Daya Tarik TV Lokal
Hampir semua televisi swasta nasional
sedang melakukan keberpihakan terhadap Calon Presiden (Capres) dan Wakil
Presiden (Wapres). Akibatnya, berita dan informasi yang dimunculkan kadang tak
berimbang, berat sebelah dan terkesan saling menjatuhkan kubu lawan. Kabar
terbaru, massa dari Partai Demokasi Indonesia Perjuangan (PDIP) mendatangi
kantor berita TV One (2 Juni 2014) karena menganggap pemberitaan yang disajikan
diskriminatif, menuduh tanpa bukti dan cenderung berlindung di balik
undang-undang kebebasan pers. Semua program acara di TV nasional pendukung
capres-cawapres dikemas semenarik mungkin untuk mengangkat popularitas calon
yang dipuja. Otomatis, setiap saat pemberitaan hanya dimonopoli oleh satu
informasi yang sama. Berharap masyarakat terpengaruh dan menaruh simpati. Namun
justru sajian tayangan tersebut membuat penat, jenuh, monoton dan membosankan. Di
saat seperti itu, kita masih memliki alternatif pilihan lain dengan mengubah
chanel ke TV lokal.
Tahukah kita bahwa program-program yang
disajikan oleh TV lokal kini cenderung menghibur dan mencerdaskan. Kebanyakan
berita disajikan secara proporsional. Kitapun masih dapat menikmati sajian informasi
yang sifatnya lokal, seputar daerah di mana televisi tersebut berada. Keberadaan
TV lokal menjadi oase yang menyegarkan di balik hiruk-pikuk informasi pemilihan
calon presiden yang tak berimbang. Masyarakatpun mulai menaruh simpati terhadap
keberadaan TV lokal. Hal ini terlihat dari jumlah TV lokal yang semakin
bertambah setiap saat. Rinowati lewat tulisannya Eksistensi Televisi Lokal menjelaskan, tahun 2004 jumlah TV lokal
di Indonesia berada pada kisaran 50 stasiun. Saat ini TV lokal telah menembus
lebih dari 200 stasiun. Jumlah ini masih terus berkembang seiring pembukaan
loket perizinan di pelbagai daerah.
Beberapa TV lokal yang memiliki keunikan
progam sajian di antarnya seperti JTV Surabaya yang menggarap siaran berita
berbahasa Jawatimuran dan Madura. Hal itu dimaksudkan untuk meraih simpati
publik yang memiliki latar belakang budaya bahasa sama. Bali TV dan Yogya TV
berisi program-program kebudayaan (kesenian) lokal. Faforit TV (Padang)
menggarap adat istiadat sebagai sajian khasnya. Demikian pula dengan TV Manado
dan TOP TV (Papua) mengambil siaran utama dengan tajuk kelucuan-kelucuan
(humor) khas daerah. Sementara TA TV (Solo) dengan rutin masih melangsungkan
siaran kesenian-kesenian tradisi seperti klenengan gamelan, wayang kulit dan
ketoprak. Semua keunikan TV lokal tersebut tentu saja tak dapat dijumpai pada
TV nasional. Iklan yang masuk juga bersifat lokal seperti iklan penjual bakso
dan jamu, air isi ulang, kontrakan dan kos-kosan mahasiswa. Bahkan di beberapa
TV lokal seperti Grabak TV di desa Grabak, Magelang Jawa Tengah, pembiayaan dilakukan
secara swadaya oleh masyarakat setempat.
TV lokal kian dinikmati karena mampu
memberi suguhan yang berbeda dari TV nasional. Saat ini, hampir semua acara TV
nasional seragam, dari berita politik, film, hiburan hingga gosip artis. Miskin
kreativitas, semata hanya memburu untung rugi pasar berupa iklan dan rating.
Tak hendak berpihak pada publik dengan menyajikan tayangan yang sehat dan
mendidik. Pada konteks inilah posisi TV lokal menjadi penting kembali untuk
dilihat dan sekaligus juga direnungkan. Sarah Anabarja (2011), mengungkapkan
bahwa televisi merupakan media yang paling potensial untuk memengaruhi dan
membentuk prilaku seseorang. TV mampu merebut 94% saluran masuknya pesan atau
informasi ke dalam jiwa manusia lewat mata dan telinga. TV mampu membuat orang
umumnya mengingat 50% dari apa yang mereka lihat dan dengar walaupun hanya
sekali ditayangkan. Wajar kemudian jika banyak anarkisme, kekerasan, pelecehan
seksual terjadi karena efek dari tontonan yang selama ini mereka lihat dan
dengar di televisi. Karena itu, sudah saatnya kita menonton tayangan yang
bermutu, dengan memindah chanel di TV Lokal.
Aris Setiawan
Penulis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar