Menghadirkan Pahlawan Musik
Mengenang momentum hari pahlawan, banyak hal yang patut kita pertanyakan. Parameter apa yang dapat kita gunakan untuk mengukur sejauh mana refleksi dan semangat dalam menghargai para pahlawan terlukiskan saat ini? Ketika stabilitas domain yang lebih besar yakni politik, ekonomi terlebih hukum masih senantiasa menerima kritik, kiranya tidak berlebihan apabila seni menjadi tolok ukur utamanya. Bagi Suka Harjana (2004), standar nilai suatu bangsa terlukiskan dalam perkembangan tingkat seninya, di mana musik menjadi salah satu elemen yang cukup penting.
Setiap pembabakan sejarah Indonesia senantiasa ditandai
dengan lahirnya musik tertentu. Begitu pula ketika momentum hari
pahlawan dikumandangkan. Pada awalnya, musik-musik yang sifatnya
patriotis begitu terselubung, menggema dari satu mulut ke mulut yang
lain, satu daerah ke daerah lain hingga mencapai derajatnya sebagai
musik nasionalis. Atau sebut saja sebagai musik (ke)pahlawan(an). Musik
pahlawan tidak hanya dibuat dan diperuntukkan sebagai pemompa semangat
para pahlawan kala perjuangan melawan penjajah diberlangsungkan. Lebih
dari itu, musik pahlawan dibuat dan dihadirkan sebagai satu monumen
tonggak sejarah, bahwa peristiwa besar pernah terjadi di bumi Pertiwi.
Halo-Halo Bandung, Surabaya, Hari Merdeka, Maju Tak Gentar
dan lain sebagainya adalah lagu-lagu yang kehadirannya pernah menjadi
saksi perjuangan negeri ini dalam merebut kemerdekaannya. Dengan
mendengarkan lagu-lagu kepahlawanan tersebut, diharapkan akan menstimuli
diri kita untuk kembali mengenang dan menghargai semangat nasionalis.
Kemudian pertanyaanya, bagaimana keberadaan dan nasib lagu-lagu tersebut
di masa kini?
Musik Pahlawan
Djohan
(2005) menekankan bahwa musik adalah jembatan yang menghantarkan
penikmatnya untuk mengenang memori baik tragedi, tonggak pengalaman
hidup, orientasi cita-cita dan lain sebagainya. Dengan demikian, tidak
jarang seseorang akan menangis, tertawa, bahkan stress jika mendengarkan
sebuah musik tertentu karena rasa traumatik, haru dan senang akan
pengalaman yang pernah dilaluinya. Seseorang memilih menyukai musik
tertentu berarti secara tidak langsung ia menyatakan bahwa musik
tersebut adalah cerminan dari keadaan dirinya. Contoh kecilnya, seorang
pemuda-pemudi yang sedang dilanda asmara, tentu yang didengar adalah
musik bertemakan cinta-cintaan. Atau bahkan ketika berduka atas kematian
seseorang (saudara), yang didengar(kan) adalah lagu-lagu bertemakan
religi. Kini, ketika momentum hari pahlawan tiba, apakah musik-musik
pahlawan juga telah hadir kembali dalam rutinitas kehidupan kita dewasa
ini? Jawabnya dapat ditebak, tidak.
Padahal, strategi dalam
menempatkan musik sebagai salah satu katalisator yang menghubungkan
manusia dengan momen sejarah boleh dikata cukup efisien. Bayangkan,
tanpa harus pergi ke museum, monumen, galeri atau sengaja menghadirkan
benda peninggalan sejarah lainnya, dengan hanya mendengarkan musik
kepahlawanan, seolah kita diajak kembali untuk menjadi saksi sejarah
perjuangan bangsa dan para pahlawan dalam merebut kemerdekaan kala itu.
Dengan demikian sebagai bentuknya yang tak kasat mata, intangible,
musik justru memiliki kadar kandungan makna yang melimpah. Efeknya
begitu besar, lebih menyentuh. Satu sisinya menjadi positif, tapi satu
sisi yang lain dapat menjadi negatif jika digunakan oleh tangan yang
salah. Misalnya, efek musik Marylin Manson di tahun 90-an-
yang membuat banyak kalangan pemuda waktu itu mencoba melakukan usaha
bunuh diri ketika mendengarkannya. Berbanding terbalik ketika Bob Marley
memproklamirkan musiknya yang secara aklamasi membawa pembaharuan bagi
masyarakat Jamaika ke arah yang lebih baik.
Begitupun musik
pahlawan di Indonesia. Misi utama yang diembannya adalah menyampaikan
satu ruang naratif tentang deskripsi perjuangan pahlawan tempo dulu.
Menjadi ironis karena kini musik-musik pahlawan tidak dapat menampakkan
wujudnya secara lebih terbuka. Terhimpit pada ruangnya yang seolah
begitu disakralkan. Berjalan di tempat tanpa mampu menerobos sekat-sekat
ke arah yang lebih populis. Tergilas oleh varian budaya musik yang
lebih mainstream, dengan menempatkan tema cinta-cintaan cenderung yang
begitu transparan.
Pahlawan Musik?
Musik
pahlawan tidak hanya dapat dimaknai pada satu spektrumnya yang sempit.
Yang hanya ditujukan untuk mengenang perjuangan para pahlawan tempo
dulu, alias masa lampau. Kini ketika zaman telah bergulir ke arah yang
lebih ‘maju’, tidak tertutup kemungkinan untuk dapat mereduksi kembali
keberadaan musik-musik pahlawan yang mungkin dewasa ini dirasa sudah
mulai “membasi”. Dengan demikian, jika pada awalnya telah muncul
pahlawan musik seperti Ismail Marzuki, Cornel Simanjuntak, W.R.
Supratman dan lain sebagainya, sudah selayaknya kini dibutuhkan
pahlawan-pahlawan musik baru yang lebih kreatif.
Namun demikian,
seharusnya pula pemaknaan terhadap ‘pahlawan musik’ bukan berarti
individu yang menciptakan musik nasionalis semata. Lebih dari itu, makna
pahlawan musik telah mensublimasi ke arah yang lebih luas. Adalah
individu-individu kreatif yang melalui musik mencoba melakukan
perjuangan pembaharuan hidup, mendobrak ketidak mapanan melalui alunan
dinamika teks musikalnya. Sebut saja Bob Marley di Jamika, John Lennon
di Amerika atau Iwan Fals di Indonesia.
Mereka adalah musisi yang
tidak menciptakan musik untuk semangat pertempuran melawan penjajah
seperti era perjuangan merebut kemerdekaan dahulu kala. Namun, mereka
lebih menekankan pada situasinya yang kontekstual. Bob Marley dengan
semangat tema musiknya menentang anti rasis yang dikemudian hari membawa
masyarakat Jamaika ke zaman perubahan. Atau Sex Pistol lewat
syair-syair lagunya yang menyuarakan semangat anti kolonial, aborsi,
kekejaman serta apartheit yang dikemudian hari mengharumkan namanya
untuk senantiasa dikenal masyarakat Inggris. Begitu pun Iwan Fals di
Indonesia, menjadi begitu anggun ketika bersuara lantang mengkritik
penguasa dengan menyuarakan suara ketertindasan. Ia menjadi ‘penyambung
lidah’ yang mewakili “seribu” kata hati rakyat Indonesia.
Ironis,
kini tema-tema lagu yang demikian telah terkikis oleh budaya mainstream.
Belum atau bahkan tidak ada individu yang rela mentasbihkan dirinya
sebagai ‘pahlawan’ musik masa kini. Jika suara lantang Iwan Fals
menggema di zaman orde baru, belum ada pengganti yang mampu bersuara
se-nyaring itu di masa kini. Kalaupun ada hanya ekstase spiritual sesaat
yang jejaknya hanya sepintas lalu saja.
Aris Setiawan
Etnomusikolog, Staf Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar