Indonesia Raya yang Terlupa (dimuat di Jawapos edisi 17 Agustus 2009)

 Indonesia Raya yang Terlupa



Beberapa hari kemarin muncul fenomena yang jarang terjadi. Ketika rapat paripurna DPR, lagu Indonesia Raya yang seharusnya menjadi lagu pembuka terlupakan. Ia beralih fungsi menjadi lagu penutup. Hal tersebut menjadi pemberitaan yang cukup menarik sekaligus menggelikan di beberapa media cetak dan elektronik (Jawa Pos 14-15/9/09).

Banyak yang bertanya, bagaimana mungkin dalam upacara kenegaraan yang begitu megah dan resmi hal tersebut dapat terjadi. Beberapa kalangan menilai bahwa yang melakukan kesalahan adalah pimpinan rapat, namun ada pula yang sepakat menyalahkan protokoler.

Siapa yang bertanggung jawab, bagi saya, bukanlah suatu persoalan berarti. Namun, melalui contoh kejadian di atas, setidaknya menjadi wajar apabila kita kembali mempertanyakan bagaimana kedudukan lagu kebangsaan Indonesia Raya di masa kini? Masih adakah spirit nasionalis yang terkan­dung dalam lagu tersebut bagi segenap masyarakat Indonesia?

Musik Adalah Budaya

Mendekati momentum perayaan HUT Kemerdekaan Ke-64 RI, jika kita melihat situasi dan kondisi negara yang masih senantiasa menuai kritik, tidak berlebihan apabila efektivitas dan sumbangan nasionalisme melalui musik perlu diterjemahkan secara lebih komprehensif (Djohan, 2008).

Musik tidak sebatas teks yang berupa kumpulan nada. Lebih dari itu, musik memiliki sisi yang kontekstual. Di dalamnya ada kompleksitas jaringan ide, gagasan, dan ilmu pengetahuan yang berusaha dituangkan oleh sang pemiliknya. Pendek kata, musik merupakan cermin budaya dan "alat ukur objektif" dalam melihat determinasi budaya masyarakat pengultusnya.

64 Tahun Sudah

Tidak terasa, 64 tahun sudah secara res­mi Indonesia Raya menapaki lajur kehidupannya sebagai sebuah lagu kebangsaan yang senantisa setia menemani perayaan detik-detik kemerdekaan Rebublik Indonesia. Lagu itu diciptakan oleh W.R. Supratman (1903-1938). Ide penciptaannya muncul ketika dia membaca artikel dalam surat kabar Fajar Asia. Salah satu kalimat dalam artikel tersebut menyatakan, "Mana ada komponis bangsa kita yang mampu menciptakan lagu kebangsaan Indonesia yang dapat menggugah semangat rakyat" (Wisnu, 2008).

W.R. Supratman yang notabene seorang wartawan dan seniman menganggapnya sebagai sebuah tantangan. Dia membuat satu format lagu yang diberinya judul Indonesia Raya dan kali pertama diperdengarkan di depan umum ketika Kongres Pemuda II 28 Oktober 1928 di Gedung Indonesische Club di Kramat 106, Jakarta. Para peserta menyambutnya dengan antusias.

Kala itu, Indonesia belum memiliki status kemerdekaan dan masih di bawah intervensi Belanda. Karena itu, lagu tersebut menyusup dan menyebar dari satu mulut ke mulut yang lain secara sembunyi-sembunyi. Layaknya kitab Kama Sutra di India, walaupun bersifat ilegal, segera lagu Indonesia Raya tersebut menjadi lagu paling populer di kalangan pemuda Indonesia saat itu.

Pada puncaknya, Indonesia Raya dikumandangkan secara resmi tanggal 17 Agustus 1945, mengiringi bendera merah putih naik kali pertama sebagai statusnya yang merdeka. Lagu Indonesia Raya beralih fungsi, dari lagu perjuangan (memompa semangat pejuang di medan perang) menjadi lagu kebangsaan.

Kala itu, setiap orang yang mendengar lagu tersebut sontak akan berdiri dengan posisi sigap dan hormat, tak jarang pula meneteskan air mata, mengingat momentum kala perjuangan merebut kemerdekaan (Seobagijo, 1985). Hal itu berlangsung di tahun-tahun berikutnya. Indonesia Raya menjadi lagu kebangsaan dan wajib di setiap prosesi kenegaraan, menyelinap hingga pelosok desa, kota, dan semua lembaga pendidikan pemerintah dalam ruang-ruang pesta upacaranya.

Indonesia Raya menjadi alat transportasi yang membawa kita menapaki lajur sejarah masa silam. Tujuan utamanya, dengan mendengarkan dan melagukan Indonesia Raya, kita akan dibawa kembali pada sebuah zaman saat para pejuang bertaruh nyawa demi sebuah kata merdeka. Dengan kehadiran dan keberadaannya di setiap prosesi kenegaraan yang ada, semangat dan rasa nasionalis diharapkan senantiasa muncul dan dapat tersalurkan dari generasi satu ke generasi berikutnya. Apakah hal tersebut masih terjadi di masa kini?

Jika semangat nasionalisme dapat dimengerti secara komprehensif, kasus yang terjadi pada rapat di atas sangat mungkin tidak akan pernah terjadi. Salah satu alasan kesalahan tersebut terjadi adalah kurangnya pemahaman dan penghargaan terhadap lagu kebangsaan Indonesia Raya sebagai sosoknya yang nasionalistis, saksi kunci atas sejarah perjuangan Indonesia.

Paham dan memahami sebuah musik memang terlihat cukup sepele. Namun, dengan menilik kasus di atas, implika­sinya ternyata besar. Dapat dibayangkan, dalam kasus tersebut, apabila para wakil rakyat saja dapat melupakan kedudukan Indonesia Raya, patut kita pertanyakan bagaimana dengan rakyatnya?

Gejala memudarnya semangat nasionalis dapat diukur dengan kadar apresiasi masyarakat kita dan utamanya generasi muda terhadap lagu kebangsaan Indonesia Raya dan lagu nasionalis lainnya. Salah satu stasiun TV nasional mengetengahkan bahwa enam di antara sepuluh pemuda dan kaum intelektual Indonesia tidak dapat menghafal Indonesia Raya dengan baik dan benar.

Aris Setiawan, etnomusikolog, staf pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta

Tidak ada komentar:

Pengikut