Kisah Gong Gamelan (dimuat di Suara Merdeka, 30 Maret 2014)

Kisah Gong Gamelan



Di Jawa, gong dalam perangkat gamelan ageng menjadi instrumen paling besar. Bentuknya bulat berpencu. Gaung suaranya menggema panjang. Gong menjadi penanda orkestrasi sebuah gending untuk dimulai atau diakhiri. Bahkan masyarakat Jawa meyakini, gong tak sekadar alat musik, namun sesak dengan pelbagai timbunan mitos. Dibanding dengan instrumen gamelan yang lain, cara membuat gong tergolong lebih kompleks dan rumit. Sebelum gong dibuat, para penempa (pande) harus melakukan ritual atau laku khusus seperti puasa, semedi dan tirakat. Hal itu dilakukan agar mendapatkan hidayah berupa keselamatan selama pembuatan gong. Terhindar dari bahaya semacam percikan api di besalen. Serta gong buatannya menjadi lebih “ber-aura”. Gong diyakini membawa peruntungan dan kisah tersendiri bagi masyarakat Jawa. Ia dianggap sebagai “rumah” bagi para dewa dan arwah leluhur. Karenanya, banyak sesaji dupa, kembang tujuh rupa dan kemenyan senantiasa diletakkan di dekat gong -bukan pada instrumen yang lain-. Gong menjadi benda suci yang dikeramatnya. Ia menjelma sebagai sang “Kyai” dan “Nyai”. Nama prestisius yang hanya diberikan pada makhluk pembawa berkah dan pemberi kutuk. Lihatlah Kyai Macam Putih, Kyai Surak, Kyai Kumitir, Kyai Gerah Kapat, Kyai Muncar, Nyai Sepet Madu, Kyai Kanyut Mesem.
Kala perayaan Sekaten berlangsung di Solo, ratusan orang “ngalap berkah” lewat gong Kyai Guntur Sari dan Guntur Madu. Mereka memanjatkan doa, harapan dan membuka nadhar kehidupan. Hal ini bukan berarti mereka menyembah gong. Peristiwa itu adalah wujud “negosiasi” manusia Jawa kepada tuhannnya dengan meghadirkan gong sebagai modal. Gong adalah “simbol” dunia kosmis, muara bertemunya bagi hamba dan gusti. Dalam konteks musikalitas, gong menjadi puncak bunyi yang paling ditunggu. Gending yang dibunyikan senantiasa memiliki beberapa siklus perutaran. Bunyi gong berarti menandakan telah terlewatinya satu rangkaian gending secara utuh. Gong menjadi “instrumen struktural” dalam karawitan Jawa. Kehadirannya membentuk struktur gending, sama seperti kenong, ketuk dan kempul. Bunyi gong tidak serta merta sesuai dengan ketukan (tempo dan ritme) gending. Justru sebaliknya, bunyi gong yang indah adalah yang nggandul atau terlambat dalam beberapa detik. Hal ini menjadi ciri estetik yang tipikial bagi musik Jawa atau gamelan.
Dalam konteks sosial, gong menjadi penanda bagi sebuah hajat agung untuk digelar. Lihatlah, sebelum acara besar dimulai, senantiasa ditandai dengan pemukulan gong terlebih dahulu. Pemukul (penabuh) gong bukanlah sebarang orang, namun tokoh penting yang diagungkan seperti pejabat, presiden, gubernur dan lain sebagainya. Gong mengawali harapan baru untuk kehidupan yang lebih baik. Dentum bunyi gong laksana untaian doa yang menggema. Kehadiran gong menghiasi acara-acara besar di Indonesia. Namun sayang, hal itu berbanding terbalik dengan nasib para pembuat gong. Pertaruhan nyawa dalam membuat gong tak diimbangi dengan hasil atau pamrih yang disemai. Para pande itu tetap hidup dalam kepungan kemiskinan, sementara hasil karyanya telah menggema ke penjuru dunia. Hal ini yang oleh I Wayan Sadra (komponis) dijadikan sebagai salah satu tema karyanya dengan judul Otot Kawat Balung Wesi (2007). Sadra mencoba berkisah tentang kepedihan nasib para pembuat gong.

Kerukuranan
Narasi kerukunan hidup di dunia juga dimonumen dan disimbolkan lewat “Gong Perdamaian” yang dimonumenkan di beberapa negara di antaranya Indonesia, Swiss, China dan Hungaria. Bentunya sama dengan gong yang ada di Jawa, bulat berpencu. Gong kemudian dianggap sebagai alat musik yang tak hanya mempresentasikan Jawa namun juga nusantara bahkan dunia. Kisah-kisah tentang gong telah berpendar luas. Lihatlah masyarakat Dayak di Kalimantan, gong menjadi simbol kehormatan sekaligus legitimasi atas kekuasaan seseorang. Hanya kepala suku dan istri yang diperbolehkan duduk di atas gong. Gong juga menjadi syarat bagi berlangsungnya ritual sakral seperti upacara kematian pada mayarakat Dayak Banuaq (Joko Gombloh, 2009). Di Bali, penghormatan terhadap gong diabadikan sebagai sebuah nama dari banyak perangkat gamelan, seperti Gong Kebyar, Gong Gede dan Gong Semar Pagulingan. Di Sumatra Barat gong juga dikenal dengan sebutan Talempong untuk upacara dan selebrasi pesta. Bahkan gong juga ditemukan di banyak negara Asia seperti Thailand (gong hui), Vietnam (cai thieu can), China (yun luo), Kamboja (kong thom), Filipina (gangsa), Burma (kye vaing). Konon, gong dipercaya sebagai instrumen tertua yang pernah dibuat manusia. Hal ini dapat ditelisik dalam pelbagai situs, prasasti dan relief candi. Kehadiran instrumen berpencu itu terpahat jelas di setiap pembabakan sejarah hidup manusia. Gong menjadi katalisator yang menghubungkan antar satu kebudayaan dengan yang lain.
Bagi masyarakat di Jawa, dianggap tabu jika dalam setiap pesta dan hajatan tak “nggantung gong”, yang berarti ada kewajiban untuk menghadirkan klenengan (gending-gending) gamelan. Namun sayang, kisah-kisah tentang gong itu telah mengalami kebangkrutan eksistensi. Kita lupa menelisik gong sebagai simbol perekat dan pemersatu antar etnis dan suku. Sebaran gong di Jawa dan di nusantara bahkan dunia menunjukkan bahwa kita sejatinya adalah saudara, berasal dari rumpun budaya yang tak jauh beda, tak ada yang lebih rendah dan tinggi di antaranya. Kehadiran gong menjadi satir atas maraknya kerusuhan berbau rasial yang dewasa ini sering terjadi. Kebertahanan gong hingga saat ini justru mengingatkan kita tentang persentuhan mesra antar kebudayaan. Karenanya, tak mengherankan kemudian jika gong dianggap mampu menjadi simbol perdamaian di antara kita.  
Aris Setiawan

Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta

Tidak ada komentar:

Pengikut