Festival Seni Surabaya tanpa Tema (dimuat di Kompas edisi 22 November 2010)

Festival Seni Surabaya tanpa Tema




Usai sudah event besar bertajuk Festival Seni Surabaya yang berlangsung dari tanggal 6 hingga 14 Oktober 2010 kemarin di Balai Pemuda Surabaya. Sebagai sebuah wadah, Festival Seni Surabaya mampu menyajikan berbagai tontonan yang menarik seperti musik, teater, seni rupa, tari dan lain sebagainya. Namun sebagai satu ruang pemaknaan wacana besar, menjadi penting untuk dipertanyakan kembali, sejauh mana efek yang disandang setelah Festival ini usai? Akankan ia mampu memberi satu diskursus perkembangan yang signifikan bagi seni-seni di Jawa Timur dan khususnya Surabaya ke depan? Atau justru sebaliknya, Festival Seni Surabaya tak lebih dari hanya sebatas rutinitas uforia seni sesaat yang begitu sakral, mahal dan megah ketika berlangsung dan hilang lalu sepi tak bermakna ketika berakhir.

Tak Terkekang
Menarik kiranya membaca tulisan W Haryanto pada Kompas Jatim edisi Kamis 28 Oktober 2010 dengan judul ‘Surabaya tak Butuh Festival Seni’. Haryanto secara lugas mengkritik bahwa Festival Seni Surabaya tak lebih dari sekedar ritual nominalisasi seni. Bagi Haryanto, Festival itu telah mengambil dimensi yang kelewat luas dan abstrak bila dikaitkan dengan perkembangan seni di Surabaya. Imbasnya, kreativitas seniman Surabaya ‘dipaksa’ mengikuti paradigma festival.
Tidak salah memang apa yang dikemukakan oleh Haryanto. Namun satu hal yang harus difahami bahwa seniman yang kreatif bukan berarti harus hidup dalam satu wacana kreativitas yang kekeh dengan idealisme keindividualnya. Bagi Haryanto, idealisme seorang seniman adalah tidak terjerumus pada lembah mainstream. Seniman dengan anugerah kreativitas yang dimilikinya harus menjadi dirinya sendiri, tidak boleh dikontrol apalagi dikondisikan oleh apapun dari luar termasuk festival. Dengan demikian seniman adalah makhluk tunggal. Ia akan berkarya sesuai dengan apa yang diyakininya. Tidak perduli apakah publik suka atau tidak.
Jika memang harus dituntut demikian, bisa dibayangkan akan banyak seniman yang akan kehilangan dunianya. Kreativitas para dalang wayang kulit tidak akan laku lagi di musim kampanye partai, padahal ia harus menyuarakan ideologi dari berbagai partai yang mensponsorinya. Bahkan dalang selaku seniman juga memiliki idealisme yang mungkin cenderung berbeda dengan banyak partai itu. Lalu apakah dengan demikian kita anggap bahwa si dalang itu telah menggadaikan kreativitas dan idealismenya demi uang? Atau pada kasus Festival Seni Surabaya, apakah seniman yang terlibat di dalamnya menggadaikan kreativitasnya karena hanya  menuruti paradigma festival?
Jawabannya tentu saja tidak. Kreativitas tidak harus dimaknai para ruangnya yang sempit.Kreativitas adalah hasil dari olah pikir kreatif seniman yang dengan lentur dapat dibenturkan dalam berbagai wacana layaknya festival ataupun event lain (Darsono, 2007). Justru dengan banyaknya benturan di luar dirinya itulah kreativitas yang sesungguhnya telah muncul. Layaknya seorang dalang yang harus kreatif membentuk jatidirinya ketika dihadapkan dengan berbagai event kala musim kampanye. Dengan demikian seniman akan mampu ditempa dengan berbagai wacana atau ruang yang menuntut dirinya untuk menjadi pribadi yang kreatif namun sosialis. Mengerti bahwa hidup itu adalah jaringan sistem, saling mengikat antara satu dengan yang lain, antara seniman dengan masyarakat, bahkan antara seniman dengan festival itu sendiri. Sadar dan melihat kenyataan yang lebih kompleks di luar dirinya.

Sebuah Tema
Festival sebagai sebuah ‘wadah bertema’ harusnya mampu menjadikan seniman lebih dewasa. Seniman akan mengerti bahwa dirinya hanyalah sesosok kecil dalam ingar-bingar dunia yang begitu kompleks. Dengan masuk pada ruang-ruang festival itu bukan berarti menjual kreativitas demi uang atau menominalisasikan karyanya. Namun sebaliknya, sebagai sebuah kejelian dalam mengolah anugerah kreativitas dengan berbagai pertimbangan dan wadah (festival) yang mengitarinya.
Kemudian menjadi menarik jika hal ini dikaitkan dengan Festival Seni Surabaya yang kemarin telah berlangsung. Dengan alih-alih tema besarnya ‘Surabaya Experience”, Festival Seni Surabaya mencoba digunakan sebagai titik pijak untuk mengukur dan melihat seberapa jauh Surabaya telah turut berproses dalam ingar-bingar kehidupan, baik dalam konteks lokal maupun global.
Sayangnya, pemaknaan tema yang demikian justru cenderung dangkal. Tema itu hanya menjadi guratan besar yang tak sampai dalam bentuk, format dan isi sajiannya. Jika W Haryanto dalam tulisannya di atas mengetengahkan bahwa seniman dalam event ini terjebak pada paradigma festival. Maka dengan melihat berbagai penampilan kemarin, justru sebaliknya, seniman cenderung bebas, tak mampu mengontrol karyanya untuk dapat ditarik dalam satu tema besar yang membingkainya, “Surabaya Experience”.
Tema itu harusnya mampu mengikat warna karya-karya yang ada. Dengan tema itu, harusnya Surabaya dapat muncul kepermukaan yang tergambar jelas dalam berbagai goresan sajian karyanya baik musik, teater, seni rupa dan tari. Hal itu dapat tergapai dengan mengandalkan sisi kreativitas yang bersumber pada pengalaman (experience) senimannya dalam memaknai kata ‘Surabaya’. Sehingga Festival Seni Surabaya tidak hanya sebatas ‘festival seni di Surabaya’, yang tiada beda dengan festival seni –kontemporer- pada umumnya. Namun ‘festival seni untuk Surabaya’, menggurat warna dan idiom ‘Surabaya’ menjadi lebih bermakna.
Dengan demikian, melalui karya-karya seni itu, harusnya kita dapat melihat warna Surabaya dalam berbagai sisinya. Sayang, hal itu tak sampai dalam pergelaran festival kemarin. Seniman bebas membawa karyanya tanpa harus terikat dan mengikuti tema. Pertanyaannya kemudian, lalu apa gunanya tema di atas? Pengkarya dan penikmatpun pada akhirnya diajak berkontemplasi dan jujur mengakui bahwa Surabaya selama ini hanya mampu menjadi tuan rumah di negerinya sendiri. Surabaya tak mampu mewacanakan ke Surabayaannya. Surabaya hanya menjadi lahan empuk untuk berfoya-foya dan berpesta seni. Lihatlah bagaimana event ini mengkultuskan teater koma di atas segalanya, dibanding penampilan seniman dari Surabaya atau Jawa Timur sendiri.
Di sisi lain, jika memang festival kali ini mencoba mengangkat tradisi, ditandai dengan pentas ludruk Karya Budaya Mojokerto dan Pojian dari Bondowoso (14/11/2010). Lalu, bagaimana wacana perkembangan seni tradisi setelah event ini usai? Dapat diperkirakan, layaknya festival-festival serupa lainnya, sumbangannya belum mampu menggerakkan roda kesenian di Surabaya dan Jawa Timur umumnya menjadi lebih cepat. Justru sebaliknya, membuat eksistensi kelompok seni di luar wilayah Surabaya menjadi semakin populis, layaknya Teater Koma itu (Abdul Latief, Kompas Jatim 15/11/2010). Oleh karena itu wajar jika di banyak forum mengungkapkan bahwa seni-seni ‘tradisi’ di Surabaya kini mulai terasingkan di balik kemeriahan dan kemegahan berbagai festival mahal yang diberlangsungkannya.


Aris Setiawan
Etnomusikolog Asal Surabaya Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta

Gamelan Mendunia Karena Unik dan Humanis (dimuat di Kompas Minggu edisi 10 Oktober 2010)

 Gamelan Mendunia Karena Unik dan Humanis


Beberapa dekade terakhir, gamelan menjadi ramai diperbincangkan dunia. Hal terakhir yang dapat kita temui adalah berlangsungnya Festival Gamelan Dunia di Trengganu, Malaysia, Juli 2010 lalu. Terdapat beberapa kelompok gamelan yang tampil dari berbagai negara, termasuk Indonesia. Sejak diberlangsungkannya Festival Gamelan Dunia pertama tahun 1986 di Kanada, tercatat setidaknya terdapat seratusan lebih kelompok ensambel dan studi gamelan di Amerika Serikat, belum lagi di negara lain.
Bahkan, menurut Rahayu Supanggah, penggagas Festival Gamelan Dunia, Singapura tahun ini telah menjadikan gamelan sebagai mata pelajaran wajib di berbagai sekolah dasar pada hampir sebagian wilayahnya. Sebelumnya, hal serupa pun terjadi di Eropa, Amerika, bahkan Jepang. Di negara-negara maju tersebut, gamelan telah menjadi mata kuliah wajib pada universitas-universitas unggulan. Gamelan tidak lagi menempati posisi sebagai alat musik ”rendahan”, ”tak beradab”, atau hal negatif lain sebagaimana pandangan para sarjana atau peneliti ”Barat” dalam menilai budaya kita dulu (Rizaldi Siagian, Kompas 13/12/2009). Gamelan kini telah gagah bersanding dengan alat musik bangsa lain sebagai sarana pembelajaran yang terbentang ke penjuru dunia.
Di Amerika, gamelan Jawa nangkring di universitas-universitas unggulan, seperti Universitas California di Berkeley (gamelan Kyai Udan Mas), San Jose University (gamelan Sekar Kembar), Lewis and Clark College (Kyai Guntur Sari), Michigan, Wiscounsin, Northern Illinois, Oberlin, Wesleyan, dan ratusan universitas terkemuka lainnya.
Sementara di Jepang, gamelan sudah menjadi media ajar di berbagai universitas, seperti Tokyo University of Fine Art and Music dengan grup gamelannya yang bernama Kyai Lambang Sari, di Kuntachi College of Music (Gamelan Sekar Jepun), Dharma Budaya Osaka University, Hyogo University, Tokyo Osaka-Tohogakuen (semuanya college of music). Sementara ratusan bahkan ribuan lainnya tersebar di Benua Eropa.

Unik
Konsep bunyi gamelan tidak hanya ditentukan oleh kandungan teoretis fisika seperti halnya sistem bunyi pada musik Barat. Misalnya bagaimana alat musik Barat memiliki pitch yang akurat dalam jarak yang beraturan (interval) dengan berbagai perimbangan-pertimbangan ukuran frekuensi tertentu. Hal tersebut menghasilkan totalitas warna bunyi yang bersifat baku dan absolut (Aris Setiawan, 2009).
Namun, dengan sistem bunyi ”musik Barat” (diatonis) yang seragam itu, berarti tak ada pilihan dan kemungkinan lain yang bisa ditoleransi. Sistem nada menjadi begitu ketat dengan harga mati. Sedikit saja ia berubah, maka dianggap salah atau keliru. Dengan demikian, nada dalam berbagai alat Musik Barat itu (gitar, piano, saksofon, biola, dan lain sebagainya) adalah sama, terstandar.
Bagi Suka Hardjana (2004), dalam gamelan segala aspek yang berkaitan dengan bunyi sebagai totalitas getaran dan gelombang suara diterima sebagai suatu kenyataan. Akibatnya, segala hal yang berhubungan dengan pencapaian bunyi dalam gamelan tidak mengenal salah atau keliru. Nada minir, sumbang (falsch) sengaja dihadirkan demi tercapainya kesan dan pencapaian kadar estetik yang tinggi. Lihatlah bagaimana masyarakat Malang (Pelog Temor) dalam melantunkan vokal gamelan yang terkesan sumbang, interval nada vokal dengan nada gamelan tidak match, terdapat jarak. Atau gending Pamegatsih di Surakarta yang juga banyak menggunakan nada-nada minir. Bagi komponis musik Barat, tentu saja hal tersebut dianggap salah karena falsch. Namun, bagi dunia gamelan, hal itu adalah kekuatan estetika yang terdalam. Tidak ada batasan seberapa persen kadar keminiran (sumbang) nada yang dapat ditoleransi. Dengan demikian, gamelan dapat memicu munculnya beribu nada baru.
Keunikan wilayah nada seperti tersebut di atas, menjadikan gamelan sebagai bahan eksperimen yang penting bagi seniman dan akademisi di dunia. Pengembaraan bunyi, eksplorasi berbagai kemungkinan senantiasa dilakukan untuk membentuk gamelan menjadi maistream budaya baru bagi kultur mereka yang cenderung berbeda. Bahkan tidak menutup kemungkinan dalam penjelajahannya, mereka akan menemukan satu formula musikal yang berbeda dengan di Nusantara, dan menjadi salah satu pisau unggulan gamelan di luar Indonesia. Itulah yang terjadi pada kelompok gamelan Lambang Sari dari Jepang sewaktu tampil di Solo International Performing Arts (SIPA) pada 18 Juli 2010 lalu. Mereka memainkan gamelan dengan kaidah-kaidah musikal menurut cara pandang mereka sendiri, bukan lagi ”Jawasentris”. Akibatnya, muncul nuansa dan warna musikal baru yang lebih segar.

Humanis
Gamelan tumbuh subur di beberapa bagian dunia juga karena makna musikalnya yang humanis. Hal inilah yang melatarbelakangi gamelan di beberapa negara digunakan sebagai sarana pendidikan kepribadian. Bahkan, di Perancis digunakan sebagai sarana terapi kejiwaan di berbagai penjara yang ada (Danis Sugianto, 2009).
Bermain gamelan berarti menghayati akan arti kebersamaan. Gamelan tidak dapat dimainkan secara tunggal. Berbeda dengan musik Barat, seperti piano, gitar, biola yang dapat melangsungkan konser secara mandiri. Namun, dalam gamelan, hal tersebut tidak dapat dilakukan. Tidak mungkin bonang, kendang, demung, kempul, atau bahkan kenong melangsungkan konser tunggal tanpa disertai instrumen gamelan lainnya. Mereka harus hidup dalam hierarki satu kesatuan musikal. Saling mengikat antara satu instrumen dengan instrumen lain, sehingga saling membutuhkan. Dengan demikian, rasa kebersamaan tergelar dalam makna filosofisnya.
Bermain gamelan berarti menghilangkan sifat egois dan individual. Setiap pemain harus menghargai pemain lainnya. Tidak ada yang paling menonjol. Semua bermain dalam satu kesetaraan bunyi, tidak ada yang lebih keras dan lebih lirih. Semua terikat dalam hukum-hukum dan kaidah toleransi yang tinggi. Ketika satu instrumen memberi aba-aba atau kode musikal, maka instrumen lain harus tanggap. Pada konteks ini tidak ada konduktor (pemimpin), semua bermain dalam takaran kebersamaan untuk saling mengerti dan dimengerti. Komunikasi musikal menjadi hal utama dan ”rasa” adalah pencapaian tertinggi yang dituju.
Rahayu Supanggah, yang juga guru besar bidang gamelan —karawitan—pernah menjadi saksi bagaimana orang-orang non- pribumi menangis karena gamelan. Mereka yang terkenal individual, kemudian harus turut larut dalam kaidah-kaidah kebersamaan yang dibangun oleh gramatika musikal gamelan. Pada titik inilah ”rasa” berubah menyentuh sensibilitas perasaan terdalam manusia. Bagitulah gamelan dihayati dan dimengerti oleh masyarakat di dunia. Mereka semakin sadar akan arti penting hadirnya gamelan. Sementara di Indonesia? 

Aris Setiawan Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta


Hari Tari dan Semangat Noverre (dimuat di Majalah Gong edisi Agustus 2010)

Hari Tari dan Semangat Noverre


Tanggal 29 April 2010 diperingati sebagai haritari dunia (world dance day). Setiap negara memperingatinya dengan seksama, termasuk Indonesia. Sudah tiga tahun inidi solo (Institut Seni Indonesia), tempat di mana seni-seni kraton itu hidupdan berkembang baik, telah tercipta tradisi menari 24 jam nonstop guna menyemarakkanhari tari ini. Pesertanyapun datang dari penjuru Indonesia. Kalimantan, Sumatra, Sulawesi, Jawa, Bali dan lain sebagainya. Semua akan menampilkan 'tari-tari tradisi' mereka yang begitu eksotik. Tidak hanya itu, masyarakat duniapun diminta untuk menari dengan mengkesplorasi gerak sebebas-bebasnya pada har ini.
Di balik kondisi dan situasi sosial budaya negarayang carut marut dalam beberapa dekade terakhir, berbagai hal dapat menjelma menjadi medium dalam melepas semua beban yang ada, termasuk gerak. Maka tidak terlalu berlebihan jika efektivitas dan sumbangan gerak lewat hari tari dunia kini lebih dapat dimaknai sebagai ruang kontemplasi, ekspresi dan aktualisasi diri, terutama bagi ruang-ruang hidup seni tradisi.

29 April dan Noverre
Tahun 1982, International Dance Council (CID) sebuah payung untuk semua jenis tari di UNESCO menetapkan tanggal 29 April sebagai hari tari dunia (world dance day). Tanggal tersebut sengaja diambil bertepatan dengan hari kelahiran tokoh tari balet modern, Jean Georges Noverre. Dan setiap tahunnya, insan tari di seluruh dunia memperingatinya dengan menyelenggarakan berbagai aktifitas yang berkaitandengan gerak.
Noverre lahirdi Paris (Perancis) tahun 1727 dari pasangan Jean Louys dan Marie Anne de laGrange. Ayahnya adalah seorang tentara, dan mengharapkan Noverre juga mengikuti jejaknya untuk mengejar karir sebagai militer. Anehnya, Noverre justru tertarik pada dunia tari dan belajar balet pada Louis Dupre, seorang penari profesional. Noverre memiliki bakat sebagai seorang penari balet yang handal. Ia banyak menghabiskan waktu untuk belajar tari ini di Inggris, Italy dan Prancis. Pada akhirnya, berbagai karya tari balet ciptaannya telah dipentaskan di banyak negara dan mampu menarik perhatian banyak orang.
Noverre dikenal sebagai pribadi yang anti kemapanan bahkan terkesan kontroversial. Ia banyak menentang kaidah-kaidah tradisi dalam tari balet. Hal yang cukup menonjol adalah penemuannya tentang balletde'action (Noverre, 2004), yakni sebuah pemikiran yang menggabungkan konsep balet dengan pantomim. Menurutnya, balet dapat mengaduk emosi penonton dengan menggunakan gerakan-gerakan ekspresif, berkarakter dan dramatis tanpa harus ditekankan dengan verbal lewat suara atau nyanyian.
Selain itu, Noverre secara kontroversial juga pernah melakukan perubahan kostum tari balet. Dalam karyanya Les Caprices de Galathée (1957), ia memakaikan garbed penari dari kulit harimaudan sepatu terbuat dari kulit kayu. Sikapnya yang naturalis terhadap kostum inilah yang di kemudian hari menempatkan namanya sebagai barisan terdepan tokoh 'pencerahan Perancis' (Kant, 2007).
Pandangan-pandangannya yang frontal tersebut banyak terungkap lewat teks yang ditulisanya seperti Letters on Dancing and Ballet dan The Encyclopedia of Dance and Ballet (1977). Tentupemikirannya banyak mendapat kritik dan pertentangan dari para penari baletprofesional lainnya. Namun, layaknya kitab Kama Sutra di India, dicetak dan ditentang,namun kemudian menjadi buku terbajak paling laris di dunia. Begitu pula karya-karyaNoverre. Namaya paling sering dikutip dalam literatur tari di seluruh dunia. Banyak gagasan dan teori-teorinya yanghingga kini masih diimplementasikan di kelas-kelas pendidikan tari. Misalnya, gagasan Noverre yang paling menonjol adalah bahwa seorang guru harus mendorong siswa untuk menemukan bakat dan gayanya sendiri, daripada meniru pengajarnya atau gaya penari populer lainnya.
Dengan demikian wajar jika teman-teman Noverre termasuk Mozart, Voltaire menyebutnya sebagai "the Shakespeare of the dance" (Guest 2006). Dan cara khusus namanya menggema menjadi bapak balet dunia, hingga tanggal kelahirannyapun menjelma menjadi hari tari dunia

Tradisi tak boleh mati
Jean George sNoverre lewat 'gerakan-gerakan' kontroversial yang dibuatnya, memberipencerahan pada kita bahwa tradisi membutuhkan sentuhan-sentuhan perubahan.Tradisi memiliki sifatnya yang nomadik. Senantiasa berkembang, tidak satatis, dan terus melaju menuruti laju jaman. Dengan merubah tradisi (tari), Neverre awalnya menjadi tokoh paling dibenci namun kemudian paling dicintai. Berkacapada seni-seni tradisi kita dewasa ini, sejauh mana kita sudah melakukan perubahan, penyesuaian, gebrakan baru demi kelangsungan hidupnya? Ataukah sebaliknya, seni-seni tradisi kita masih berjalan di tempat, tidak mampu lagi berkomunikasi dengan zaman?
Suka Hardjana (2005) mencatat bahwa seni tradisi kita kini berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, kita masih kekeh mencoba mempertahankan, melestarikan, dan memberlangsugkan seperti apa adanya. Namun disisi lain, perkembangan media dan teknologi mengharuskan seni-seni tradisi kita berbenturan dan bercengkrama dengan seni-seni yang sifatnya pasaran dan glamou. Pada akhirnya, jika salah satu tidak mampu mengimbangi yang lain, maka akandikorbankan sebagai satu ruang yang kalah. Ironisnya, bukan hal yang asing lagibahwa seni-seni tradisi kita kini mengalami masa itu (kalah).
Dengan dirayakannya 'hari tari dunia' kemarin, secara tidak langsung membawa pesan pada diri kita untuk tidak hanya sekedar mengekspresikan (tari) tradisi lewat gerak yang statis dan itu-itu saja. Namun, justru mendekatkan memori kita pada semangat militansi perjuangan yang dibangun dandilakukan oleh Noverre dalam merajut kembali ruang hidup tradisi, perubahan mutlak diperlukan. Menghargai hasil jirih payah Noverre tidak hanya cukup dengan menari dan berpesta, namun mencerna dan membangun atau bahkan meneruskan pilar-pilar pemikiran yang telah digulirkan olehnya.
Dengan demikian wajar jika ke depan, lewat 'haritari dunia' akan muncul Noverre-Noverre baru di Indonesia. Membawa faham-faham yang baru atau bahkan lebih  frontal dan kontroversial. Hingga mendudukkan derajat pemikiran dan geraknya untuk dikenangbukan lagi sebagai hari tari dunia, namun 'Hari Tari Indonesia'.
Berkaca pada Noverre. Tradisi, jika dibiarkan itu-itu saja semakin lama juga akan semakin terasa "membasi" pula. Selamat bergerak dan menari. Dengan gerak, ekspresikan apa yang menjadi ekspresimu.


Aris Setiawan
Etnomusikolog, Staf Pengajardi ISI Surakarta

Resensi Mahambara (dimuat di Majalah Gong edisi April 2010)

Resensi Mahambara


Tali tradisi, yang selama ini kita anggap telah hilang, mungkin hanya terputus, dan menunggu saat yang tepat untuk berani menyambungnya kembali. Itulah gambaran dari “Mahambara”. Sebuah kompilasi (album) CD karya dosen-dosen jurusan Karawitan ISI Surakarta. Dalam kaset ini seolah mewacanakan kembali bahwa tradisi hanyalah bahan mentah, yang dapat dimasak kembali dengan bumbu kreativitas, dan niscaya akan kembali menjadi menu santapan yang lebih lezat, fress.
Melihat instrumen dan teknik permainannya, semua nomor dalam album ini seolah mengais segala kemungkinan yang dapat dikembangkan dari medium tradisi, tidak begitu frontal memang. Sebut saja semua (sepuluh) nomor tersebut adalah Shalawat Rambu, Kotekan Lesung, Ler-leran, Lu Ro Ji Nem, Buka Sembarangan, Pak Tung Blang, Damai, Arus Monggang, Minulya, Barang Miring. Jangan kaget, seseorang yang belum pernah mendengarkan musik tradisi Jawa pada khususnya, pasti akan menganggap beberapa nomor yang ada adalah tampilan tradisi itu sendiri yang tanpa gubahan. Hal ini wajar, karena beberapa komposer hanya bergerak pada spektrum (meng)ornamentasi tradisi, bukan membuat karya baru.
Shalawat Rambu karya Waluyo menjadi menu pembuka. Karya ini membawa getaran Islam yang begitu pekat. Dengan mendudukkan tembang-tembang sholawat pada gending rambu dalam gamelan sekaten, Waluyo mengajak kita menapaki benang-benang sejarah masa silam. Melalui katya ini, Ia menjadikan sekaten ke makna awalnya, sebagai dakwah Islam.
Begitu pula Kotekan Lesung karya Sri Harto. Jika Waluyo menggunakan medium gendhing sekaten, Sri Harto menggunakan Lesung dalam dakwahnya. Dengan laras slendro, puji-pujian terhadap yang maha kuasa dilantunkan, diiringi pola-pola kotekan lesung dengan tempo yang konstan (ajeg). Tema yang sama –religi-pun munjul di Damai karya Sigit Astono. Dengan menggunakan mediun gitar bass, cak-cuk, kendang, vokal, serta dalam irama dan tema yang riang, karya Damai mengguratkan betapa agungnya sang Kristus.
Berikutnya adalah Ler-leran karya Sugimin dan Lurojinem karya Supardi. Kedua judul nomor ini memiliki kesamaan konteks. Sama-sama menunjuk pada wilayah tema musikal. Ler-leran adalah ler-iler, tembang yang begitu populer dikalangan masyarakat Jawa. Sedangkan Lurojimen adalah nada-nada dalam gamelan Jawa. Keduanya pun bermain di wilayah nada slendro. Dengan kombinasi irama dan sketsa instrumen yang sama, mengakibatkan kedua karya ini nampak berhubungan, mengalir.
Ditengah, Buka Sembarangan karya I Wayan Sadra dan Pak Tung Blang karya Cucup Cahripin membawa suasana semakin menghangat. Dengan irama, dinamika dan tempo yang lebih luwes, kedua karya ini memahat dua wilayah yang berbeda. Sadra dengan gubahan karya lamanya yang juga berjudul Buka Sembarangan mengguratkan aura Balinya, sedangkan Cucup Cahripin dengan warna Sundanya. Sayangnya, karya Sadra kali ini lebih terkesan pengulangan dari karya lamanya. Dengan tubuh bangunan musikal yang tetap sama, hanya penambahan irama (lambat) dan instrumen (biola, saxsophone) saja yang membedakannya.
Endingnya album ini ditutup oleh Arus Monggang karya Danis Sugiyanto, Minulya karya Darsono dan Barang Miring karya Bambang Sosodoro. Ketiganya berkutat pada wilayah musikal karawitan Jawa yang ketat. Yang unik adalah karya Danis Sugiyanto. Ia bermain di wilayah nada gamelan monggang yang sewajarnya dengan pola 1615 secara kontinyu. Namun apa jadinya jika salah satu nada dihilangkan? misal menjadi 1-15, 16-5, -61-,-6-5, dst. Dengan menghilangan satu atau beberapa nada tersebut ternyata Danis dapat memunculkan efek dan kesan yang berbeda, walaupun dalam takaran pulsa dan nada yang sama.
Semua nomor dalam album ‘Mahambara’ ini seolah menegaskan kembali bahwa tradisi belum mati. Banyak kemungkinan yang dapat digali di dalamnya. Atau justru sebaliknya, secara implisit, album kompilasi ini juga menghendaki perubahan-perubahan secara bertahap (pelan) pada tradisi. Karena terlalu frontal-pun dianggap belum saatnya. Namun jika dibiarkan itu-itu saja, tidakkah takut semakin lama juga akan semakin “mambasi”?.

Aris Setiawan
Etnomusikolog, Staf Pengajar di ISI Surakarta

Memahami Soundcape (dimuat di Kompas edisi 18 Januari 2010)

Memahami Soundcape


 
Isu ekologis beberapa waktu ini mengemuka. Dimulai dari tata kota, hingga isu yang paling tren berkaitan dengan perubahan iklim, termasuk pemanasan global dengan digelarnya KTT ke-15 Perubahan Iklim di Kopenhagen, Denmark.
Namun, satu hal yang seolah terlewat adalah persoalan soundscape. Soundscape merupakan pemandangan suara-suara yang ada di sekitar lingkungan kita. Istilah soundscape sendiri dimunculkan pertama kali oleh Murray Schafer dalam bukunya Ear Cleaning (1967) yang berasal dari dua impresi kata, yaitu sounds (bunyi) dan landscape (pemandangan).
Shin Nakagawa, seorang etnomusikolog dari Jepang lewat bukunya berjudul Musik dan Kosmos (2000), memandang perlunya menata kembali soundscape bagi kehidupan kita. Perkembangan spektrum teknologi dan ilmu pengetahuan ternyata juga berimplikasi pada perkembangan soundscape. Banyak hasil teknologi yang memiliki efek lain sebagai penghasil suara kini bermunculan. Beberapa di antaranya yaitu mesin pabrik, mobil, peralatan rumah tangga, sepeda motor, handphone dan lain sebagainya. Tanpa sadar bahwa soundscape yang ada terkadang menjelma menjadi polusi suara (distorted).

Faktor Budaya
Anderson Sutton (1996) mengindikasikan bahwa distorsi suara di Indonesia memiliki keterkaitan yang erat dengan faktor kebudayaan. Sutton menekankan bahwa masyarakat Indonesia menyukai sesuatu yang ramai. Hal ini dapat dicermati dari berbagai prosesi acara yang ada, baik dalam konteks seremonial maupun seni pertunjukan tradisinya.
Lihat saja arak-arakan sepeda motor waktu kampanye partai. Lebih khusus lagi seremonial pernikahan, hajatan yang menggunakan public address (PA) dengan suara yang distorted. Atau bahkan pertunjukan tradisi Sekaten di Solo, Jawa Tengah, saronen (sape sono) di Madura, ngarot di Jawa Barat, gordang sembilan di Sumatra yang kesemuanya dengan sengaja menghasilkan soundscape yang cukup gaduh. Kegaduhan yang ada ditujukan untuk menunjukkan eksistensi dan tanda kebesaran mereka. Semakin ramai dan kacau soundscape yang ditimbulkan, menunjukkan bahwa acara yang bersangkutan semakin berskala besar dan megah.
Selain itu, masyarakat Indonesia masih cenderung salah dalam memberlakukan teknologi yang memiliki implikasi penghasil suara. Mereka masih menempatkan fungsi utamanya tanpa menghiraukan efek lain yang ditimbulkan. Semisal mesin pabrik. Keberadaannya akan tetap dipertahankan sejauh masih dapat memproduksi barang dengan lancar, walaupun efek suara yang dihasilkan melebihi kapasitas normal. Atau contoh yang lebih umum adalah kendaraan bermotor seperti bus kota, bajaj, sepeda motor dan lain sebagainya. Tanpa berpikir tentang efek suara yang dihasilkan (sama seperti efek asap pada knalpot), kehadirannya akan tetap dipertahankan sejauh masih dapat dipergunakan sebagai alat transportasi keseharian.

Memahami Soundscape
Mengerti soundscape bagi Shin Nakagawa berarti memahami suara dengan bijak. Pertanyaan yang paling sederhana kini, apakah kita memahami suara lingkungan kita (soundscape) dengan benar?
Selama ini kita memberlakukan telinga kita dengan cukup arif ketika mendengarkan sebuah konser musik di gedung pertunjukan atau konser gamelan di pendapa. Detail-detail musikal dapat kita cerna dan terima dengan jelas sebagai sebuah sketsa bunyi yang menarik dan ideal. Selanjutnya tidak jarang kita akan memejamkan mata, mengangguk-anggukkan kepala atau bahkan tertawa dan menangis haru karena dapat begitu rinci dan jeli dalam menghayati asupan bunyi yang ada. Namun bagaimana dengan keadaan bunyi lingkungan kita? Efek suara pabrik-pabrik besar, bus kota, angkot, bajai atau klakson di kemacetan lalu lintas yang cenderung menimbulkan distorsi soundscape. Apakah kita juga memberlakukan hal yang sama pada telinga kita?
Shin Nakagawa menekankan bahwa kemampuan telinga kita cenderung menjadi tumpul ketika keluar dari panggung pertunjukan tersebut. Suara-suara lingkungan hanya menjadi simbol sepintas lalu. Noise atau kebisingan sudah menjadi makanan sehari-hari, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta. Padahal tanpa disadari, soundscape yang demikian membawa perkembangan telinga dan otak cenderung menurun.
Ahmad Rofii dan Andriana Yunita dari Fakultas Kedokteran UI dan Universitas Sumatra Utara, menekankan bahwa seringnya mendengarkan suara soundscape yang bising (noise) atau distorted akan dapat mengakibatkan ketulian. Hal semacam ini dalam ilmu kedokteran lazim disebut TAB (Tuli Akibat keBisingan) atau NIHL (Noise Induced Hearing Loss). Sementara Ikron dari Departemen Kesehatan Lingkungan UI menyatakan, bahwa distorsi soundscape banyak disebabkan oleh padatnya lalu lintas jalan serta efek mesin pabrik dan rumah tangga. Efek dari soundscape tersebut memiliki dampak yang besar bagi psikologis (otak) anak. Lebih lanjut, hasil penelitian Ikron (2005) menyatakan bahwa anak-anak sekolah dasar yang menerima kebisingan soundscape secara reguler berisiko mengalami gangguan psikologis, dibanding dengan anak-anak yang belajar di lingkungan tenang.
Djohan dalam bukunya Psikologi Musik (2005) menekankan bahwa suara atau bunyi membawa dua efek tersendiri terhadap psikologi seseorang. Tidak hanya satu sisinya yang bermanfaat layaknya musik klasik bagi perkembangan janin, atau musik gamelan sebagai terapi kejiwaan. Lebih dari itu, bunyi-bunyian yang cenderung tidak berstruktur, bising terlebih distorted dan berlangsung terus menerus, akan cepat menstimuli otak untuk stres. Oleh karena itu, wajar jika baru-baru ini The Jakarta Post (18 Oktober 2009) mewartakan bahwa hidup di Jakarta dan kota besar lainnya dapat membuat orang menjadi “gila”. Saya kira pemicunya tidak hanya dalam skala domain yang lebih besar yakni persoalan politik dan ekonomi (materi), namun juga lingkungan, dan soundscape yang dalam konteks ini menjadi salah satu faktor utamanya.
Oleh karena itu, kembali lagi bahwa sudah saatnya kita mengerti persoalan soundscape dengan benar, serta menempatkannya dalam bingkai koridor etika dan kesehatan. Dibutuhkan implementasi tegas terhadap penegakan peraturan yang sifatnya menata dan mengatur kembali soundscape, terkait suara-suara apa saja yang layak didengar dan yang tidak. Hal ini menjadi penting guna meraih satu kehidupan yang lebih nyaman dan lebih utama lagi sehat.

Aris Setiawan
Etnomusikolog, Staf Pengajar di ISI Surakarta

Pengikut