Agama dan Penampilan Punk (dimuat di Solopos edisi 23 Desember 2011)

Agama dan Penampilan Punk 


 
Beberapa waktu lalu ramai diperbincangkan oleh media cetak maupun elektronik tentang tindakan polisi di Kota Banda Aceh yang menangkap 65 pemuda dari sebuah konser amal punk-rock di Taman Budaya Banda Aceh (10 Desember 2011). Polisi menahan mereka dengan alasan sikap dan penampilan mereka seperti gaya rambut "Mohawk" dan memakai tindikan di beberapa bagian wajah, dianggap sebagai sebuah ancaman terhadap nilai-nilai ideologi bangsa. Dengan dalih pembinaan, para punker berambut mohawk tersebut dicukur paksa, tindikan dicopot. Tak hanya itu, mereka juga harus menjalani pelatihan ala militer, direndam di kubangan air, dijemur di bawah terik matahari. Persoalannya kemudian adakah yang salah dengan punk lewat musik, penampilan dan gaya hidupnya?

Belajar dari Punk
Ahmad Fikri Hadi (2008) dan Ronald Byrnside (1975) menjelaskan bahwa punk sebagai sebuah aliran musik lahir di Inggris pada tahuan 1970-an. Hal ini dimotori oleh grub band Inggris Sex Pistol yang dalam setiap kali konsernya selalu didatangi oleh anak-anak muda berpenampilan eksentrik. Lewat lagunya yang berjudul “Anarchy in U.K.”, Sex Pistol bersuara lantang dalam mengkritik peningkatan jumlah pengangguran di pinggiran kota-kota Inggris (terutama generasi muda), serta kondisi keterpurukan ekonomi Inggris sekitar tahun 1976-1977. Tidak jelas memang dari mana asal kata ‘punk’ itu muncul. Tapi secara garis besar kelompok punk senantiasa meluapkan kemarahan-kemarahan yang diwujudkan lewat musik dengan tema berisi lirik-lirik resistensial terhadap kemapanan dan penguasa, serta protes sosial politik yang dianggapnya melenceng seperti korupsi, kolusi, nepotisme, perusakan lingkungan, deskriminasi dan kekerasan.
Tak hanya dalam konteks bermusik saja, kelompok punk biasanya menandai diri mereka lewat penampilannya yang unik seperti rambut mohawk ala suku Indian, atau dipotong ala feathercut dan dicat dengan warna-warna yang terang, sepatu boots, rantai dan spike, jaket kulit, celana jeans ketat dan baju yang lusuh. Semua menunjukkan jati diri anti kemapanan. Mereka berpegang pada pedoman hidup ‘do it your self’, bahwa segala sesuatu dapat dilakukan dengan mandiri tanpa campur tangan pihak lain. Hal itu terlihat dalam usaha menyebar dan merekam musiknya secara indie, konser musiknya pun terbatas dengan didanai dan diselenggarakan secara mandiri.
Uniknya, Dylan Clark lewat tulisannya “The Death and Life of Punk, The Last Subculture” (2003) memandang bahwa sebenarnya musik punk adalah aliran bunyi yang paling jujur dalam menyuarakan ketertindasan diri. Oleh karena itu tak jarang kelompok musik punk dianggap sebagai virus yang mengganggu stabilitas suatu negara lewat kerasnya lirik lagu yang mereka bawakan, sebut saja misalnya group Ramones, The Clash, Buzzcocks, Sex Pistol, Joy Division, The Fall, Dead Kennedys. Punk menjadi katalisator ideal dalam meluapkan akumulasi kepahitan hidup di saat media dan musik lainnya ‘mati rasa’ serta bersolek begitu glamour dengan hanya memburu pamrih semata. Punk memberi tauladan berharga, yang terkadang suara liriknya lebih pedas dan mampu didengar oleh sang otoritas (negara) dari pada suara sumbang demonstrasi ribuan rakyat.
Berjuang lewat punk, ibarat ibadah dalam agama. Punk menjadi aliran musik yang paling lantang dan ‘keras’, bahkan oleh kaum musik underground lainnya dianggap sebagai ‘ideologi berhaluan kiri’. Punk menjadi medium kritik yang mahal dalam melawan kuatnya spirit musik pop saat itu (bahkan hingga kini) yang hanya mengandalkan kekuatan lirik romantis, asmara dan cinta-cintaan semata. Punk tak ubahnya lagu kritikan Iwan Fals, John Lennon, Bob Marley, sepaham walau tak sebadan. Punk merupakan contoh ideal dalam perjuangan lewat musik, yang kini sangat jarang kita jumpai di Indonesia. Oleh karena itu dengan melihat ‘keras’nya punk di antara ingar-bingar musik-musik yang ‘glamour’ saat ini, tak heran jika punk ala Indonesia justru tereduksi sebagai kaum militan, perman, ditakuti dan dianggap meresahkan stabilitas masyarakat hingga oleh sang penguasa (atas nama agama) keberadaannya harus dimusnahkan.

Anarkis
Mencekal pelaku musik punk berarti juga tidak dikehendaki lahirnya punk sebagai musik. Padahal sebagai sebuah hasil olah kreatif, musik punk telah melalui sinergi yang pekat dengan zamannya hingga membentuk karakter dan kharismanya yang khas. Harusnya mampu menjadi simbol contoh panutan pergerakan musik (kritik) muthakhir. Namun, tak jarang kita jumpai segerombolan pemuda yang berpenampilan atas nama ‘punk’ bertindak anarkis ala preman, brutal, meresahkan. Hal inilah yang sering menjadi tanda tanya kita akan anak punk, dandanan (penampilan) mereka yang nyleneh kadang mengkaburkan idealisme seni dan kenyataan hidup. Terlebih diperparah dengan keberadaan punk di Indonesia yang masih belum mampu menunjukkan tajinya sebagai musik kritik yang tajam, sehingga otomatis masyarakat memusatkan perhatiannya hanya pada aspek penampilan semata dengan penuh kecurigaan dan keresahan. Tak pernah berjumpa dengan indahnya tema bunyi yang mereka ciptakan.
Itulah yang mendasari perlakuan polisi dan Pemda Aceh dalam menangkap kelompok pemuda atas nama ‘punk’. Hanya karena rambutnya yang mohawk, anting dan bajunya yang kusut, seperti preman, kemudian tanpa tindakan dan prosedur hukum yang jelas harus dieksekusi secara sepihak. Hal ini mengingatkan kita ketika rezim orde baru, di mana Petrus di masa Soeharto harus membunuh orang hanya karena orang tersebut bertato dan gondrong, tanpa ada proses hukum. Atau militer di tahun 60-an yang menciduk dan membantai sebagian orang karena disangka PKI tanpa pernah ada pembuktian dan peradilan. Pertanyaannya kemudian, apakah mereka kelompok punk sudah diadili dan disidangkan terlebih dahulu? Telah ditentukan kadar kesalahannya? Pasal apa yang mereka langgar?
Wakil Walikota Aceh Illiza Sa’aduddin Djamal sebagaimana dilansir kompas.com (14 Desember 2011) menolak keberadaan komunitas anak punk karena meresahkan masyarakat dan dikhawatirkan mempengaruhi generasi muda di daerah itu. Apabila logika tersebut yang dipakai, terkesan berlebihan jika hanya karena ‘prasangka’ masyarakat yang merasa resah dengan penampilan mereka kemudian menjadi dasar untuk menangkap, menahan, menggunduli, merendam di air kotor, menjemur, mendidik ala tentara. Pun apabila logika itu dibenarkan, kita dapat mengajukan asumsi akan keresahan kita ketika melihat gerombolan aliran Islam garis keras ada di sekeliling kita, yang berjubah, berjenggot panjang dan bercelana cingrang. Lalu kita lapor polisi dan menuntut agar jenggot mereka dipangkas habis, karena penampilan mereka yang demikian telah begitu meresahkan.
Hal itu tentu saja tidak dapat dilakukan, karena menghukum berdasarkan prasangka jelas tidak dibenarkan, harus dibuktikan kebenarannya. Sama halnya, tak boleh menghukum Islam berdasar prasangka Islam itu teroris, orang Asia tak dapat dilecehkan hanya karena prasangka beda ras dan kualitas dari orang Eropa, orang hitam tak boleh direndahkan hanya karena prasangka warna kulitnya, sama halnya anak-anak punk tak boleh diperlakukan dengan semena-mena atas prasangka kepremanannya. Sejarah, perkembangan dan dedikasi positif punk harusnya dapat digunakan sebagai acuan, pijakan dan referensi dalam melakukan pembinaan yang ideal tanpa harus dengan kekerasan.

Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta

Bagai Srikandi (dimuat di Joglosemar edisi 22 Desember 2011)

Bagai Srikandi


 
Lazim kita jumpai, ibu dan pahlawan-pahlawan wanita masa kini dianalogikan “bagai Srikandi”. Tentu pelukisan semacam ini bukannya tanpa maksud, namun sarat akan bingkai penaknaan kultural atau bahkan mungkin yang transenden. Srikandi, sosok wanita dalam epos wayang Mahabarata yang tradisional itu kini abadi dalam percaturan icon mutakhir. Seperti apa Srikandi, dan kenapa harus Srikandi?

Ia yang Maskulin
Banyak stereotip muncul bahwa perempuan masa kini telah memasuki jaman keemasannya. Ia tidak lagi harus terkungkung dalam ‘ketiak’ kaum Adam yang konon memiliki kuasa dalam ‘kontrol-mengkontrol’ kehidupannya, seperti zaman Kartini atau Siti Nurbaya dulu. Di banyak kasus, perempuan seringkali memberikan solusi bagi apa yang tidak bisa diselesaikan oleh laki-laki. Lihatlah Srikandi, ia menjadi pusat dari medan penting pemegang jalannya cerita Mahabarata. Ia adalah satu-satunya perempuan yang berhasil menyelesaikan tugas besar yang tidak mampu dituntaskan oleh pihak laki-laki, membunuh Resi Bisma (Kurawa).
Ia menjadi simbol perempuan dengan dualisme karakter, gagah sekaligus feminim. Gagah ketika hanya dia satu-satunya orang yang mampu membunuh resi Bisma di pihak Kurawa dengan berjibaku di medan perang Kuruka Setra. Dan begitu feminim, lembut ketika menempatkan dirinya sebagai istri atau pendamping hidup dari Arjuna si ksatria Pandawa itu. Srikandi adalah sosok figur perempuan idaman. Karakternya dikagumi dan dipuja. Ia memberi ilham sekaligus guratan pesan bahwa perempuan mampu menjadi apapun, melampaui batas-batas yang selama ini menjadi sekat akan kreativitasnya.
Namun jika kita tenggok jauh pada realitas panggung tradisi, taukah kita bahwa tokoh Srikandi yang monumental itu justru lebih elok diperankan oleh laki-laki, bukannya perempuan. Nah, kenapa demikian?

Muara Hawa dan Adam
Srikandi adalah muara bertemunya dua karakter manusia. Ia merupakan percampuran dalam dikotomi sang Hawa dan Adam. Ia adalah abu-abu, tidak menginduk pada satu karakter yang pasti. Ia memiliki kelainan persona, berwajah cantik namun memiliki kekuatan ksatria. Atipikal, ia dapat merubah perannya menjadi saling silang, perempuan dan laki-laki.
Dalam epos cerita yang dikisahkan oleh ki Slamet Gundono yang juga pernah ditulis oleh Joko Gombloh (2005), Srikandi pernah menikah dengan seorang putri dan memiliki anak. Syahdan, setibanya Srikandi di Imantaka, ia melihat seorang putri yang akan dimakan oleh raksasa. Srikandi menyelamatkannya dengan merubah ujudnya menjadi laki-laki. Karena kemampuannya mengalahkan raksasa itu, ia diperlakukan dan dihormati layaknya laki-laki dan dikawinkan dengan putri Imantaka, memiliki anak bernama Niwatakwaca. Cerita serupa juga pernah ditulis oleh Seno Gumira A (2000), Srikandi memiliki nama laki-laki yakni “Sikhandi”. Nama itu digunakan ketika dirinya berubah ujud menjadi laki-laki.
 Kompleksitas karakter yang dimiliki oleh Srikandi inilah menyebabkan tidak semua penari mampu memerankan penokohannya dalam dunia wayang wong maupun tari di Jawa. Hanya orang-orang tertentu yang memiliki ‘kelebihan’ -kalau bukannya ‘kelainan’- saja yang mampu memerankannya. Bukan perempuan, bukan pula laki-laki, namun perpaduan di antara keduanya. Ya! Merekalah yang cross gender, laki-laki dengan sikapnya yang keperempuanan (James L Peacock, 1967).
Begitu banyak penari laki-laki di Solo yang sangat mempesona memerankan tokoh Srikandi. Tengoklah bagaimana Didhik Nini Thowok begitu elok memerankannya dalam pentas berjudul ‘Srikandi’ di Gedung Kesenian Jakarta (17 Mei 2011) lalu. Atau lihat pula bagaimana Gembong Hari Wibowo, seorang laki-laki berkepala plontos yang sehari-harinya berperan sebagai Srikandi setiap kali pentas wayang wong Sriwedari diberlangsungkan. Ia sangat terkenal, dan begitu piawai memerankan sosok Srikandi (gong, 2005). Ia mampu menjiwai, memiliki karakter feminim layaknya perempuan dengan bersikap dan bersuara. Namun, ia tidak pula bisa melepaskan beban-beban kultural dengan kodratnya sebagai sang Adam. Terlepas dari itu, hal yang lebih penting, bagaimana semangat militansi perjuangan yang dimilikinya mampu memberi inspirasi bagi perempuan-perempuan Indonesia masa kini.

Sumber Inspirasi
Srikandi banyak memberikan tafsir akan kebudayaan. Ia adalah sumber inspirasi untuk apapun, bahkan yang transenden sekalipun. Demi memerankannya dengan sempurna, laki-laki harus berias layaknya perempuan. Bahkan, gejala semacam ini juga dapat kita jumpai di Bugis, Sulawesi Selatan. Lelaki mendandani tubuh serta sifatnya seperti perempuan untuk dapat menjadi bissu, yakni penjaga pusaka kerajaan, pemimpin upacara ritual. Peran yang tidak bisa dilakukan oleh laki-laki dan permpuan biasa. Hanya yang memiliki jiwa  “Srikandi”lah yang mampu
Di Jawa, laki-laki yang ‘menSrikandikan’ dirinya dapat dijumpai pada kesenian Lengger sebagai sarana upacara ritual. Pengejung pada seni Remoh di Madura. Pada titik ini, perempuan sejati bukannya tidak mampu. Justru sebaliknya, kesrikandian memberikan satu jalan bagi laki-laki untuk mengarungi sisi kehidupan yang lain, menjelma sebagai sebuah kodrat budaya transenden yang keberadaannya tak dapat ditiadakan. Bukan lagi mempermasalahkan bagaimana ujud Srikandi itu, tapi bagaimana semangat, jiwa lembut namun tegas dan berwibawalah yang menjadi syarat serta ilham bagi semuanya.
Namun sayang, adakalanya makna Srikandi dewasa ini cenderung dangkal. Ia ditafsir hanya dalam konteks ujud, benda, material atau ketubuhannya semata, tanpa mampu menangkap militansi pemaknaan kultural pada keunikan karakternya. Lihatlah kefeminiman kini dimainkan, dielaborasi bahkan dieksploitasi laki-laki. Di layar kaca, mereka memperempuankan dirinya, yang kadang melebihi ambang batas. Ke “Srikandian” hanyalah teknik dan strategi dalam meraih popularitas semata.
Padahal, lebih dari itu, sosok Srikandi tergurat bukan untuk melegalkan akan tafsir kultural yang abu-abu terhadap makna keperempuanan. Srikandi hanya salah satu contoh lorong kecil yang menggambarkan bagaimana perempuan dan laki-laki adalah satu –menyatu-. Ia muara dari yang unik, bahwa laki-laki dan perempuan adalah sama,  memiliki peran dan tanggung jawab sama dengan tidak ada yang lebih tinggi atau rendah di antaranya. Itulah tafsir dan pemaknaan yang mencoba ditelurkan dari keniscayaan karakter dalam sosoknya.

Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta

Kebudayaan di Garis Margin(al) (dimuat di Koran Joglosemar edisi 1 Desember 2011)

Kebudayaan di Garis Margin(al) 


 
Tidak banyak yang mengetahui bagaimana bentuk ekspresi kebudayaan di garis perbatasan NKRI dengan negara lain. Selama ini kita lebih akrab dan mengenal kebudayaan yang berpusat pada seting wilayah tertentu yang lebih populer. Sementara itu, bukan rahasia lagi, kebanyakan ekspresi budaya pada ‘wilayah margin’ itu kurang mendapat perhatian khusus dari pemerintah. Padahal garis margin konon merupakan pintu awal atau wajah yang menghantarkan dalam memasuki belantara penampilan budaya (suku) bangsa Indonesia yang lebih kompleks. Cermin ketangguhan, kebesaran dan kemajuan suatu bangsa harusnya nampak pada kualitas kebudayaan di wilayah-wilayah yang tergolong margin itu.

Garis Margin
Beberapa waktu lalu kita disibukkan dengan berita dilema posisi batas wilayah Indonesia dengan negara lain terutama Malaysia yang senantiasa bergeser. Fokus utama penanganannya lebih pada penguatan keamanan dengan menambah prajurit TNI untuk menjaga garis batas itu, sementara pada sisi kesejahteraan masyarakat Indonesia paling pinggir itu tidak pernah terpikirkan. Sehingga bukan rasia lagi, masyarakat margin tersebut cenderung cuek ketika posisi batas bergeser, mereka lebih disibukkan dengan mencari kesejahteraan diri yang konon di negara tetangga lebih menjanjikan untuk hidup. Oleh karenanya banyak masyarakat Indonesia yang beralih kewarganegaraan karena dirasa lebih menjanjikan.
Masyarakat margin selama ini dianggap marginal. Mereka yang lebih dekat dan menggantungkan hidupnya dari hutan maupun laut dianggap sebagai makhluk primitif yang tak berbudaya. Padahal mereka sebenarnya adalah cendela yang memperlihatkan sekaligus mencerminkan wajah dari tubuh NKRI yang sejatinya. Berbagai penguatan harusnya dilakukan, tidak hanya dalam domain keamanan semata. Lebih dari itu, aspek kebudayaan justru menjadi spektrum yang tak kalah penting dalam usaha pembentukan jatidiri yang baik.
Pesoalan tersebut menjadi topik perbincangan hangat di berbagai kalangan budayawan akhir-akhir ini. Bahkan Pascasarjana Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, secara khusus menyediakan forum seminar nasional dua kali berturut-turut untuk tema ini pada tanggal 15 Desember 2010 dan 24 November 2011 kemarin. Beberapa pakar kebudayaan dihadirkan seperti Prof. Tjetjep Rohendi Rohidi, Prof. Rahayu Supanggah dan Endo Suanda MA dan Prof. Dr Sri Hastanto.
Membicarakan NKRI berarti membaca akan satu kompleksitas ‘batasan’ wilayah yang di dalamnya terdapat beraneka ragam suku-bangsa dalam balutan pulau-pulau. Sementara wilayah garis margin adalah garda depan dalam menampilkan wajah ke-Indonesian. Namun, ia pula yang akan menjadi tumbal pertama ketika dua negara atau lebih sedang terlibat sengketa, layaknya pada kasus perbatasan Korea Utara dan Selatan serta Malaysia dan Indonesia pada akhir-akhir ini. Dengan demikian, harusnya wilayah-wilayah pada garis margin ini memiliki posisi tawar kebudayaan dan peradaban yang lebih maju.
Banyak makanan atau kuliner, pakaian adat, upacara adat, seni, arsitektur, kearifan lokal yang khas dimiliki oleh mereka. Sayangnya hal tersebut selama ini tidak terekam dengan baik. Sementara apabila dilakukan penguatan pada salah satu diantaranya, bukan satu hal yang mustahil kemudian akan menjadi citra positif yang dapat diunggulkan pada dunia. Terlebih jika perangkat kebudayaan tersebut masuk menjadi menu utama dalam pendidikan, tentu akan sangat membanggakan. Pemikiran semacam ini bagi Sri Hastanto (2011) adalah solusi ideal dalam mengatasi masalah pelik yang beberapa dekade ini dihadapi masyarakat wilayah Indonesia pada garis margin itu. Mereka dapat menghidupi dirinya dengan layak ketika keunikan, kekhasan, kekuatan lokal mampu dimunculkan dan diwacanakan dengan luas hingga menarik perhatian media dan pemerintah untuk senantiasa bersinergi lewat regulasi kebudayaan dan pariwisata yang konstruktif.
Bahkan usulan Hastanto disambut dengan baik oleh kementerian pendidikan dan kebudayaan untuk mendirikan sekolah tinggi seni pada tahun 2012 mendatang di beberapa daerah batas margin yang selama ini dianggap memiliki potensi untuk diolah, koservasi dan dikembangkan. Dengan demikian daerah yang selama ini dianggap margin tidak lagi marginal. Mampu bersaing dengan wilayah lainnya yang selama ini dianggap glamour dan ideal.

Dekonstruksi Budaya
Pandangan yang selama ini menganggap bahwa daerah perbatasan yang paling marginal dari seluruh wilayah NKRI, tidaklah sepenuhnya benar. Dalam peradaban kotapun sejatinya banyak kebudayaan yang termarginalkan. Kebudayaan Banyumas, Cilacap, Magelang, Brebes adalah daerah yang termarginalkan di antara ingar-bingar kebudayaan Jawa dengan Yogja dan Solo sebagai pusatnya. Atau Betawi dengan Jakarta sebagai sentralnya.
Ironisnya, suatu kebudayaan dikatakan lebih maju jika memiliki sistem klasifikasi yang lebih kompleks dan terstruktur. Bagaimana strata Priyayi, Santri dan Abangan di Jawa terutama Yogja dan Solo dianggap sebagai sebuah hierarki hasil olah kebudayaan yang adiluhung dibanding dengan Banyumas atau Magelang atau daerah perbatasan yang cenderung kerakyatan.
Bagaimana juga dengan kesenian keraton yang dianggap berkelas karena memiliki sistem praktek yang kompleks dan konstruktif dibanding dengan lainnya. Bahasa Jawa Solo yang terdiri dari berbagai tingkatan struktur itu (alus, krama, ngoko, inggil dan lain sebagainya) dianggap hasil dari olah kebudayaan yang lebih mapan atau elit. Sementara bahasa Banyumasan atau Surabayan dianggap sebagai bahasa kerakyatan yang kasar. Oleh karena itu tidak heran bila hingga kini bahasa yang terstruktur tersebut menjadi satu mata pelajaran wajib di berbagai sekolah di Jawa, mengalahkan bahasa lokal di lokus yang sebenarnya.
Yang tak bernama dianggap tak jelas, yang tak beraturan dianggap tak bernilai, yang tak kompleks dianggap tak bermutu. Kebudayaan dengan konsep-konsepnya yang dapat dijelaskan sampai pada bagian-bagian terkecil dianggap sebagai kebudayaan yang terbaik, beradab (civilization) sementara yang lain layaknya di daerah perbatasan adalah ‘marginal’. Oleh karena itu, kadang jika seseorang yang tidak bisa mengikuti tatacara dari kebudayaan ‘kasta tinggi’ itu, maka dengan serta-merta ia dicap sebagai ‘kampungan’ alias ‘primitif’. Hal ini yang mengispirasi Trans TV menggunakan kata ‘Primitif Runaway’ sebagai tajuk salah satu acaranya dengan menganggap masyarakat margin itu kolot dan kuno. Judul acara tersebut kemudian beralih menjadi ‘ethnic runaway’ setelah mendapat kritik dari berbagai kalangan.
Dengan demikian sudah selayaknya kita mendekostruksi kebudayaan dengan stereotipnya yang demikian dan menempatkannya dalam satu ruang kesetaraan, karena tidak ada yang lebih baik ataupun rendah di antaranya.


Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta

Pengikut