Raja Minus Kuasa (dimuat di Solopos 26 Desember 2012)


Raja Minus Kuasa


Keraton Solo senantiasa disibukkan dengan berbagai persoalan. Belum pudar ingatan kita atas kejadian perebutan kekuasaan antara dua (calon) raja, dana bantuan yang tertahan, kini malah muncul wacana untuk mengudeta sang raja. Sosok raja di Nusantara terutama Solo terlihat telah mengalami kebangkrutan eksistensi, legitimasi dan pamor.
Raja seolah menjadi pusat bulan-bulanan dari timbunan persoalan yang menghampiri keraton. Jejak kuasa dan titah raja sebagai titisan sang dewata kini hanya menjadi mitos manis masa silam. Raja adalah gelar kebangsawanan yang tak lagi prestisius. Masyarakat tak lagi mampu melihat sumbangan penting yang ditorehkan raja dan keratonnya di abad mutakhir. Persoalannya kemudian, bagaimana masyarakat masa kini mendudukkan sosok sang raja? Masihkan dirinya memiliki legitimasi atas segala kuasa?
Jejak sejarah keagungan sang raja di Jawa dapat ditelisik dari berbagai goresan yang dilukiskan oleh para punjangga lewat nyanyian, bunyi-bunyian, tetembangan berbentuk serat dan kitab. Tak ada kisah yang menarasikan kejanggalan dan keburukan sang raja. Semua selalu memuji dan menggambarkan sosok raja sebagai pribadi yang sakral dan agung. Serat Niti Sastra dan Niti Prajayang mendendangkan bagaimana seorang raja adalah unsur mutlak yang mengatur segala ketertiban masyarakat, kedudukan dan segala ucapnya lebih tinggi dari pada hukum yang berlaku.
Raja ditempa tak hanya dalam kubangan kenikmatan berupa limpahan harta namun juga berbagai laku prihatin. Menjadi raja berarti merekonstruksi diri sebagai “rumah mikro” yang harus mampu menggambarkan dan mengendalikan jagad luar (makrokosmos). Dengan demikian, tugas raja adalahmamayuhayuning bawana yakni menjaga keselamatan dunia. Dalam Islam, kehadiran raja juga bisa disebut sebagai rahmatan lil ‘alamin” (pembawa berkah). Keberadaan sosok raja bukanlah beban, namun anugerah yang diberikan Tuhan.
Begitu prestisiusnya kehadiran raja di dunia ini juga dirayakan secara besar-besaran lewat SeratWulang RehSewaka dan Serat Manu. Ketiga serat itu melukiskan raja sebagai manusia pilihan, makhluk utama yang derajad perkataannya setara dengan perintah dan wahyu Ilahi. Jika di masa milenium kita mengenal “suara rakyat sebagai suara tuhan”, maka di era sebelumnya kita mengamini bahwa kendali rakyat tersebut setara dengan ucapan dan kerja seorang raja. Artinya, segala ucap yang keluar dari sang raja telah mewakili segala harapan dari seluruh masyarakat di wilayah kekuasannya. Oleh karena itu, tak jarang dikisahkan bahwa untuk menjadi seorang raja, sang pangeran terlebih dahulu harus berkelana, menyamar, hidup berbaur dengan rakyat jelata. Otomatis, menjadi raja berarti menjadi rakyat. Mengerti akan segala persoalan dan kehidupan yang dialami rakyatnya.
Walaupun demikian, raja juga diberi kenikmatan di luar orang biasa. Hadiah berupa singasana yang megah, permaisuri cantik dan lebih dari satu, pakaian yang indah, limpahan makanan enak. Anugerah profesi yang kadang menjadi bumerang bagi sang raja. terlalu larut dalam buaian kenikmatan sehingga tak mampu mengontrol arogansi diri dengan baik. Darsiti Soeratman dalam salah satu bukunya yang berjudul Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1830-1939 (2000) menjelaskan pergantian kekuasaan seorang raja sering kali diwarnai pertikaian saudara. Adapun para calon raja merasa berhak menduduki takhta agung itu karena merasa sebagai ahli waris, keturunan, anak kandung yang sah. Hal yang beberapa saat lalu juga terjadi di Keraton Solo.
Michael Foucault (1926-1984), filsuf Prancis, memandang fenomena kekuasaan dan seksualitas memang saling mengintervensi, tak dapat dipisahkan. Hal ini yang mengakibatkan raja dengan beban-beban kekuasannya merasa perlu memiliki wanita lebih dari satu. Semakin ia berkuasa maka semakin butuh sentuhan wanita yang berbeda. Takhta dan wanita senantiasa mewarnai dalam percaturan sejarah kerajaan di Jawa. Akibatnya, raja memiliki banyak anak dari banyak wanita di sampingnya. Para keturunan itulah yang saling berebut kekuasaan. Perang saudara sudah menjadi pemandangan yang lumrah dalam telisik jejak keraton di Jawa.
Di sisi lain, Muhammad Ilham (2009) menegaskan bahwa dalam titik tersebut, raja sejatinya telah kehilangan kesadaran. Terbuai dengan kenikmatan yang didapat hingga tidak menyadari akibat di balik itu. Ia tak paham bahwa keturunan raja yang lain (saudaranya) juga menginginkan kenikmatan dalam keraton. Merasa memiliki hak dan keistimewaan yang tak jauh beda. Dengan demikian, wajar jika isu kudeta sering kali berembus. Namun, semakin lama antusiasme dan kepercayaan masyarakat juga semakin pudar dalam menempatkan raja dan keratonnya sebagai muara dari jagat mikro, gantungan hidup, sesembahan dan imajinasi kultural.

Minus Kuasa
Kasus di Keraton Solo seolah menunjukkan bagaimana wibawa raja telah mengalami kemerosotan yang tajam. Hermanu lewat tulisannya yang berjudul Jatuhnya Elit Keraton dalam Politik Pergerakan (2008) secara rinci menjelaskan bagaimana pamor Raja Surakarta (Paku Buwana) semakin surut yang salah satu penyebabnya juga karena intrik politik yang terjadi di dalam tembok keraton itu sendiri. Masalah yang lain adalah perebutan kekuasaan, kebijakan politik, serta tak mampu menanggapi situasi nasional kala Indonesia berdiri dan keraton menjadi bagiannya.
Namun demikian, walaupun surut dalam skala legitimasi kekuasaan politik, sejatinya raja dan keraton masih kuat dalam kuasa kebudayaan. Situasi ini yang menurut Waridi (2005) berhasil dimanfaatkan Paku Buwana X untuk mengangkat elektabilitas namanya di mata masyarakat dengan menggelar berbagai seremoni yang megah dan berkesan. Detak kultural adalah satu-satunya episentrum yang dapat menarik hati masyarakat untuk saat ini. Otomatis, kedudukan raja dan keraton kemudian dibelokkan menjadi “benda” cagar budaya yang keberadaannya hanya dilihat dan dikunjungi dalam urusan pamrih bisnis pariwisata dan pelancongan semata.
Prahara yang mewarnai Keraton Solo tak lagi mampu menyedot antusiasme publik. Masyarakat seolah telah bosan dengan berbagai suguhan drama itu. Sayangnya hingga detik ini, raja dan pihak dalam tembok keraton belum berminat untuk mengakhiri konflik yang terjadi. Usaha mengakhiri keributan itu harusnya tidak diperuntukkan demi stabilitas kedamaian penghuni keraton semata, namun juga wujud tanggung jawab moral kepada masyarakat luas.
Dari lemahnya kuasa yang dimiliki raja, mengakibatkan sosoknya rentan untuk dipermainkan. Raja tak lagi dihargai seperti dulu kala, bahkan oleh para saudaranya. Titahnya tak lagi manjur, bahkan ditentang dan diperdebatkan. Nama raja kemudian seolah hanya formalitas untuk mengisi kelengkapan perangkat penghuni keraton. Apalagi berembus rumor, nama raja diperjualbelikan dalam pemberian gelar untuk seseorang yang mampu membayar. Ironi raja masa kini yang keberadaannya menjadi orientasi bisnis penuh pamrih bagi pihak-pihak tertentu.
Raja di abad XXI seolah terkungkung dalam belenggu kekuasaan. Derajad kuasa yang dimiliki tak lagi mampu dijabarkan di zaman milenium. Setidaknya jika kuasa atas supremasi politik dan kekuasaan tak lagi mampu diraih, bekal satu-satunya hanya cermin kesantunan perilaku dan penegakan norma-norma sosial. Bukan satu hal yang aneh, jika masalah masih senantiasa muncul, maka dapat dipastikan impian untuk menjadi Daerah Istimewa Surakarta (DIS) yang selama ini didengung-dengungkan hanya menjadi isapan jempol semata

Aris Setiawan
Pengajar di Jurusan Etnomusikologi ISI Surakarta

Jaran Kepang Mengisahkan Jawa (dimuat di Suara Merdeka 2 Desember 2012)


Jaran Kepang Mengisahkan Jawa



Ada yang unik dari gelaran seni pertunjukan yang diadakan oleh Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT) di Surakarta. Acara yang bertajuk "Festival Seni Pertunjukan Tradisional Indonesia 2012" itu menghadirkan 300 Jaran Kepang dari berbagai kelompok pada 25 November 2012 kemarin. Menurut panitia pelaksana, forum itu dikhususkan guna memperkenalkan kembali kesenian Jaran Kepang kepada masyarakat luas. Terlebih, momen itu menjadi pas karena kesenian ini sedang mengalami sebuah masa ujian hidup yang cukup memprihatinkan. Tentunya kita masih ingat akan ucapan Gubernur Jawa Tengah, Bibit Waluyo, yang dengan lantang mewacanakan bahwa Jaran Kepang adalah kesenian yang paling jelek sedunia (Radar Solo, 12/9/2012). Antusiasme kelompok kesenian jaran kepang begitu terlihat guna menunjukkan bahwa denyut estetikanya masih mampu berdetak selaras dengan zaman. Jaran Kepang mengawali sebuah masa baru dalam babak sejarah seni pertunjukan tradisi Indonesia dewasa ini. Mengguratkan kenangan bahwa stereotip negatif masih saja senantiasa melekat dan dilekatkan oleh banyak pihak tak terkecuali penguasa.

Kesenian Akar Rumput
Jaran Kepang di banyak tempat memiliki nama yang bervariasi, ada yang menyebutnya Kuda Lumping, Jaranan, Jathilan dan juga Ebeg. Soedarsono (1983) dengan gamblang menjelaskan bahwa Jaran Kepang merupakan satu kesenian yang sudah ada sebelum Islam masuk ke Nusantara terutama Jawa, yakni sekitar abad ke XV. Kesenian ini menggunakan anyaman bambu berbentuk menyerupai kuda (jaran) yang diselipkan di antara kaki para penari. Awal keberadaan kesenian Jaran Kepang bukanlah untuk hiburan seperti sekarang, namun sebagai sarana ritual. Sebuah perayaan ritus (upacara) dengan berusaha menghadirkan dewa, atau roh leluhur untuk bersemayam, merasuki diri pada salah satu penari. Konon, jaran atau anyaman bambu yang digunakan tersebut berfungsi sebagai medium yang menghantarkan pemain untuk lekas bertemu arwah para leluhur. Singkatnya, anyaman bambu dianalogikan sebagai kuda yang dinaiki para penari menuju alam nir sadar, kesurupan alias ndadi (trance).
Hampir semua daerah, terutama Jawa, memiliki kesenian ini. Soerjo Wido Minarto dalam tulisannya berjudul Jaran Kepang dalam Tinjauan Interaksi Sosial (2007) memandang Jaran Kepang adalah representasi detak kultural masyarakat Jawa. Melihat Jaran Kepang berarti melihat timbunan makna tentang Jawa yang terkandung di dalamnya. Jaran Kepang lebih daripada fenomena kebendaan atau fisik semata seperti gerak, musik dan kostum. Namun juga bertaburan mitos, esensinya sebagai ruang pengharapan, tujuan dan cita-cita, serta ‘komunikasi maya’ yang hanya dapat dipahami dan dirasakan oleh masyarakat pendukung kesenian itu. Sebelum Islam masuk, Jaran Kepang adalah ritus sakral, tak semua orang mampu dan terpilih untuk menarikannya. Adalah orang-orang yang dianggap suci, bersih diri dan hati sehingga tubuhnya layak menjadi persemayaman para dewa dan roh leluhur.
Oleh karena itu, Jaran Kepang mampu berbicara banyak tentang sejarah perjalanan masyarakat Jawa. Yang nampak bukanlah apa yang bisa dilihat dan didengar, namun apa yang bisa dirasakan. Jaran Kepang adalah bagian penting dari degub kebudayaan, yang tak semata bisa dilihat dalam domain hasil ciptaan manusia berupa produk dan benda, namun berupa simbol yang berusaha menarasikan “sesuatu tentang sesuatu”. Muhammad Nur Salim (2011) menyingkap tabir mitos dalam Jaran Kepang, terutama saat adegan ndadi atau kesurupan. Menurutnya, bagi masyarakat pendukung Jaran Kepang, terutama daerah Magelang dan sekitar, hingga saat ini masih mempercayai bahwa roh leluhur yang merasuki para pemain membawa pesan-pesan positif. Sehingga keberadaannya harus senantiasa dihidupi dengan aneka ragam sesaji baik berupa bunga, kemeyan maupun dupa.
Lambat laun, kesenian Jaran Kepang tak hanya bermukim di Jawa. Heristina Dewi (2007) pernah mengulas bagaimana kesenian Jaran Kepang hidup subur di daerah Medan. Begitu juga dengan Frans Sartono (2010), menceritakan dengan detail tentang Jaran Kepang yang menjadi menu sajian utama dalam kancah kesenian di Suriname. Jaran kepang kemudian tak hanya menjadi milik Jawa namun juga Indonesia bahkan Dunia. Dalam peta perjalananya, Jaran Kepang menyublim menjadi wujud kesenian yang dihadirkan pada berbagai perayaan seperti nikahan, khitanan, bersih desa dan lain sebagainya. Beberapa masyarakat Jawa dalam kehidupan sehari-hari masih kuat memegang akar tradisi leluhurnya. Mereka tak dapat dilepaskan begitu saja dengan kekuatan-kekuatan transendeltal, yang gaib dan sakral di sekelilingnya. Kehadiran Jaran Kepang dengan aneka sesaji (sajen) kadang masih diperlukan sebagai sarana ruwat (penangkal), agar terhindar dari godaan berbau negatif yang nir mata itu.

Kisah
Namun kini zaman telah berubah. Benturan kebudayaan terjadi. Jaran Kepang berada dalam posisi poros tersudutkan oleh aneka sajian hiburan yang lebih glamour dan gemerlap. Pernyataan sang Gubernur mencoba mengamini akan realitas tersebut. Jaran Kepang tak ubahnya kesenian purba yang telah basi, kuno, udik dan ketinggalan zaman. Tak pantas bercengkrama dengan waktu yang serba canggih dan moderen seperti saat ini. Penilaian Bibit mengingatkan kita akan rona sejarah kala para misionaris Barat datang pertama kali di bumi pertiwi terutama Jawa. Santosa (2005) menandaskan kaum Barat (Eropa) pada awalnya menilai kebudayaan Jawa seperti gamelan adalah musik primitif yang tak beradab. Sementara kebudayaan Eropa dengan musik klasiknya adalah adi luhung, beradab dan moderen. Brandts Buys, pemusik asal Belanda, pada tahun 1926 juga pernah menuliskan bahwa musik dan bahasa Madura sebagai suara kodok, kasar menyerupai bajak laut.
Padahal penilaian dengan memandang bahwa kebudayaan satu lebih jelek dari pada yang lain, banyak digugat oleh para pemikir kontemporer. Setiap kebudayaan dan tertutama dalam hal ini kesenian memiliki sisi estetika yang tak bisa begitu saja disepadankan, disamaratakan, apalagi dibanding-bandingkan. Satu kesenian memiliki sisi fungsi, keunikan, pemaknaan yang berbeda dan harus dilihat dalam kacamata pemiliki kesenian itu. Oleh karenanya, tak bisa menilai gamelan dengan menggunakan lensa musik barat, atau sebaliknya. Tak bisa pula dengan serta merta menuding bahwa kesenian Jarang Kepang merupakan kesenian paling jelek sedunia tanpa alasan dan dasar yang kuat.
Jaran Kepang memang tak lagi mampu menampakkan ujudnya secara lebih terbuka terutama lewat media elektronik. Kesenian itu hidup dari satu panggung desa ke desa lainnya. Semangat masyarakat akar rumputlah yang menjadikan kesenian Jaran Kepang masih berdetak hidup. Uluran tangan pemerintah yang selama ini ditunggu-tunggu bukannya datang menghampiri, malah menghardik dan menusuknya agar lekas mati. Oleh karena itu gelaran 300 Jaran Kepang di TBJT kemarin seolah menjadi oase yang menyegarkan dalam denyut hidup kesenian ini. yang lebih menggembirakan lagi, salah satu kelompok Jathilan dari Magelang tengah dipersiapkan tampil di World of Musik, Arts and Dance (WOMAD) di New Zealand, tahun depan. WOMAD adalah salah satu forum internasional yang berusaha menganggkat seni-seni tradisi unggulan di dunia untuk dipentas dan pamerkan. Dipilihnya jaran kepang seolah menandaskan bahwa kesenian ini mampu berdiri sejajar dengan kesenian unggulan dunia lainnya. Jaran Kepang bagaimanapun juga adalah tolok ukur objektif dalam melihat determinasi adab budaya di Indonesia dan Jawa pada khususnya. Otomatis, dengan matinya kesenian itu, maka peradaban kebudayaan Jawapun akan semakin sayup-sayup tak mampu dilihat lagi.
Aris Setiawan
Pengajar di Jurusan Etnomusikologi Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta

Pengikut