Musik Berpolitik (dimuat di Koran Joglosemar edisi 11 Juli 2014)

 Musik Berpolitik



Saat musim kampanye capres-cawapres kemarin, segala hal dapat digunakan sebagai medium corong politis tak terkecuali musik. Banyak musisi yang menjadi juru kampanye masing-masing pasangan. Hal yang paling hangat dibicarakan adalah tingkah Ahmad Dhani lewat lagunya Prabowo-Hatta: We Will Rock You. Lagu tersebut banyak menuai kontroversi. Selain, memakai baju mirip dengan seragam Nazi, Dhani juga merubah lagu We Will Rock You tanpa seijin penciptanya, alias ilegal. Hal ini dapat ditelusuri lewat versi online Majalah Time yang menyebutkan pihak Queen yang diwakili oleh sang gitaris, Brian May, menyatakan tak pernah memberi kewenangan dan ijin atas penggunaan lagu tersebut. Apa yang dilakukan Ahmad Dhani bertentangan dengan keinginan luhur bangsa Indonesia untuk berperang melawan pembajakan dan penjiplakan musik. Ironisnya, niat luhur tersebut selama ini justru banyak digembar-gemborkan oleh para musisi dan pencipta lagu seperti Dhani.

Posisi
Posisi musik kemudian tak lagi netral, telah banyak berafiliasi dengan politik muthakir. Lagu dan nada berisi puja-puji dan sanjungan bagi calon presiden. Di kubu Prabowo terdapat Ahmad Dhani dan Rhoma Irama, sementara di kubu Jokowi terdapat grup Slank, Glen Fredly, Ello, Jogja Hip-hop Foundation. Musik turut berpolitik, berhadap masyarakat tertarik dan rela memberikan suaranya karena pengaruh bunyi bernada. Di satu sisi, musik-musik tersebut diciptakan secara khusus untuk capres pilihan. Salam Dua Jari misalnya diciptakan oleh kelompok Slank khusus untuk pemenangan Jokowi-Jusuf Kalla. Ada aspek kebaruan dan kreativitas yang menyegarkan. Namun di sisi lain, tak jarang pula ide musikal yang ditampilkan kurang kreatif. Layaknya lagu We Will Rock You yang digubah sekenanya oleh Ahmad Dhani, musik-musik kampanye banyak yang tidak secara khusus diciptakan, namun mendompleng ketenaran musik atau lagu lain dengan mengubah liriknya. Beberapa tahun lalu, saat kampanye pemilihan gubernur Jakarta, para pendukung Jokowi-Ahok menggunakan salah satu lagu One Dorection tanpa izin dan pemberitahuan. Musik-musik rakyat juga tak lepas dari sasaran tembak. Lagu Apuse misalnya, oleh para pendukung atau tim sukses, diubah liriknya menjadi puja-puji bagi Prabowo-Hatta Rajassa.
Tak ubahnya kita menonton sinetron Indonesia hasil saduran dari film Korea. Yang berbeda hanya rupa dan bahasa, sementara jalannya cerita persis sama. Lagu-lagu kampanye hanya pamer lirik namun miskin ornamen musikal. Terlebih, sisi kreatif yang minim masih ditambah dengan kurang layaknya penampilan musisinya. Dengan memakai baju ala Nazi, yang dalam jejak sejaranya membantai sesama manusia karena berbeda ras dan agama, seolah Dhani hendak berbicara bahwa capres pilihannya layak ditakuti? Tentu tak berlebihan kiranya jika kita menduga demikian. Karena musik kampanye dengan segala ujud dan rupa adalah representasi dari apa yang didukung dan disuarakannya. Apalagi secara profesional Dhani mengakui telah dikontrak resmi sebagai juru kampanye. Kritikan atas lagu tersebut muncul tak hanya dari masyarakat luas, namun juga sesama seniman dan publik figur.
Musik bukan semata karya seni berisi untaian nada, namun juga susunan kata. Kata dan kalimat atau yang biasa disebut lirik (teks musikal) sejatinya diciptakan secara khusus untuk menghuni “ruang” nada tertentu. Karena itu, adakalanya jika lirik diubah atau diganti maka kemungkinan besar akan mengubah pula capaian estetika musikalnya. Dengan menggunakan lirik baru pada musik yang telah ada, maka kata dan kalimat sejatinya telah diperkosa. Kata-kata baru yang dipilih dituntut untuk mampu sesuai dengan aspek musikal, tak boleh kurang ataupun berlebih. Artinya, kata (lirik) dipaksakan untuk menyesuaikan nada. Otomatis, musik-musik jenis demikian biasanya tak mampu bertahan lama. Masyarakat hanya disuguhi oleh pameran lirik tanpa ada kebaruan dalam nada dan harmoni. Masih beruntung jika musik hasil otak-atik lirik tersebut dapat diterima publik dengan baik. Banyak musik saduran yang tidak lebih bagus dari musik aslinya. Musisi yang mengambil jalan demikian bisa jadi miskin kreativitas atau pemalas.
Dengan mengganti lirik pada musik tertentu, seniman atau musisi tak memiliki idelaisme dalam bermusik. Tak ada pertanggungjawaban moral berupa contoh pendidikan prilaku positif bagi masyarakat. Terlebih di musim kampanye pilpres, musik seolah menjadi “tepat sampah”. Apapun dapat dilagukan sebagai musik. Perang lewat musikpun terjadi. Antar kedua kubu saling ejek lewat musik. Siapa yang lebih keras dalam bernyanyi dianggap lebih baik dan menang. Debat capres dan cawaprespun dihiasi dengan sajian musik untuk yel-yel di kedua kubu. Bahkan stasiun televisi membuat musik khusus untuk pemilihan presiden. Musik menjadikan pemilihan capres-cawapres menjadi lebih semarak (kalau bukannya bising dan berisik). Kita kemudian seolah melupakan bahwa musik-musik yang diubah liriknya tersebut adalah hasil “karya seni”, yang dicipta secara serius dari hasil pergulatan kreatif panjang, sehingga mampu diterima masyarakat luas. Dengan mengubah lirik seenaknya, berarti tidak menghargai si pencipta,  karya cipta dan kreativitas.

Rindu
Musik dalam jejak sejarahnya juga pernah menjadi alat kontrol dan kritik yang efektif bagi pemerintah dan penguasa. Suara seorang seniman musik kadang lebih mampu didengar dari ribuan massa yang berdemo di jalanan. Musik memiliki kuasa untuk memengaruhi psikologis. Wajar kemudian jika di banyak negara, musisi atau seniman musik harus ditangkap dan dicekal karena teks-teks liriknya yang dianggap berbahaya. Kitapun seolah merindukan musik-musik era Iwan Fals, yang lahir dari suara masyarakat akar rumput. Mengisahkan kepedihan dan ketertindasan hidup. Musik sebagai medan perjuangan. Tak semata hendak meraih untung-rugi pasar. Musik di zaman itu kini mulai sayup-sayup tak terbaca. Musik masa kini adalah pertaruhan pasar dan bisnis, bukan idealisme. Melihat begitu banyaknya musik kampanye yang dibuat oleh masing-masing kubu capres-cawapres, kiranya menjadi penting pula untuk dihadirkan musik penyeimbang berisi kritik.
Panggung-panggung kampanye dan pesta hasil pemilihan presiden kemarin berisi sajian musik. Para musisi sedang panen. Musik menjadi alat yang efektif dalam menarik masa. Capres-cawapres butuh musik untuk mencitrakan dirinya. Musik menjadi medium penting dalam kampanye. Namun kita patut bertanya, sumbangan apa yang telah ditorehkan capres-cawapres tersebut terhadap perkembangan musik kita? Dengan memilih presiden yang melegalkan penjiplakan musik, secara tak langsung kita turut membunuh perkembangan musik tanah air di masa mendatang. Penggunaan musik dalam panggung kampanye adalah contoh ideal dalam menentukan arah dan keberpihakan dalam memilih.
Kita berharap presiden terpilih mendatang melek musik. Bukan semata membuat musik untuk pencitraan diri yang wajib dinyanyikan saat perayaan hari besar semacam tujuhbelasan. Namun menjadikan musik sebagai ruang kontemplatif, yang mampu membawa pesan positif bagi kehidupan yang lebih baik. Zaman telah berbalik, di era Orde Baru musik mengisahkan perlawanan terhadap penguasa, di masa kini musik mengisahkan puja-puji seorang penguasa. Para musisi mulai tergoda untuk berpolitik musik dengan menjual (menggadaikan) idealisme berujud nada dan harmoni. Musik kemudian juga berisi cacian dan umpatan untuk saling menjatuhkan antar satu dengan yang lain. Laksana pertarungan tinju, masyarakat menjadi penonton yang riuh bertepuk tangan. Kreativitas menjadi tidak penting lagi, yang paling utama adalah memproduksi musik kampanye sebanyak-banyaknya. Semakin banyak berarti semakin baik. Mampu menjadi teror yang berlalu-lalang setiap saat lewat layar kaca televisi dan internet.
Aris Setiawan

Etnomusikolog, pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta

Tidak ada komentar:

Pengikut