Menafsir Nartosabdo
Seperti yang telah banyak diberitakan sebelumnya, para seniman yang tergabung dalam Paguyuban Senirupawan Klaten (Pasren) dan dipimpin kartunis GM Sudarta bertemu Bupati Klaten Sunarna, Selasa (22/1/2013). Mereka mengkritik dan meminta Pemerintah Kabupaten membongkar patung Ki Nartosabdo di taman kota Jalan Merbabu, Klaten Tengah. Patung yang berada di sebelah timur kompleks Setda Klaten itu dinilai tidak mirip dengan sosok dan karakter asli komponis karawitan kondang asal Klaten tersebut.
Eksesnya, wacana yang muncul kemudian tak hanya dalam ingar bingar persoalan patung semata, namun masyarakat juga seolah diajak kembali untuk menziarahi perjalanan laku hidup dan sumbangan penting Nartosabdo dalam kebudayaan Jawa. Terlebih, peran sosoknya semakin tak terbaca oleh kalangan muda masa kini. Dengan adanya peristiwa itu, menjadi momentum berharga untuk mengurai kembali jejak-jejaknya.
Komponis Produktif Karawitan
Waridi (2005) dalam disertasinya menganggap Nartosabdo (1925-1985) sebagai salah satu pilar penjaga denyut hidup karawitan Jawa. Nartosabdo banyak melakukan gebrakan yang dianggap frontal. Begitu produktif dalam menciptakan gending. Sejumlah gending klasik yang semula dipandang bernuansa halus, monoton, kurang dinamis dan miskin garap (terutama vokal), kemudian dihadirkan kembali olehnya dengan wajah baru yang lebih segar, dinamis, populis dan tentu saja menghibur. Tak hanya mengaransemen ulang gending-gending yang dianggap “basi”, dalang kondang itu juga berhasil menciptakan karya-karya baru yang disenangi oleh segala lapisan masyarakat.
Keberanian Nartosabdo dalam menawarkan kreativitas lain yang berbeda dengan tokoh-tokoh pendahulu dan seangkatan, membuatnya dikenal sebagai perusak pakem. Karya-karyanya berbau komersial, berbanding terbalik dengan kodrat seni karawitan yang awalnya dianggap sebagai sarana kontemplatif semata. Ia banyak dihujat, namun kemudian dipuja. Karya-karyanya menyebar kencang lewat banyak pertunjukan wayang, kaset-kaset rekaman komersial, pertunjukan konser karawitan di tempat hajatan, dan siaran-siaran radio. Nartosabdo meraih kedudukan terhormat dan puncak kejayaan berkat kreativitasnya.
Peran penting Nartosabdo dalam dunia karawitan (gaya Surakarta) dimulai saat dirinya mendirikan kelompok karawitan bernama “Condhong Raos” pada 1 April 1969. Sebagai dalang terkenal, Nartosabdo sangat sadar bahwa seorang dalang yang bagus harus disertai dengan hadirnya karya musik (karawitan) yang bagus pula. Pada kelompok karawitan yang dipimpinnya itulah ia banyak melakukan ekspresimen musikal karawitan. Condhong Raos menjadi laboratorium kreativitas bagi Nartosabdo. Sangat produktif dalam melahirkan karya baru hingga masyarakat karawitan di Jawa kala itu menyebut gending-gendingnya sebagai “Gaya Nartosabdoan”. Gaya personal yang khas mengalahkan gaya kedaerahan. Kumpulan hasil karyanya dapat dibaca lewat tulisan A. Sugiyarto, Kumpulan Gendhing-Gendhing Jawa Karya Ki Nartosabda(1998).
Begitu unik, sehingga banyak memancing keiinginan perusahaan rekam untuk mendokumentasikan dan memperjual-belikan rekaman karya-karyanya. Lokananta, Ira Record, Fajar Record, Kusuma Record adalah beberapa di antaranya. Hasil rekaman itulah yang masih dapat kita nikmati hingga saat ini di banyak Radio di Jawa. Bahkan Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta Jurusan Karawitan serta Pedalangan menjadikan gaya musikal dan juga pedalangan Nartosabdoan sebagai bagian menu materi mata kuliah yang harus ditempuh mahasiswa. Nartosabdo menjadi pionir, sekaligus pendobrak tradisi yang kala itu dianggap beku. Kreativitas puncak yang dihasilkannya masa itu kemudian menjadi gudang telaah ilmu pengetahuan di masa kini.
Nartosabdo bukanlah seniman multitalenta yang berjuang demi menghidupi diri sendiri, namun juga kehidupan kebudayaan Jawa, terutama wayang dan karawitan. Perhatiannya tak semata pada gending-gending klasik, namun juga pada dunia anak-anak. Ia banyak mengolah lagu dolanan anak yang sebelumnya dianggap kuno menjadi bunyi dengan citranya yang baru dan digemari. Lepetan, Sluku-Sluku Bathok, Kembang Jagung, Dhayohé Teka, dan Iris-Irisan Téla adalah di antaranya. Sebuah perhatian dari komponis besar kala itu yang sekaligus juga menjadi medan kritik bagi komponis masa kini.
Nartosabdo Masa Kini
Penghargaan untuknya dapat diwujudkan dalam bentuk apapun, tak terkecuali juga patung. Padahal sebenarnya, tanpa harus ada patungpun Nartosabdo akan abadi dengan sendirinya lewat karya-karya yang telah ditorehkannya. Terhitung sejak setengah abad lebih ia pergi, karya-karyanya hingga kini masih mengalun merdu di berbagai radio, pentas wayang dan lain sebagainya. Menjadi ironis kemudian jika penghargaan untuknya harus dirayakan dengan berbagai konflik kepentingan dan ambisi pamrih keuntungan. Menghargai Nartosabdo sebagai putra daerah jelas tak cukup dengan hanya adanya patung sebagai sebuah simbol, namun juga mendalami ajaran, karya dan laku kreatifnya.
Bagi masyarakat seni karawitan di Jawa misalnya, wujud penghargaan yang diberikan adalah menggaungkan karya-karyanya. Bagi dalang masa kini dengan menjadikan gaya Nartosabdo sebagai bagian penting dalam pertunjukan wayangnya. Bagi perupa tentu saja dengan patung. Namun menjadi banal jika interpretasi kita terhadap sosoknya kemudian terlalu jauh menyimpang dari realitas sejarah yang sebenarnya terjadi. Wajah Nartosabdo dalam patung itu konon lebih mirip abdi dalem keraton dari pada maestro karawitan dan wayang. Sah-sah saja memang, namun sebagai upaya dalam memperkenalkan kembali sosok Nartosabdo bagi generasi masa kini, menjadi penting untuk kembali mengurai detail karakter wajahnya dengan cermat.
Banyak kalangan yang juga mempersoalkan saat patung Nartosabdo mengenakan beskab lurik warna cokelat tua dan kain batik motif parang yang dianggap tak mencerminkan seorang seniman unggul. Apakah itu salah? Terkait dengan persoalan ini, saya mencoba meminjam pandangan I Wayan Sadra, komponis kenamaan dan juga pelukis asal solo. Sadra kala itu mengkritik pembangunan patung Slamet Riyadi yang membawa pistol (di Jalan Slamet Riyadi Solo). Menurutnya, patung Slamet Riyadi tak harus membawa senjata pistol, bisa saja dengan membawa canting batik, main gamelan, atau menari. Dengan membawa pistol, seolah saat ini kita masih mengukuhkan simbol-simbol kekerasan. Pertanyaannya kemudian, apakah salah jika Slamet Riyadi yang seorang pejuang sejati itu nggamel, membatik atau menari sesuai dengan realitas zaman masa kini? Lalu salahkah jika Nartosabdo juga memakai batik, atau pegang buku bahkan laptop misalnya?
Mengkultuskan sosoknya tak harus mengembalikan memori, imajinasi dan pikiran kita pada masa lalu semata. Namun juga mencoba untuk mengkontekstualisasikan dengan dunia baru saat ini. Para pengrawit berlomba-lomba mengaransemen ulang gending-gending Nartosabdo agar senantiasa vital dan selalu segar. Para dalang menggunakan gaya Nartosabdo sebagai batu kreativitas untuk menemukan gayanya sendiri. Namun, sebebas apapun para pengrawit dan dalang dalam menafsir karya Nartosabdo, mereka tak menghilangkan bangunan dasar karya itu. Sehingga karakter dan warna Nartosabdo masih sangat nampak bahkan semakin membuncah. Bagaimana dengan pematung? Pematung dapat saja menghadirkan ulang ujud Nartosabdo dengan ketajaman dan kebebasan tafsir pahatannya. Namun sebebas apapun itu, alangkah baiknya jika masyarakat masih mampu memaknai kembali sosok Nartosabdo yang tak hanya menjadi simbol kenangan tokoh masa lalu, tapi juga simbol berharga di masa kini.
Aris Setiawan
Pengajar di Jurusan Etnomusikologi Institut Seni Indonesia Surakarta