Wayang Orang Sriwedari, Wadah Senja yang Abadi
Tanggal
10 Juli kemarin, Wayang Orang (WO) Sriwedari genap berusia 101 tahun.
Sebuah pencapaian yang monumental. Lebih dari seabad, WO Sriwedari turut
berproses meramaikan percaturan kebudayaan Indonesia terutama Solo.
Menjadi saksi sejarah, menggurat kenangan kejayaan di masa silam.
Pelajaran berharga guna mengkonstruksi perjalanan yang lebih baik di
masa kini dan yang akan datang. Sejauh mana WO Sriwedari telah
berproses? Apa yang dapat kita petik dari usianya yang lebih dari seabad
di tahun ini?
Menjelang Senja
Kini,
jika seseorang menemukan sebuah benda purbakala yang terkubur lama
seperti candi, patung atau bahkan perunggu, segera dengan kemudian akan
menjadi perbincangan hangat di berbagai kalangan sebagai sebuah penemuan
arkeologis kebudayaan nenek moyang atau leluhur yang adi luhung (Suka
Hardjana, 2004). Sebuah prestasi yang membanggakan. Berbeda kasus dengan
dunia seni pertunjukan. Tidak demikian ramai dipergunjingkan apabila
yang ditemukan kembali itu adalah karya-karya kesenian lama seperti
musik, tari atau bahkan Wayang Orang. Alasan utamanya, kesenian-kesenian
lama itu kini tidak lagi ‘modern’, unik, apalagi tipikal. Jauh
ketinggalan zaman dibanding ciptaan-ciptaan baru yang lebih glamour dan
populis. Sementara benda-benda purbakala terpendam itu justru bernilai
jual mahal. Semakin lama usianya, semakin mahal pula harganya. Berbalik,
bagi dunia seni pertunjukan, semakin lama usia kesenian itu hidup,
semakin rendah dan murah harganya. Oleh karena itu, menjadi hal yang
biasa jika kesenian itu mati, punah dan hidup lagi kemudian mati dan
punah lagi.
Namun, di kala seni-seni lain sedang kembang kempis
atau bahkan mati dan punah, seolah menjadi satu kewajaran bagi kita
untuk mengiklaskan walau dengan sedikit ratapan. Berbanding terbalik
dengan WO Sriwedari, dalam beberapa dekade terakhir ia mencoba pamit
untuk menutup lembaran hidupnya. Tapi tak seorangpun yang dengan rela
mengiklaskan kepergiannya. Menggali beraneka cara untuk
mempertahankannya, memberi asupan oksigen agar hidupnya dapat
dipertahankan, walau kadang opname lalu kembali koma. Begitu seterusnya.
Alasan
logis, mempertahankan WO Sriwedari sama hanya mempertahankan peradaban
Solo sebagai sebuah kota budaya. Detak kehidupan kota yang konon pekat
bersentuhan dengan nilai-nilai kehidupan yang ‘adi luhung’ itu seolah
menyatu dengan denyut nadi kehidupan WO Sriwedari. Oleh karena itu,
berbicara Solo berarti berbicara WO Sriwedari. Keduanya adalah dua sisi
mata uang, berbeda rupa namun satu bingkai pemaknaan bahwa sejarah Solo
adalah sejarah WO Sriwedari.
Medan Interaksi
Dalam
balutan sejarah, diciptakan dan dibentuknya WO Sriwedari tidak hanya
sebatas ruang dalam menumpahkan estetika seni semata. Lebih dari itu, WO
Sriwedari juga menjadi saksi kunci bagaimana konsep manunggalin kawula gusti terealisasi.
Pemimpin (raja) dan rakyaknya duduk dalam satu kesetaraan, kesepahaman
akan nilai-nilai kemanusiaan. Tiada yang lebih tinggi dan rendah di
antaranya, keduanya saling membutuhkan dan mengikat. WO Sriwedari
dibangun sebagai medan interaksi antara Paku Buwana X dan para puta-sentana
dengan rakyatnya kala itu (Hasapandi, 1999). Dengan demikian keberadaan
WO Sriwedari menjadi begitu prestisius. Keunikannya yang demikian tidak
dimiliki oleh jenis kesenian lain kala itu.
Satu kenyataan yang
dewasa ini sangat jarang dijumpai, pemimpin dan rakyat kadang tidak
menemukan wadah untuk duduk bersama. Tidak menemukan jembatan yang
menghubungkan di antara keduanya. Akibatnya sering terjadi konflik dan
silang pendapat yang tak jarang berujung pada kekerasan. Bayangkan, jika
dalam memecahkan masalah dan proses mediasi dilakukan dengan menonton
wayang orang bersama-sama. Kemudian dibantu dengan cerita yang diolah
sedimikian rupa sesuai dengan tema permasalahan yang mencuat. Selain
estetika sebagai kodrat utama seni, hal-hal dan tujuan lain seperti
pesan tentunya dapat tersalurkan dengan lebih konstruktif. Kadang jika
kata dan tangan tak mampu dirasakan, biarlah seni yang bicara.
Jika
Wali Kota Solo Jokowi selama ini telah menemukan jalan mediasi dengan
diadakannya makan malam bareng rakyatnya, kenapa sesekali tidak
dilakukan dengan bersama-sama nonton WO Sriwedari? Hal ini tentu
berimplikasi ganda. Pertama, hal tersebut akan membantu loncatan drastis
terhadap pertunjukan WO Sriwedari sebagai tontonan gaya hidup.
Menggemari dan memanfaatkan WO Sriwedari dapat dimulai dari kecintaan
pejabat terhadapnya. Wujud kecintaan tentu tidak semata hanya sekadar
membiayai, namun juga turut andil bagian menjadi penonton yang setia.
Hal yang kemudian menjadi panutan dan contoh bagi masyarakat luas.
Kedua,
WO Sriwedari akan menemukan logika tema penceritaan yang kreatif. Tidak
harus senantiasa mengacu dari kitab pertunjukannya (pakem). Namun
dengan disaksikan gusti dan kawulanya, WO Sriwedari
mampu merambah tema-tema yang substansial dewasa ini, terutama di Solo
yang dikemas dengan balutan estetika khas pewayangan. Oleh karena itu,
jika kita yakin dinamika problematik kota Solo tetap bergulir, maka
kreativitas pertunjukan WO Sriwedari juga tidak akan pernah mati.
Abadi
Di
kala berbagai kalangan telah pesimistis akan daya hidup WO Sriwedari,
dengan senantiasa melontarkan pandangan yang sentimentil, saya tetap
yakin bahwa ia tidak akan pernah mati apalagi punah. Usianya yang seabad
lebih adalah buktinya. Setiap masa memiliki ceritanya sendiri.
Lika-liku perjalanan yang dihadapi WO Sriwedari harusnya menjadikannya
lebih dewasa dalam menyikapi perkembangan zaman. Segala usaha yang telah
dilakukan oleh berbagai pihak dalam upaya memberi detak dan denyut
kehidupannya patut diapresiasi secara mendalam. Dengan melihat jalan ke
depan yang kelihatannya semakin terjal, maka tak berlebihan kiranya jika
diusianya yang ke 101 tahun ini WO Sriwedari mau merestorasi dirinya.
Memunculkan berbagai ide dan solusi baru menggantikan gagasan lama yang
mungkin dirasa telah usang dan basi. Tanggung jawab besar ini bukan saja
ditumpahkan pada pemain dan pihak pengelola, namun semua lapisan
golongan.
Menjadi penting pula untuk dibentuknya masyarakat
kreatif WO Sriwedari. Masyarakat yang tidak hanya berupaya menyelematkan
kehidupannya dengan sebatas nguri-nguri dan mempertahankan. Namun mampu
menelorkan gebrakan-gebrakan solusi frontal agar WO Sriwedari menemukan
ritme kehidupannya kembali. Masyarakat kreatif yang mampu merumuskan
dan menelorkan gagasan baru ke depan dalam upaya memberi pijakan WO
Sriwedari untuk terus bergumul dengan zaman sebagai satu seni yang
monumental, abadi.
Selamat ulang tahun WO Sriwedari, terimakasih telah turut berproses menyemarakkan sejarah dan polemik kebudayaan di Solo.
Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar