Sadra, Dekonstruktor Bunyi Itu, Kini Tiada
Gong yang begitu agung dalam budaya gamelan di Jawa itu tiba-tiba harus diperlakukan dengan tidak sewajarnya. Di atas panggung, ia tidak lagi dibunyikan dengan lembut dan penuh perasaan seperti biasanya. Ia harus ditarik (diseret) seenaknya dengan menggunakan tali pluntur tanpa alas. Atau dipukuli dengan menggunakan tangan kosong, menimbulkan bunyi ritmik yang ramai layaknya instrumen jimbe dari Afrika. Padahal, konon gong bagi masyarakat Jawa tidak hanya sekedar alat musik semata, melainkan sesak akan bingkai pemaknaan kultural. Ia merestorasi dirinya sebagai puncak dari simbol yang transendental, menjelma menjadi sang ‘Nyai’ atau ‘Kyai’. Mitos akan sesuatu yang besar, berkuasa dan kuat (Joko Gombloh, 2009). Lihatlah –gong- Kyai Mahesa dan Kyai Sima di Kraton Yogyakarta, Kyai Surak di Kraton Surakarta atau Kyai Macan Putih di RRI Surabaya yang pada waktu tertentu kehadirannya harus senantiasa disertai dengan sesaji, dianggap keramat.
Namun bagi I Wayan Sadra, gong sama dengan lainnya, ia adalah instrumen yang bebas akan tafsir musikal, apalagi kebudayaan. Sadra mencoba memperlakukan gong dengan melepaskan beban-beban belenggu kulturalnya. Ia dengan leluasa menyeret beberapa gong mengitari panggung Art Summit 2004 di Gedung Kesenian Jakarta kala itu. Menimbulkan bunyi noise yang memekakkan telinga. Anehnya lagi, Sadra juga melemparkan banyak telur busuk ke papan bejana panas yang menyerap pecahan telur-telur itu sehingga menimbulkan suara yang unik. Bau dari telur-telur busuk yang pecah itu sampai ke penonton. Tak sedikit di antaranya yang mau muntah.
Hal yang kemudian menimbulkan perdebatan menarik bagi kalangan musisi –gamelan- di Jawa. Banyak para empu gamelan yang tidak terima akan perlakuannya terhadap gong, membencinya, mengumpatnya, menganggapnya abnornal, lancang, ataubahkan gila –edan-. Namun siapa sangka setelah beberapa hari pementasan itu diberlangsungkan, Harian Kompas (15 September 2004) dengan tegas menuliskan “Musiknya sebenarnya sudah menjadi nirmusik, sebagaimana ritus-ritus menginjak atau memecahkan telur di Jawa dan Bali. Musiknya tidak terdengar, tetapi efek dari musik itu merasuk ke hal-hal spiritual.”.
Bunyi bagi Suara yang Kalah
Sayangnya, dunia musik kini sedang berduka. Komponis kelahiran Bali yang begitu fenomenal itu kini telah tiada. Ya! Di usianya yang ke 57 tahun, I Wayan Sadra telah berpulang untuk selamanya. Menghembuskan nafas terakhir di R.S. Moewardi Solo pukul 00.05 (14 April 2011). Ia kalah bergelut dengan sakit jantung yang dideranya. Komponis kontemporer yang sehari-harinya mengajar di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta itu telah meninggalkan begitu banyak torehan karya-karya musik yang monumental. Ia adalah pelopor musik kontemporer di Indonesia. Teman seperjuagan bagi Slamet Abdul Syukur, Sapto Raharjo, Harry Roesli, Rahayu Supanggah, Franki Raden serta Jadug Ferianto.
Oleh I Wayan Sadra, musik bukan hanya sekumpulan bunyi yang dirangkai hingga menjadi sebuah keajaiban untuk inderawi, tapi musik juga sebuah ‘diri’. Bunyi juga memiliki berbagai sisi sosial yang melingkupinya. Di sinilah berbagai pergulatan untuk menempatkan bunyi diberlangsungkan. Mengenai ikatan-ikatan, makna, nilai, kriteria indah dan tidaknya, serta bagaimana ia harus digunakan, dicintai atau bahkan dibuang.
Sadra sadar akan hal itu. Dengan pemaknaannya yang personal, ia banyak melakukan dekonstruksi bunyi dari kungkungan kultural yang selama ini membelenggunya. Ia banyak berpihak pada bunyi-bunyi yang selama ini telah dianggap kalah –tak populis-. Lihatlah bagaimana kenekadannya membawa sapi di atas panggung kala pentas musik di Taman Budaya Solo (1994). Sapi yang bagi kebanyakan orang tak lebih dari hanya sekedar hewan ternak itu, ternyata memiliki respon musikal yang tajam. Dengan dipicu oleh bunyi-bunyian yang aneh, noise, falsch sapi tersebut menggeluarkan kotorannya yang cair (maaf, mencret). Sebaliknya, ketika melodi musik yang dihasilkan tersebut tersetruktur dengan akord yang indah, tempo yang konstan, sapi tersebut menunjukkan ekspresinya yang tenang sehingga mengeluarkan kotoran yang padat. Bayangkan, oleh Sadra, bagaimana penonton hanya disuguhi pertunjukan kotoran sapi di atas panggung dan tentu dengan berbagai cita rasa aromanya yang menusuk hidung. Hal yang terlampau jauh berani.
Tapi jangan salah, jalur musik ‘aneh’ yang diambil Sadra itu bukannya dibentuk secara instan. Justru ia telah digladi dari pergulatan musik tradisi Bali yang pekat. Bahkan ia tergolong sebagai salah satu musisi tradisi yang handal dan disegani di seantero Jawa maupun Bali. Sejak umur delapan tahun, Sadra sudah piawai dalam memainkan semua instrumen gamelan. Melampaui batas kemampuan teman-teman sebayanya. Rustopo dalam salah satu tulisannya “Sadra Anak Desa yang Menjadi Komponis Dunia” (2003) mengisahkan Sadra menjadi pelatih gending-gending tradisi termuda kala itu bagi banyak Sekehe Gong di Bali.
Walaupun mahir dalam memainkan gending-gending tradisi, ada rasa kejenuhan yang dalam akan bunyi-bunyian yang monoton dan itu-itu saja. Baginya, (meminjam istilah Suka Hardjana) tradisi jika dibiarkan itu-itu saja, semakin lama juga akan semakin “membasi”. Sadra ingin mendekonstruksinya. Menata kembali bunyi-bunyian lama sehingga menjadi lebih segar, walaupun banyak diantaranya juga dengan mengais-ngais medium tradisi yang sudah ada sebelumnya.
Bukan Musik Biasa
Berkat kemampuan musikalnya itu Sadra telah berhasil mengarungi lebih dari 20 negara dalam tiga benua. Menjajah lewat pentas musik eksperimental yang diciptakannya. Ia pun memperoleh penghargaan ‘Leonardo New Horizon Award’, diperuntukkan bagi seseorang yang telah berhasil membuat inovasi dengan media baru -baca telur dan sapi di atas- dari International Society for Art, Sciences, and Technology (ISAST) USA tahun 1991. Penghargaan itu menjadi begitu prestisius karena Sadra menjadi musisi musik kontemporer pertama Indonesia yang berhasil mendapatkannya. Dalam catatan sejarah, hingga kini nama Sadra masih belum tergeserkan, ia masih menjadi satu-satunya musisi Indonesia yang pernah meraih penghargaan bergengsi itu.
Sadra juga pernah melakoni resisdensi khusus di Darmouth College Hanover di New Hampshire pada 1991. Menjadi komposer tamu di Pan Pasific Festival di Wellington, New Zealand pada 1993. Namanya begitu terkenal lewat publikasi karyanya dalam CD berjudul Interactions, New Music for Gamelan yang disponsori oleh ISAST, di mana peluncuran pertama kalinya dibarengi dengan edisi perdana Leonardo Music Journal pada 1991. Karya-karyanya pernah diterbitkan pula oleh Broadcasting Music Incorporation (BMI), Prog Peak Composer Collective, American Gamelan Institut (AGI)
Dalam empat tahun terakhir, Sadra telah sukses membentuk forum pentas musik bernama ‘Bukan Musik Biasa’. Forum itu diselenggarakan setiap dua bulan sekali di Taman Budaya Surakarta –pentas selanjutnya Mei 2011-. Mengacu pada temanya ‘bukan musik biasa’, musik-musik yang dihadirkan bukanlah musik yang biasa kita dengar (populis). Ia adalah akumulasi bunyi dari suara yang selama ini terpinggirkan –kontemporer-.
Uniknya, forum gagasannya tersebut bersifat non-profit, musisi yang tampil tidak dibayar, namun yang antri untuk ikut berpartisipasi jumlah tak terbendung, baik dari dalam maupun luar negeri. Walaupun bunyi-bunyi yang diproduksi cenderung aneh atau bahkan noise dan distorsi, namun animo masyarakat untuk menyaksikannya cukup tinggi. Indikasinya, setiap pementasan selalu disesaki dengan penonton, baik dari masyarakat luas, seniman, budayawan mapun mahasiswa. Boleh dikata, forum pentas musik peninggalan Sadra itu menjadi satu-satunya tempat dan muara untuk pentas musik kontemporer dewasa ini. Sebuah kritik terhadap event-event musik kontemporer lainnya yang selama ini sedang kembang kempis, kalau bukannya telah mati.
Sadra memang telah tiada, namun semoga semangat dan militansi perjuangannya dalam dunia musik kontemporer Indonesia dapat diapresiasi secara lebih dalam. Menempatkan namanya sebagai ‘tokoh pelopor musik kontemporer Indonesia’, tonggak panutan bagi generasi musisi musik saat ini dan yang akan datang. Selamat jalan Bli Sadra....sambutlah kini kehidupan baru lewat gemerincing merdu bunyi-bunyian surgawimu.
Aris Setiawan
Etnomusikolog, Murid Sekaligus Teman Ngajar Sadra
di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta