Keraton Bangkrut Eksistensi
Keraton atau kraton merupakan tempat seorang penguasa yakni raja atau ratu dalam menjalankan aktifitas pemerintahannya. Tak kurang dari 200 keraton bertebaran di bumi nusantara. Tentu saja setiap keraton pernah mengalami masa kejayaan. Tak tanggung-tanggung gaung masa keemasannya begitu mempesona hingga terkadang keluar dari batas-batas bumi Indonesia (baca sejarah Majapahit). Menerobos sekat-sekat pemikiran yang sempit dalam menempatkan supremasi keraton di nusantara sebagai pusat dari sebuah peradaban maju yang mutakhir.
Namun ironisanya,
di era milenium ini dominasi keraton tidak lagi dapat terlihat. Keraton
yang awalnya menjadi pusat dari medan penting sebuah peradaban
kebudayaan kemudian harus beralih menjadi gedung tua yang lapuk tanpa
eksistensi. Keraton hanya menjadi pajangan memori masa lampau. Sebatas
jembatan dalam menelisik sejarah penguasa berserta dinamika politik dan
legitimasi kekuasaan untuk mengkisahkan kejayaan, kekalahan dan
sekaligus kebangkrutan sebuah rezim.
Bangkrut
Ada
yang menarik dari perayaan pernikahan putri Sultan Hamengku Buwana X
kemarin (17-18 Oktober 2011). Di sela-sela pernikahan agung tersebut
Ketua Forum Keraton Raja Ternate Paduka Yang Mulia Sri Sultan Ternate
Joou Kolano Sultan Mudaffar Sjah ke 48 Alammakolano mengungkapkan
perlunya pemerintah menyusun undang-undang yang mengakui keistimewaan
keraton di seluruh nusantara. Tentu pernyataan tersebut bukannya tanpa
dasar. Dengan melihat detak hidup keraton saat ini, hanya di beberapa
lokus saja yang masih memiliki eksistensi, seperti Yogyakarta misalnya
karena ditopang sebagai daerah istimewa dengan penunjukan rajanya
sebagai gubernur. Selebihnya keraton telah beralih menjadi monumen dan
pajangan wisata, sebatas ditonton dan diabadikan lewat jepretan kamera.
Terlebih sang pemilik keraton –raja- yang awalnya memiliki kuasa penuh
dalam mengartikulasikan keraton sebagai pusat dari medan kekuasannya,
kini hanya tinggal kenangan. Ia tak ubahnya biksu tua penjaga kuil yang
rapuh, tanpa legitimasi serta kuasa dalam ‘kontrol-mengontrol’ stuktur
kebudayaan apalagi politik.
Bagi Surya Kencana dalam disertasinya yang berjudul Ritual, Heritage and Power in Contemporary Java: The Pasamuan Ageng and Pusaka of Keraton Surakarta Hadiningrat
(2007) keraton lebih dari sekedar tempat yang didiami oleh
bangunan-banguan kuno. Keraton adalah muara tempat bergumulnya berbagai
mitos. Keraton menyibak sensibilitas manusia akan sesuatu yang magis dan
sakral. Keraton pula yang menjadi tempat cikal-bakal lahirnya sejarah
politik dan dominasi kekuasan di negeri Ini. Keraton mengguratkan
sesuatu yang agung, suci dan religius. Hans Deang (1991) memandang
keraton sebagai simbol yang menyediakan pegangan hidup bagi masyarakat
pengikutnya. Keraton berusaha menjadi sosok yang menerjemahkan
bingkai-bingkai keagungan kuasa Tuhan dalam realitas kehidupan nyata.
Keraton adalah singasana suci yang dimiliki sang Raja. Tidak setiap
ruangan dapat dengan bebas ditembus dan dimasuki oleh semua orang.
Ruangan-ruangan tertentu menjadi begitu wingit dengan berbagai menu
legenda dan sesaji yang menyertainya. Oleh karena itu keratonlah yang
memperkuat keagungan mitos sang raja dalam tugasnya memayu hayuning bawana (menjaga perdamaian dunia).
Demi
tugas itu, hingga detik ini setiap penguasa membutuhkan tempat sebagai
legitimasi atas kuasa dan keagungannya. Sayangnya nama ‘keraton’ di era
yang lebih milenium ini dianggap tidak lagi mencerminkan kemodernan
zaman. Nama keraton direduksi menjadi ‘istana’ dalam mengkisahkan sebuah
rezim yang seolah lebih muthakir. Keraton hanya untuk sang raja masa
lalu sementara raja masa kini membutuhkan supremasi nama yang lebih
glamour dan populis. Istana Negara, Istana Merdeka, Istana Bogor. Istana
Cipanas, Istana Tampaksiring dan Istana Gedung Agung adalah hasil olah
pemikiran dalam mendekonstruksi mitos masa lampau akan sebuah keraton
yang dianggap lapuk dan basi.
Demi Sebuah Eksistensi
IGP Wiranegara lewat film dokumenter besutannya yang berjudul Pakubuana XII: Berjuang Untuk Sebuah Eksistensi
(2004) mengungkapkan bahwa sejarah seolah mengelabuhi masyarakat dengan
tidak mengungkap fakta-fakta yang berharga terkait peranan penting
keraton Surakarta dalam perjalanan bangsa Indonesia. Dalam menapaki
lajur kemerdekaan, aset-aset keraton diambil alih atas nama
nasionalitas. Persenjataan, mobil, kuda dan keretanya serta prajurit dan
barang penting lainnya diatas namakan milik bangsa Indonesia. Sayangnya
setelah ‘terjarah’, keraton menjelma sebagai bangunan tua yang tidak
lagi diperhatikan.
Persoalan ini agaknya tidak hanya sebatas
dihadapai oleh keraton Surakarta namun hampir semua keraton di segenap
penjuru nusantara. Aart van Beek (1990) berusaha menarasikan bagaimana
keraton-keraton di nusantara dengan rela melepas beban-beban tanggung
jawab kulturalnya demi terbentuknya negara kesatuan republik Indonesia.
Tanpa resistensi atau penolakan, keraton dengan rela pula memberikan
beban kuasanya yang paling berharga yakni legitimasi politik ke tangan
Republik. Masa indah dari awal terbentuknya negara Indonesia, adalah
masa akhir dari sebuah eksistensi keraton di nusantara.
Era baru
mengharuskan keraton menjadi bentuknya sebagai pajangan sejarah.
Klaim-klaim kejayaanya hanya menjadi mitos yang keropos, kalah bersaing
dengan mitos baru bentukan zaman yang lebih populis. Sejarah seolah
gagal mengingatkan sumbangan besar keraton. Lebih ironis lagi, dominasi
pergulatan politik saat ini menjadikan pemilik kuasa keraton –raja- bak
macan ompong. Hanya mampu menonton riuh ramainya persoalan negeri tanpa
diberi sejengkal wewenang untuk menyampaikan guratan pemikiran
politisnya. Singkatnya, kebangkrutan kuasa seorang raja menjadi
kebangkrutan dominasi keraton.
Dengung keraton sebagai warisan
masa lampau yang wajib dipertahankan hanya menjadi narasi pelipur lara
yang rawan reduksi arti. Para pemimpin negeri ini lebih disibukkan oleh
intrik politik dengan berbagai bentuknya seperti korupsi, kolusi,
kekerasan dan lupa menelisik lakon perjuangan keraton dalam pembentukan
negeri ini. Keraton hanya diukur dalam takaran uang, eksistensinya
sekadar mampu dilihat dalam kalkulasi jumlah seberapa banyak wisatawan
yang datang dan membidik lewat jepretan lensa kameranya. Perlahan
keraton terdekonstruksi secara kebendaan yang akan terus dipertahankan
sejauh menguntungkan dalam bisnis pariwisata. Sementara dominasi raja
dan para abdi dalem beserta perangkat keraton lainnya hanya
menjadi pemain pelengkap yang jika jujur diakui keberadaannya kini tidak
lagi dibutuhkan.
Begitulah narasi keraton nusantara di era
milenium ini. Kuasa politik tak mampu diraih sementara supremasi
kebudayaanpun luput dari genggaman. Kasihan!
Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta