Jaran Kepang
Mengisahkan Jawa
Ada yang unik dari gelaran seni
pertunjukan yang diadakan oleh Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT) di Surakarta.
Acara yang bertajuk "Festival Seni Pertunjukan Tradisional Indonesia
2012" itu menghadirkan 300 Jaran Kepang dari berbagai kelompok pada 25
November 2012 kemarin. Menurut panitia pelaksana, forum itu dikhususkan guna
memperkenalkan kembali kesenian Jaran Kepang kepada masyarakat luas. Terlebih,
momen itu menjadi pas karena kesenian ini sedang mengalami sebuah masa ujian hidup
yang cukup memprihatinkan. Tentunya kita masih ingat akan ucapan Gubernur Jawa
Tengah, Bibit Waluyo, yang dengan lantang mewacanakan bahwa Jaran Kepang adalah
kesenian yang paling jelek sedunia (Radar Solo, 12/9/2012). Antusiasme kelompok
kesenian jaran kepang begitu terlihat guna menunjukkan bahwa denyut estetikanya
masih mampu berdetak selaras dengan zaman. Jaran Kepang mengawali sebuah masa
baru dalam babak sejarah seni pertunjukan tradisi Indonesia dewasa ini.
Mengguratkan kenangan bahwa stereotip negatif masih saja senantiasa melekat dan
dilekatkan oleh banyak pihak tak terkecuali penguasa.
Kesenian Akar Rumput
Jaran Kepang di banyak tempat memiliki nama yang
bervariasi, ada yang menyebutnya Kuda
Lumping, Jaranan, Jathilan dan
juga Ebeg. Soedarsono (1983) dengan
gamblang menjelaskan bahwa Jaran Kepang merupakan satu kesenian yang sudah ada
sebelum Islam masuk ke Nusantara terutama Jawa, yakni sekitar abad ke XV.
Kesenian ini menggunakan anyaman bambu berbentuk menyerupai kuda (jaran) yang diselipkan di antara kaki
para penari. Awal keberadaan kesenian Jaran Kepang bukanlah untuk hiburan
seperti sekarang, namun sebagai sarana ritual. Sebuah perayaan ritus (upacara)
dengan berusaha menghadirkan dewa, atau roh leluhur untuk bersemayam, merasuki
diri pada salah satu penari. Konon, jaran
atau anyaman bambu yang digunakan tersebut berfungsi sebagai medium yang
menghantarkan pemain untuk lekas bertemu arwah para leluhur. Singkatnya,
anyaman bambu dianalogikan sebagai kuda yang dinaiki para penari menuju alam
nir sadar, kesurupan alias ndadi (trance).
Hampir semua daerah, terutama Jawa, memiliki kesenian
ini. Soerjo Wido Minarto dalam tulisannya berjudul Jaran Kepang dalam Tinjauan Interaksi Sosial (2007) memandang Jaran
Kepang adalah representasi detak kultural masyarakat Jawa. Melihat Jaran Kepang
berarti melihat timbunan makna tentang Jawa yang terkandung di dalamnya. Jaran
Kepang lebih daripada fenomena kebendaan atau fisik semata seperti gerak, musik
dan kostum. Namun juga bertaburan mitos, esensinya sebagai ruang pengharapan,
tujuan dan cita-cita, serta ‘komunikasi maya’ yang hanya dapat dipahami dan
dirasakan oleh masyarakat pendukung kesenian itu. Sebelum Islam masuk, Jaran
Kepang adalah ritus sakral, tak semua orang mampu dan terpilih untuk menarikannya.
Adalah orang-orang yang dianggap suci, bersih diri dan hati sehingga tubuhnya
layak menjadi persemayaman para dewa dan roh leluhur.
Oleh karena itu, Jaran Kepang mampu berbicara banyak
tentang sejarah perjalanan masyarakat Jawa. Yang nampak bukanlah apa yang bisa
dilihat dan didengar, namun apa yang bisa dirasakan. Jaran Kepang adalah bagian
penting dari degub kebudayaan, yang tak semata bisa dilihat dalam domain hasil
ciptaan manusia berupa produk dan benda, namun berupa simbol yang berusaha
menarasikan “sesuatu tentang sesuatu”. Muhammad Nur Salim (2011) menyingkap
tabir mitos dalam Jaran Kepang, terutama saat adegan ndadi atau kesurupan. Menurutnya, bagi masyarakat pendukung Jaran
Kepang, terutama daerah Magelang dan sekitar, hingga saat ini masih mempercayai
bahwa roh leluhur yang merasuki para pemain membawa pesan-pesan positif.
Sehingga keberadaannya harus senantiasa dihidupi dengan aneka ragam sesaji baik
berupa bunga, kemeyan maupun dupa.
Lambat laun, kesenian Jaran Kepang tak hanya bermukim di
Jawa. Heristina Dewi (2007) pernah mengulas bagaimana kesenian Jaran Kepang
hidup subur di daerah Medan. Begitu juga dengan Frans Sartono (2010),
menceritakan dengan detail tentang Jaran Kepang yang menjadi menu sajian utama
dalam kancah kesenian di Suriname. Jaran kepang kemudian tak hanya menjadi
milik Jawa namun juga Indonesia bahkan Dunia. Dalam peta perjalananya, Jaran
Kepang menyublim menjadi wujud kesenian yang dihadirkan pada berbagai perayaan
seperti nikahan, khitanan, bersih desa dan lain sebagainya. Beberapa masyarakat
Jawa dalam kehidupan sehari-hari masih kuat memegang akar tradisi leluhurnya.
Mereka tak dapat dilepaskan begitu saja dengan kekuatan-kekuatan transendeltal, yang gaib dan sakral di
sekelilingnya. Kehadiran Jaran Kepang dengan aneka sesaji (sajen) kadang masih diperlukan sebagai sarana ruwat (penangkal), agar terhindar dari godaan berbau negatif yang nir
mata itu.
Kisah
Namun kini zaman telah berubah. Benturan kebudayaan
terjadi. Jaran Kepang berada dalam posisi poros tersudutkan oleh aneka sajian
hiburan yang lebih glamour dan gemerlap. Pernyataan sang Gubernur mencoba
mengamini akan realitas tersebut. Jaran Kepang tak ubahnya kesenian purba yang
telah basi, kuno, udik dan ketinggalan zaman. Tak pantas bercengkrama dengan
waktu yang serba canggih dan moderen seperti saat ini. Penilaian Bibit
mengingatkan kita akan rona sejarah kala para misionaris Barat datang pertama
kali di bumi pertiwi terutama Jawa. Santosa (2005) menandaskan kaum Barat
(Eropa) pada awalnya menilai kebudayaan Jawa seperti gamelan adalah musik primitif
yang tak beradab. Sementara kebudayaan Eropa dengan musik klasiknya adalah adi
luhung, beradab dan moderen. Brandts Buys, pemusik asal Belanda, pada tahun
1926 juga pernah menuliskan bahwa musik dan bahasa Madura sebagai suara kodok,
kasar menyerupai bajak laut.
Padahal penilaian dengan memandang bahwa kebudayaan
satu lebih jelek dari pada yang lain, banyak digugat oleh para pemikir
kontemporer. Setiap kebudayaan dan tertutama dalam hal ini kesenian memiliki
sisi estetika yang tak bisa begitu saja disepadankan, disamaratakan, apalagi
dibanding-bandingkan. Satu kesenian memiliki sisi fungsi, keunikan, pemaknaan
yang berbeda dan harus dilihat dalam kacamata pemiliki kesenian itu. Oleh
karenanya, tak bisa menilai gamelan dengan menggunakan lensa musik barat, atau
sebaliknya. Tak bisa pula dengan serta merta menuding bahwa kesenian Jarang
Kepang merupakan kesenian paling jelek sedunia tanpa alasan dan dasar yang
kuat.
Jaran Kepang memang tak lagi mampu menampakkan ujudnya
secara lebih terbuka terutama lewat media elektronik. Kesenian itu hidup dari satu
panggung desa ke desa lainnya. Semangat masyarakat akar rumputlah yang
menjadikan kesenian Jaran Kepang masih berdetak hidup. Uluran tangan pemerintah
yang selama ini ditunggu-tunggu bukannya datang menghampiri, malah menghardik
dan menusuknya agar lekas mati. Oleh karena itu gelaran 300 Jaran Kepang di
TBJT kemarin seolah menjadi oase yang menyegarkan dalam denyut hidup kesenian
ini. yang lebih menggembirakan lagi, salah satu
kelompok Jathilan dari Magelang tengah dipersiapkan tampil di World of Musik,
Arts and Dance (WOMAD) di New Zealand, tahun depan. WOMAD adalah salah satu
forum internasional yang berusaha menganggkat seni-seni tradisi unggulan di
dunia untuk dipentas dan pamerkan. Dipilihnya jaran kepang seolah menandaskan
bahwa kesenian ini mampu berdiri sejajar dengan kesenian unggulan dunia
lainnya. Jaran Kepang
bagaimanapun juga adalah tolok ukur objektif dalam melihat determinasi adab
budaya di Indonesia dan Jawa pada khususnya. Otomatis, dengan matinya kesenian
itu, maka peradaban kebudayaan Jawapun akan semakin sayup-sayup tak mampu
dilihat lagi.
Aris Setiawan
Pengajar di Jurusan Etnomusikologi
Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar