Keraton Bangkrut Eksistensi (dimuat di Solopos edisi 16 November 2011)

 Keraton Bangkrut Eksistensi



Keraton atau kraton merupakan tempat seorang penguasa yakni raja atau ratu dalam menjalankan aktifitas pemerintahannya. Tak kurang dari 200 keraton bertebaran di bumi nusantara. Tentu saja setiap keraton pernah mengalami masa kejayaan. Tak tanggung-tanggung gaung masa keemasannya begitu mempesona hingga terkadang keluar dari batas-batas bumi Indonesia (baca sejarah Majapahit). Menerobos sekat-sekat pemikiran yang sempit dalam menempatkan supremasi keraton di nusantara sebagai pusat dari sebuah peradaban maju yang mutakhir.
Namun ironisanya, di era milenium ini dominasi keraton tidak lagi dapat terlihat. Keraton yang awalnya menjadi pusat dari medan penting sebuah peradaban kebudayaan kemudian harus beralih menjadi gedung tua yang lapuk tanpa eksistensi. Keraton hanya menjadi pajangan memori masa lampau. Sebatas jembatan dalam menelisik sejarah penguasa berserta dinamika politik dan legitimasi kekuasaan untuk mengkisahkan kejayaan, kekalahan dan sekaligus kebangkrutan sebuah rezim.   

Bangkrut  
Ada yang menarik dari perayaan pernikahan putri Sultan Hamengku Buwana X kemarin (17-18 Oktober 2011). Di sela-sela pernikahan agung tersebut Ketua Forum Keraton Raja Ternate Paduka Yang Mulia Sri Sultan Ternate Joou Kolano Sultan Mudaffar Sjah ke 48 Alammakolano mengungkapkan perlunya pemerintah menyusun undang-undang yang mengakui keistimewaan keraton di seluruh nusantara. Tentu pernyataan tersebut bukannya tanpa dasar. Dengan melihat detak hidup keraton saat ini, hanya di beberapa lokus saja yang masih memiliki eksistensi, seperti Yogyakarta misalnya karena ditopang sebagai daerah istimewa dengan penunjukan rajanya sebagai gubernur. Selebihnya keraton telah beralih menjadi monumen dan pajangan wisata, sebatas ditonton dan diabadikan lewat jepretan kamera. Terlebih sang pemilik keraton –raja- yang awalnya memiliki kuasa penuh dalam mengartikulasikan keraton sebagai pusat dari medan kekuasannya, kini hanya tinggal kenangan. Ia tak ubahnya biksu tua penjaga kuil yang rapuh, tanpa legitimasi serta kuasa dalam ‘kontrol-mengontrol’ stuktur kebudayaan apalagi politik.
Bagi Surya Kencana dalam disertasinya yang berjudul Ritual, Heritage and Power in Contemporary Java: The Pasamuan Ageng and Pusaka of Keraton Surakarta Hadiningrat (2007) keraton lebih dari sekedar tempat yang didiami oleh bangunan-banguan kuno. Keraton adalah muara tempat bergumulnya berbagai mitos. Keraton menyibak sensibilitas manusia akan sesuatu yang magis dan sakral. Keraton pula yang menjadi tempat cikal-bakal lahirnya sejarah politik dan dominasi kekuasan di negeri Ini. Keraton mengguratkan sesuatu yang agung, suci dan religius. Hans Deang (1991) memandang keraton sebagai simbol yang menyediakan pegangan hidup bagi masyarakat pengikutnya. Keraton berusaha menjadi sosok yang menerjemahkan bingkai-bingkai keagungan kuasa Tuhan dalam realitas kehidupan nyata. Keraton adalah singasana suci yang dimiliki sang Raja. Tidak setiap ruangan dapat dengan bebas ditembus dan dimasuki oleh semua orang. Ruangan-ruangan tertentu menjadi begitu wingit dengan berbagai menu legenda dan sesaji yang menyertainya. Oleh karena itu keratonlah yang memperkuat keagungan mitos sang raja dalam tugasnya memayu hayuning bawana (menjaga perdamaian dunia).
Demi tugas itu, hingga detik ini setiap penguasa membutuhkan tempat sebagai legitimasi atas kuasa dan keagungannya. Sayangnya nama ‘keraton’ di era yang lebih milenium ini dianggap tidak lagi mencerminkan kemodernan zaman. Nama keraton direduksi menjadi ‘istana’ dalam mengkisahkan sebuah rezim yang seolah lebih muthakir. Keraton hanya untuk sang raja masa lalu sementara raja masa kini membutuhkan supremasi nama yang lebih glamour dan populis. Istana Negara, Istana Merdeka, Istana Bogor. Istana Cipanas, Istana Tampaksiring dan Istana Gedung Agung adalah hasil olah pemikiran dalam mendekonstruksi mitos masa lampau akan sebuah keraton yang dianggap lapuk dan basi.

Demi Sebuah Eksistensi
IGP Wiranegara lewat film dokumenter besutannya yang berjudul Pakubuana XII: Berjuang Untuk Sebuah Eksistensi (2004) mengungkapkan bahwa sejarah seolah mengelabuhi masyarakat dengan tidak mengungkap fakta-fakta yang berharga terkait peranan penting keraton Surakarta dalam perjalanan bangsa Indonesia. Dalam menapaki lajur kemerdekaan, aset-aset keraton diambil alih atas nama nasionalitas. Persenjataan, mobil, kuda dan keretanya serta prajurit dan barang penting lainnya diatas namakan milik bangsa Indonesia. Sayangnya setelah ‘terjarah’, keraton menjelma sebagai bangunan tua yang tidak lagi diperhatikan.
Persoalan ini agaknya tidak hanya sebatas dihadapai oleh keraton Surakarta namun hampir semua keraton di segenap penjuru nusantara. Aart van Beek (1990) berusaha menarasikan bagaimana keraton-keraton di nusantara dengan rela melepas beban-beban tanggung jawab kulturalnya demi terbentuknya negara kesatuan republik Indonesia. Tanpa resistensi atau penolakan, keraton dengan rela pula memberikan beban kuasanya yang paling berharga yakni legitimasi politik ke tangan Republik. Masa indah dari awal terbentuknya negara Indonesia, adalah masa akhir dari sebuah eksistensi keraton di nusantara.
Era baru mengharuskan keraton menjadi bentuknya sebagai pajangan sejarah. Klaim-klaim kejayaanya hanya menjadi mitos yang keropos, kalah bersaing dengan mitos baru bentukan zaman yang lebih populis. Sejarah seolah gagal mengingatkan sumbangan besar keraton. Lebih ironis lagi, dominasi pergulatan politik saat ini menjadikan pemilik kuasa keraton –raja- bak macan ompong. Hanya mampu menonton riuh ramainya persoalan negeri tanpa diberi sejengkal wewenang untuk menyampaikan guratan pemikiran politisnya. Singkatnya, kebangkrutan kuasa seorang raja menjadi kebangkrutan dominasi keraton.
Dengung keraton sebagai warisan masa lampau yang wajib dipertahankan hanya menjadi narasi pelipur lara yang rawan reduksi arti. Para pemimpin negeri ini lebih disibukkan oleh intrik politik dengan berbagai bentuknya seperti korupsi, kolusi, kekerasan dan lupa menelisik lakon perjuangan keraton dalam pembentukan negeri ini. Keraton hanya diukur dalam takaran uang, eksistensinya sekadar mampu dilihat dalam kalkulasi jumlah seberapa banyak wisatawan yang datang dan membidik lewat jepretan lensa kameranya. Perlahan keraton terdekonstruksi secara kebendaan yang akan terus dipertahankan sejauh menguntungkan dalam bisnis pariwisata. Sementara dominasi raja dan para abdi dalem beserta perangkat keraton lainnya hanya menjadi pemain pelengkap yang jika jujur diakui keberadaannya kini tidak lagi dibutuhkan.
Begitulah narasi keraton nusantara di era milenium ini. Kuasa politik tak mampu diraih sementara supremasi kebudayaanpun luput dari genggaman. Kasihan!


Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta

Tidak ada komentar:

Pengikut