Wayang Orang Sriwedari, Wadah Senja yang Abadi (dimuat di Suara Merdeka edisi 18 Juli 2011)

 Wayang Orang Sriwedari, Wadah Senja yang Abadi



Tanggal 10 Juli kemarin, Wayang Orang (WO) Sriwedari genap berusia 101 tahun. Sebuah pencapaian yang monumental. Lebih dari seabad, WO Sriwedari turut berproses meramaikan percaturan kebudayaan Indonesia terutama Solo. Menjadi saksi sejarah, menggurat kenangan kejayaan di masa silam. Pelajaran berharga guna mengkonstruksi perjalanan yang lebih baik di masa kini dan yang akan datang. Sejauh mana WO Sriwedari telah berproses? Apa yang dapat kita petik dari usianya yang lebih dari seabad di tahun ini?

Menjelang Senja
Kini, jika seseorang menemukan sebuah benda purbakala yang terkubur lama seperti candi, patung atau bahkan perunggu, segera dengan kemudian akan menjadi perbincangan hangat di berbagai kalangan sebagai sebuah penemuan arkeologis kebudayaan nenek moyang atau leluhur yang adi luhung (Suka Hardjana, 2004). Sebuah prestasi yang membanggakan. Berbeda kasus dengan dunia seni pertunjukan. Tidak demikian ramai dipergunjingkan apabila yang ditemukan kembali itu adalah karya-karya kesenian lama seperti musik, tari atau bahkan Wayang Orang. Alasan utamanya, kesenian-kesenian lama itu kini tidak lagi ‘modern’, unik, apalagi tipikal. Jauh ketinggalan zaman dibanding ciptaan-ciptaan baru yang lebih glamour dan populis. Sementara benda-benda purbakala terpendam itu justru bernilai jual mahal. Semakin lama usianya, semakin mahal pula harganya. Berbalik, bagi dunia seni pertunjukan, semakin lama usia kesenian itu hidup, semakin rendah dan murah harganya. Oleh karena itu, menjadi hal yang biasa jika kesenian itu mati, punah dan hidup lagi kemudian mati dan punah lagi. 
Namun, di kala seni-seni lain sedang kembang kempis atau bahkan mati dan punah, seolah menjadi satu kewajaran bagi kita untuk mengiklaskan walau dengan sedikit ratapan. Berbanding terbalik dengan WO Sriwedari, dalam beberapa dekade terakhir ia mencoba pamit untuk menutup lembaran hidupnya. Tapi tak seorangpun yang dengan rela mengiklaskan kepergiannya. Menggali beraneka cara untuk mempertahankannya, memberi asupan oksigen agar hidupnya dapat dipertahankan, walau kadang opname lalu kembali koma. Begitu seterusnya.
Alasan logis, mempertahankan WO Sriwedari sama hanya mempertahankan peradaban Solo sebagai sebuah kota budaya. Detak kehidupan kota yang konon pekat bersentuhan dengan nilai-nilai kehidupan yang ‘adi luhung’ itu seolah menyatu dengan denyut nadi kehidupan WO Sriwedari. Oleh karena itu, berbicara Solo berarti berbicara WO Sriwedari. Keduanya adalah dua sisi mata uang, berbeda rupa namun satu bingkai pemaknaan bahwa sejarah Solo adalah sejarah WO Sriwedari.

Medan Interaksi
Dalam balutan sejarah, diciptakan dan dibentuknya WO Sriwedari tidak hanya sebatas ruang dalam menumpahkan estetika seni semata. Lebih dari itu, WO Sriwedari juga menjadi saksi kunci bagaimana konsep manunggalin kawula gusti terealisasi. Pemimpin (raja) dan rakyaknya duduk dalam satu kesetaraan, kesepahaman akan nilai-nilai kemanusiaan. Tiada yang lebih tinggi dan rendah di antaranya, keduanya saling membutuhkan dan mengikat. WO Sriwedari dibangun sebagai medan interaksi antara Paku Buwana X dan para puta-sentana dengan rakyatnya kala itu (Hasapandi, 1999). Dengan demikian keberadaan WO Sriwedari menjadi begitu prestisius. Keunikannya yang demikian tidak dimiliki oleh jenis kesenian lain kala itu.
Satu kenyataan yang dewasa ini sangat jarang dijumpai, pemimpin dan rakyat kadang tidak menemukan wadah untuk duduk bersama. Tidak menemukan jembatan yang menghubungkan di antara keduanya. Akibatnya sering terjadi konflik dan silang pendapat yang tak jarang berujung pada kekerasan. Bayangkan, jika dalam memecahkan masalah dan proses mediasi dilakukan dengan menonton wayang orang bersama-sama. Kemudian dibantu dengan cerita yang diolah sedimikian rupa sesuai dengan tema permasalahan yang mencuat. Selain estetika sebagai kodrat utama seni, hal-hal dan tujuan lain seperti pesan tentunya dapat tersalurkan dengan lebih konstruktif. Kadang jika kata dan tangan tak mampu dirasakan, biarlah seni yang bicara.
Jika Wali Kota Solo Jokowi selama ini telah menemukan jalan mediasi dengan diadakannya makan malam bareng rakyatnya, kenapa sesekali tidak dilakukan dengan bersama-sama nonton WO Sriwedari? Hal ini tentu berimplikasi ganda. Pertama, hal tersebut akan membantu loncatan drastis terhadap pertunjukan WO Sriwedari sebagai tontonan gaya hidup. Menggemari dan memanfaatkan WO Sriwedari dapat dimulai dari kecintaan pejabat terhadapnya. Wujud kecintaan tentu tidak semata hanya sekadar membiayai, namun juga turut andil bagian menjadi penonton yang setia. Hal yang kemudian menjadi panutan dan contoh bagi masyarakat luas.
Kedua, WO Sriwedari akan menemukan logika tema penceritaan yang kreatif. Tidak harus senantiasa mengacu dari kitab pertunjukannya (pakem). Namun dengan disaksikan gusti dan kawulanya, WO Sriwedari mampu merambah tema-tema yang substansial dewasa ini, terutama di Solo yang dikemas dengan balutan estetika khas pewayangan. Oleh karena itu, jika kita yakin dinamika problematik kota Solo tetap bergulir, maka kreativitas pertunjukan WO Sriwedari juga tidak akan pernah mati.

Abadi
Di kala berbagai kalangan telah pesimistis akan daya hidup WO Sriwedari, dengan senantiasa melontarkan pandangan yang sentimentil, saya tetap yakin bahwa ia tidak akan pernah mati apalagi punah. Usianya yang seabad lebih adalah buktinya. Setiap masa memiliki ceritanya sendiri. Lika-liku perjalanan yang dihadapi WO Sriwedari harusnya menjadikannya lebih dewasa dalam menyikapi perkembangan zaman. Segala usaha yang telah dilakukan oleh berbagai pihak dalam upaya memberi detak dan denyut kehidupannya patut diapresiasi secara mendalam. Dengan melihat jalan ke depan yang kelihatannya semakin terjal, maka tak berlebihan kiranya jika diusianya yang ke 101 tahun ini WO Sriwedari mau merestorasi dirinya. Memunculkan berbagai ide dan solusi baru menggantikan gagasan lama yang mungkin dirasa telah usang dan basi. Tanggung jawab besar ini bukan saja ditumpahkan pada pemain dan pihak pengelola, namun semua lapisan golongan.
Menjadi penting pula untuk dibentuknya masyarakat kreatif WO Sriwedari. Masyarakat yang tidak hanya berupaya menyelematkan kehidupannya dengan sebatas nguri-nguri dan mempertahankan. Namun mampu menelorkan gebrakan-gebrakan solusi frontal agar WO Sriwedari menemukan ritme kehidupannya kembali. Masyarakat kreatif yang mampu merumuskan dan menelorkan gagasan baru ke depan dalam upaya memberi pijakan WO Sriwedari untuk terus bergumul dengan zaman sebagai satu seni yang monumental, abadi.
Selamat ulang tahun WO Sriwedari, terimakasih telah turut berproses menyemarakkan sejarah dan polemik kebudayaan di Solo.

Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta

Tidak ada komentar:

Pengikut