Resensi Mahambara (dimuat di Majalah Gong edisi April 2010)

Resensi Mahambara


Tali tradisi, yang selama ini kita anggap telah hilang, mungkin hanya terputus, dan menunggu saat yang tepat untuk berani menyambungnya kembali. Itulah gambaran dari “Mahambara”. Sebuah kompilasi (album) CD karya dosen-dosen jurusan Karawitan ISI Surakarta. Dalam kaset ini seolah mewacanakan kembali bahwa tradisi hanyalah bahan mentah, yang dapat dimasak kembali dengan bumbu kreativitas, dan niscaya akan kembali menjadi menu santapan yang lebih lezat, fress.
Melihat instrumen dan teknik permainannya, semua nomor dalam album ini seolah mengais segala kemungkinan yang dapat dikembangkan dari medium tradisi, tidak begitu frontal memang. Sebut saja semua (sepuluh) nomor tersebut adalah Shalawat Rambu, Kotekan Lesung, Ler-leran, Lu Ro Ji Nem, Buka Sembarangan, Pak Tung Blang, Damai, Arus Monggang, Minulya, Barang Miring. Jangan kaget, seseorang yang belum pernah mendengarkan musik tradisi Jawa pada khususnya, pasti akan menganggap beberapa nomor yang ada adalah tampilan tradisi itu sendiri yang tanpa gubahan. Hal ini wajar, karena beberapa komposer hanya bergerak pada spektrum (meng)ornamentasi tradisi, bukan membuat karya baru.
Shalawat Rambu karya Waluyo menjadi menu pembuka. Karya ini membawa getaran Islam yang begitu pekat. Dengan mendudukkan tembang-tembang sholawat pada gending rambu dalam gamelan sekaten, Waluyo mengajak kita menapaki benang-benang sejarah masa silam. Melalui katya ini, Ia menjadikan sekaten ke makna awalnya, sebagai dakwah Islam.
Begitu pula Kotekan Lesung karya Sri Harto. Jika Waluyo menggunakan medium gendhing sekaten, Sri Harto menggunakan Lesung dalam dakwahnya. Dengan laras slendro, puji-pujian terhadap yang maha kuasa dilantunkan, diiringi pola-pola kotekan lesung dengan tempo yang konstan (ajeg). Tema yang sama –religi-pun munjul di Damai karya Sigit Astono. Dengan menggunakan mediun gitar bass, cak-cuk, kendang, vokal, serta dalam irama dan tema yang riang, karya Damai mengguratkan betapa agungnya sang Kristus.
Berikutnya adalah Ler-leran karya Sugimin dan Lurojinem karya Supardi. Kedua judul nomor ini memiliki kesamaan konteks. Sama-sama menunjuk pada wilayah tema musikal. Ler-leran adalah ler-iler, tembang yang begitu populer dikalangan masyarakat Jawa. Sedangkan Lurojimen adalah nada-nada dalam gamelan Jawa. Keduanya pun bermain di wilayah nada slendro. Dengan kombinasi irama dan sketsa instrumen yang sama, mengakibatkan kedua karya ini nampak berhubungan, mengalir.
Ditengah, Buka Sembarangan karya I Wayan Sadra dan Pak Tung Blang karya Cucup Cahripin membawa suasana semakin menghangat. Dengan irama, dinamika dan tempo yang lebih luwes, kedua karya ini memahat dua wilayah yang berbeda. Sadra dengan gubahan karya lamanya yang juga berjudul Buka Sembarangan mengguratkan aura Balinya, sedangkan Cucup Cahripin dengan warna Sundanya. Sayangnya, karya Sadra kali ini lebih terkesan pengulangan dari karya lamanya. Dengan tubuh bangunan musikal yang tetap sama, hanya penambahan irama (lambat) dan instrumen (biola, saxsophone) saja yang membedakannya.
Endingnya album ini ditutup oleh Arus Monggang karya Danis Sugiyanto, Minulya karya Darsono dan Barang Miring karya Bambang Sosodoro. Ketiganya berkutat pada wilayah musikal karawitan Jawa yang ketat. Yang unik adalah karya Danis Sugiyanto. Ia bermain di wilayah nada gamelan monggang yang sewajarnya dengan pola 1615 secara kontinyu. Namun apa jadinya jika salah satu nada dihilangkan? misal menjadi 1-15, 16-5, -61-,-6-5, dst. Dengan menghilangan satu atau beberapa nada tersebut ternyata Danis dapat memunculkan efek dan kesan yang berbeda, walaupun dalam takaran pulsa dan nada yang sama.
Semua nomor dalam album ‘Mahambara’ ini seolah menegaskan kembali bahwa tradisi belum mati. Banyak kemungkinan yang dapat digali di dalamnya. Atau justru sebaliknya, secara implisit, album kompilasi ini juga menghendaki perubahan-perubahan secara bertahap (pelan) pada tradisi. Karena terlalu frontal-pun dianggap belum saatnya. Namun jika dibiarkan itu-itu saja, tidakkah takut semakin lama juga akan semakin “mambasi”?.

Aris Setiawan
Etnomusikolog, Staf Pengajar di ISI Surakarta

Tidak ada komentar:

Pengikut