Geliat Menuju Identitas
”Suatu
upaya bersama untuk menjelajah dan mencari gagasan-gagasan baru melalui
seni dalam konteks kultural.” Demikian maksud dan tujuan yang hendak
dicapai dari diadakannya FKI (Festival Kesenian Indonesia) VI di IKJ-TIM
Jakarta tanggal 5-24 Oktober 2009. ”Exploring Root of Identity”, tema
yang turut meramaikan isu dan polemik kebudayaan yang selama ini mencuat
ke permukaan. Pengambilan tema tersebut sedikit banyak turut dipicu
terkait keberadaan seni yang semakin tersisih dari struktur penekanan
global yang lebih dominan, politik dan ekonomi. Atau mungkin dipicu
konflik saling klaim terhadap kesenian tradisi Indonesia yang baru-baru
ini terjadi?
Terlepas dari dua hal tersebut, lebih penting lagi
festival kali ini akan menjadi satu tolok ukur eksistensi perguruan
tinggi seni se-Indonesia. Sebagaimana yang telah diwartakan Kompas (27
September 2009), FKI selama ini dapat terselenggara berkat kerja sama
perguruan tinggi seni se-Indonesia yang tergabung dalam Badan Kerja Sama
Perguruan Tinggi Seni Indonesia (BKS-PTSI). Adapun anggota BKS-PTSI
terdiri dari ISI Yogyakarta, ISI Surakarta, ISI Denpasar, Institut
Kesenian Jakarta, STSI Padang Panjang, STSI Bandung, dan STKW Surabaya.
Lewat
acara FKI ini, beberapa wacana telah mengemuka. Seperti yang
diungkapkan FX Widaryanto sekretaris BKS-PTSI, apakah keberadaan
perguruan tinggi seni mampu dalam membangun dan mempertahankan
pilar-pilar kebudayaan sebagai benteng terakhir wajah keindonesiaan
kita? Atau justru sebaliknya, mereka telah kalah dan turut larut dalam
euforia budaya utopia? Semuanya akan dapat kita lihat dalam festival
kali ini.
Sebuah perenungan
Efek-efek dari peradaban abad
ke-21 telah menjadikan manusia menapaki lajur kehidupan yang sangat erat
bersentuhan dengan teknologi. Di satu pihak hal tersebut memacu
loncatan-loncatan drastis terhadap perkembangan kebudayaan ke arah yang
lebih cepat, tetapi di pihak yang lain justru memundurkan sang pemilik
kebudayaan ke titik awalnya (Suka Harjana 2003). Terlebih jika efeknya
melanda sebuah negara yang berkembang—kata lain dari
terbelakang?—layaknya Indonesia. Teknologi telah membenturkan kebudayaan
satu dengan kebudayaan lainnya dengan begitu dekat. Benturan-benturan
(Barat-Timur) yang terjadi tentu saja harus mengorbankan salah satu
kebudayaan sebagai satu ruang dalam posisi terkalahkan.
Ironisnya,
kita selama ini menjadi subdominan, kalau bukannya kalah dari benturan
kebudayaan tersebut. Kredo-kredo lama harus beralih dan mengabdi pada
satu ruang yang menang, mengubah banyak tatanan yang katanya lebih
modern. Pada konteks ini, kesenian kita telah mengalami gejala yang
demikian juga. Geliat perjalanannya telah menjadikan kebudayaan
(kesenian) Indonesia menapaki lajurnya yang vandalis serta keluar dari
tatanan dan sekat-sekat identitasnya.
Dengan demikian wajar jika
FKI VI kali ini menggulirkan satu wacana ”eksplorasi akar-akar
identitas”. Terlebih FKI yang terdiri dari kumpulan perguruan tinggi
seni se-Indonesia ini bergerak di garda depan ruang pendidikan seni.
Oleh karena itu, keberadaannya sebagai sebuah festival harus mampu
menunjukkan formatnya yang berbeda dari festival pada umumnya, alias
lebih mendidik. Kreativitas tentu menjadi tuntutan utama. Namun, tidak
hanya sebatas berkarya dan menggali kebaruan semata. Lebih dari itu,
apakah karya-karya yang akan ditampilkan mampu memberi warna baru dan
menguatkan identitas keindonesiaan dalam percaturan seni dan kebudayaan
dewasa ini, menjadi penting untuk dipertanyakan kembali.
Seminar
Untuk
mendukung gagasan tersebut FKI VI IKJ-Jakarta menjabarkannya dalam 13
acara pokok. Konser gamelan, orkes simfoni, karnaval, kolaborasi tari
dan musik, pameran-pameran seni, seminar, workshop, pemutaran film,
adalah acara-acara unggulan di samping banyak lagi acara lainnya.
Barangkali yang paling menarik untuk diikuti jejak rekamnya adalah
seminar yang diadakan tanggal 6-7 Oktober 2009. Apabila kita kesulitan
dalam mencerna karya-karya yang ditampilkan, dengan mengikuti seminar
ini, semua akan menjadi terang dan jelas.
Seminar yang juga
mengambil tema “Exploring Root of Identity” adalah sebuah usaha yang
mencoba mengungkapkan peran perguruan tinggi seni dalam upaya
pelestarian, pengembangan dan penguatan kehidupan budaya melalui
karya-karyanya. Selain itu, seminar mencoba menampilkan
pemikiran-pemikiran dan perspektif baru dalam membaca perkembangan seni
dewasa ini.
Tidak hanya para tokoh intelektual kebudayaan yang
dihadirkan. Pada FKI VI, peran dan keikutsertaan mahasiswa kini juga
mulai sangat diperhitungkan. Setiap perguruan tinggi seni mengirimkan
delegasi lima mahasiswanya yang terlibat forum diskusi dengan mahasiswa
perguruan tinggi seni lainnya. Lima mahasiswa berprestasi dari setiap
perguruan tinggi tersebut juga menyeminarkan hasil dari pengembaraan
intelektual yang telah mereka geluti selama menempuh studi di institusi
seni. Kemudian, hasil akhirnya akan dirumuskan sebagai satu wacana
pemikiran baru kaum intelektual muda masa kini.
Gamelan
Beberapa
perguruan tinggi seni dalam FKI VI kali ini mencoba membasahi dirinya,
dengan memusatkan perhatian hanya pada wilayah seni yang keberadaannya
di luar gemerlapnya dunia populer. Mengais nilai tradisi. Itulah yang
ditampilkan ISI Surakarta, ISI Denpasar, dan STSI Bandung yang semuanya
sepakat membawa gamelan ”langka” mereka (Sekaten, Gong Kebyar, Gong
Renteng) ke panggung pertunjukan yang megah. Tak tanggung-tanggung,
dengan garapan baru, ketiga institusi tersebut juga mencoba
”mengawinkan” antargamelan yang mereka miliki sehingga muncul karya
(bahkan varian gamelan) baru yang unik.
Ketiga perguruan tinggi
seni tersebut seolah sepaham dalam menempatkan gamelan pada spektrum dan
makna pokoknya yang intangible, tak kasat mata. Seni (gamelan) entah
apa pun itu bentuknya tidak hanya hadir dalam takaran kebendaannya yang
kasat mata, tangible. Lebih dari itu, konstruk makna filsafati yang
begitu pekat di balik wujud kebendaannya adalah hal yang lebih penting
untuk dimengerti kembali. Dengan demikian, menurut AL Suwardi komponis
FKI dari Surakarta, seharusnya kita tidak perlu khawatir ketika seni
kita dipakai dan diakui pihak lain. Karena mereka hanya mampu memiliki
kebendaannya tanpa mampu menembus sekat-sekat makna yang terkandung di
dalamnya.
Semoga FKI tidak hanya menjadi semacam ritual. Nama
”Indonesia” yang disandang dalam festival tersebut harusnya mampu
menggambarkan dan memberi warna serta kekuatan ke- indonesiaan, yang
selama ini dirasa telah menghilang akibat hiruk-pikuk gempuran budaya
global-modern.
Aris Setiawan Etnomusikolog, Pengajar dan Kontingen FKI dari ISI Surakarta