Tenggelamnya
kuasa kritikus seni tidak hanya terjadi dalam kronos seni tertentu,
sastra misalnya, sebagaimana menjadi pemberitaan menarik di beberapa
media belakangan ini. Namun hampir semua spektrum seni mengalaminya.
Semua tidak dibangun dari fondasi kritik yang kuat, tak terkecuali
musik.
Sejak era Suka Hardjana dengan ulasan kritiknya yang
‘menggigit’ di berbagai media cetak nasional itu, kehidupan dunia musik
Indonesia kini menjadi begitu glamour, eksklusif tanpa pernah tersentuh
kritikus. Bahkan boleh dikata, peradaban dunia musik Indonesia kini
nihil kritikus. Event-event besar layaknya Art Summit, SIEM (Solo
International Ethnic Music), Temu Komponis, Surabaya Full Music kini
hanya menjadi klangenan atau ritual wajib yang tiada lagi meletupkan
karya musik monumental apalagi mencengangkan publik. Sebabnya, kritikus
sebagai katalisator antara karya itu dengan masyarakat luas mandul dalam
perannya.
Terlebih dengan euforia berbagai acara musik populis
yang terlibat dalam hiruk-pikuk pasar di media televisi. Musik-musik
yang dibawakan hampir seragam, serupa, setipe, dangkal (alay), copot
sana-copot sini, siapa peduli? Hal ini membuat publik semakin
teraleniasi –kalau bukannya terbodohkan- dari genre musik yang
berkualitas dan layak didengar. Musik-musik yang ‘kacangan’ itu semakin
membuncah. Menjadi santapan publik sehari-hari, hingga mempengaruhi
konstruksi pikir mereka dengan penilaian bahwa musik-musik itulah yang
paling bagus. Walaupun juga di antranya tidak jelek.
Sah-sah saja
memang. Namun dengan nihilnya kritikus musik, keliaran kreativitas
musisi tiada mampu dikontrol oleh sikap pendewasaan berkarya yang baik.
Imbasnya, karya-karya yang dibawakan menjadi distorsi, terkesan jalan di
tempat, itu-itu saja, bahkan mengalami degradasi nilai. Kritikus
harusnya dapat menjadi the controller dengan memberikan racikan
kritik yang berbobot. Hal ini bukan semata-mata demi dirinya, namun
untuk musisi dan rajutan karyanya serta masyarakat dengan bangunan
penilaiannya.
Sementara musik-musik ‘berkualitas’ bagai menara
gading yang tiada pernah terkuak. Detak gaungnya semakin tak terdengar
karena tergerus oleh penetrasi budaya populis. Kalaupun karya-karya
berkualitas itu muncul lewat media cetak, tak lebih dari hanya sekedar
reportase belaka tanpa pernah disertai upaya analisis kritik yang pekat.
Bukan hal baru, fenomena semacam ini setidaknya sudah menjadi
perdebatan menarik sejak tahun 70-an, sebagaimana dilansir oleh Majalah Tempo (edisi 18 Januari 1975).
Bimusikalitas
Penilaian
dan kritik terhadap karya musik dapat dilakukan oleh siapapun. Terlebih
ruang pewacanaannya kini menjadi lebih terbuka dengan lahirnya
situs-situs jejaring seperti Faceebok, Twitter, Yelp, Koprol. Bahkan
bagi Arif Bagus Prasetyo (Sastrawan asal Bali) mengaklamasikan era
jejaring sosial kini sebagai diktum kematian kritikus seni. Siapa pun
dapat menjadi kritikus (amatir-isme-) dengan melayangkan ulasan akan
kiritiknya lewat situs jejaring itu. Sesederhana itukah terciptanya
kritikus? Tentu saja tidak.
Kritikus setidaknya ditempa dengan
pergulatan, pengamatan dan pengalaman yang panjang dalam mencerna
fenomena seni bidikan kritiknya. Sehingga terlihat dalam bobot sayatan
setiap kritik yang dimunculkan. Sementara kritikus musik, bekal
‘bimusikalitas’ menjadi penting, menguasi pranata serta gramatika musik
yang dikritiknya.
Persoalannya kemudian musik sebagai alam bunyi,
tapi tidak berdiri pada satu wilayahnya yang tunggal. Apabila di dunia
sastra kita akan dipertemukan oleh satu kaidah bahasa yakni Indonesia
(Melayu) sebagai seutas benang kesepahaman akan lahirnya makna.
Sementara dalam musik, bunyi saja tidak cukup. Bunyi bukan bahasa
(kata). Apalagi menjadi benang untuk dipintal sebagai kritik. Bunyi
penuh akan kompleksitas makna dari konstruk budaya pemiliknya.
Suka
Hardjana misalnya dengan leluasa dapat melakukan telaah kritik terhadap
bunyi-bunyi yang lahir dalam determinasi budaya Eropa semacam Mozart,
Bach, Bartok, Haydn. Hal itu didasarkan atas perimbangan kemampuan olah
musiknya –bimusikal- yang didasari atas musik Eropa, ia adalah seorang
klarinet. Sementara untuk masuk pada “rekayasa bunyi” yang lain, gamelan
Jawa misalnya, ia tidak memiliki kuasanya dengan bebas. Tidak semua
bunyi dapat menjadi bahan kritik oleh kritikus. Layaknya dokter,
idealnya kritikus musik memiliki spesialisasi terhadap musik –bunyi-
jenis apa yang akan dikritiknya. Pertanyaannya, di mana krititus musik
yang spesialis demikian dapat ditempa?
(Etno)musikologi?
Awalnya,
kelahiran sekolah musik di Yogyakarta serta lahirnya beberapa perguruan
tinggi seni diprediksi menjadi barometer munculnya musisi-musisi yang
tidak hanya handal dalam praktik. Namun juga olah kemampuan intelejensia
berfikir yang mumpuni. Sehingga ekstase kekaryaan musik dapat diimbangi
dengan letupan kajian kritiknya yang mendalam. Namun hal itu seolah
hanya menjadi mitos belaka.
Bahkan banyak yang berharap, munculnya
ilmu baru ‘kajian musik’ seperti Etnomusikologi, dapat mencetak
kritikus musik. Sayangnya, ilmu ini lebih asik berkutat pada ruangnya
dengan hanya mengkaji gejala musik dalam spektrum masa kini dan masa
silam. Etnomusikologi masih belum berupaya mengarahkan pisau sasarannya
untuk kritik, serta perkembangan musik ‘yang akan’ dan ‘yang mau’
terjadi pada suatu masyarakat.
Hasil ulasannya seringkali harus
berhenti di perpustakaan kampus sebagai pajangan akhir. Serta tidak
memiliki dampak yang signifikan terhadap musik yang diulasnya. Karena
sifat dasar ilmu ini hanya menelaah apa yang ada dan bagaimana kaitan
musik itu dengan masyarakat pemiliknya. Tanpa mampu memberikan semacam
ruang restorasi bagi perkembangan musik itu ke depan. Pelakunya, si
pengkaji musik (etnomusikolog), berhenti sesudah ia meraih gelar
kesarjanaannya di suatu perguruan tinggi. Kemudian menjadi birokrat di
institusi pemerintahan atau pamong budaya.
Jika toh ada kritikus
muncul darinya, hasil ulasannya kadang terlalu akademis, sok ilmiah
dengan bahasa yang njlimet, sehingga hanya mampu mewacanakan kekaryaan
musik dalam konteksnya yang terbatas, atau terjerat dengan logika yang
ke-‘teoritis’-an.
Berkaca pada lalu-lalangnya dunia bunyi saat
ini, siapapun dapat menjadi kritikus musik. Namun Etnomusikologi yang
memiliki kuasanya dalam ‘kaji-mengkaji’ musik, sudah selayaknya
berbenah. Dengan memandang anomali perkembangan musik muthakir, harusnya
menjadikan dan memasukkan ‘kritik’ sebagai bahan utama sasarannya.
Melihat jejak musik yang tak mampu diprediksi apalagi dikontrol
langkahnya, tidak cukup dengan hanya menerimanya sebagai suatu
keniscayaan. Namun mau tidak mau dibutuhkan banyak kritikus yang mampu
mengimbangi kegaduhan dunia bunyi, dan berbicara lantang dan tajam dalam
upaya merestorasi musik-musik Indonesia.
Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di ISI (Institut Seni Indonesia) Surakarta