Sebulan
yang lalu saya menulis di Koran Tempo (8 Januari 2011) dengan judul
Kevakuman Musik Kritik. Inti dari tulisan saya tersebut adalah bahwa
saat ini Indonesia mandul akan lahirnya musik-musik bertemakan kritik.
Padahal di balik kondisi sosial politik hukum dan HAM yang makin
terpuruk, harusnya dengan leluasa dapat memicu munculnya musik bertema
kritik. Dengan serta-merta saya menarik kesimpulan bahwa musisi saat ini
lebih tertarik mereduksi musik bertemakan cinta-cintaan dan asmara
semata karena lebih digemari dan laku di pasar.
Namun dengan
munculnya lagu Andai Aku Jadi Gayus oleh Bona Paputungan, seolah
mematahkan asumsi saya di atas. Dalam sepekan sejak lagu tersebut
diunggah ke situs berbagi www.youtube.com ternyata telah ditonton oleh
lebih dari satu juta orang. Sungguh pencapaian yang luar biasa. Jika
banyaknya masyarakat yang melihat dan mendengar dapat digunakan sebagai
acuan tolok ukur, maka sampai pada titik ini membuktikan bahwa
sesungguhnya rakyat Indonesia merindukan dan haus akan musik-musik yang
bertemakan demikian.
Memanfaatkan Media Baru
Awalnya saya
beranggapan bahwa media saat ini tidak mau menjamah musik-musik bertema
kritik sosial seperti era Iwan Fals dulu, ternyata sedikit keliru.
Perkembangan teknologi mengakibatkan ruang-ruang pewacanaan menjadi
lebih kompleks. Munculnya jejaring sosial seperti Facebook, Twitter,
Youtube, 4shared, Koprol dan lain sebagainya ternyata menjadi
katalisator baru atau jembatan yang menghubungkan satu orang dengan
orang lain dalam lintas batas dan wilayah. Kini media-media itu menjadi
tren baru dalam mewacanakan satu kreativitas lain yang selama ini
terpendam dalam penetrasi budaya populer. Berbagai hal dapat menjelma
menjadi keunikan tema pewacanaannya, tak terkecuali musik.
Bona
Paputungan adalah satu dari banyak orang yang memanfaatkannya. Musisi
asal Gorontalo ini tiba-tiba menjadi artis dadakan. Dengan sisi
kreativitas yang dimilikinya, ia mencoba menyuarakan isi hati lewat
musik, satu ketimpangan pengalaman yang dialaminya ketika masih berada
dalam lembaga pemasyarakatan dulu dengan apa yang dialami oleh Gayus
Tambunan untuk saat ini. Konklusinya, Bona mengalami satu situasi yang
penuh pesakitan, terkucilkan, termarginalkan dengan stereotip negatif
yang melekat padanya. Berbeda dengan Gayus yang dapat melenggang ke
manapun ia suka. Pada titik inilah ia mempertanyakan rasa keadilan itu.
Secara tak langsung pula, ia mencoba menyuarakan kontradiksi yang
terjadi antara si miskin dan si kaya, abangan dan priyayi, kelas teri
dan kelas kakap.
Bukan satu rahasia lagi, lewat situs jejaring
itu, musik bertema kritik sosial hasil ciptaannya memberi pemaknaan
serta tafsir human interest yang berhubungan dengan satu kondisi dan
situasi oleh manusia-manusia yang terlibat di dalamnya. Masyarakat
Indonesia mencoba mengamini apa yang dibuat oleh mantan napi itu. Tak
ada satupun dalam situs jejaring itu yang berkomentar sinisme, apriori
terhadap hasil karyanya, semua sepaham. Kemudian menjadi penting untuk
dipertanyakan, seberapa besar ekses yang didera dari musik ciptaan Bona
itu?
Setidaknya dengan di-blok up-nya musik bertema kritik sosial
itu oleh televisi dan radio, menunjukkan bahwa lagu ini memiliki
peranan besar dalam upaya “perang” melawan ketertindasan. Bona hanyalah
satu dari sekian banyak masyarakat yang pernah merasakan
ketidakadilan. Oleh karena itu, dengan dibukanya akses masuk dalam
media-media pewacanaan itu, seharusnya Bona hanya menjadi awal untuk
memicu dan menstimuli munculnya musik-musik bertema kritik serupa
lainnya.
Musik Lebih Tajam
Diakui atau tidak, musik memiliki
kelebihan yang efektif sebagai katalisator kreativitas dan idealisme
dibanding dengan yang lain. Hal ini karena sifatnya yang accessible.
Semua orang dari berbagai kalangan dapat leluasa mengaksesnya. Dengan
bantuan alat rekam layaknya mp3-4, handphone, ipad, ipod menempatkan
dirinya sebagai satu “rekayasa bunyi” yang dapat dinikmati di mana pun
dan dalam kondisi apa pun.
Ia pula yang dapat dengan leluasa
mengonstruksi pola pikir penikmatnya menuruti tema atau pesan yang
mencoba digulirkan lewat alunan teks musikal, tempo, dinamika, ritme,
melodi serta alur orkestrasinya. Dengan demikian musik senantiasa
bertalian erat dengan satu situasi psikologis seseorang. Buktinya,
lihat gamelan Jawa yang digunakan sebagai sarana terapi di berbagai
lembaga pemasyarakatan di Perancis serta Inggris. Musik klasik yang
digunakan sebagai sarana uji kepekaan janin oleh ibu hamil. Seseorang
yang harus mengubah gaya penampilannya karena mendengar jenis musik
tertentu. Bahkan yang paling frontal, banyak pemuda nekat mengakhiri
nyawanya karena terinspirasi oleh beberapa lagu aneh. Lihat efek lagu
Marylin Manson di tahun 90-an.
Terlalu dini memang jika hal itu
dikaitkan dengan kausalitas musik hasil ciptaan Bona. Namun bukannya
tanpa efek dan akibat, selang beberapa hari sejak lagu ciptaannya itu
diunggah, berbagai teror telah menyelimuti dirinya. Memang terjun dalam
dunia musik kritik yang demikian bukannya tanpa risiko. Lewat musik
bertema kritiknya, Iwan Fals harus menjadi bulan-bulanan polisi di masa
Orde Baru dulu. Begitu pula Bona, dengan adanya teror untuknya, justru
merupakan satu pencapaian tersendiri bahwa musiknya telah didengar,
diapresiasi oleh pihak-pihak pemegang kepentingan. Lewat musik, Bona
lebih berhasil dibandingkan dengan ratusan pejuang yang berbicara
lantang menentang korupsi. Musik lebih tajam dari hanya sekadar kata.
Musik
jenis demikian jelas bukan merupakan pendokumentasian peristiwa
semata, atau sekadar duduk merenung di belakang meja sambil memetik
gitar dengan menghasilkan butir-butir kata yang puitis dan romantis.
Namun lebih pada pergulatan dalam mencerna pengalaman serta realitas
yang diharapkan dapat memancing berbagai interpretasi serta reaksi dari
pendengarnya.
Balutan gramatika musikal Andai Aku Jadi Gayus
seperti melodi, teks musikal, konstruksi akord, irama dan dinamika yang
begitu sederhana atau bahkan seolah kurang begitu diperhatikan,
menandakan derajat asal kastanya yang lahir dari musisi akar rumput. Ia
bukanlah musisi terkenal atau piawai yang dapat mempermainkan bangunan
musikal itu semaunya, ia hanyalah satu dari beribu orang yang mencoba
menggulirkan jeritan hatinya lewat musik. Dengan demikian, Bona juga
tidak akan berpikir akan untung ruginya dalam skala material. Karena
memang musiknya bukan untuk dijual. Kalaupun ia menjadi terkenal, tak
lebih karena efek lain yang disandangnya. Di balik keglamoran
musik-musik populer yang begitu feminin, apa yang dilakukan Bona adalah
setetes air di gersangnya padang pasir musik kritik Indonesia.
Dengan
mempertimbangkan risiko yang disandang dalam pencapaian musik
bertemakan kritik sosial itu, kemudian pertanyaannya, siapa yang berani
setelah Bona Paputungan?
Aris Setiawan
Etnomusikolog, staf pengajar di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar