Gamelan Musik Bangsa Primitif (dimuat di Suara Merdeka Minggu edisi 31 Juli 2011)

Gamelan Musik Bangsa Primitif


 
Bukan rahasia lagi, gamelan kini telah mendunia. Bahkan banyak yang mengetengahkan derajad gamelan kini menjelma sebagai orkestra dunia ke dua setelah musik klasik di Eropa. Tengoklah berbagai pertunjuan termegah dewasa ini, semua senantiasa menggunakan gamelan. Mulai dari drama musikal ‘Tusuk Konde’ (diambil dari trilogi film Opera Jawanya Garin Nugroho tahun 2006) yang dipentaskan keliling Eropa, hingga yang paling baru yakni pertunjukan tari ‘Matah Ati’. Khusus yang terakhir itu telah dipentaskan di Singapura serta Jakarta (Mei 2010), secara eksklusif disiarkan oleh stasiun televisi swasta negeri ini, menyedot begitu banyak animo masyarakat. Mau tidak mau, gamelan turut andil dan berperan besar akan suksesnya pagelaran itu.
Banyak media yang mengekspos suksesnya gamelan di kancah musik internasional. Joss Wibisono (2011) bahkan menganggap seorang komponis dunia dianggap ketinggalan zaman jika tidak memasukkan unsur-unsur gamelan pada karyanya. Sampai pada titik ini, kita dapat menyimpulkan bahwa gamelan telah mendominasi percaturan budaya musik dunia, menjadi simbol legitimasi alat musik modern yang mutakhir. Gamelanpun nongkrong di universitas-universitas unggulan dunia, terbentang dari benua Amerika, Asia hingga Eropa.
Prestise indah yang disandang gamelan memang membanggakan. Tapi taukah kita bahwa di balik balik kemegahan sejarah yang mengagumkan itu, gamelan ternyata juga menyimpan cerita suram. Gamelan pada awalnya oleh bangsa Barat –Eropa- dianggap sebagai alat musik primitif, kuno dan terbelakang.

Primitif
Suka Hardjana (1991) menjelaskan tentang ekspansi bangsa-bangsa Eropa keseluruh penjuru nusantara termasuk Jawa, pada awalnya telah mengejutkan perhatian mereka bahwa bangsa-bangsa di luar Eropa ternyata berbudaya juga. Oleh karena keterbatasan pengetahuan bangsa Eropa terhadap kebudayaan lain, mereka mencoba memasukkan kebudayaan-kebudayaan lain itu ke dalam kategori ‘non-europe culture’. Sayangnya, kategori itu cenderung meletakkan pemahaman bahwa kebudayaan Eropa adalah kebudayaan dengan kasta yang tinggi dan superior, selebihnya di luar itu inferior. Lahirlah kemudian pandangan etnosentris, dengan menganggap kebudayaan termasuk seni di luar bangsa Eropa itu primitif, kuno, kolot dan terbelakang.
Hal yang paling nampak ketika Brandts Buys lewat bukunya De Toonkunst bij de Madereezen tahun 1928 menganggap nyanyian gamelan di Madura tidak berbudaya. Lebih lanjut ia juga mengatakan bahwa musiknya tidak lebih dari suara kodok, berteriak-teriak layaknya bajak laut. Bahkan tidak hanya dari segi musikalnya saja, Buys juga menilai pakaian dan palaku musik itu kumuh dan bau.
Hal yang mendasar dari tulisan Buys adalah usaha membanding-bandingkan (komparatif) antara musik yang dilihatnya dengan musik yang dimilikinya. Ia menganggap musik klasik di Eropa lebih bernilai dan layak didengar dari pada musik  yang ‘tidak jelas’ itu. Pemain musik klasik Eropa terlihat lebih rapi dengan memakai jas berdasi, sepatu kulit warna hitam yang mengkilat. Bandingkan dengan palaku musik gamelan kala itu -apalagi di Madura yang kental dengan budaya kerakyatan- tidak memakai alas kaki, baju seadanya, terlilit oleh keadaan ekonomi dan lain sebagainya.
Rizaldi Siagian (2009) dengan lebih jelas menyatakan bahwa sejarah musik di Nusantara termasuk Jawa dibangun dari satu stereotip yang memprihatinkan. Untuk melihat musik pribumi, layaknya Buys di atas, bangsa Eropa cenderung membandingkan dengan musik yang dimilikinya. Dalam studi etnomusikologi hal ini disebut sebagai vergleichen de Musikwissenshaft (musik perbandingan). Orang-orang Eropa yang berusaha melukiskan gamelan dalam sebuah catatannya senantiasa menggunakan kacamata musik Barat. Nakagawa (1999) pernah mencontohkan bagaimana orang Eropa yang sudah terbiasa melihat musik klasik dengan tangga nada diatonis merasa aneh ketika mendengar nada-nada gamelan yakni pelog dan slendro, pentatonis. Mereka berpandangan interval yang ada pada gamelan telah salah, melenceng, falsch, blero, tidak akurat.
Jaap Kunts lewat tulisannya Music in Java (1934) serta Hood dengan The Nuclear Theme as a The Determinant of Pathet in Javanese Music (1954) juga pernah melakukan kesalahan yang sama dengan melihat pathet gamelan Jawa berdasar atas konsep tonika dalam musik Barat. Hal yang kemudian memicu perdebatan menarik serta bantahan dari para musisi pribumi seperti Ki Hajar Dewantara, Martapangrawit, Sindusawarna, Rahayu Supanggah, dan Sri Hastanto lewat disertasinya “The Concept of Pathet in Central Javanese Gamelan Music” (1986).

Gamelan vs Musik Klasik
Selain menganggap musik Eropa paling baik, Santosa (2005) mengindikasikan setidaknya ada dua alasan kenapa orang-orang Barat pada awalnya cenderung merendahkan musik pribumi termasuk gamelan. Pertama, mereka bukanlah sarjana di bidang musik atau yang secara khusus mengetahui ilmu musik dengan baik apalagi musik lain yang didengarnya. Umumnya mereka adalah misionaris yang melakukan misi penjajahan untuk menguasai secara ekonomi dan politik.
Kedua, oleh karena bermaksud untuk menguasai sehingga timbullah rasa superioritas tinggi yang kemudian meredahkan dan menjelek-jelekkan kebudayaan atau seni yang dijajahnya. Tak heran jika pada abad 18 banyak terdapat lukisan atau karikatur dari orang Belanda yang menggambarkan bagaimana monyet atau kera bermain gamelan. Orang Jawa disamakan dengan kera, atau bagi Buys, suara orang Madura tak lebih dari suara kodok. 
Eropa lewat musik klasiknya kemudian dianggap sebagai acuan, sehingga pada tahun 1950an di Jawa terdapat gerakan meng-Eropakan gamelan. Lahirlah kemudian Karawitan Wiyata Praja, bermain gamelan dengan menggunakan kaidah musik klasik, pemain gamelan menggunakan kursi, memakai jas berdasi dan sepatu hitam, menggunakan music stand dan lain sebagainya. Bahkan ada usaha untuk menyeragamkan nada-nada gamelan. Hal ini mengacu dan mencotoh pada nada musik Barat yang telah memiliki ukuran dan interval serta pitch dengan harga mati atau absolut di setiap negara. Padahal dalam gamelan memiliki apa yang disebut embat, semacam pitch yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lain, Surakarta berbeda dengan Yogjakarta, Madura, Surabaya, Banyuwangi dan lain sebagainya.
Hal tersebut memicu kritik yang keras dari musisi pribumi -seperti tersebut di atas-. Bahkan Sri Hastanto lewat tulisannya tentang Embat dalam Gamelan Jawa  (2010) menegaskan bahwa dengan menyamaratakan interval nada gamelan satu dengan yang lain, maka dengan serta merta akan menghilangkan identitas serta warna gamelan yang meng-lokal di setiap daerah di Jawa. Kamarakan dan keramaian laras dalam gamelan akan hilang.
Itulah cerita perjalanan gamelan dari sisi yang berbeda. Hal positifnya, berkat penilaian yang cenderung merendahkan musik gamelan oleh bangsa Eropa, kemudian menggerakkan hati para musisi dan peneliti pribumi (Jawa, Indonesia) untuk unjuk gigi meluruskannya. Hal ini ditandai dengan berdirinya sekolah-sekolah ‘seni gamelan’ di Jawa seperti Solo, Jogja, Surabaya dan Bandung bahkan Bali dengan nama Konservatori Karawitan (KOKAR) Indonesia. Usaha membanding-bandingkan itupun kini telah tiada dengan ditandai pula oleh berdirinya jurusan ‘ethnomusicology’ di University of California Los Angles Amerika Serikat tahun 1960 yang dipelopori oleh Kunts, Merriam, Bruno Nettle, Mantle Hood dengan maksud melihat musik suatu bangsa di manapun dalam konteks kesetaraan dan kesejajaran. Persoalannya kini, jika gamelan telah mendunia, bagaimana dengan di Indonesia utamanya bagi generasi muda kita sendiri?

Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta

Wayang Orang Sriwedari, Wadah Senja yang Abadi (dimuat di Suara Merdeka edisi 18 Juli 2011)

 Wayang Orang Sriwedari, Wadah Senja yang Abadi



Tanggal 10 Juli kemarin, Wayang Orang (WO) Sriwedari genap berusia 101 tahun. Sebuah pencapaian yang monumental. Lebih dari seabad, WO Sriwedari turut berproses meramaikan percaturan kebudayaan Indonesia terutama Solo. Menjadi saksi sejarah, menggurat kenangan kejayaan di masa silam. Pelajaran berharga guna mengkonstruksi perjalanan yang lebih baik di masa kini dan yang akan datang. Sejauh mana WO Sriwedari telah berproses? Apa yang dapat kita petik dari usianya yang lebih dari seabad di tahun ini?

Menjelang Senja
Kini, jika seseorang menemukan sebuah benda purbakala yang terkubur lama seperti candi, patung atau bahkan perunggu, segera dengan kemudian akan menjadi perbincangan hangat di berbagai kalangan sebagai sebuah penemuan arkeologis kebudayaan nenek moyang atau leluhur yang adi luhung (Suka Hardjana, 2004). Sebuah prestasi yang membanggakan. Berbeda kasus dengan dunia seni pertunjukan. Tidak demikian ramai dipergunjingkan apabila yang ditemukan kembali itu adalah karya-karya kesenian lama seperti musik, tari atau bahkan Wayang Orang. Alasan utamanya, kesenian-kesenian lama itu kini tidak lagi ‘modern’, unik, apalagi tipikal. Jauh ketinggalan zaman dibanding ciptaan-ciptaan baru yang lebih glamour dan populis. Sementara benda-benda purbakala terpendam itu justru bernilai jual mahal. Semakin lama usianya, semakin mahal pula harganya. Berbalik, bagi dunia seni pertunjukan, semakin lama usia kesenian itu hidup, semakin rendah dan murah harganya. Oleh karena itu, menjadi hal yang biasa jika kesenian itu mati, punah dan hidup lagi kemudian mati dan punah lagi. 
Namun, di kala seni-seni lain sedang kembang kempis atau bahkan mati dan punah, seolah menjadi satu kewajaran bagi kita untuk mengiklaskan walau dengan sedikit ratapan. Berbanding terbalik dengan WO Sriwedari, dalam beberapa dekade terakhir ia mencoba pamit untuk menutup lembaran hidupnya. Tapi tak seorangpun yang dengan rela mengiklaskan kepergiannya. Menggali beraneka cara untuk mempertahankannya, memberi asupan oksigen agar hidupnya dapat dipertahankan, walau kadang opname lalu kembali koma. Begitu seterusnya.
Alasan logis, mempertahankan WO Sriwedari sama hanya mempertahankan peradaban Solo sebagai sebuah kota budaya. Detak kehidupan kota yang konon pekat bersentuhan dengan nilai-nilai kehidupan yang ‘adi luhung’ itu seolah menyatu dengan denyut nadi kehidupan WO Sriwedari. Oleh karena itu, berbicara Solo berarti berbicara WO Sriwedari. Keduanya adalah dua sisi mata uang, berbeda rupa namun satu bingkai pemaknaan bahwa sejarah Solo adalah sejarah WO Sriwedari.

Medan Interaksi
Dalam balutan sejarah, diciptakan dan dibentuknya WO Sriwedari tidak hanya sebatas ruang dalam menumpahkan estetika seni semata. Lebih dari itu, WO Sriwedari juga menjadi saksi kunci bagaimana konsep manunggalin kawula gusti terealisasi. Pemimpin (raja) dan rakyaknya duduk dalam satu kesetaraan, kesepahaman akan nilai-nilai kemanusiaan. Tiada yang lebih tinggi dan rendah di antaranya, keduanya saling membutuhkan dan mengikat. WO Sriwedari dibangun sebagai medan interaksi antara Paku Buwana X dan para puta-sentana dengan rakyatnya kala itu (Hasapandi, 1999). Dengan demikian keberadaan WO Sriwedari menjadi begitu prestisius. Keunikannya yang demikian tidak dimiliki oleh jenis kesenian lain kala itu.
Satu kenyataan yang dewasa ini sangat jarang dijumpai, pemimpin dan rakyat kadang tidak menemukan wadah untuk duduk bersama. Tidak menemukan jembatan yang menghubungkan di antara keduanya. Akibatnya sering terjadi konflik dan silang pendapat yang tak jarang berujung pada kekerasan. Bayangkan, jika dalam memecahkan masalah dan proses mediasi dilakukan dengan menonton wayang orang bersama-sama. Kemudian dibantu dengan cerita yang diolah sedimikian rupa sesuai dengan tema permasalahan yang mencuat. Selain estetika sebagai kodrat utama seni, hal-hal dan tujuan lain seperti pesan tentunya dapat tersalurkan dengan lebih konstruktif. Kadang jika kata dan tangan tak mampu dirasakan, biarlah seni yang bicara.
Jika Wali Kota Solo Jokowi selama ini telah menemukan jalan mediasi dengan diadakannya makan malam bareng rakyatnya, kenapa sesekali tidak dilakukan dengan bersama-sama nonton WO Sriwedari? Hal ini tentu berimplikasi ganda. Pertama, hal tersebut akan membantu loncatan drastis terhadap pertunjukan WO Sriwedari sebagai tontonan gaya hidup. Menggemari dan memanfaatkan WO Sriwedari dapat dimulai dari kecintaan pejabat terhadapnya. Wujud kecintaan tentu tidak semata hanya sekadar membiayai, namun juga turut andil bagian menjadi penonton yang setia. Hal yang kemudian menjadi panutan dan contoh bagi masyarakat luas.
Kedua, WO Sriwedari akan menemukan logika tema penceritaan yang kreatif. Tidak harus senantiasa mengacu dari kitab pertunjukannya (pakem). Namun dengan disaksikan gusti dan kawulanya, WO Sriwedari mampu merambah tema-tema yang substansial dewasa ini, terutama di Solo yang dikemas dengan balutan estetika khas pewayangan. Oleh karena itu, jika kita yakin dinamika problematik kota Solo tetap bergulir, maka kreativitas pertunjukan WO Sriwedari juga tidak akan pernah mati.

Abadi
Di kala berbagai kalangan telah pesimistis akan daya hidup WO Sriwedari, dengan senantiasa melontarkan pandangan yang sentimentil, saya tetap yakin bahwa ia tidak akan pernah mati apalagi punah. Usianya yang seabad lebih adalah buktinya. Setiap masa memiliki ceritanya sendiri. Lika-liku perjalanan yang dihadapi WO Sriwedari harusnya menjadikannya lebih dewasa dalam menyikapi perkembangan zaman. Segala usaha yang telah dilakukan oleh berbagai pihak dalam upaya memberi detak dan denyut kehidupannya patut diapresiasi secara mendalam. Dengan melihat jalan ke depan yang kelihatannya semakin terjal, maka tak berlebihan kiranya jika diusianya yang ke 101 tahun ini WO Sriwedari mau merestorasi dirinya. Memunculkan berbagai ide dan solusi baru menggantikan gagasan lama yang mungkin dirasa telah usang dan basi. Tanggung jawab besar ini bukan saja ditumpahkan pada pemain dan pihak pengelola, namun semua lapisan golongan.
Menjadi penting pula untuk dibentuknya masyarakat kreatif WO Sriwedari. Masyarakat yang tidak hanya berupaya menyelematkan kehidupannya dengan sebatas nguri-nguri dan mempertahankan. Namun mampu menelorkan gebrakan-gebrakan solusi frontal agar WO Sriwedari menemukan ritme kehidupannya kembali. Masyarakat kreatif yang mampu merumuskan dan menelorkan gagasan baru ke depan dalam upaya memberi pijakan WO Sriwedari untuk terus bergumul dengan zaman sebagai satu seni yang monumental, abadi.
Selamat ulang tahun WO Sriwedari, terimakasih telah turut berproses menyemarakkan sejarah dan polemik kebudayaan di Solo.

Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta

Pengikut