Butuh Kritikus untuk Restorasi Musik (dimuat di Jawapos edisi 28 Februari 2011)

Butuh Kritikus untuk Restorasi Musik


 
Tenggelamnya kuasa kritikus seni tidak hanya terjadi dalam kronos seni tertentu, sastra misalnya, sebagaimana menjadi pemberitaan menarik di beberapa media belakangan ini. Namun hampir semua spektrum seni mengalaminya. Semua tidak dibangun dari fondasi kritik yang kuat, tak terkecuali musik.
Sejak era Suka Hardjana dengan ulasan kritiknya yang ‘menggigit’ di berbagai media cetak nasional itu, kehidupan dunia musik Indonesia kini menjadi begitu glamour, eksklusif tanpa pernah tersentuh kritikus. Bahkan boleh dikata, peradaban dunia musik Indonesia kini nihil kritikus. Event-event besar layaknya Art Summit, SIEM (Solo International Ethnic Music), Temu Komponis, Surabaya Full Music kini hanya menjadi klangenan atau ritual wajib yang tiada lagi meletupkan karya musik monumental apalagi mencengangkan publik. Sebabnya, kritikus sebagai katalisator antara karya itu dengan masyarakat luas mandul dalam perannya.
Terlebih dengan euforia berbagai acara musik populis yang terlibat dalam hiruk-pikuk pasar di media televisi. Musik-musik yang dibawakan hampir seragam, serupa, setipe, dangkal (alay), copot sana-copot sini, siapa peduli? Hal ini membuat publik semakin teraleniasi –kalau bukannya terbodohkan- dari genre musik yang berkualitas dan layak didengar. Musik-musik yang ‘kacangan’ itu semakin membuncah. Menjadi santapan publik sehari-hari, hingga mempengaruhi konstruksi pikir mereka dengan penilaian bahwa musik-musik itulah yang paling bagus. Walaupun juga di antranya tidak jelek.
Sah-sah saja memang. Namun dengan nihilnya kritikus musik, keliaran kreativitas musisi tiada mampu dikontrol oleh sikap pendewasaan berkarya yang baik. Imbasnya, karya-karya yang dibawakan menjadi distorsi, terkesan jalan di tempat, itu-itu saja, bahkan mengalami degradasi nilai. Kritikus harusnya dapat menjadi the controller dengan memberikan racikan kritik yang berbobot. Hal ini bukan semata-mata demi dirinya, namun untuk musisi dan rajutan karyanya serta masyarakat dengan bangunan penilaiannya.
Sementara musik-musik ‘berkualitas’ bagai menara gading yang tiada pernah terkuak. Detak gaungnya semakin tak terdengar karena tergerus oleh penetrasi budaya populis. Kalaupun karya-karya berkualitas itu muncul lewat media cetak, tak lebih dari hanya sekedar reportase belaka tanpa pernah disertai upaya analisis kritik yang pekat. Bukan hal baru, fenomena semacam ini setidaknya sudah menjadi perdebatan menarik sejak tahun 70-an, sebagaimana dilansir oleh Majalah Tempo (edisi 18 Januari 1975).

Bimusikalitas
Penilaian dan kritik terhadap karya musik dapat dilakukan oleh siapapun. Terlebih ruang pewacanaannya kini menjadi lebih terbuka dengan lahirnya situs-situs jejaring seperti Faceebok, Twitter, Yelp, Koprol. Bahkan bagi Arif Bagus Prasetyo (Sastrawan asal Bali) mengaklamasikan era jejaring sosial kini sebagai diktum kematian kritikus seni. Siapa pun dapat menjadi kritikus (amatir-isme-) dengan melayangkan ulasan akan kiritiknya lewat situs jejaring itu. Sesederhana itukah terciptanya kritikus? Tentu saja tidak.
Kritikus setidaknya ditempa dengan pergulatan, pengamatan dan pengalaman yang panjang dalam mencerna fenomena seni bidikan kritiknya. Sehingga terlihat dalam bobot sayatan setiap kritik yang dimunculkan. Sementara kritikus musik, bekal ‘bimusikalitas’ menjadi penting, menguasi pranata serta gramatika musik yang dikritiknya. 
Persoalannya kemudian musik sebagai alam bunyi, tapi tidak berdiri pada satu wilayahnya yang tunggal. Apabila di dunia sastra kita akan dipertemukan oleh satu kaidah bahasa yakni Indonesia (Melayu) sebagai seutas benang kesepahaman akan lahirnya makna. Sementara dalam musik, bunyi saja tidak cukup. Bunyi bukan bahasa (kata). Apalagi menjadi benang untuk dipintal sebagai kritik. Bunyi penuh akan kompleksitas makna dari konstruk budaya pemiliknya.
Suka Hardjana misalnya dengan leluasa dapat melakukan telaah kritik terhadap bunyi-bunyi yang lahir dalam determinasi budaya Eropa semacam Mozart, Bach, Bartok, Haydn. Hal itu didasarkan atas perimbangan kemampuan olah musiknya –bimusikal- yang didasari atas musik Eropa, ia adalah seorang klarinet. Sementara untuk masuk pada “rekayasa bunyi” yang lain, gamelan Jawa misalnya, ia tidak memiliki kuasanya dengan bebas. Tidak semua bunyi dapat menjadi bahan kritik oleh kritikus. Layaknya dokter, idealnya kritikus musik memiliki spesialisasi terhadap musik –bunyi- jenis apa yang akan dikritiknya. Pertanyaannya, di mana krititus musik yang spesialis demikian dapat ditempa?

(Etno)musikologi?
Awalnya, kelahiran sekolah musik di Yogyakarta serta lahirnya beberapa perguruan tinggi seni diprediksi menjadi barometer munculnya musisi-musisi yang tidak hanya handal dalam praktik. Namun juga olah kemampuan intelejensia berfikir yang mumpuni. Sehingga ekstase kekaryaan musik dapat diimbangi dengan letupan kajian kritiknya yang mendalam. Namun hal itu seolah hanya menjadi mitos belaka.
Bahkan banyak yang berharap, munculnya ilmu baru ‘kajian musik’ seperti Etnomusikologi, dapat mencetak kritikus musik. Sayangnya, ilmu ini lebih asik berkutat pada ruangnya dengan hanya mengkaji gejala musik dalam spektrum masa kini dan masa silam. Etnomusikologi masih belum berupaya mengarahkan pisau sasarannya untuk kritik, serta perkembangan musik ‘yang akan’ dan ‘yang mau’ terjadi pada suatu masyarakat. 
Hasil ulasannya seringkali harus berhenti di perpustakaan kampus sebagai pajangan akhir. Serta tidak memiliki dampak yang signifikan terhadap musik yang diulasnya. Karena sifat dasar ilmu ini hanya menelaah apa yang ada dan bagaimana kaitan musik itu dengan masyarakat pemiliknya. Tanpa mampu memberikan semacam ruang restorasi bagi perkembangan musik itu ke depan. Pelakunya, si pengkaji musik (etnomusikolog), berhenti sesudah ia meraih gelar kesarjanaannya di suatu perguruan tinggi. Kemudian menjadi birokrat di institusi pemerintahan atau pamong budaya.
Jika toh ada kritikus muncul darinya, hasil ulasannya kadang terlalu akademis, sok ilmiah dengan bahasa yang njlimet, sehingga hanya mampu mewacanakan kekaryaan musik dalam konteksnya yang terbatas, atau terjerat dengan logika yang ke-‘teoritis’-an. 
Berkaca pada lalu-lalangnya dunia bunyi saat ini, siapapun dapat menjadi kritikus musik. Namun Etnomusikologi yang memiliki kuasanya dalam ‘kaji-mengkaji’ musik, sudah selayaknya berbenah. Dengan memandang anomali perkembangan musik muthakir, harusnya menjadikan dan memasukkan ‘kritik’ sebagai bahan utama sasarannya. Melihat jejak musik yang tak mampu diprediksi apalagi dikontrol langkahnya, tidak cukup dengan hanya menerimanya sebagai suatu keniscayaan. Namun mau tidak mau dibutuhkan banyak kritikus yang mampu mengimbangi kegaduhan dunia bunyi, dan berbicara lantang dan tajam dalam upaya merestorasi musik-musik Indonesia.

Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di ISI (Institut Seni Indonesia) Surakarta

Tonggak Lagu Kritik Sosial (dimuat di Koran Joglosemar, 11 Februari 2011)

Tonggak Lagu Kritik Sosial 


 
Sebulan yang lalu saya menulis di Koran Tempo (8 Januari 2011) dengan judul Kevakuman Musik Kritik. Inti dari tulisan saya tersebut adalah bahwa saat ini Indonesia mandul akan lahirnya musik-musik bertemakan kritik. Padahal di balik kondisi sosial politik hukum dan HAM yang makin terpuruk, harusnya dengan leluasa dapat memicu munculnya musik bertema kritik. Dengan serta-merta saya menarik kesimpulan bahwa musisi saat ini lebih tertarik mereduksi musik bertemakan cinta-cintaan dan asmara semata karena lebih digemari dan laku di pasar.
Namun dengan munculnya lagu Andai Aku Jadi Gayus oleh Bona Paputungan, seolah mematahkan asumsi saya di atas. Dalam sepekan sejak lagu tersebut diunggah ke situs berbagi www.youtube.com ternyata telah ditonton oleh lebih dari satu juta orang. Sungguh pencapaian yang luar biasa. Jika banyaknya masyarakat yang melihat dan mendengar dapat digunakan sebagai acuan tolok ukur, maka sampai pada titik ini membuktikan bahwa sesungguhnya rakyat Indonesia merindukan dan haus akan musik-musik yang bertemakan demikian.
Memanfaatkan Media Baru
Awalnya saya beranggapan bahwa media saat ini tidak mau menjamah musik-musik bertema kritik sosial seperti era Iwan Fals dulu, ternyata sedikit keliru. Perkembangan teknologi mengakibatkan ruang-ruang pewacanaan menjadi lebih kompleks. Munculnya jejaring sosial seperti Facebook, Twitter, Youtube, 4shared, Koprol dan lain sebagainya ternyata menjadi katalisator baru atau jembatan yang menghubungkan satu orang dengan orang lain dalam lintas batas dan wilayah. Kini media-media itu menjadi tren baru dalam mewacanakan satu kreativitas lain yang selama ini terpendam dalam penetrasi budaya populer. Berbagai hal dapat menjelma menjadi keunikan tema pewacanaannya, tak terkecuali musik.
Bona Paputungan adalah satu dari banyak orang yang memanfaatkannya. Musisi asal Gorontalo ini tiba-tiba menjadi artis dadakan. Dengan sisi kreativitas yang dimilikinya, ia mencoba menyuarakan isi hati lewat musik, satu ketimpangan pengalaman yang dialaminya ketika masih berada dalam lembaga pemasyarakatan dulu dengan apa yang dialami oleh Gayus Tambunan untuk saat ini. Konklusinya, Bona mengalami satu situasi yang penuh pesakitan, terkucilkan, termarginalkan dengan stereotip negatif yang melekat padanya. Berbeda dengan Gayus yang dapat melenggang ke manapun ia suka. Pada titik inilah ia mempertanyakan rasa keadilan itu. Secara tak langsung pula, ia mencoba menyuarakan kontradiksi yang terjadi antara si miskin dan si kaya, abangan dan priyayi, kelas teri dan kelas kakap.
Bukan satu rahasia lagi, lewat situs jejaring itu, musik bertema kritik sosial hasil ciptaannya memberi pemaknaan serta tafsir human interest yang berhubungan dengan satu kondisi dan situasi oleh manusia-manusia yang terlibat di dalamnya. Masyarakat Indonesia mencoba mengamini apa yang dibuat oleh mantan napi itu. Tak ada satupun dalam situs jejaring itu yang berkomentar sinisme, apriori terhadap hasil karyanya, semua sepaham. Kemudian menjadi penting untuk dipertanyakan, seberapa besar ekses yang didera dari musik ciptaan Bona itu?
Setidaknya dengan di-blok up-nya musik bertema kritik sosial itu oleh televisi dan radio, menunjukkan bahwa lagu ini memiliki peranan besar dalam upaya “perang” melawan ketertindasan. Bona hanyalah satu dari sekian banyak masyarakat yang pernah merasakan ketidakadilan. Oleh karena itu, dengan dibukanya akses masuk dalam media-media pewacanaan itu, seharusnya Bona hanya menjadi awal untuk memicu dan menstimuli munculnya musik-musik bertema kritik serupa lainnya.
Musik Lebih Tajam
Diakui atau tidak, musik memiliki kelebihan yang efektif sebagai katalisator kreativitas dan idealisme dibanding dengan yang lain. Hal ini karena sifatnya yang accessible. Semua orang dari berbagai kalangan dapat leluasa mengaksesnya. Dengan bantuan alat rekam layaknya mp3-4, handphone, ipad, ipod menempatkan dirinya sebagai satu “rekayasa bunyi” yang dapat dinikmati di mana pun dan dalam kondisi apa pun.
Ia pula yang dapat dengan leluasa mengonstruksi pola pikir penikmatnya menuruti tema atau pesan yang mencoba digulirkan lewat alunan teks musikal, tempo, dinamika, ritme, melodi serta alur orkestrasinya. Dengan demikian musik senantiasa bertalian erat dengan satu situasi psikologis seseorang. Buktinya, lihat gamelan Jawa yang digunakan sebagai sarana terapi di berbagai lembaga pemasyarakatan di Perancis serta Inggris. Musik klasik yang digunakan sebagai sarana uji kepekaan janin oleh ibu hamil. Seseorang yang harus mengubah gaya penampilannya karena mendengar jenis musik tertentu. Bahkan yang paling frontal, banyak pemuda nekat mengakhiri nyawanya karena terinspirasi oleh beberapa lagu aneh. Lihat efek lagu Marylin Manson di tahun 90-an.
Terlalu dini memang jika hal itu dikaitkan dengan kausalitas musik hasil ciptaan Bona. Namun bukannya tanpa efek dan akibat, selang beberapa hari sejak lagu ciptaannya itu diunggah, berbagai teror telah menyelimuti dirinya. Memang terjun dalam dunia musik kritik yang demikian bukannya tanpa risiko. Lewat musik bertema kritiknya, Iwan Fals harus menjadi bulan-bulanan polisi di masa Orde Baru dulu. Begitu pula Bona, dengan adanya teror untuknya, justru merupakan satu pencapaian tersendiri bahwa musiknya telah didengar, diapresiasi oleh pihak-pihak pemegang kepentingan. Lewat musik, Bona lebih berhasil dibandingkan dengan ratusan pejuang yang berbicara lantang menentang korupsi. Musik lebih tajam dari hanya sekadar kata.
Musik jenis demikian jelas bukan merupakan pendokumentasian peristiwa semata, atau sekadar duduk merenung di belakang meja sambil memetik gitar dengan menghasilkan butir-butir kata yang puitis dan romantis. Namun lebih pada pergulatan dalam mencerna pengalaman serta realitas yang diharapkan dapat memancing berbagai interpretasi serta reaksi dari pendengarnya.
Balutan gramatika musikal Andai Aku Jadi Gayus seperti melodi, teks musikal, konstruksi akord, irama dan dinamika yang begitu sederhana atau bahkan seolah kurang begitu diperhatikan, menandakan derajat asal kastanya yang lahir dari musisi akar rumput. Ia bukanlah musisi terkenal atau piawai yang dapat mempermainkan bangunan musikal itu semaunya, ia hanyalah satu dari beribu orang yang mencoba menggulirkan jeritan hatinya lewat musik. Dengan demikian, Bona juga tidak akan berpikir akan untung ruginya dalam skala material. Karena memang musiknya bukan untuk dijual. Kalaupun ia menjadi terkenal, tak lebih karena efek lain yang disandangnya. Di balik keglamoran musik-musik populer yang begitu feminin, apa yang dilakukan Bona adalah setetes air di gersangnya padang pasir musik kritik Indonesia.
Dengan mempertimbangkan risiko yang disandang dalam pencapaian musik bertemakan kritik sosial itu, kemudian pertanyaannya, siapa yang berani setelah Bona Paputungan?

Aris Setiawan
Etnomusikolog, staf pengajar di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta

Pengikut