Menghadirkan Pahlawan Musik (dimuat di Suara Merdeka edisi 10 November 2011)

 Menghadirkan Pahlawan Musik 

 

Mengenang momentum hari pahlawan, banyak hal yang patut kita pertanyakan. Parameter apa yang dapat kita gunakan untuk mengukur sejauh mana refleksi dan semangat dalam menghargai para pahlawan terlukiskan saat ini? Ketika stabilitas domain yang lebih besar yakni politik, ekonomi terlebih hukum masih senantiasa menerima kritik, kiranya tidak berlebihan apabila seni menjadi tolok ukur utamanya. Bagi Suka Harjana (2004), standar nilai suatu bangsa terlukiskan dalam perkembangan tingkat seninya, di mana musik menjadi salah satu elemen yang cukup penting.
Setiap pembabakan sejarah Indonesia senantiasa ditandai dengan lahirnya musik tertentu. Begitu pula ketika momentum hari pahlawan dikumandangkan. Pada awalnya, musik-musik yang sifatnya patriotis begitu terselubung, menggema dari satu mulut ke mulut yang lain, satu daerah ke daerah lain hingga mencapai derajatnya sebagai musik nasionalis. Atau sebut saja sebagai musik (ke)pahlawan(an). Musik pahlawan tidak hanya dibuat dan diperuntukkan sebagai pemompa semangat para pahlawan kala perjuangan melawan penjajah diberlangsungkan. Lebih dari itu, musik pahlawan dibuat dan dihadirkan sebagai satu monumen tonggak sejarah, bahwa peristiwa besar pernah terjadi di bumi Pertiwi.
Halo-Halo Bandung, Surabaya, Hari Merdeka, Maju Tak Gentar dan lain sebagainya adalah lagu-lagu yang kehadirannya pernah menjadi saksi perjuangan negeri ini dalam merebut kemerdekaannya. Dengan mendengarkan lagu-lagu kepahlawanan tersebut, diharapkan akan menstimuli diri kita untuk kembali mengenang dan menghargai semangat nasionalis. Kemudian pertanyaanya, bagaimana keberadaan dan nasib lagu-lagu tersebut di masa kini?

Musik Pahlawan
Djohan (2005) menekankan bahwa musik adalah jembatan yang menghantarkan penikmatnya untuk mengenang memori baik tragedi, tonggak pengalaman hidup, orientasi cita-cita dan lain sebagainya. Dengan demikian, tidak jarang seseorang akan menangis, tertawa, bahkan stress jika mendengarkan sebuah musik tertentu karena rasa traumatik, haru dan senang akan pengalaman yang pernah dilaluinya. Seseorang memilih menyukai musik tertentu berarti secara tidak langsung ia menyatakan bahwa musik tersebut adalah cerminan dari keadaan dirinya. Contoh kecilnya, seorang pemuda-pemudi yang sedang dilanda asmara, tentu yang didengar adalah musik bertemakan cinta-cintaan. Atau bahkan ketika berduka atas kematian seseorang (saudara), yang didengar(kan) adalah lagu-lagu bertemakan religi. Kini, ketika momentum hari pahlawan tiba, apakah musik-musik pahlawan juga telah hadir kembali dalam rutinitas kehidupan kita dewasa ini? Jawabnya dapat ditebak, tidak.
Padahal, strategi dalam menempatkan musik sebagai salah satu katalisator yang menghubungkan manusia dengan momen sejarah boleh dikata cukup efisien. Bayangkan, tanpa harus pergi ke museum, monumen, galeri atau sengaja menghadirkan benda peninggalan sejarah lainnya, dengan hanya mendengarkan musik kepahlawanan, seolah kita diajak kembali untuk menjadi saksi sejarah perjuangan bangsa dan para pahlawan dalam merebut kemerdekaan kala itu.
Dengan demikian sebagai bentuknya yang tak kasat mata, intangible, musik justru memiliki kadar kandungan makna yang melimpah. Efeknya begitu besar, lebih menyentuh. Satu sisinya menjadi positif, tapi satu sisi yang lain dapat menjadi negatif jika digunakan oleh tangan yang salah. Misalnya, efek musik Marylin Manson di tahun 90-an­- yang membuat banyak kalangan pemuda waktu itu mencoba melakukan usaha bunuh diri ketika mendengarkannya. Berbanding terbalik ketika Bob Marley memproklamirkan musiknya yang secara aklamasi membawa pembaharuan bagi masyarakat Jamaika ke arah yang lebih baik.
Begitupun musik pahlawan di Indonesia. Misi utama yang diembannya adalah menyampaikan satu ruang naratif tentang deskripsi perjuangan pahlawan tempo dulu. Menjadi ironis karena kini musik-musik pahlawan tidak dapat menampakkan wujudnya secara lebih terbuka. Terhimpit pada ruangnya yang seolah begitu disakralkan. Berjalan di tempat tanpa mampu menerobos sekat-sekat ke arah yang lebih populis. Tergilas oleh varian budaya musik yang lebih mainstream, dengan menempatkan tema cinta-cintaan cenderung yang begitu transparan.

Pahlawan Musik?
Musik pahlawan tidak hanya dapat dimaknai pada satu spektrumnya yang sempit. Yang hanya ditujukan untuk mengenang perjuangan para pahlawan tempo dulu, alias masa lampau. Kini ketika zaman telah bergulir ke arah yang lebih ‘maju’, tidak tertutup kemungkinan untuk dapat mereduksi kembali keberadaan musik-musik pahlawan yang mungkin dewasa ini dirasa sudah mulai “membasi”. Dengan demikian, jika pada awalnya telah muncul pahlawan musik seperti Ismail Marzuki, Cornel Simanjuntak, W.R. Supratman dan lain sebagainya, sudah selayaknya kini dibutuhkan pahlawan-pahlawan musik baru yang lebih kreatif.
Namun demikian, seharusnya pula pemaknaan terhadap ‘pahlawan musik’ bukan berarti individu yang menciptakan musik nasionalis semata. Lebih dari itu, makna pahlawan musik telah mensublimasi ke arah yang lebih luas. Adalah individu-individu kreatif yang melalui musik mencoba melakukan perjuangan pembaharuan hidup, mendobrak ketidak mapanan melalui alunan dinamika teks musikalnya. Sebut saja Bob Marley di Jamika, John Lennon di Amerika atau Iwan Fals di Indonesia.
Mereka adalah musisi yang tidak menciptakan musik untuk semangat pertempuran melawan penjajah seperti era perjuangan merebut kemerdekaan dahulu kala. Namun, mereka lebih menekankan pada situasinya yang kontekstual. Bob Marley dengan semangat tema musiknya menentang anti rasis yang dikemudian hari membawa masyarakat Jamaika ke zaman perubahan. Atau Sex Pistol lewat syair-syair lagunya yang menyuarakan semangat anti kolonial, aborsi, kekejaman serta apartheit yang dikemudian hari mengharumkan namanya untuk senantiasa dikenal masyarakat Inggris. Begitu pun Iwan Fals di Indonesia, menjadi begitu anggun ketika bersuara lantang mengkritik penguasa dengan menyuarakan suara ketertindasan. Ia menjadi ‘penyambung lidah’ yang mewakili “seribu” kata hati rakyat Indonesia.
Ironis, kini tema-tema lagu yang demikian telah terkikis oleh budaya mainstream. Belum atau bahkan tidak ada individu yang rela mentasbihkan dirinya sebagai ‘pahlawan’ musik masa kini. Jika suara lantang Iwan Fals menggema di zaman orde baru, belum ada pengganti yang mampu bersuara se-nyaring itu di masa kini. Kalaupun ada hanya ekstase spiritual sesaat yang jejaknya hanya sepintas lalu saja.

Aris Setiawan
Etnomusikolog, Staf Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta

Tidak ada komentar:

Pengikut