Menafsir Nartosabdo (dimuat di Koran Joglosemar 21 Februari 2013)


Menafsir Nartosabdo



Seperti yang telah banyak diberitakan sebelumnya, para seniman yang tergabung dalam Paguyuban Senirupawan Klaten (Pasren) dan dipimpin kartunis GM Sudarta bertemu Bupati Klaten Sunarna, Selasa (22/1/2013). Mereka mengkritik dan meminta Pemerintah Kabupaten membongkar patung Ki Nartosabdo di taman kota Jalan Merbabu, Klaten Tengah. Patung yang berada di sebelah timur kompleks Setda Klaten itu dinilai tidak mirip dengan sosok dan karakter asli komponis karawitan kondang asal Klaten tersebut.
Eksesnya, wacana yang muncul kemudian tak hanya dalam ingar bingar persoalan patung semata, namun masyarakat juga seolah diajak kembali untuk menziarahi perjalanan laku hidup dan sumbangan penting Nartosabdo dalam kebudayaan Jawa. Terlebih, peran sosoknya semakin tak terbaca oleh kalangan muda masa kini. Dengan adanya peristiwa itu, menjadi momentum berharga untuk mengurai kembali jejak-jejaknya.

Komponis Produktif Karawitan
Waridi (2005) dalam disertasinya menganggap Nartosabdo (1925-1985) sebagai salah satu pilar penjaga denyut hidup karawitan Jawa. Nartosabdo banyak melakukan gebrakan yang dianggap frontal. Begitu produktif dalam menciptakan gending. Sejumlah gending klasik yang semula dipandang bernuansa halus, monoton, kurang dinamis dan miskin garap (terutama vokal), kemudian dihadirkan kembali olehnya dengan wajah baru yang lebih segar, dinamis, populis dan tentu saja menghibur. Tak hanya mengaransemen ulang gending-gending yang dianggap “basi”, dalang kondang itu juga berhasil menciptakan karya-karya baru yang disenangi oleh segala lapisan masyarakat.
Keberanian Nartosabdo dalam menawarkan kreativitas lain yang berbeda dengan tokoh-tokoh pendahulu dan seangkatan, membuatnya dikenal sebagai perusak pakem. Karya-karyanya berbau komersial, berbanding terbalik dengan kodrat seni karawitan yang awalnya dianggap sebagai sarana kontemplatif semata. Ia banyak dihujat, namun kemudian dipuja. Karya-karyanya menyebar kencang lewat banyak pertunjukan wayang, kaset-kaset rekaman komersial, pertunjukan konser karawitan di tempat hajatan, dan siaran-siaran radio. Nartosabdo meraih kedudukan terhormat dan puncak kejayaan berkat kreativitasnya.
Peran penting Nartosabdo dalam dunia karawitan (gaya Surakarta) dimulai saat dirinya mendirikan kelompok karawitan bernama “Condhong Raos” pada 1 April 1969. Sebagai dalang terkenal, Nartosabdo sangat sadar bahwa seorang dalang yang bagus harus disertai dengan hadirnya karya musik (karawitan) yang bagus pula. Pada kelompok karawitan yang dipimpinnya itulah ia banyak melakukan ekspresimen musikal karawitan. Condhong Raos menjadi laboratorium kreativitas bagi Nartosabdo. Sangat produktif dalam melahirkan karya baru hingga masyarakat karawitan di Jawa kala itu menyebut gending-gendingnya sebagai “Gaya Nartosabdoan”. Gaya personal yang khas mengalahkan gaya kedaerahan. Kumpulan hasil karyanya dapat dibaca lewat tulisan A. Sugiyarto, Kumpulan Gendhing-Gendhing Jawa Karya Ki Nartosabda(1998).
Begitu unik, sehingga banyak memancing keiinginan perusahaan rekam untuk mendokumentasikan dan memperjual-belikan rekaman karya-karyanya. Lokananta, Ira Record, Fajar Record, Kusuma Record adalah beberapa di antaranya. Hasil rekaman itulah yang masih dapat kita nikmati hingga saat ini di banyak Radio di Jawa. Bahkan Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta Jurusan Karawitan serta Pedalangan menjadikan gaya musikal dan juga pedalangan Nartosabdoan sebagai bagian menu materi mata kuliah yang harus ditempuh mahasiswa. Nartosabdo menjadi pionir, sekaligus pendobrak tradisi yang kala itu dianggap beku. Kreativitas puncak yang dihasilkannya masa itu kemudian menjadi gudang telaah ilmu pengetahuan di masa kini.  
Nartosabdo bukanlah seniman multitalenta yang berjuang demi menghidupi diri sendiri, namun juga kehidupan kebudayaan Jawa, terutama wayang dan karawitan. Perhatiannya tak semata pada gending-gending klasik, namun juga pada dunia anak-anak. Ia banyak mengolah lagu dolanan anak yang sebelumnya dianggap kuno menjadi bunyi dengan citranya yang baru dan digemari. Lepetan, Sluku-Sluku Bathok, Kembang Jagung, Dhayohé Teka, dan Iris-Irisan Téla adalah di antaranya. Sebuah perhatian dari komponis besar kala itu yang sekaligus juga menjadi medan kritik bagi komponis masa kini.

Nartosabdo Masa Kini
Penghargaan untuknya dapat diwujudkan dalam bentuk apapun, tak terkecuali juga patung. Padahal sebenarnya, tanpa harus ada patungpun Nartosabdo akan abadi dengan sendirinya lewat karya-karya yang telah ditorehkannya. Terhitung sejak setengah abad lebih ia pergi, karya-karyanya hingga kini masih mengalun merdu di berbagai radio, pentas wayang dan lain sebagainya. Menjadi ironis kemudian jika penghargaan untuknya harus dirayakan dengan berbagai konflik kepentingan dan ambisi pamrih keuntungan. Menghargai Nartosabdo sebagai putra daerah jelas tak cukup dengan hanya adanya patung sebagai sebuah simbol, namun juga mendalami ajaran, karya dan laku kreatifnya.
Bagi masyarakat seni karawitan di Jawa misalnya, wujud penghargaan yang diberikan adalah menggaungkan karya-karyanya. Bagi dalang masa kini dengan menjadikan gaya Nartosabdo sebagai bagian penting dalam pertunjukan wayangnya. Bagi perupa tentu saja dengan patung. Namun menjadi banal jika interpretasi kita terhadap sosoknya kemudian terlalu jauh menyimpang dari realitas sejarah yang sebenarnya terjadi. Wajah Nartosabdo dalam patung itu konon lebih mirip abdi dalem keraton dari pada maestro karawitan dan wayang. Sah-sah saja memang, namun sebagai upaya dalam memperkenalkan kembali sosok Nartosabdo bagi generasi masa kini, menjadi penting untuk kembali mengurai detail karakter wajahnya dengan cermat.
Banyak kalangan yang juga mempersoalkan saat patung Nartosabdo mengenakan beskab lurik warna cokelat tua dan kain batik motif parang yang dianggap tak mencerminkan seorang seniman unggul. Apakah itu salah? Terkait dengan persoalan ini, saya mencoba meminjam pandangan I Wayan Sadra, komponis kenamaan dan juga pelukis asal solo. Sadra kala itu mengkritik pembangunan patung Slamet Riyadi yang membawa pistol (di Jalan Slamet Riyadi Solo). Menurutnya, patung Slamet Riyadi tak harus membawa senjata pistol, bisa saja dengan membawa canting batik, main gamelan, atau menari. Dengan membawa pistol, seolah saat ini kita masih mengukuhkan simbol-simbol kekerasan. Pertanyaannya kemudian, apakah salah jika Slamet Riyadi yang seorang pejuang sejati itu nggamel, membatik atau menari sesuai dengan realitas zaman masa kini? Lalu salahkah jika Nartosabdo juga memakai batik, atau pegang buku bahkan laptop misalnya?
Mengkultuskan sosoknya tak harus mengembalikan memori, imajinasi dan pikiran kita pada masa lalu semata. Namun juga mencoba untuk mengkontekstualisasikan dengan dunia baru saat ini. Para pengrawit berlomba-lomba mengaransemen ulang gending-gending Nartosabdo agar senantiasa vital dan selalu segar. Para dalang menggunakan gaya Nartosabdo sebagai batu kreativitas untuk menemukan gayanya sendiri. Namun, sebebas apapun para pengrawit dan dalang dalam menafsir karya Nartosabdo, mereka tak menghilangkan bangunan dasar karya itu. Sehingga karakter dan warna Nartosabdo masih sangat nampak bahkan semakin membuncah. Bagaimana dengan pematung? Pematung dapat saja menghadirkan ulang ujud Nartosabdo dengan ketajaman dan kebebasan tafsir pahatannya. Namun sebebas apapun itu, alangkah baiknya jika masyarakat masih mampu memaknai kembali sosok Nartosabdo yang tak hanya menjadi simbol kenangan tokoh masa lalu, tapi juga simbol berharga di masa kini.

Aris Setiawan
Pengajar di Jurusan Etnomusikologi Institut Seni Indonesia Surakarta

Ironi Guru SMK Seni (dimuat di Koran Joglosemar 13 Februari 2013)


Ironi Guru SMK Seni



Awal keprihatinan itu muncul dari Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) kesenian di Indonesia. Sekolah-sekolah seni itu sedang dihadapkan dengan masalah krusial. Tak memiliki kualifikasi guru atau pengajar sesuai dengan bidang keahlihan (seni). Sementara di satu sisi, jumlah siswanya tiap tahun semakin membeludak banyak. Hal itu disebabkan oleh aturan yang awalnya mengharuskan seorang guru adalah produk lulusan dari perguruan tinggi yang berbasis Lembaga Pendidikan dan Tenaga Kependidikan (LPTK).
Terlebih dahulu perlu diketahui, pada  SMK setidaknya terdapat tiga jenis kriteria pengajar atau guru. Yakni guru adaptif, guru normatif dan guru produktif. Guru normatif adalah guru yang mengajarkan mata pelajaran pokok seperti Matematika, Bahasa Indonesia dan Agama. Guru adaftif mengajarkan mata pelajaran adaptif seperti Kimia, Biologi, Ilmu Alam dan Fisika. Sedangkan guru “produktif” mengajarkan mata pelajaran khusus bagi siswa SMK seperti Tekstil, Batik, Seni Kriya, Teater, Karawitan, Pedalangan, Elektro. Kriteria terakhir inilah yang saat ini menjadi problematis.

Problematis
Jejak SMK dilahirkan dengan tujuan mencetak siswa untuk siap bekerja setelah menyelesaikan masa belajarnya. Oleh karena itu, siswa SMK harus dibimbing oleh guru-guru yang memiliki bidang keahlian spesifik (produktif). Namun sayang bagi sekolah seni, kasus SMK Negeri 12 Surabaya (serupa juga di Solo, Yogya, Makassar, Padang, Denpasar, Banyumas, Bandung) misalnya, saat ini hanya memiliki satu guru produktif untuk bidang keahlian Seni Pedalangan sementara jumlah siswanya mencapai hampir 40 orang. Di Jurusan Seni Karawitan, tujuh guru produktif dengan jumlah siswa hampir 200 orang. Jurusan Teater hanya satu guru produktif untuk siswa lebih dari 50 orang. Bandingkan dengan guru normatif dan adaftif yang jumlahnya lebih dari 25-an orang.
Padahal di sisi lain, sarjana lulusan perguruan tinggi seni dengan bidang keahlian karawitan, pedalangan dan teater jumlahnya semakin banyak. Namun para sarjana seni itu tak bisa lekas mengembangkan profesi sebagai pengajar karena tak memiliki sertifikat atau ijazah sebagai pendidik. Akibatnya, suplai untuk guru-guru dengan bidang keahlian produktif mengalami kebuntuan. Lebih ironisnya, banyak guru yang tidak memiliki kompetensi utama bisa masuk sebagai pengajar dengan mudah hanya karena memiliki ijazah sebagai pendidik. Seni karawitan misalnya, dianggap sebagai seni musik, calon guru yang memiliki ijazah kependidikan musik dari LPTK dapat dengan mudah mendaftar. Padahal LPTK hanya menyediakan pendidikan musik Barat, bukan musik etnik seperti karawitan (gamelan).
Bayangkan kemudian jika seorang guru dengan bidang keahlian kependidikan musik biola atau piano tiba-tiba harus mengajar rebab atau kendang dalam gamelan. Untuk menyiasati hal itu, SMK seni menggunakan jasa guru kontrak yakni orang profesional (seniman-empu-maestro-pelaku) guna menularkan kemampuannya bagi para siswa. Jangan heran kemudian jika banyak guru kontrak yang dirasa lebih kompeten daripada guru tetap (pegawai negeri). Namun biaya yang dikeluarkan untuk membayar banyak guru kontrak itu tidaklah murah.
Melihat persoalan di wilayah sekolah seni seperti di atas, beberapa perguruan tinggi seni di Indonesia seperti Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta dan Denpasar ‘terpaksa’ harus membuka program jurusan kependidikan (keguruan) seni seperti karawitan, pedalangan, teater, kriya dan lain sebagainya. Hal itu dilakukan agar para sarjana lulusan perguruan tinggi seni tersebut dapat langsung terserap sebagai pengajar di berbagai jenjang sekolah, terutama sekolah seni. Terobosan itu bukannya tanpa resiko. Guru adalah profesi yang saat ini menjadi dambaan bagi para sarjana di Indonesia. Antusiasme ini dapat dilihat dari jumlah mahasiswa keguruan yang tak pernah surut dari tahun ke tahun, bahkan jumlahnya cenderung meningkat. Dengan demikikan bisa dipastikan, jumlah mahasiswa keguruan seni membeludak, sementara jumlah mahasiswa di Jurusan Pedalangan, Karawitan, Teater yang mencetak calon seniman mengalami penurunan drastis.

Sekolah Khusus
SMK adalah sekolah khusus, tidak bisa disamakan dengan Sekolah Menengah Atas (SMA) atau sejenisnya. Apalagi bagi sekolah seni seperti SMKN 12 Surabaya, SMKN 8 Surakarta, SMKN 1 Yogyakarta, SMKN 3 Banyumas, SMKN 14 Bandung, SMKN 7 Padang (Sumatera), SMKN 1 Somba Opu (Makassar), SMKN 3 Sukowati (Denpasar). Hal utama yang coba ditekankan pada sekolah itu bukan semata kemampuan teoritis, namun pada aspek praktik untuk mencetak calon seniman handal siap kerja (berkarya). Apalagi sekolah seni wajib ada dan diadakan, sebagai benteng penjaga, pelestari kesenian (budaya) tradisi dan laboratorium kekaryaan baru. Jika tidak disokong dengan kemampuan pengajar yang kompeten maka mustahil akan mampu melahirkan lulusan berkualitas. Sementara pengajar yang kompeten pada bidang-bidang itu adalah lulusan perguruan tinggi seni. Namun tak mendapat ruang karena tak memiliki sertifikat kependidikan.
Tak mengherankan jika jumlah guru-guru produktif di sekolah-sekolah seni semakin menyusut dan bukan mustahil habis. Idealnya, bagi SMK-SMK yang memiliki bidang keahlian khusus, di mana profesi pengajarnya belum termuat di LPTK dapat memiliki kelonggaran untuk merekrut guru secara khusus pula. Kebijakan ini pernah bergulir saat sekolah dan perguruan tinggi seni pertama kali dirintis di Indonesia. Seniman-seniman yang memiliki kompetensi unggulan dapat menjadi pengajar tetap, tentu dengan melaksanakan pelatihan mengajar sebelumnya. Dalam sejarahnya, banyak empu-maestro di bidangnya menjadi guru yang ternyata mampu melahirkan lulusan berkualitas. Lihatlah Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta dengan Affandi, Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) Surakarta dengan Martopangrawit dan Gendhon Humardani, Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Bandung dengan Enoch Atmadibrata, Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta dengan Djaduk Djajakusuma, Konservatori Karawitan Surakarta dengan Sindusawarno, Konservatori Tari Yogyakarta dengan Hardjosoebroto dan Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW) Surabaya dengan Diyat Sariredjo.
Angin segar sebenarnya telah berhembus. Pemerintah sudah membuka alternatif jalan keluar, sarjana non kependidikan dapat bersaing dengan sarjana kependidikan untuk menjadi guru dengan adanya Undang-Undang no.14 tahun 2005. Dalam undang-undang itu disebutkan di ayat 8 bahwa guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Lebih lanjut di ayat 9 mempertegas lagi bahwa kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 diperoleh melalui pendidikan tinggi “program sarjana” atau program “diploma empat”.  
Dengan adanya peraturan itu, semua lulusan perguruan tinggi (sarjana) non kependidikan dapat bersaing menjadi guru. Tentu dengan mengikuti matrikulasi matakuliah akademik kependidikan, satu paket dengan Pendidikan Profesi Guru (PPG) yang ditempuh sebagaimana diatur dalam Permendiknas no. 8 tahun 2009. Menjadi pelajaran penting bagi perguruan tinggi (seni) di Indonesia untuk tidak buru-buru membuka program kependidikan hanya karena takut jika lulusannya tak terserap menjadi guru.
Namun ironisnya, pasal 9 di undang-undang no. 14 tahun 2005 itu saat ini harus diuji di Mahkamah Konstitusi, karena ada gugatan beberapa orang yang menyatakan profesi guru hanya berlaku bagi lulusan perguruan tinggi yang berbasis Lembaga Pendidikan dan Tenaga Kependidikan (LPTK). Jika gugatan itu terkabulkan, bisa dibayangkan bagaimana dengan nasib SMK kesenian di Indonesia?

Aris Setiawan
Pengajar di Jurusan Etnomusikologi Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta

Pengikut