Gamelan Musik Bangsa Primitif
Bukan rahasia lagi, gamelan kini telah mendunia. Bahkan banyak yang mengetengahkan derajad gamelan kini menjelma sebagai orkestra dunia ke dua setelah musik klasik di Eropa. Tengoklah berbagai pertunjuan termegah dewasa ini, semua senantiasa menggunakan gamelan. Mulai dari drama musikal ‘Tusuk Konde’ (diambil dari trilogi film Opera Jawanya Garin Nugroho tahun 2006) yang dipentaskan keliling Eropa, hingga yang paling baru yakni pertunjukan tari ‘Matah Ati’. Khusus yang terakhir itu telah dipentaskan di Singapura serta Jakarta (Mei 2010), secara eksklusif disiarkan oleh stasiun televisi swasta negeri ini, menyedot begitu banyak animo masyarakat. Mau tidak mau, gamelan turut andil dan berperan besar akan suksesnya pagelaran itu.
Banyak media yang mengekspos suksesnya gamelan di kancah musik internasional. Joss Wibisono (2011) bahkan menganggap seorang komponis dunia dianggap ketinggalan zaman jika tidak memasukkan unsur-unsur gamelan pada karyanya. Sampai pada titik ini, kita dapat menyimpulkan bahwa gamelan telah mendominasi percaturan budaya musik dunia, menjadi simbol legitimasi alat musik modern yang mutakhir. Gamelanpun nongkrong di universitas-universitas unggulan dunia, terbentang dari benua Amerika, Asia hingga Eropa.
Prestise indah yang disandang gamelan memang membanggakan. Tapi taukah kita bahwa di balik balik kemegahan sejarah yang mengagumkan itu, gamelan ternyata juga menyimpan cerita suram. Gamelan pada awalnya oleh bangsa Barat –Eropa- dianggap sebagai alat musik primitif, kuno dan terbelakang.
Primitif
Suka Hardjana (1991) menjelaskan tentang ekspansi bangsa-bangsa Eropa keseluruh penjuru nusantara termasuk Jawa, pada awalnya telah mengejutkan perhatian mereka bahwa bangsa-bangsa di luar Eropa ternyata berbudaya juga. Oleh karena keterbatasan pengetahuan bangsa Eropa terhadap kebudayaan lain, mereka mencoba memasukkan kebudayaan-kebudayaan lain itu ke dalam kategori ‘non-europe culture’. Sayangnya, kategori itu cenderung meletakkan pemahaman bahwa kebudayaan Eropa adalah kebudayaan dengan kasta yang tinggi dan superior, selebihnya di luar itu inferior. Lahirlah kemudian pandangan etnosentris, dengan menganggap kebudayaan termasuk seni di luar bangsa Eropa itu primitif, kuno, kolot dan terbelakang.
Hal yang paling nampak ketika Brandts Buys lewat bukunya De Toonkunst bij de Madereezen tahun 1928 menganggap nyanyian gamelan di Madura tidak berbudaya. Lebih lanjut ia juga mengatakan bahwa musiknya tidak lebih dari suara kodok, berteriak-teriak layaknya bajak laut. Bahkan tidak hanya dari segi musikalnya saja, Buys juga menilai pakaian dan palaku musik itu kumuh dan bau.
Hal yang mendasar dari tulisan Buys adalah usaha membanding-bandingkan (komparatif) antara musik yang dilihatnya dengan musik yang dimilikinya. Ia menganggap musik klasik di Eropa lebih bernilai dan layak didengar dari pada musik yang ‘tidak jelas’ itu. Pemain musik klasik Eropa terlihat lebih rapi dengan memakai jas berdasi, sepatu kulit warna hitam yang mengkilat. Bandingkan dengan palaku musik gamelan kala itu -apalagi di Madura yang kental dengan budaya kerakyatan- tidak memakai alas kaki, baju seadanya, terlilit oleh keadaan ekonomi dan lain sebagainya.
Rizaldi Siagian (2009) dengan lebih jelas menyatakan bahwa sejarah musik di Nusantara termasuk Jawa dibangun dari satu stereotip yang memprihatinkan. Untuk melihat musik pribumi, layaknya Buys di atas, bangsa Eropa cenderung membandingkan dengan musik yang dimilikinya. Dalam studi etnomusikologi hal ini disebut sebagai vergleichen de Musikwissenshaft (musik perbandingan). Orang-orang Eropa yang berusaha melukiskan gamelan dalam sebuah catatannya senantiasa menggunakan kacamata musik Barat. Nakagawa (1999) pernah mencontohkan bagaimana orang Eropa yang sudah terbiasa melihat musik klasik dengan tangga nada diatonis merasa aneh ketika mendengar nada-nada gamelan yakni pelog dan slendro, pentatonis. Mereka berpandangan interval yang ada pada gamelan telah salah, melenceng, falsch, blero, tidak akurat.
Jaap Kunts lewat tulisannya Music in Java (1934) serta Hood dengan The Nuclear Theme as a The Determinant of Pathet in Javanese Music (1954) juga pernah melakukan kesalahan yang sama dengan melihat pathet gamelan Jawa berdasar atas konsep tonika dalam musik Barat. Hal yang kemudian memicu perdebatan menarik serta bantahan dari para musisi pribumi seperti Ki Hajar Dewantara, Martapangrawit, Sindusawarna, Rahayu Supanggah, dan Sri Hastanto lewat disertasinya “The Concept of Pathet in Central Javanese Gamelan Music” (1986).
Gamelan vs Musik Klasik
Selain menganggap musik Eropa paling baik, Santosa (2005) mengindikasikan setidaknya ada dua alasan kenapa orang-orang Barat pada awalnya cenderung merendahkan musik pribumi termasuk gamelan. Pertama, mereka bukanlah sarjana di bidang musik atau yang secara khusus mengetahui ilmu musik dengan baik apalagi musik lain yang didengarnya. Umumnya mereka adalah misionaris yang melakukan misi penjajahan untuk menguasai secara ekonomi dan politik.
Kedua, oleh karena bermaksud untuk menguasai sehingga timbullah rasa superioritas tinggi yang kemudian meredahkan dan menjelek-jelekkan kebudayaan atau seni yang dijajahnya. Tak heran jika pada abad 18 banyak terdapat lukisan atau karikatur dari orang Belanda yang menggambarkan bagaimana monyet atau kera bermain gamelan. Orang Jawa disamakan dengan kera, atau bagi Buys, suara orang Madura tak lebih dari suara kodok.
Eropa lewat musik klasiknya kemudian dianggap sebagai acuan, sehingga pada tahun 1950an di Jawa terdapat gerakan meng-Eropakan gamelan. Lahirlah kemudian Karawitan Wiyata Praja, bermain gamelan dengan menggunakan kaidah musik klasik, pemain gamelan menggunakan kursi, memakai jas berdasi dan sepatu hitam, menggunakan music stand dan lain sebagainya. Bahkan ada usaha untuk menyeragamkan nada-nada gamelan. Hal ini mengacu dan mencotoh pada nada musik Barat yang telah memiliki ukuran dan interval serta pitch dengan harga mati atau absolut di setiap negara. Padahal dalam gamelan memiliki apa yang disebut embat, semacam pitch yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lain, Surakarta berbeda dengan Yogjakarta, Madura, Surabaya, Banyuwangi dan lain sebagainya.
Hal tersebut memicu kritik yang keras dari musisi pribumi -seperti tersebut di atas-. Bahkan Sri Hastanto lewat tulisannya tentang Embat dalam Gamelan Jawa (2010) menegaskan bahwa dengan menyamaratakan interval nada gamelan satu dengan yang lain, maka dengan serta merta akan menghilangkan identitas serta warna gamelan yang meng-lokal di setiap daerah di Jawa. Kamarakan dan keramaian laras dalam gamelan akan hilang.
Itulah cerita perjalanan gamelan dari sisi yang berbeda. Hal positifnya, berkat penilaian yang cenderung merendahkan musik gamelan oleh bangsa Eropa, kemudian menggerakkan hati para musisi dan peneliti pribumi (Jawa, Indonesia) untuk unjuk gigi meluruskannya. Hal ini ditandai dengan berdirinya sekolah-sekolah ‘seni gamelan’ di Jawa seperti Solo, Jogja, Surabaya dan Bandung bahkan Bali dengan nama Konservatori Karawitan (KOKAR) Indonesia. Usaha membanding-bandingkan itupun kini telah tiada dengan ditandai pula oleh berdirinya jurusan ‘ethnomusicology’ di University of California Los Angles Amerika Serikat tahun 1960 yang dipelopori oleh Kunts, Merriam, Bruno Nettle, Mantle Hood dengan maksud melihat musik suatu bangsa di manapun dalam konteks kesetaraan dan kesejajaran. Persoalannya kini, jika gamelan telah mendunia, bagaimana dengan di Indonesia utamanya bagi generasi muda kita sendiri?
Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta