Bagai Srikandi
Lazim kita jumpai, ibu dan pahlawan-pahlawan wanita masa kini dianalogikan “bagai Srikandi”. Tentu pelukisan semacam ini bukannya tanpa maksud, namun sarat akan bingkai penaknaan kultural atau bahkan mungkin yang transenden. Srikandi, sosok wanita dalam epos wayang Mahabarata yang tradisional itu kini abadi dalam percaturan icon mutakhir. Seperti apa Srikandi, dan kenapa harus Srikandi?
Ia yang Maskulin
Banyak stereotip muncul bahwa perempuan masa kini telah memasuki jaman keemasannya. Ia tidak lagi harus terkungkung dalam ‘ketiak’ kaum Adam yang konon memiliki kuasa dalam ‘kontrol-mengkontrol’ kehidupannya, seperti zaman Kartini atau Siti Nurbaya dulu. Di banyak kasus, perempuan seringkali memberikan solusi bagi apa yang tidak bisa diselesaikan oleh laki-laki. Lihatlah Srikandi, ia menjadi pusat dari medan penting pemegang jalannya cerita Mahabarata. Ia adalah satu-satunya perempuan yang berhasil menyelesaikan tugas besar yang tidak mampu dituntaskan oleh pihak laki-laki, membunuh Resi Bisma (Kurawa).
Ia menjadi simbol perempuan dengan dualisme karakter, gagah sekaligus feminim. Gagah ketika hanya dia satu-satunya orang yang mampu membunuh resi Bisma di pihak Kurawa dengan berjibaku di medan perang Kuruka Setra. Dan begitu feminim, lembut ketika menempatkan dirinya sebagai istri atau pendamping hidup dari Arjuna si ksatria Pandawa itu. Srikandi adalah sosok figur perempuan idaman. Karakternya dikagumi dan dipuja. Ia memberi ilham sekaligus guratan pesan bahwa perempuan mampu menjadi apapun, melampaui batas-batas yang selama ini menjadi sekat akan kreativitasnya.
Namun jika kita tenggok jauh pada realitas panggung tradisi, taukah kita bahwa tokoh Srikandi yang monumental itu justru lebih elok diperankan oleh laki-laki, bukannya perempuan. Nah, kenapa demikian?
Muara Hawa dan Adam
Srikandi adalah muara bertemunya dua karakter manusia. Ia merupakan percampuran dalam dikotomi sang Hawa dan Adam. Ia adalah abu-abu, tidak menginduk pada satu karakter yang pasti. Ia memiliki kelainan persona, berwajah cantik namun memiliki kekuatan ksatria. Atipikal, ia dapat merubah perannya menjadi saling silang, perempuan dan laki-laki.
Dalam epos cerita yang dikisahkan oleh ki Slamet Gundono yang juga pernah ditulis oleh Joko Gombloh (2005), Srikandi pernah menikah dengan seorang putri dan memiliki anak. Syahdan, setibanya Srikandi di Imantaka, ia melihat seorang putri yang akan dimakan oleh raksasa. Srikandi menyelamatkannya dengan merubah ujudnya menjadi laki-laki. Karena kemampuannya mengalahkan raksasa itu, ia diperlakukan dan dihormati layaknya laki-laki dan dikawinkan dengan putri Imantaka, memiliki anak bernama Niwatakwaca. Cerita serupa juga pernah ditulis oleh Seno Gumira A (2000), Srikandi memiliki nama laki-laki yakni “Sikhandi”. Nama itu digunakan ketika dirinya berubah ujud menjadi laki-laki.
Kompleksitas karakter yang dimiliki oleh Srikandi inilah menyebabkan tidak semua penari mampu memerankan penokohannya dalam dunia wayang wong maupun tari di Jawa. Hanya orang-orang tertentu yang memiliki ‘kelebihan’ -kalau bukannya ‘kelainan’- saja yang mampu memerankannya. Bukan perempuan, bukan pula laki-laki, namun perpaduan di antara keduanya. Ya! Merekalah yang cross gender, laki-laki dengan sikapnya yang keperempuanan (James L Peacock, 1967).
Begitu banyak penari laki-laki di Solo yang sangat mempesona memerankan tokoh Srikandi. Tengoklah bagaimana Didhik Nini Thowok begitu elok memerankannya dalam pentas berjudul ‘Srikandi’ di Gedung Kesenian Jakarta (17 Mei 2011) lalu. Atau lihat pula bagaimana Gembong Hari Wibowo, seorang laki-laki berkepala plontos yang sehari-harinya berperan sebagai Srikandi setiap kali pentas wayang wong Sriwedari diberlangsungkan. Ia sangat terkenal, dan begitu piawai memerankan sosok Srikandi (gong, 2005). Ia mampu menjiwai, memiliki karakter feminim layaknya perempuan dengan bersikap dan bersuara. Namun, ia tidak pula bisa melepaskan beban-beban kultural dengan kodratnya sebagai sang Adam. Terlepas dari itu, hal yang lebih penting, bagaimana semangat militansi perjuangan yang dimilikinya mampu memberi inspirasi bagi perempuan-perempuan Indonesia masa kini.
Sumber Inspirasi
Srikandi banyak memberikan tafsir akan kebudayaan. Ia adalah sumber inspirasi untuk apapun, bahkan yang transenden sekalipun. Demi memerankannya dengan sempurna, laki-laki harus berias layaknya perempuan. Bahkan, gejala semacam ini juga dapat kita jumpai di Bugis, Sulawesi Selatan. Lelaki mendandani tubuh serta sifatnya seperti perempuan untuk dapat menjadi bissu, yakni penjaga pusaka kerajaan, pemimpin upacara ritual. Peran yang tidak bisa dilakukan oleh laki-laki dan permpuan biasa. Hanya yang memiliki jiwa “Srikandi”lah yang mampu
Di Jawa, laki-laki yang ‘menSrikandikan’ dirinya dapat dijumpai pada kesenian Lengger sebagai sarana upacara ritual. Pengejung pada seni Remoh di Madura. Pada titik ini, perempuan sejati bukannya tidak mampu. Justru sebaliknya, kesrikandian memberikan satu jalan bagi laki-laki untuk mengarungi sisi kehidupan yang lain, menjelma sebagai sebuah kodrat budaya transenden yang keberadaannya tak dapat ditiadakan. Bukan lagi mempermasalahkan bagaimana ujud Srikandi itu, tapi bagaimana semangat, jiwa lembut namun tegas dan berwibawalah yang menjadi syarat serta ilham bagi semuanya.
Namun sayang, adakalanya makna Srikandi dewasa ini cenderung dangkal. Ia ditafsir hanya dalam konteks ujud, benda, material atau ketubuhannya semata, tanpa mampu menangkap militansi pemaknaan kultural pada keunikan karakternya. Lihatlah kefeminiman kini dimainkan, dielaborasi bahkan dieksploitasi laki-laki. Di layar kaca, mereka memperempuankan dirinya, yang kadang melebihi ambang batas. Ke “Srikandian” hanyalah teknik dan strategi dalam meraih popularitas semata.
Padahal, lebih dari itu, sosok Srikandi tergurat bukan untuk melegalkan akan tafsir kultural yang abu-abu terhadap makna keperempuanan. Srikandi hanya salah satu contoh lorong kecil yang menggambarkan bagaimana perempuan dan laki-laki adalah satu –menyatu-. Ia muara dari yang unik, bahwa laki-laki dan perempuan adalah sama, memiliki peran dan tanggung jawab sama dengan tidak ada yang lebih tinggi atau rendah di antaranya. Itulah tafsir dan pemaknaan yang mencoba ditelurkan dari keniscayaan karakter dalam sosoknya.
Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar