Musik Berpolitik
Saat musim kampanye capres-cawapres
kemarin, segala hal dapat digunakan sebagai medium corong politis tak
terkecuali musik. Banyak musisi yang menjadi juru kampanye masing-masing pasangan.
Hal yang paling hangat dibicarakan adalah tingkah Ahmad Dhani lewat lagunya Prabowo-Hatta:
We Will Rock You. Lagu tersebut banyak menuai kontroversi. Selain, memakai baju mirip
dengan seragam Nazi, Dhani juga merubah lagu We Will Rock You tanpa seijin penciptanya,
alias ilegal. Hal ini dapat ditelusuri lewat versi online Majalah Time yang
menyebutkan pihak Queen yang diwakili oleh sang gitaris, Brian May, menyatakan
tak pernah memberi kewenangan dan ijin atas penggunaan lagu tersebut. Apa yang
dilakukan Ahmad Dhani bertentangan dengan keinginan luhur bangsa Indonesia
untuk berperang melawan pembajakan dan penjiplakan musik. Ironisnya, niat luhur
tersebut selama ini justru banyak digembar-gemborkan oleh para musisi dan
pencipta lagu seperti Dhani.
Posisi
Posisi musik kemudian tak lagi
netral, telah banyak berafiliasi dengan politik muthakir. Lagu dan nada berisi
puja-puji dan sanjungan bagi calon presiden. Di kubu Prabowo terdapat Ahmad
Dhani dan Rhoma Irama, sementara di kubu Jokowi terdapat grup Slank, Glen Fredly,
Ello, Jogja Hip-hop Foundation. Musik turut berpolitik, berhadap masyarakat
tertarik dan rela memberikan suaranya karena pengaruh bunyi bernada. Di satu
sisi, musik-musik tersebut diciptakan secara khusus untuk capres pilihan. Salam Dua Jari misalnya diciptakan oleh
kelompok Slank khusus untuk pemenangan Jokowi-Jusuf Kalla. Ada aspek kebaruan
dan kreativitas yang menyegarkan. Namun di sisi lain, tak jarang pula ide
musikal yang ditampilkan kurang kreatif. Layaknya lagu We Will Rock You yang digubah
sekenanya oleh Ahmad Dhani, musik-musik kampanye banyak yang tidak secara
khusus diciptakan, namun mendompleng ketenaran musik atau lagu lain dengan
mengubah liriknya. Beberapa tahun lalu, saat kampanye pemilihan gubernur
Jakarta, para pendukung Jokowi-Ahok menggunakan salah satu lagu One Dorection
tanpa izin dan pemberitahuan. Musik-musik rakyat juga tak lepas dari sasaran
tembak. Lagu Apuse
misalnya, oleh para pendukung atau tim sukses, diubah liriknya menjadi
puja-puji bagi Prabowo-Hatta Rajassa.
Tak ubahnya kita menonton
sinetron Indonesia hasil saduran dari film Korea. Yang berbeda hanya rupa dan
bahasa, sementara jalannya cerita persis sama. Lagu-lagu kampanye hanya pamer
lirik namun miskin ornamen musikal. Terlebih, sisi kreatif yang minim masih
ditambah dengan kurang layaknya penampilan musisinya. Dengan memakai baju ala Nazi,
yang dalam jejak sejaranya membantai sesama manusia karena berbeda ras dan agama,
seolah Dhani hendak berbicara bahwa capres pilihannya layak ditakuti? Tentu tak
berlebihan kiranya jika kita menduga demikian. Karena musik kampanye dengan
segala ujud dan rupa adalah representasi dari apa yang didukung dan
disuarakannya. Apalagi secara profesional Dhani mengakui telah dikontrak resmi
sebagai juru kampanye. Kritikan atas lagu tersebut muncul tak hanya dari
masyarakat luas, namun juga sesama seniman dan publik figur.
Musik bukan semata karya seni berisi
untaian nada, namun juga susunan kata. Kata dan kalimat atau yang biasa disebut
lirik (teks musikal) sejatinya diciptakan secara khusus untuk menghuni “ruang”
nada tertentu. Karena itu, adakalanya jika lirik diubah atau diganti maka
kemungkinan besar akan mengubah pula capaian estetika musikalnya. Dengan
menggunakan lirik baru pada musik yang telah ada, maka kata dan kalimat
sejatinya telah diperkosa. Kata-kata baru yang dipilih dituntut untuk mampu sesuai
dengan aspek musikal, tak boleh kurang ataupun berlebih. Artinya, kata (lirik)
dipaksakan untuk menyesuaikan nada. Otomatis, musik-musik jenis demikian
biasanya tak mampu bertahan lama. Masyarakat hanya disuguhi oleh pameran lirik
tanpa ada kebaruan dalam nada dan harmoni. Masih beruntung jika musik hasil
otak-atik lirik tersebut dapat diterima publik dengan baik. Banyak musik
saduran yang tidak lebih bagus dari musik aslinya. Musisi yang mengambil jalan
demikian bisa jadi miskin kreativitas atau pemalas.
Dengan mengganti lirik pada musik
tertentu, seniman atau musisi tak memiliki idelaisme dalam bermusik. Tak ada
pertanggungjawaban moral berupa contoh pendidikan prilaku positif bagi
masyarakat. Terlebih di musim kampanye pilpres, musik seolah menjadi “tepat
sampah”. Apapun dapat dilagukan sebagai musik. Perang lewat musikpun terjadi.
Antar kedua kubu saling ejek lewat musik. Siapa yang lebih keras dalam
bernyanyi dianggap lebih baik dan menang. Debat capres dan cawaprespun dihiasi
dengan sajian musik untuk yel-yel di kedua kubu. Bahkan stasiun televisi
membuat musik khusus untuk pemilihan presiden. Musik menjadikan pemilihan
capres-cawapres menjadi lebih semarak (kalau bukannya bising dan berisik). Kita
kemudian seolah melupakan bahwa musik-musik yang diubah liriknya tersebut adalah
hasil “karya seni”, yang dicipta secara serius dari hasil pergulatan kreatif
panjang, sehingga mampu diterima masyarakat luas. Dengan mengubah lirik seenaknya,
berarti tidak menghargai si pencipta, karya
cipta dan kreativitas.
Rindu
Musik dalam jejak sejarahnya juga
pernah menjadi alat kontrol dan kritik yang efektif bagi pemerintah dan
penguasa. Suara seorang seniman musik kadang lebih mampu didengar dari ribuan
massa yang berdemo di jalanan. Musik memiliki kuasa untuk memengaruhi
psikologis. Wajar kemudian jika di banyak negara, musisi atau seniman musik
harus ditangkap dan dicekal karena teks-teks liriknya yang dianggap berbahaya.
Kitapun seolah merindukan musik-musik era Iwan Fals, yang lahir dari suara
masyarakat akar rumput. Mengisahkan kepedihan dan ketertindasan hidup. Musik
sebagai medan perjuangan. Tak semata hendak meraih untung-rugi pasar. Musik di
zaman itu kini mulai sayup-sayup tak terbaca. Musik masa kini adalah pertaruhan
pasar dan bisnis, bukan idealisme. Melihat begitu banyaknya musik kampanye yang
dibuat oleh masing-masing kubu capres-cawapres, kiranya menjadi penting pula
untuk dihadirkan musik penyeimbang berisi kritik.
Panggung-panggung kampanye dan
pesta hasil pemilihan presiden kemarin berisi sajian musik. Para musisi sedang
panen. Musik menjadi alat yang efektif dalam menarik masa. Capres-cawapres
butuh musik untuk mencitrakan dirinya. Musik menjadi medium penting dalam
kampanye. Namun kita patut bertanya, sumbangan apa yang telah ditorehkan
capres-cawapres tersebut terhadap perkembangan musik kita? Dengan memilih
presiden yang melegalkan penjiplakan musik, secara tak langsung kita turut
membunuh perkembangan musik tanah air di masa mendatang. Penggunaan musik dalam
panggung kampanye adalah contoh ideal dalam menentukan arah dan keberpihakan
dalam memilih.
Kita berharap
presiden terpilih mendatang melek musik. Bukan semata membuat musik untuk
pencitraan diri yang wajib dinyanyikan saat perayaan hari besar semacam
tujuhbelasan. Namun menjadikan musik sebagai ruang kontemplatif, yang mampu
membawa pesan positif bagi kehidupan yang lebih baik. Zaman telah berbalik, di
era Orde Baru musik mengisahkan perlawanan terhadap penguasa, di masa kini
musik mengisahkan puja-puji seorang penguasa. Para musisi mulai tergoda untuk
berpolitik musik dengan menjual (menggadaikan) idealisme berujud nada dan
harmoni. Musik kemudian juga berisi cacian dan umpatan untuk saling menjatuhkan
antar satu dengan yang lain. Laksana pertarungan tinju, masyarakat menjadi
penonton yang riuh bertepuk tangan. Kreativitas menjadi tidak penting lagi,
yang paling utama adalah memproduksi musik kampanye sebanyak-banyaknya. Semakin
banyak berarti semakin baik. Mampu menjadi teror yang berlalu-lalang setiap
saat lewat layar kaca televisi dan internet.
Aris Setiawan
Etnomusikolog, pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar