Tonggak Lagu Kritik Sosial (dimuat di Koran Joglosemar, 11 Februari 2011)

Tonggak Lagu Kritik Sosial 


 
Sebulan yang lalu saya menulis di Koran Tempo (8 Januari 2011) dengan judul Kevakuman Musik Kritik. Inti dari tulisan saya tersebut adalah bahwa saat ini Indonesia mandul akan lahirnya musik-musik bertemakan kritik. Padahal di balik kondisi sosial politik hukum dan HAM yang makin terpuruk, harusnya dengan leluasa dapat memicu munculnya musik bertema kritik. Dengan serta-merta saya menarik kesimpulan bahwa musisi saat ini lebih tertarik mereduksi musik bertemakan cinta-cintaan dan asmara semata karena lebih digemari dan laku di pasar.
Namun dengan munculnya lagu Andai Aku Jadi Gayus oleh Bona Paputungan, seolah mematahkan asumsi saya di atas. Dalam sepekan sejak lagu tersebut diunggah ke situs berbagi www.youtube.com ternyata telah ditonton oleh lebih dari satu juta orang. Sungguh pencapaian yang luar biasa. Jika banyaknya masyarakat yang melihat dan mendengar dapat digunakan sebagai acuan tolok ukur, maka sampai pada titik ini membuktikan bahwa sesungguhnya rakyat Indonesia merindukan dan haus akan musik-musik yang bertemakan demikian.
Memanfaatkan Media Baru
Awalnya saya beranggapan bahwa media saat ini tidak mau menjamah musik-musik bertema kritik sosial seperti era Iwan Fals dulu, ternyata sedikit keliru. Perkembangan teknologi mengakibatkan ruang-ruang pewacanaan menjadi lebih kompleks. Munculnya jejaring sosial seperti Facebook, Twitter, Youtube, 4shared, Koprol dan lain sebagainya ternyata menjadi katalisator baru atau jembatan yang menghubungkan satu orang dengan orang lain dalam lintas batas dan wilayah. Kini media-media itu menjadi tren baru dalam mewacanakan satu kreativitas lain yang selama ini terpendam dalam penetrasi budaya populer. Berbagai hal dapat menjelma menjadi keunikan tema pewacanaannya, tak terkecuali musik.
Bona Paputungan adalah satu dari banyak orang yang memanfaatkannya. Musisi asal Gorontalo ini tiba-tiba menjadi artis dadakan. Dengan sisi kreativitas yang dimilikinya, ia mencoba menyuarakan isi hati lewat musik, satu ketimpangan pengalaman yang dialaminya ketika masih berada dalam lembaga pemasyarakatan dulu dengan apa yang dialami oleh Gayus Tambunan untuk saat ini. Konklusinya, Bona mengalami satu situasi yang penuh pesakitan, terkucilkan, termarginalkan dengan stereotip negatif yang melekat padanya. Berbeda dengan Gayus yang dapat melenggang ke manapun ia suka. Pada titik inilah ia mempertanyakan rasa keadilan itu. Secara tak langsung pula, ia mencoba menyuarakan kontradiksi yang terjadi antara si miskin dan si kaya, abangan dan priyayi, kelas teri dan kelas kakap.
Bukan satu rahasia lagi, lewat situs jejaring itu, musik bertema kritik sosial hasil ciptaannya memberi pemaknaan serta tafsir human interest yang berhubungan dengan satu kondisi dan situasi oleh manusia-manusia yang terlibat di dalamnya. Masyarakat Indonesia mencoba mengamini apa yang dibuat oleh mantan napi itu. Tak ada satupun dalam situs jejaring itu yang berkomentar sinisme, apriori terhadap hasil karyanya, semua sepaham. Kemudian menjadi penting untuk dipertanyakan, seberapa besar ekses yang didera dari musik ciptaan Bona itu?
Setidaknya dengan di-blok up-nya musik bertema kritik sosial itu oleh televisi dan radio, menunjukkan bahwa lagu ini memiliki peranan besar dalam upaya “perang” melawan ketertindasan. Bona hanyalah satu dari sekian banyak masyarakat yang pernah merasakan ketidakadilan. Oleh karena itu, dengan dibukanya akses masuk dalam media-media pewacanaan itu, seharusnya Bona hanya menjadi awal untuk memicu dan menstimuli munculnya musik-musik bertema kritik serupa lainnya.
Musik Lebih Tajam
Diakui atau tidak, musik memiliki kelebihan yang efektif sebagai katalisator kreativitas dan idealisme dibanding dengan yang lain. Hal ini karena sifatnya yang accessible. Semua orang dari berbagai kalangan dapat leluasa mengaksesnya. Dengan bantuan alat rekam layaknya mp3-4, handphone, ipad, ipod menempatkan dirinya sebagai satu “rekayasa bunyi” yang dapat dinikmati di mana pun dan dalam kondisi apa pun.
Ia pula yang dapat dengan leluasa mengonstruksi pola pikir penikmatnya menuruti tema atau pesan yang mencoba digulirkan lewat alunan teks musikal, tempo, dinamika, ritme, melodi serta alur orkestrasinya. Dengan demikian musik senantiasa bertalian erat dengan satu situasi psikologis seseorang. Buktinya, lihat gamelan Jawa yang digunakan sebagai sarana terapi di berbagai lembaga pemasyarakatan di Perancis serta Inggris. Musik klasik yang digunakan sebagai sarana uji kepekaan janin oleh ibu hamil. Seseorang yang harus mengubah gaya penampilannya karena mendengar jenis musik tertentu. Bahkan yang paling frontal, banyak pemuda nekat mengakhiri nyawanya karena terinspirasi oleh beberapa lagu aneh. Lihat efek lagu Marylin Manson di tahun 90-an.
Terlalu dini memang jika hal itu dikaitkan dengan kausalitas musik hasil ciptaan Bona. Namun bukannya tanpa efek dan akibat, selang beberapa hari sejak lagu ciptaannya itu diunggah, berbagai teror telah menyelimuti dirinya. Memang terjun dalam dunia musik kritik yang demikian bukannya tanpa risiko. Lewat musik bertema kritiknya, Iwan Fals harus menjadi bulan-bulanan polisi di masa Orde Baru dulu. Begitu pula Bona, dengan adanya teror untuknya, justru merupakan satu pencapaian tersendiri bahwa musiknya telah didengar, diapresiasi oleh pihak-pihak pemegang kepentingan. Lewat musik, Bona lebih berhasil dibandingkan dengan ratusan pejuang yang berbicara lantang menentang korupsi. Musik lebih tajam dari hanya sekadar kata.
Musik jenis demikian jelas bukan merupakan pendokumentasian peristiwa semata, atau sekadar duduk merenung di belakang meja sambil memetik gitar dengan menghasilkan butir-butir kata yang puitis dan romantis. Namun lebih pada pergulatan dalam mencerna pengalaman serta realitas yang diharapkan dapat memancing berbagai interpretasi serta reaksi dari pendengarnya.
Balutan gramatika musikal Andai Aku Jadi Gayus seperti melodi, teks musikal, konstruksi akord, irama dan dinamika yang begitu sederhana atau bahkan seolah kurang begitu diperhatikan, menandakan derajat asal kastanya yang lahir dari musisi akar rumput. Ia bukanlah musisi terkenal atau piawai yang dapat mempermainkan bangunan musikal itu semaunya, ia hanyalah satu dari beribu orang yang mencoba menggulirkan jeritan hatinya lewat musik. Dengan demikian, Bona juga tidak akan berpikir akan untung ruginya dalam skala material. Karena memang musiknya bukan untuk dijual. Kalaupun ia menjadi terkenal, tak lebih karena efek lain yang disandangnya. Di balik keglamoran musik-musik populer yang begitu feminin, apa yang dilakukan Bona adalah setetes air di gersangnya padang pasir musik kritik Indonesia.
Dengan mempertimbangkan risiko yang disandang dalam pencapaian musik bertemakan kritik sosial itu, kemudian pertanyaannya, siapa yang berani setelah Bona Paputungan?

Aris Setiawan
Etnomusikolog, staf pengajar di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta

Tidak ada komentar:

Pengikut