicintai.
Tubuh, dengan segala keterbatasannya, menunjukkan eksistensinya yang terangkai dalam berbagai hasil produksinya. Bersuara, melihat, mendengar, meraba, adalah produk-produk ajaib yang telah dihasilkan dari tubuh kita, termasuk ‘bergerak’. Tetapi produk-produk yang dihasilkan tubuh telah diberlakukan secara arif oleh segenap manusia, dengan menempatkannya pada ruang yang sewajarnya, berlangsung secara populis dan serentak.
Kenyataanya, tubuh kini telah terkungkung pada ruang-ruang pembakuan yang ditorehkan oleh sang pemilik dan pemegang ‘kontrol mengontrol tubuh’, termasuk kebudayaan. Tubuh harus dilenggak-lenggokkan menuruti aturan tertentu yang apabila hal tersebut dilanggar, maka dianggap sebagai orang aneh, atau kesalahan budaya. Dengan demikian, orang harus memberlakukan tubuhnya secara ‘populis’ dan serentak ketika dihadapkan dalam satu situasi tertentu pada ruang –tempat- yang berbeda-beda. Semisal bagaimana posisi dan gerak tubuh yang tersistem ketika makan di warung pinggir jalan dengan di restoran besar, ketika bertemu orang yang lebih tua dengan orang yang lebih muda, ketika menari gaya Surakarta dengan menari gaya Yogyakarta. Semua ruangnya berbeda, tetapi perlakuan terhadap –sikap- tubuh telah terkonstruk dan ‘sama’ bagi semua orang.
Wisnu H.P. agaknya sadar betul akan persoalan tersebut. Kemudian Ia mencoba keluar dari belenggu kearifan populis dengan menempatkan tubuhnya melalui gerak dan prilaku yang tidak selazimnya. Lewat karya tarinya “tubuh-tubuh” Ia berkehendak menjadikan tubuhnya sebagai sebuah “diri”, dengan menggali ideologi dan egoisme sebagai sosok individu mandiri, meluapkan kebosanan gerak yang selama ini dirasa monoton.
Sayangnya, gerak-garak yang diungkapkan Wisnu H.P., belum sepenuhnya disertai kesadaran yang penuh terdadap penempatan ruang, layaknya yang Ia ungkapkan dan akui dalam forum diskusi sesudah karyanya diberlangsungkan. Di beberapa bagian, Ia masih memberlakukan tubuhnya secara sama pada ruang -tempat- yang berbeda, sehingga yang nampak bukan lagi egoisme gerak, namun hanya sebatas tontonan ruang.

Aris Setiawan
Mahasiswa Pascasarjana ISI Surakarta

Pengikut