Topeng Monyet dan Seni Pertunjukan Indonesia (dimuat di Solopos 18 November 2013)

Topeng Monyet dan Seni Pertunjukan Indonesia




Ramai diperbincangkan di media massa tentang fenomena Jakarta bersih dari topeng monyet. Jakarta, kota metropolis itu sedang bersolek menyambut tahun 2014. Topeng monyet tak lagi dikukuhkan sebagai tontonan, namun dianggap penyiksaan terhadap binatang. Monyet dituntut untuk tampil lucu, berlenggak-lenggok layaknya manusia dengan bersepeda mini, naik becak, memakai topeng reog dan membawa gerobak. Membuat orang yang menonton tertawa terpingkal-pingkal. Topeng monyet menjadi hiburan kaki lima, dinikmati oleh anak-anak dan masyarakat akar rumput. Siapa sangka, keberadaannya sebagai sebuah seni pertunjukan di nusantara telah berusia senja. Jejak perjalanan topeng monyet telah menyertai lika-liku kebudayaan Indonesia. Memberi warna dan sumbangan besar dalam membentuk jati diri bangsa.

Jejak Perjalanan
“Sarimin pergi ke pasar”, kata-kata itu yang membekas dalam memori dan imajinasi kita kala mengisahkan topeng monyet. Hewan itu mencoba untuk “dimanusiakan”, dinamakan layaknya orang Jawa, Sarimin. Tontonan monyet diiringi dengan tetabuhan musik perkusif. Musik yang dimainkan berupa kendang dan alat melodi semacam saron mini dari Jawa (tak jelas berlaras slendro atau pelog). Satu tangan si pawang memainkan alat musik, sementara tangan yang lain memegang rantai untuk menarik dan mengontrol tindak-tanduk si monyet. Arena pertunjukan adalah sejauh rantai dibentangkan. Suara musik yang gaduh itu menarik perhatian anak-anak untuk mendekat. Tidak ada patokan harga yang harus dikeluarkan untuk menghadirkan tontonan topeng monyet. Penonton memberikan uang ala kadarnya. Pelaku pertunjukan ini berjalan keliling kompleks permukiman padat penduduk, dari satu rumah ke rumah lain.
Jejak perjalanan topeng monyet di Indonesia dapat kita telusuri lewat tulisan Matthew Isaac Cohen berjudul Multiculturalism and Performance in Colonial Cirebon (2002), pertunjukan yang menyajikan monyet merupakan miniatur dari sirkus yang berkembang di Eropa. Di Jawa biasanya disebut sebagai Ledhek Kethek. Keberadaanya mulai semarak pada akhir tahun 1889. Di awal kemunculannya, monyet ditemani oleh seekor anjing. Keduanya menunjukkan atraksi lucu. Anjing diperlakukan layaknya kuda dan sang monyet adalah koboinya. Lambat laun, anjing mulai tidak dipergunakan. Monyet tampil secara mandiri karena dianggap lebih ringkas dan hemat. Pertunjukan topeng monyet pernah menjadi tontonan unggulan di Jawa. Tingkah-polahnya senantiasa mengundang decak kagum, anak-anak dan masyarakat berbondong-bondong menyaksikan. Pengusaha topeng monyetpun meraih untung melimpah. Kehadirannya selalu dipuja dan dinanti-nanti.
Maklum saja, kala itu topeng monyet menjadi satu-satunya pertunjukan “sirkus” ala Indonesia. Sementara di negara lain (Eropa), kehadiran pelpagai hewan seperti gajah, macan, singa, kuda, kuda laut dan lumba-lumba telah terlebih dahulu menjadi atraksi hiburan. Semasa penjajahan Belanda, topeng monyet menemani laku hidup masyarakat kolonial yang berumah di Indonesia. Hal ini dapat ditelisik lewat foto-foto koleksi Tropenmuseum Amsterdam, Belanda. Foto yang berangka tahun 1900-1920 itu memperlihatkan seorang pawang dengan dua monyetnya sedang menghibur anak-anak keturunan Belanda, berambut pirang dan berwajah bule. Topeng monyet menjadi “oase” dalam melampiaskan kerinduan terhadap pertunjukan sirkus di kampung halaman (Belanda). Charles Breijer, seorang juru foto asal Belanda, banyak mengisahkan kehidupan masyarakat Indonesia termasuk tontonan topeng monyet antara tahun 1947 sampai 1953. Tak jauh berbeda dengan si monyet, sang pawang berpenampilan lusuh, kotor dan tidak rapi. Topeng monyet menjelma sebagai kesenian jalanan, pada akhirnya menjadi tontonan masyarakat kelas bawah.
Kehadirannya semakin tersisihkan. Kalah oleh tontonan yang dirasa lebih menghibur, menyerbu lewat pelbagai media elektronik. Masyarakat semakin mengacuhkan topeng monyet. Kampung-kampung tak lagi menjadi “lahan” ideal dalam mengeruk pundi-pundi keuntungan bisnis pantomim si monyet. Sang pawang tak kekurangan akal, ia menjadikan persimpangan jalan di bawah ‘lampu merah’ sebagai ruang pementasan si monyet. Pawangpun terdiri dari dua orang atau lebih. Tugas pawang yang lain menadahkan tangan, meminta uang seiklasnya pada pengguna jalan. Banyak masyarakat yang merasa iba. Bukan pada si pawang ataupun si monyet. Namun pada kebangkrutan eksistensi “arena panggung pertunjukan” si topeng monyet.
Monyetpun menjadi tak terurus. Banyak mengandung virus dan penyakit berbahaya bagi manusia. Dialy Mail lewat ulasannya berjudul Misery of Indonesia's monkeys: Chained macaques forced to dress up in doll costumes and ride scooters for tourists (2012) membawa berita yang tak kalah garang, penyiksaan terhadap monyet diberlangsungkan selama menjalani masa pelatihan sebagai topeng monyet. Banyak monyet yang mati karena tak diberi makan. Tanggannya diikat dan dicambuk. Pemberitaan tentang hal tersebut tiada habis di suluh lewat media massa. Anak-anak dan masyarakat semakin menjauhi pentas topeng monyet. Ia menjadi bentuk pertunjukan yang paling tak dikehendaki kehadirannya di masa kini. Di balik kelucuan yang mengundang tawa, ada tragedi dan air mata.

Sumber
Bagaimanapun juga, topeng monyet adalah bagian dari kebudayaan terutama seni pertunjukan masyarakat Indonesia. Yang selama ini justru setia menemani perjalanan bangsa ini di pelbagai peralihan zaman. Membicarakan topeng monyet berarti menarasikan tentang Indonesia. Sama layaknya dengan membicarakan kesenian tradisi komedi stamboel, semacam ludruk atau ketoprak. Manusia Indonesia dan (topeng) monyet telah menjadi satu senyawa yang tak dapat dipisahkan. Monyet menemukan tafsir kebebasannya lewat berbagai epos seni pertunjukan tradisi di nusantara. Monyet memberi inspirasi bagi terciptanya banyak karya seni yang melegenda. Monyet dianggap sebagai hewan sakral dan suci, lahirlah kemudian cerita Luthung Kasarung di Jawa Barat atau Kethek Ogleng di Jawa. Semua mengisahkan kegagahan dan kepandaian si monyet melebihi manusia.
Garin Nugroho lewat pertunjukan Opera Jawa Ledhek Kethek (2013) dengan lugas mengisahkan monyet sebagai bapak dari manusia. Monyet disiksa, diikat, dicaci dan dihina, namun dengan segera ia mampu bertiwikrama menjadi Hanoman yang sakti itu. Hanoman bukanlah sembarang monyet. Tinggi tegap berjalan dan berfikir cerdas layaknya manusia, memiliki kemampuan dan ilmu kanuragan layaknya para dewa. Darinya adalah simbol dari bersatunya hewan –alam-, manusia dan tuhan –dewa-. Lewat monyet, epos Ramayana berusaha mengisahkan pesan kesetaraan dan keselarasan hidup, manusia-alam-tuhan. Monyet kemudian menjadi hewan terpilih. Kehadirannya dilukiskan dengan indah oleh Darwin lewat teori evolusi yang dicetuskannya. Tidak penting apakah teori itu benar atau salah. Justru ada pesan lain yang seolah mencoba disampaikan, bahwa sebenarnya monyet tak jauh beda dengan kita. Kita adalah monyet dan monyet adalah kita. Atau bahkan, monyet lebih baik dari pada kita, manusia.
Topeng monyet tak semata pertunjukan yang menyemai tawa. Darinya juga banyak berkisah tentang keseimbangan hidup, kesetaraan, kemanusiaan, perjuangan dan keadilan. Menghilangkan topeng monyet tak cukup kiranya jika hanya dilihat dalam domain kesehatan dan kekerasan. Faktor kebudayaan juga menjadi penting untuk dilibatkan. Topeng monyet mungkin telah tersisih dalam struktur penekanan kehidupan masa kini. Namun ia akan tetap menjadi bagian penting peradaban yang mampu menjelaskan dengan gamblang siapa dan dari mana sebenarnya kita berasal, Indonesia.
Aris Setiawan

Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta 

2 komentar:

Anonim mengatakan...

ada "bagian dari" yang buruk, ada "bagian dari" yang baik. yang buruk kita tinggalkan, yang baik kita lestarikan. bukan begitu???

Aris Setiawan mengatakan...

benar :)

Pengikut