Geliat Menuju Identitas (dimuat di Kompas Minggu edisi 11 Oktober 2009)

Geliat Menuju Identitas 


 
”Suatu upaya bersama untuk menjelajah dan mencari gagasan-gagasan baru melalui seni dalam konteks kultural.” Demikian maksud dan tujuan yang hendak dicapai dari diadakannya FKI (Festival Kesenian Indonesia) VI di IKJ-TIM Jakarta tanggal 5-24 Oktober 2009. ”Exploring Root of Identity”, tema yang turut meramaikan isu dan polemik kebudayaan yang selama ini mencuat ke permukaan. Pengambilan tema tersebut sedikit banyak turut dipicu terkait keberadaan seni yang semakin tersisih dari struktur penekanan global yang lebih dominan, politik dan ekonomi. Atau mungkin dipicu konflik saling klaim terhadap kesenian tradisi Indonesia yang baru-baru ini terjadi?

Terlepas dari dua hal tersebut, lebih penting lagi festival kali ini akan menjadi satu tolok ukur eksistensi perguruan tinggi seni se-Indonesia. Sebagaimana yang telah diwartakan Kompas (27 September 2009), FKI selama ini dapat terselenggara berkat kerja sama perguruan tinggi seni se-Indonesia yang tergabung dalam Badan Kerja Sama Perguruan Tinggi Seni Indonesia (BKS-PTSI). Adapun anggota BKS-PTSI terdiri dari ISI Yogyakarta, ISI Surakarta, ISI Denpasar, Institut Kesenian Jakarta, STSI Padang Panjang, STSI Bandung, dan STKW Surabaya.

Lewat acara FKI ini, beberapa wacana telah mengemuka. Seperti yang diungkapkan FX Widaryanto sekretaris BKS-PTSI, apakah keberadaan perguruan tinggi seni mampu dalam membangun dan mempertahankan pilar-pilar kebudayaan sebagai benteng terakhir wajah keindonesiaan kita? Atau justru sebaliknya, mereka telah kalah dan turut larut dalam euforia budaya utopia? Semuanya akan dapat kita lihat dalam festival kali ini.

Sebuah perenungan

Efek-efek dari peradaban abad ke-21 telah menjadikan manusia menapaki lajur kehidupan yang sangat erat bersentuhan dengan teknologi. Di satu pihak hal tersebut memacu loncatan-loncatan drastis terhadap perkembangan kebudayaan ke arah yang lebih cepat, tetapi di pihak yang lain justru memundurkan sang pemilik kebudayaan ke titik awalnya (Suka Harjana 2003). Terlebih jika efeknya melanda sebuah negara yang berkembang—kata lain dari terbelakang?—layaknya Indonesia. Teknologi telah membenturkan kebudayaan satu dengan kebudayaan lainnya dengan begitu dekat. Benturan-benturan (Barat-Timur) yang terjadi tentu saja harus mengorbankan salah satu kebudayaan sebagai satu ruang dalam posisi terkalahkan.

Ironisnya, kita selama ini menjadi subdominan, kalau bukannya kalah dari benturan kebudayaan tersebut. Kredo-kredo lama harus beralih dan mengabdi pada satu ruang yang menang, mengubah banyak tatanan yang katanya lebih modern. Pada konteks ini, kesenian kita telah mengalami gejala yang demikian juga. Geliat perjalanannya telah menjadikan kebudayaan (kesenian) Indonesia menapaki lajurnya yang vandalis serta keluar dari tatanan dan sekat-sekat identitasnya.

Dengan demikian wajar jika FKI VI kali ini menggulirkan satu wacana ”eksplorasi akar-akar identitas”. Terlebih FKI yang terdiri dari kumpulan perguruan tinggi seni se-Indonesia ini bergerak di garda depan ruang pendidikan seni. Oleh karena itu, keberadaannya sebagai sebuah festival harus mampu menunjukkan formatnya yang berbeda dari festival pada umumnya, alias lebih mendidik. Kreativitas tentu menjadi tuntutan utama. Namun, tidak hanya sebatas berkarya dan menggali kebaruan semata. Lebih dari itu, apakah karya-karya yang akan ditampilkan mampu memberi warna baru dan menguatkan identitas keindonesiaan dalam percaturan seni dan kebudayaan dewasa ini, menjadi penting untuk dipertanyakan kembali.

Seminar

Untuk mendukung gagasan tersebut FKI VI IKJ-Jakarta menjabarkannya dalam 13 acara pokok. Konser gamelan, orkes simfoni, karnaval, kolaborasi tari dan musik, pameran-pameran seni, seminar, workshop, pemutaran film, adalah acara-acara unggulan di samping banyak lagi acara lainnya. Barangkali yang paling menarik untuk diikuti jejak rekamnya adalah seminar yang diadakan tanggal 6-7 Oktober 2009. Apabila kita kesulitan dalam mencerna karya-karya yang ditampilkan, dengan mengikuti seminar ini, semua akan menjadi terang dan jelas.

Seminar yang juga mengambil tema “Exploring Root of Identity” adalah sebuah usaha yang mencoba mengungkapkan peran perguruan tinggi seni dalam upaya pelestarian, pengembangan dan penguatan kehidupan budaya melalui karya-karyanya. Selain itu, seminar mencoba menampilkan pemikiran-pemikiran dan perspektif baru dalam membaca perkembangan seni dewasa ini.

Tidak hanya para tokoh intelektual kebudayaan yang dihadirkan. Pada FKI VI, peran dan keikutsertaan mahasiswa kini juga mulai sangat diperhitungkan. Setiap perguruan tinggi seni mengirimkan delegasi lima mahasiswanya yang terlibat forum diskusi dengan mahasiswa perguruan tinggi seni lainnya. Lima mahasiswa berprestasi dari setiap perguruan tinggi tersebut juga menyeminarkan hasil dari pengembaraan intelektual yang telah mereka geluti selama menempuh studi di institusi seni. Kemudian, hasil akhirnya akan dirumuskan sebagai satu wacana pemikiran baru kaum intelektual muda masa kini.

Gamelan

Beberapa perguruan tinggi seni dalam FKI VI kali ini mencoba membasahi dirinya, dengan memusatkan perhatian hanya pada wilayah seni yang keberadaannya di luar gemerlapnya dunia populer. Mengais nilai tradisi. Itulah yang ditampilkan ISI Surakarta, ISI Denpasar, dan STSI Bandung yang semuanya sepakat membawa gamelan ”langka” mereka (Sekaten, Gong Kebyar, Gong Renteng) ke panggung pertunjukan yang megah. Tak tanggung-tanggung, dengan garapan baru, ketiga institusi tersebut juga mencoba ”mengawinkan” antargamelan yang mereka miliki sehingga muncul karya (bahkan varian gamelan) baru yang unik.

Ketiga perguruan tinggi seni tersebut seolah sepaham dalam menempatkan gamelan pada spektrum dan makna pokoknya yang intangible, tak kasat mata. Seni (gamelan) entah apa pun itu bentuknya tidak hanya hadir dalam takaran kebendaannya yang kasat mata, tangible. Lebih dari itu, konstruk makna filsafati yang begitu pekat di balik wujud kebendaannya adalah hal yang lebih penting untuk dimengerti kembali. Dengan demikian, menurut AL Suwardi komponis FKI dari Surakarta, seharusnya kita tidak perlu khawatir ketika seni kita dipakai dan diakui pihak lain. Karena mereka hanya mampu memiliki kebendaannya tanpa mampu menembus sekat-sekat makna yang terkandung di dalamnya.

Semoga FKI tidak hanya menjadi semacam ritual. Nama ”Indonesia” yang disandang dalam festival tersebut harusnya mampu menggambarkan dan memberi warna serta kekuatan ke- indonesiaan, yang selama ini dirasa telah menghilang akibat hiruk-pikuk gempuran budaya global-modern.

Aris Setiawan Etnomusikolog, Pengajar dan Kontingen FKI dari ISI Surakarta

Pengikut