Solo Gila Kirab
Dalam beberapa tahun terakhir Solo mendadak menjadi kota yang sesak dengan berbagai macam kirab. Semua mengambil dalih imaji kultural sebagai ajangnya. Sepak terjang Jokowi selaku walikota Solo, memoles kirab sebagai solusi ideal dalam berbagai aspek tak terkecuali politik, hukum, ekonomi dan bahkan mungkin kebudayaan. Deal-deal politik-ekonomi yang selama ini bermuara pada stereotip kekerasan justru dengan sangat lentur mampu terpecahkan lewat sesaji kirab. Lihatlah kemudian bagaimana kirab boyongan pedagang pasar Windujenar, dari lokasi pasar darurat di kawasan Taman Sriwedari hingga ke lokasi bangunan baru Pasar Windujenar di kawasan Ngarsapura pada 2009 lalu. Kirab kala itu menjadi penanda ritual yang penuh nalar kedamaian. Mendekostruksi aroma kekerasan, menepikan rasa arogansi untuk saling mengerti. Hal tersebut yang justru jarang kita jumpai di wilayah lain Indonesia untuk kasus serupa masa kini. Kirab menjelma sebagai katalisator yang mencairkan kebuntuan hidup di abad XXI. Apapun kemudian dapat dikirab, bahkan mobil Esemkapun tak luput olehnya (28/02/12). Pertanyaannya kemudian, bagaimana jika kirab yang agung itu harus tereduksi dengan wajahnya yang glamour? Wajah yang telah bersolek menjadi ambisi proyek sekaligus investasi penuh pamrih yang setiap saat menyapa kita di kota Solo, bak jamur di musim hujan.
Glamour
Pada awalnya, kuasa pemegang kirab hanya dimiliki oleh pusat-pusat pemerintahan yang memegang peranan penting dalam domain kebudayaan. Solo dan Yogya menjadi barometer dalam konteks ini. Supremasi keraton menunjukkan keagungannya lewat simbol-simbol ritual yang penuh makna (Surya Kenchana, 2007). Menghipnotis publik dengan menempatkan aura keratonis sebagai muara dari pegangan hidup yang sarat akan mitos. Kirab adalah salah satunya. Dalam wikipedia, secara sederhana dapat kita ketahui bahwa kirab berarti sebuah prosesi dalam mengarak atau mempertontontan sesuatu (benda) yang sakral kepada publik yang biasanya dimiliki oleh suatu kerajaan atau keraton, dilangsungkan pada hari, bulan dan tahun tertentu. Kirab sebagai penanda bahwa detak hidup keraton masih berdegub.
Kirab menjadi legitimasi kebesaran keraton. Ia begitu sakral dan pekat dengan nalar pikir yang cenderung transenden, kadang tak mampu ditembus dengan logika awam. Simak bagaimana kirab kebo bule keraton dengan kotorannya yang menjadi ributan warga. Atau air jamasan dari pusaka keraton setelah dikirab yang konon menjadi minuman penuh berkah, vitalitas dan menyehatkan. Menyembuhkan segala macam penyakit yang melebihi mahalnya obat dari resep dokter masa kini. Kirab menjelma sebagai jembatan yang menjadikan tiran kuatnya mitos atas logika.
Namun, sejak keraton (Solo) mengalami kebangkrutan eksistensi kebudayaan, kirab digiring dan diambil alih oleh kaum-kaum pemegang otoritas yang lebih memiliki supremasi. Kirab dirias menjadi begitu glamour. Menepikan berbagai mitos dan membuatnya lebih populis. Penentuan waktu tak lagi penting. Kirab menjadi model anak turun kebudayaan berbau pesanan. Semua forum dan peristiwa dapat dikirab kapanpun sejauh menguntungkan. Lihatlah bagaimana ASEAN ParaGames Solo harus dikirab tanggal 14 Desember 2011 lalu, Kirab Parlemen Asia dalam Kegiatan Asian Parliamentary Assembly (APA) atau Konferensi Parlemen Asia (KPA) di Solo (28 September 2011), Kirab Solo Membatik (3 Oktober 2011), Kirab Larung Sikerta (19 Oktober 2011), Kirab Kongres PSSI (9 Juli 2011), dan seabreg kirab lainnya. Ataubahkan jika anda memiliki kepentingan dan dana, silahkan mengajukan diri untuk dikirab.
Kirab tidak lagi bersuara lantang dalam menunjukkan eksistensi akar tradisi kultural. Kirab sarat akan berbagai kepentingan politis ekonomi dalam usaha menjadikan kota Solo sebagai lahan subur bisnis pelancongan dan pariwisata. Bisnis ini tentu saja hanya menyanjung beberapa gelitir pihak yang dengan tekun menyemai pundi-pundi keuntungan. Selebihnya kepentingan pubik (Solo) diabaikan. Masyarakat hanya dijejali dengan ‘tontonan kirab’ yang kini cenderung membosankan. Memacetkan jalan-jalan kota Solo, muaranya kembali pada masyarakat lagi yang harus dirugikan sekaligus dikorbankan hanya untuk kuasa pihak-pihak pemegang kepentingan. Kirab telah kehilangan legitimasi pemaknaan kultural.
Keramaian
Anderson Sutton (1996) dan Shin Nakagawa (1999) memandang bahwa masyarakat Indonesia gemar akan keramaian. Segala peristiwa dianggap berhasil jika menunjukkan eksistensinya dalam format keramaian yang memuncak. Tak heran kemudian sebuah acara atau peristiwa dianggap sukses jika mampu menyedot animo masyarakat luas. Semakin ramai menandakan peristiwa yang bersangkutan bersekala besar. Klaim-klaim peristiwa dan momen acara yang demikian menjadi siasat dalam merebut antuasias publik kota Solo dewasa ini. Kirab menjadi korban akan hal itu. Ia dianggap sebagai sebuah momen yang mampu menunjukkan denyut keagungan penguasa masa kini walau takjarang ada pamrih tersembunyi yang coba digapai. Ekstase Solo sebagai kota budaya justru semakin memberi titik terang utuk melegalkan kepentingan terselubung dengan dalih atas nama kirab.
Uniknya, di kala Solo telah beranjak menjauh meninggalkan segala romantisme kirab keraton yang sarat mitos. Justru pada wilayah-wilayah di luar batas kuasa Solo berusaha mengelaborasi kirab ala keraton yang dianggapnya sebagai pegangan hidup yang adi luhung. Lihatlah kemudian di berbagai daerah Jawa (Magetan, Seragen, Nganjuk, Ponorogo, Madiun, Blitar, Jember) mencipta kirab dengan pekatnya bumbu-bumbu mitos yang sebelumnya tidak pernah ada. Tumpeng berbentuk gunungan kembar yang berbalut hasil bumi kemudian harus dikirab, diperebutkan banyak masyarakat seolah mengikuti jejak-jejak kejayaan keraton Solo-Yogya masa silam. Kirab memang telah menjadi virus keramaian publik-penguasa mutakhir abad ini. Tak jelas dalam menunjukkan jatidirinya sebagai peristiwa budaya atau hanya sekadar geliat ekstase berbagai tempelan kepentingan semata.
Solo sudah selayaknya berbenah. Kembalikan kirab pada ruang dan wacana yang sejatinya. Konstruksi pikir sebagai kota pusat budaya harusnya mampu menciptakan ruang-ruang yang baru dan lebih kreatif tanpa harus mendekonstruksi dan mengorbankan yang lama dengan akarnya yang kuat. Memang pada konteks ini nuansa kirab yang mentradisi (keratonis) masih dipertahankan. Namun dengan membuncahnya berbagai kirab baru, tentu akan menepikan kesakralan dan keagungan yang telah ada sebelumnya. Di sisi lain, kemonotonan kirab menjadikan kejenuhan bagi publik, yang harus berkorban waktu dan bahkan mungkin materi atas efek yang ditimbulkannya. Tak heran jika kemudian Solo dianggap sebagai kota yang ‘gila’ kirab.
Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar