Seni Pertunjukan Tradisi di Mata Capres (dimuat di Koran Solopos edisi 13 Juli 2014)

Seni Pertunjukan Tradisi di Mata Capres



Agak kaget saat mendengar pernyataan Jokowi dalam debat Calon Presiden (Capres) pada 15 Juni 2014 lalu. Ia secara gamblang menyinggung tentang dunia seni pertunjukan tradisi Indonesia yang menurutnya mampu bersinergi dengan industri kreatif. Pernyataan tersebut langsung mendapat persetujuan dari Prabowo tanpa penolakan. Kedua capres setidaknya memiliki pandangan yang sama. Maklum, bukan satu hal yang aneh bahwa selama ini seni pertunjukan tradisi di Indonesia kurang dapat menunjukkan ujudnya secara terbuka. Kalah bersaing dengan tontonan yang lebih glamour lewat layar kaca. Namun demikian, capres kita memandang seni pertunjukan Indonesia memiliki kekuatan yang dapat mempresentasikan karakter dan jatidiri bangsa. Tak berlebihan kiranya jika seni pertunjukan menjadi lahan empuk yang dapat digarap, diolah dan dikembangkan, tak hanya sekadar melakukan konservasi. Hingga saat ini, tak banyak (mungkin juga tak ada) presiden dan pemimpin negeri yang secara khusus memberi perhatian pada dunia seni pertunjukan khususnya tradisi. Seni pertunjukan tradisi dianggap sebagai “lahan kering” yang tak memberi keuntungan bahkan membebani keuangan negara dengan dalih pembiayaan untuk pelestarian. Pernyataan Jokowi malam itu mencoba mendekonstruksi anggapan bahwa pejabat selama ini hanya menganaktirikan dunia seni pertunjukan tradisi Indonesia.

Mental
Menghadiri pentas seni pertunjukan, pejabat jarang datang tepat waktu. Seringkali gelaran seni harus molor dari waktu yang ditentukan hanya karena menunggu pejabat terkait untuk membuka dan memberi sambutan. Saat datang, pejabat ditemani rombongan termasuk pengawal, suasana gaduh dan semua penonton berdiri. Ia duduk di depan alias bangku utama yang nyaman dan empuk dengan suguhan makan dan minuman. Setelah membuka acara, ditandai pukulan gong dan sambutan singkat berisi puja-puji, dengan terburu-buru ia pergi meninggalkan gelaran seni. Pamit dengan dalih ada tugas penting lain dan mendesak yang harus segera diselesaikan. Pentaspun baru bisa dimulai. Perilaku semacam itu sudah menjadi habitus (kebiasaan melekat) yang disematkan pada pejabat kita. Bahkan tak jarang, perilaku tersebut seringkali sengaja dilakukan agar pejabat kita terlihat seolah bekerja dan sibuk. Oleh karena itu, mereka sengaja datang telat dan pulang cepat. Semakin telat dianggap semakin baik karena terlihat super sibuk dan masih mampu menyempatkan diri untuk datang. Bisa jadi, setelah membuka acara, mereka pergi ke rumah atau tempat karaoke, bersantai ria dan berfoya-foya. Sementara bagi panita pelaksana gelaran seni, merasa terhormat jika pejabat berkenan hadir membuka. Walau hanya beberapa menit dan setelahnya tak nampak lagi. Yang penting datang dan terlihat ujudnya, bersalaman, berfoto bareng sebagai kelengkapan laporan pertanggungjawaban pada sponsor atau pemberi dana.
Dari waktu ke waktu, dunia seni pertunjukan tradisi kita menjadi ironi yang mengenaskan dalam tatanan birokrasi pemerintahan. Dunia seni sebagai bagian dari kebudayaan masih menjadi satu dengan kementerian pendidikan. Bahkan sebelumnya berafiliasi dengan kementerian pariwisata. Akibatnya, kesenian dipoles sedemikian rupa untuk laku dijual. Menjadi sapi perah, tak lebih dari barang dagangan. Kreativitas seniman hanya diukur dengan untung-rugi pasar secara materi. Belum ada tawaran alternatif yang membuka horizon pemikiran tentang daya tahan dan ruang hidup seni pertunjukan tradisi kita. Lontaran pernyataan Jokowi malam itu setidaknya mencoba menggarisbawahi bahwa unsur kreatif menjadi hal utama dalam mengembangkan dunia seni pertunjukan –tradisi- kita. Tradisi yang selama ini dianggap sebagai “peti es” kesenian harus mulai dirobohkan. Tradisi adalah semata pijakan dan sumber ide untuk melahirkan karya kreatif yang lebih baru dan menggairahkan. Kita dapat belajar dari gelaran seni pertunjukan di Solo yang selama kepemimpinan Jokowi mampu memberi kesan berarti di hati masyarakatnya. Solopun berubah menjadi kota seni pertunjukan dengan mengambil tradisi Jawa sebagai sumbernya (Solo the Spirit of Java)
Kantung-kantung kebudayaan yang selama ini digadang-gadang mampu menjaga ritme hidup seni pertunjukan tradisi Indonesia juga kembang-kempis. Mereka, dengan dana terbatas seolah hanya menjadi ruang pamer seni pertunjukan tradisi dengan penonton yang dapat dihitung dengan jari. Minim publikasi. Semata hanya melakukan rutinitas demi melengkapi laporan pertanggungjawaban pada atasan. Terlebih ada semacam keharusan bahwa setiap institusi pemerintahan tak ubahnya pabrik yang harus mampu menghasilkan pundi-pundi keuntungan. Oleh karena itu, gedung-gedung kesenian berplat merah seringkali menjadi ajang bisnis, disewakan untuk pelbagai kepentingan, dari hajatan nikah hingga pesta ulang tahun. Bahkan di beberapa kasus, pentas seni pertunjukan harus batal atau ditunda tanggal mainnya karena di hari yang sama gedung (pendopo) pementasan sedang dipakai pesta nikahan. Waktu tampil pentas seni harus menyesuaikan diri. Masyarakat juga tak pernah mengatahui alur aliran dana (untuk apa dan bagaimana prosedurnya) yang didapat dari hasil “jualan” tempat pertunjukan tersebut.
Ada anekdot, menjadi pimpinan atau pejabat di lingkungan dinas kebudayaan semacam Taman Budaya dan sejenisnya adalah bernasib apes. Banyak pejabat di wilayah itu adalah orang-orang hasil mutasi karena mendekati masa pensiun. Akibatnya pejabat terkait tak memiliki visi-misi budaya yang kongkret dan jelas. Menjabat karena menunggu giliran dari pimpinan, bukan didasarkan atas kompetensi dan kinerja. Banyak di antaranya yang tak faham menempatkan dan memperlakukan kesenian tradisi dengan baik sebagaimana mestinya. Mereka tidak dididik dan dibesarkan dari pendidikan berbasis budaya dan kesenian. Melihat kesenian hanya menjadi ajang untuk jualan dan sebisa mungkin membawa keuntungan. Di titik inilah, seni pertunjukan tradisi kurang mendapat porsi tampil secara reguler. Karena dianggap monoton, membosankan dan yang lebih penting lagi tak membawa dampak keuntungan. Yang tampil adalah kesenian populer, yang banyak mengundang massa dan dilirik sponsor (stake holders). Seni pertunjukan tradisi semakin terpuruk dan bersiap pamit mati.

Kejelasan Visi
Tak berlebihan kiranya jika kita banyak berharap pada presiden mendatang dapat memberi perubahan besar bagi dunia seni pertunjukan tradisi kita. Dengan terlontarnya pernyataan untuk membenahi dunia seni pertunjukan tradisi kita dari Capres Jokowi dan diamini oleh Capres Prabowo, masyarakat tinggal menunggu pembuktiannya jika salah satu di antara mereka terpilih. Tentu saja, tulisan ini tidak bermaksud mendukung dan melakukan keberpihakan pada salahsatu capres. Namun mencoba memberi penekanan, bagiamana dunia seni pertunjukan –tradisi- yang selama ini terlupakan justru menjadi poin penting dalam strategi politik dan ekonomi pada debat calon presiden kita malam itu. Kitapun kemudian patut juga berprasangka, musim kampanye sebagai musim mengumbar janji-janji politis yang akan sirna dan hilang setelah mereka terpilih. Apapun dapat menjadi ajang dan bahan dalam berkampanye, tak terkecuali dunia seni pertunjukan tradisi kita. Jika demikian, apes betul nasib dunia seni tradisi di Indonesia.
 Presiden memang diharapkan melek kesenian, agar jiwanya terasah dan budi pekertinya luhur. Calon presiden jangan hanya menempatkan seni pertunjukan tradisi Indonesia sebagai ajang kampanye politis. Dihadirkan dan ditanggap mahal hanya karena ingin meraih simpati publik. Pentas kesenian tradisi penuh dengan warna partai, nomor dan gambar capres. Setelahnya, sepi dan sayup-sayup tak terdengar nasib hidup seni terkait. Kitapun patut berharap tak muluk, agar Presiden di masa yang akan datang tak telat saat membuka dan menyaksikan gelaran seni. Tak juga pamit cepat-cepat. Namun menikmati pertunjukan dari awal sampai selesai. Amiiin.
Aris Setiawan

Pengajar di Fakultas Seni Pertunjukan ISI Surakarta

Musik Berpolitik (dimuat di Koran Joglosemar edisi 11 Juli 2014)

 Musik Berpolitik



Saat musim kampanye capres-cawapres kemarin, segala hal dapat digunakan sebagai medium corong politis tak terkecuali musik. Banyak musisi yang menjadi juru kampanye masing-masing pasangan. Hal yang paling hangat dibicarakan adalah tingkah Ahmad Dhani lewat lagunya Prabowo-Hatta: We Will Rock You. Lagu tersebut banyak menuai kontroversi. Selain, memakai baju mirip dengan seragam Nazi, Dhani juga merubah lagu We Will Rock You tanpa seijin penciptanya, alias ilegal. Hal ini dapat ditelusuri lewat versi online Majalah Time yang menyebutkan pihak Queen yang diwakili oleh sang gitaris, Brian May, menyatakan tak pernah memberi kewenangan dan ijin atas penggunaan lagu tersebut. Apa yang dilakukan Ahmad Dhani bertentangan dengan keinginan luhur bangsa Indonesia untuk berperang melawan pembajakan dan penjiplakan musik. Ironisnya, niat luhur tersebut selama ini justru banyak digembar-gemborkan oleh para musisi dan pencipta lagu seperti Dhani.

Posisi
Posisi musik kemudian tak lagi netral, telah banyak berafiliasi dengan politik muthakir. Lagu dan nada berisi puja-puji dan sanjungan bagi calon presiden. Di kubu Prabowo terdapat Ahmad Dhani dan Rhoma Irama, sementara di kubu Jokowi terdapat grup Slank, Glen Fredly, Ello, Jogja Hip-hop Foundation. Musik turut berpolitik, berhadap masyarakat tertarik dan rela memberikan suaranya karena pengaruh bunyi bernada. Di satu sisi, musik-musik tersebut diciptakan secara khusus untuk capres pilihan. Salam Dua Jari misalnya diciptakan oleh kelompok Slank khusus untuk pemenangan Jokowi-Jusuf Kalla. Ada aspek kebaruan dan kreativitas yang menyegarkan. Namun di sisi lain, tak jarang pula ide musikal yang ditampilkan kurang kreatif. Layaknya lagu We Will Rock You yang digubah sekenanya oleh Ahmad Dhani, musik-musik kampanye banyak yang tidak secara khusus diciptakan, namun mendompleng ketenaran musik atau lagu lain dengan mengubah liriknya. Beberapa tahun lalu, saat kampanye pemilihan gubernur Jakarta, para pendukung Jokowi-Ahok menggunakan salah satu lagu One Dorection tanpa izin dan pemberitahuan. Musik-musik rakyat juga tak lepas dari sasaran tembak. Lagu Apuse misalnya, oleh para pendukung atau tim sukses, diubah liriknya menjadi puja-puji bagi Prabowo-Hatta Rajassa.
Tak ubahnya kita menonton sinetron Indonesia hasil saduran dari film Korea. Yang berbeda hanya rupa dan bahasa, sementara jalannya cerita persis sama. Lagu-lagu kampanye hanya pamer lirik namun miskin ornamen musikal. Terlebih, sisi kreatif yang minim masih ditambah dengan kurang layaknya penampilan musisinya. Dengan memakai baju ala Nazi, yang dalam jejak sejaranya membantai sesama manusia karena berbeda ras dan agama, seolah Dhani hendak berbicara bahwa capres pilihannya layak ditakuti? Tentu tak berlebihan kiranya jika kita menduga demikian. Karena musik kampanye dengan segala ujud dan rupa adalah representasi dari apa yang didukung dan disuarakannya. Apalagi secara profesional Dhani mengakui telah dikontrak resmi sebagai juru kampanye. Kritikan atas lagu tersebut muncul tak hanya dari masyarakat luas, namun juga sesama seniman dan publik figur.
Musik bukan semata karya seni berisi untaian nada, namun juga susunan kata. Kata dan kalimat atau yang biasa disebut lirik (teks musikal) sejatinya diciptakan secara khusus untuk menghuni “ruang” nada tertentu. Karena itu, adakalanya jika lirik diubah atau diganti maka kemungkinan besar akan mengubah pula capaian estetika musikalnya. Dengan menggunakan lirik baru pada musik yang telah ada, maka kata dan kalimat sejatinya telah diperkosa. Kata-kata baru yang dipilih dituntut untuk mampu sesuai dengan aspek musikal, tak boleh kurang ataupun berlebih. Artinya, kata (lirik) dipaksakan untuk menyesuaikan nada. Otomatis, musik-musik jenis demikian biasanya tak mampu bertahan lama. Masyarakat hanya disuguhi oleh pameran lirik tanpa ada kebaruan dalam nada dan harmoni. Masih beruntung jika musik hasil otak-atik lirik tersebut dapat diterima publik dengan baik. Banyak musik saduran yang tidak lebih bagus dari musik aslinya. Musisi yang mengambil jalan demikian bisa jadi miskin kreativitas atau pemalas.
Dengan mengganti lirik pada musik tertentu, seniman atau musisi tak memiliki idelaisme dalam bermusik. Tak ada pertanggungjawaban moral berupa contoh pendidikan prilaku positif bagi masyarakat. Terlebih di musim kampanye pilpres, musik seolah menjadi “tepat sampah”. Apapun dapat dilagukan sebagai musik. Perang lewat musikpun terjadi. Antar kedua kubu saling ejek lewat musik. Siapa yang lebih keras dalam bernyanyi dianggap lebih baik dan menang. Debat capres dan cawaprespun dihiasi dengan sajian musik untuk yel-yel di kedua kubu. Bahkan stasiun televisi membuat musik khusus untuk pemilihan presiden. Musik menjadikan pemilihan capres-cawapres menjadi lebih semarak (kalau bukannya bising dan berisik). Kita kemudian seolah melupakan bahwa musik-musik yang diubah liriknya tersebut adalah hasil “karya seni”, yang dicipta secara serius dari hasil pergulatan kreatif panjang, sehingga mampu diterima masyarakat luas. Dengan mengubah lirik seenaknya, berarti tidak menghargai si pencipta,  karya cipta dan kreativitas.

Rindu
Musik dalam jejak sejarahnya juga pernah menjadi alat kontrol dan kritik yang efektif bagi pemerintah dan penguasa. Suara seorang seniman musik kadang lebih mampu didengar dari ribuan massa yang berdemo di jalanan. Musik memiliki kuasa untuk memengaruhi psikologis. Wajar kemudian jika di banyak negara, musisi atau seniman musik harus ditangkap dan dicekal karena teks-teks liriknya yang dianggap berbahaya. Kitapun seolah merindukan musik-musik era Iwan Fals, yang lahir dari suara masyarakat akar rumput. Mengisahkan kepedihan dan ketertindasan hidup. Musik sebagai medan perjuangan. Tak semata hendak meraih untung-rugi pasar. Musik di zaman itu kini mulai sayup-sayup tak terbaca. Musik masa kini adalah pertaruhan pasar dan bisnis, bukan idealisme. Melihat begitu banyaknya musik kampanye yang dibuat oleh masing-masing kubu capres-cawapres, kiranya menjadi penting pula untuk dihadirkan musik penyeimbang berisi kritik.
Panggung-panggung kampanye dan pesta hasil pemilihan presiden kemarin berisi sajian musik. Para musisi sedang panen. Musik menjadi alat yang efektif dalam menarik masa. Capres-cawapres butuh musik untuk mencitrakan dirinya. Musik menjadi medium penting dalam kampanye. Namun kita patut bertanya, sumbangan apa yang telah ditorehkan capres-cawapres tersebut terhadap perkembangan musik kita? Dengan memilih presiden yang melegalkan penjiplakan musik, secara tak langsung kita turut membunuh perkembangan musik tanah air di masa mendatang. Penggunaan musik dalam panggung kampanye adalah contoh ideal dalam menentukan arah dan keberpihakan dalam memilih.
Kita berharap presiden terpilih mendatang melek musik. Bukan semata membuat musik untuk pencitraan diri yang wajib dinyanyikan saat perayaan hari besar semacam tujuhbelasan. Namun menjadikan musik sebagai ruang kontemplatif, yang mampu membawa pesan positif bagi kehidupan yang lebih baik. Zaman telah berbalik, di era Orde Baru musik mengisahkan perlawanan terhadap penguasa, di masa kini musik mengisahkan puja-puji seorang penguasa. Para musisi mulai tergoda untuk berpolitik musik dengan menjual (menggadaikan) idealisme berujud nada dan harmoni. Musik kemudian juga berisi cacian dan umpatan untuk saling menjatuhkan antar satu dengan yang lain. Laksana pertarungan tinju, masyarakat menjadi penonton yang riuh bertepuk tangan. Kreativitas menjadi tidak penting lagi, yang paling utama adalah memproduksi musik kampanye sebanyak-banyaknya. Semakin banyak berarti semakin baik. Mampu menjadi teror yang berlalu-lalang setiap saat lewat layar kaca televisi dan internet.
Aris Setiawan

Etnomusikolog, pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta

Daya Tarik TV Lokal (dimuat di Koran Tempo edisi 5 Juli 2014)

Daya Tarik TV Lokal


Hampir semua televisi swasta nasional sedang melakukan keberpihakan terhadap Calon Presiden (Capres) dan Wakil Presiden (Wapres). Akibatnya, berita dan informasi yang dimunculkan kadang tak berimbang, berat sebelah dan terkesan saling menjatuhkan kubu lawan. Kabar terbaru, massa dari Partai Demokasi Indonesia Perjuangan (PDIP) mendatangi kantor berita TV One (2 Juni 2014) karena menganggap pemberitaan yang disajikan diskriminatif, menuduh tanpa bukti dan cenderung berlindung di balik undang-undang kebebasan pers. Semua program acara di TV nasional pendukung capres-cawapres dikemas semenarik mungkin untuk mengangkat popularitas calon yang dipuja. Otomatis, setiap saat pemberitaan hanya dimonopoli oleh satu informasi yang sama. Berharap masyarakat terpengaruh dan menaruh simpati. Namun justru sajian tayangan tersebut membuat penat, jenuh, monoton dan membosankan. Di saat seperti itu, kita masih memliki alternatif pilihan lain dengan mengubah chanel ke TV lokal.
Tahukah kita bahwa program-program yang disajikan oleh TV lokal kini cenderung menghibur dan mencerdaskan. Kebanyakan berita disajikan secara proporsional. Kitapun masih dapat menikmati sajian informasi yang sifatnya lokal, seputar daerah di mana televisi tersebut berada. Keberadaan TV lokal menjadi oase yang menyegarkan di balik hiruk-pikuk informasi pemilihan calon presiden yang tak berimbang. Masyarakatpun mulai menaruh simpati terhadap keberadaan TV lokal. Hal ini terlihat dari jumlah TV lokal yang semakin bertambah setiap saat. Rinowati lewat tulisannya Eksistensi Televisi Lokal menjelaskan, tahun 2004 jumlah TV lokal di Indonesia berada pada kisaran 50 stasiun. Saat ini TV lokal telah menembus lebih dari 200 stasiun. Jumlah ini masih terus berkembang seiring pembukaan loket perizinan di pelbagai daerah.
Beberapa TV lokal yang memiliki keunikan progam sajian di antarnya seperti JTV Surabaya yang menggarap siaran berita berbahasa Jawatimuran dan Madura. Hal itu dimaksudkan untuk meraih simpati publik yang memiliki latar belakang budaya bahasa sama. Bali TV dan Yogya TV berisi program-program kebudayaan (kesenian) lokal. Faforit TV (Padang) menggarap adat istiadat sebagai sajian khasnya. Demikian pula dengan TV Manado dan TOP TV (Papua) mengambil siaran utama dengan tajuk kelucuan-kelucuan (humor) khas daerah. Sementara TA TV (Solo) dengan rutin masih melangsungkan siaran kesenian-kesenian tradisi seperti klenengan gamelan, wayang kulit dan ketoprak. Semua keunikan TV lokal tersebut tentu saja tak dapat dijumpai pada TV nasional. Iklan yang masuk juga bersifat lokal seperti iklan penjual bakso dan jamu, air isi ulang, kontrakan dan kos-kosan mahasiswa. Bahkan di beberapa TV lokal seperti Grabak TV di desa Grabak, Magelang Jawa Tengah, pembiayaan dilakukan secara swadaya oleh masyarakat setempat.
TV lokal kian dinikmati karena mampu memberi suguhan yang berbeda dari TV nasional. Saat ini, hampir semua acara TV nasional seragam, dari berita politik, film, hiburan hingga gosip artis. Miskin kreativitas, semata hanya memburu untung rugi pasar berupa iklan dan rating. Tak hendak berpihak pada publik dengan menyajikan tayangan yang sehat dan mendidik. Pada konteks inilah posisi TV lokal menjadi penting kembali untuk dilihat dan sekaligus juga direnungkan. Sarah Anabarja (2011), mengungkapkan bahwa televisi merupakan media yang paling potensial untuk memengaruhi dan membentuk prilaku seseorang. TV mampu merebut 94% saluran masuknya pesan atau informasi ke dalam jiwa manusia lewat mata dan telinga. TV mampu membuat orang umumnya mengingat 50% dari apa yang mereka lihat dan dengar walaupun hanya sekali ditayangkan. Wajar kemudian jika banyak anarkisme, kekerasan, pelecehan seksual terjadi karena efek dari tontonan yang selama ini mereka lihat dan dengar di televisi. Karena itu, sudah saatnya kita menonton tayangan yang bermutu, dengan memindah chanel di TV Lokal.
Aris Setiawan

Penulis

Pengikut