Ironi Guru SMK Seni (dimuat di Koran Joglosemar 13 Februari 2013)


Ironi Guru SMK Seni



Awal keprihatinan itu muncul dari Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) kesenian di Indonesia. Sekolah-sekolah seni itu sedang dihadapkan dengan masalah krusial. Tak memiliki kualifikasi guru atau pengajar sesuai dengan bidang keahlihan (seni). Sementara di satu sisi, jumlah siswanya tiap tahun semakin membeludak banyak. Hal itu disebabkan oleh aturan yang awalnya mengharuskan seorang guru adalah produk lulusan dari perguruan tinggi yang berbasis Lembaga Pendidikan dan Tenaga Kependidikan (LPTK).
Terlebih dahulu perlu diketahui, pada  SMK setidaknya terdapat tiga jenis kriteria pengajar atau guru. Yakni guru adaptif, guru normatif dan guru produktif. Guru normatif adalah guru yang mengajarkan mata pelajaran pokok seperti Matematika, Bahasa Indonesia dan Agama. Guru adaftif mengajarkan mata pelajaran adaptif seperti Kimia, Biologi, Ilmu Alam dan Fisika. Sedangkan guru “produktif” mengajarkan mata pelajaran khusus bagi siswa SMK seperti Tekstil, Batik, Seni Kriya, Teater, Karawitan, Pedalangan, Elektro. Kriteria terakhir inilah yang saat ini menjadi problematis.

Problematis
Jejak SMK dilahirkan dengan tujuan mencetak siswa untuk siap bekerja setelah menyelesaikan masa belajarnya. Oleh karena itu, siswa SMK harus dibimbing oleh guru-guru yang memiliki bidang keahlian spesifik (produktif). Namun sayang bagi sekolah seni, kasus SMK Negeri 12 Surabaya (serupa juga di Solo, Yogya, Makassar, Padang, Denpasar, Banyumas, Bandung) misalnya, saat ini hanya memiliki satu guru produktif untuk bidang keahlian Seni Pedalangan sementara jumlah siswanya mencapai hampir 40 orang. Di Jurusan Seni Karawitan, tujuh guru produktif dengan jumlah siswa hampir 200 orang. Jurusan Teater hanya satu guru produktif untuk siswa lebih dari 50 orang. Bandingkan dengan guru normatif dan adaftif yang jumlahnya lebih dari 25-an orang.
Padahal di sisi lain, sarjana lulusan perguruan tinggi seni dengan bidang keahlian karawitan, pedalangan dan teater jumlahnya semakin banyak. Namun para sarjana seni itu tak bisa lekas mengembangkan profesi sebagai pengajar karena tak memiliki sertifikat atau ijazah sebagai pendidik. Akibatnya, suplai untuk guru-guru dengan bidang keahlian produktif mengalami kebuntuan. Lebih ironisnya, banyak guru yang tidak memiliki kompetensi utama bisa masuk sebagai pengajar dengan mudah hanya karena memiliki ijazah sebagai pendidik. Seni karawitan misalnya, dianggap sebagai seni musik, calon guru yang memiliki ijazah kependidikan musik dari LPTK dapat dengan mudah mendaftar. Padahal LPTK hanya menyediakan pendidikan musik Barat, bukan musik etnik seperti karawitan (gamelan).
Bayangkan kemudian jika seorang guru dengan bidang keahlian kependidikan musik biola atau piano tiba-tiba harus mengajar rebab atau kendang dalam gamelan. Untuk menyiasati hal itu, SMK seni menggunakan jasa guru kontrak yakni orang profesional (seniman-empu-maestro-pelaku) guna menularkan kemampuannya bagi para siswa. Jangan heran kemudian jika banyak guru kontrak yang dirasa lebih kompeten daripada guru tetap (pegawai negeri). Namun biaya yang dikeluarkan untuk membayar banyak guru kontrak itu tidaklah murah.
Melihat persoalan di wilayah sekolah seni seperti di atas, beberapa perguruan tinggi seni di Indonesia seperti Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta dan Denpasar ‘terpaksa’ harus membuka program jurusan kependidikan (keguruan) seni seperti karawitan, pedalangan, teater, kriya dan lain sebagainya. Hal itu dilakukan agar para sarjana lulusan perguruan tinggi seni tersebut dapat langsung terserap sebagai pengajar di berbagai jenjang sekolah, terutama sekolah seni. Terobosan itu bukannya tanpa resiko. Guru adalah profesi yang saat ini menjadi dambaan bagi para sarjana di Indonesia. Antusiasme ini dapat dilihat dari jumlah mahasiswa keguruan yang tak pernah surut dari tahun ke tahun, bahkan jumlahnya cenderung meningkat. Dengan demikikan bisa dipastikan, jumlah mahasiswa keguruan seni membeludak, sementara jumlah mahasiswa di Jurusan Pedalangan, Karawitan, Teater yang mencetak calon seniman mengalami penurunan drastis.

Sekolah Khusus
SMK adalah sekolah khusus, tidak bisa disamakan dengan Sekolah Menengah Atas (SMA) atau sejenisnya. Apalagi bagi sekolah seni seperti SMKN 12 Surabaya, SMKN 8 Surakarta, SMKN 1 Yogyakarta, SMKN 3 Banyumas, SMKN 14 Bandung, SMKN 7 Padang (Sumatera), SMKN 1 Somba Opu (Makassar), SMKN 3 Sukowati (Denpasar). Hal utama yang coba ditekankan pada sekolah itu bukan semata kemampuan teoritis, namun pada aspek praktik untuk mencetak calon seniman handal siap kerja (berkarya). Apalagi sekolah seni wajib ada dan diadakan, sebagai benteng penjaga, pelestari kesenian (budaya) tradisi dan laboratorium kekaryaan baru. Jika tidak disokong dengan kemampuan pengajar yang kompeten maka mustahil akan mampu melahirkan lulusan berkualitas. Sementara pengajar yang kompeten pada bidang-bidang itu adalah lulusan perguruan tinggi seni. Namun tak mendapat ruang karena tak memiliki sertifikat kependidikan.
Tak mengherankan jika jumlah guru-guru produktif di sekolah-sekolah seni semakin menyusut dan bukan mustahil habis. Idealnya, bagi SMK-SMK yang memiliki bidang keahlian khusus, di mana profesi pengajarnya belum termuat di LPTK dapat memiliki kelonggaran untuk merekrut guru secara khusus pula. Kebijakan ini pernah bergulir saat sekolah dan perguruan tinggi seni pertama kali dirintis di Indonesia. Seniman-seniman yang memiliki kompetensi unggulan dapat menjadi pengajar tetap, tentu dengan melaksanakan pelatihan mengajar sebelumnya. Dalam sejarahnya, banyak empu-maestro di bidangnya menjadi guru yang ternyata mampu melahirkan lulusan berkualitas. Lihatlah Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta dengan Affandi, Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) Surakarta dengan Martopangrawit dan Gendhon Humardani, Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Bandung dengan Enoch Atmadibrata, Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta dengan Djaduk Djajakusuma, Konservatori Karawitan Surakarta dengan Sindusawarno, Konservatori Tari Yogyakarta dengan Hardjosoebroto dan Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW) Surabaya dengan Diyat Sariredjo.
Angin segar sebenarnya telah berhembus. Pemerintah sudah membuka alternatif jalan keluar, sarjana non kependidikan dapat bersaing dengan sarjana kependidikan untuk menjadi guru dengan adanya Undang-Undang no.14 tahun 2005. Dalam undang-undang itu disebutkan di ayat 8 bahwa guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Lebih lanjut di ayat 9 mempertegas lagi bahwa kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 diperoleh melalui pendidikan tinggi “program sarjana” atau program “diploma empat”.  
Dengan adanya peraturan itu, semua lulusan perguruan tinggi (sarjana) non kependidikan dapat bersaing menjadi guru. Tentu dengan mengikuti matrikulasi matakuliah akademik kependidikan, satu paket dengan Pendidikan Profesi Guru (PPG) yang ditempuh sebagaimana diatur dalam Permendiknas no. 8 tahun 2009. Menjadi pelajaran penting bagi perguruan tinggi (seni) di Indonesia untuk tidak buru-buru membuka program kependidikan hanya karena takut jika lulusannya tak terserap menjadi guru.
Namun ironisnya, pasal 9 di undang-undang no. 14 tahun 2005 itu saat ini harus diuji di Mahkamah Konstitusi, karena ada gugatan beberapa orang yang menyatakan profesi guru hanya berlaku bagi lulusan perguruan tinggi yang berbasis Lembaga Pendidikan dan Tenaga Kependidikan (LPTK). Jika gugatan itu terkabulkan, bisa dibayangkan bagaimana dengan nasib SMK kesenian di Indonesia?

Aris Setiawan
Pengajar di Jurusan Etnomusikologi Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta

Tidak ada komentar:

Pengikut