Kebudayaan di Garis Margin(al) (dimuat di Koran Joglosemar edisi 1 Desember 2011)

Kebudayaan di Garis Margin(al) 


 
Tidak banyak yang mengetahui bagaimana bentuk ekspresi kebudayaan di garis perbatasan NKRI dengan negara lain. Selama ini kita lebih akrab dan mengenal kebudayaan yang berpusat pada seting wilayah tertentu yang lebih populer. Sementara itu, bukan rahasia lagi, kebanyakan ekspresi budaya pada ‘wilayah margin’ itu kurang mendapat perhatian khusus dari pemerintah. Padahal garis margin konon merupakan pintu awal atau wajah yang menghantarkan dalam memasuki belantara penampilan budaya (suku) bangsa Indonesia yang lebih kompleks. Cermin ketangguhan, kebesaran dan kemajuan suatu bangsa harusnya nampak pada kualitas kebudayaan di wilayah-wilayah yang tergolong margin itu.

Garis Margin
Beberapa waktu lalu kita disibukkan dengan berita dilema posisi batas wilayah Indonesia dengan negara lain terutama Malaysia yang senantiasa bergeser. Fokus utama penanganannya lebih pada penguatan keamanan dengan menambah prajurit TNI untuk menjaga garis batas itu, sementara pada sisi kesejahteraan masyarakat Indonesia paling pinggir itu tidak pernah terpikirkan. Sehingga bukan rasia lagi, masyarakat margin tersebut cenderung cuek ketika posisi batas bergeser, mereka lebih disibukkan dengan mencari kesejahteraan diri yang konon di negara tetangga lebih menjanjikan untuk hidup. Oleh karenanya banyak masyarakat Indonesia yang beralih kewarganegaraan karena dirasa lebih menjanjikan.
Masyarakat margin selama ini dianggap marginal. Mereka yang lebih dekat dan menggantungkan hidupnya dari hutan maupun laut dianggap sebagai makhluk primitif yang tak berbudaya. Padahal mereka sebenarnya adalah cendela yang memperlihatkan sekaligus mencerminkan wajah dari tubuh NKRI yang sejatinya. Berbagai penguatan harusnya dilakukan, tidak hanya dalam domain keamanan semata. Lebih dari itu, aspek kebudayaan justru menjadi spektrum yang tak kalah penting dalam usaha pembentukan jatidiri yang baik.
Pesoalan tersebut menjadi topik perbincangan hangat di berbagai kalangan budayawan akhir-akhir ini. Bahkan Pascasarjana Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, secara khusus menyediakan forum seminar nasional dua kali berturut-turut untuk tema ini pada tanggal 15 Desember 2010 dan 24 November 2011 kemarin. Beberapa pakar kebudayaan dihadirkan seperti Prof. Tjetjep Rohendi Rohidi, Prof. Rahayu Supanggah dan Endo Suanda MA dan Prof. Dr Sri Hastanto.
Membicarakan NKRI berarti membaca akan satu kompleksitas ‘batasan’ wilayah yang di dalamnya terdapat beraneka ragam suku-bangsa dalam balutan pulau-pulau. Sementara wilayah garis margin adalah garda depan dalam menampilkan wajah ke-Indonesian. Namun, ia pula yang akan menjadi tumbal pertama ketika dua negara atau lebih sedang terlibat sengketa, layaknya pada kasus perbatasan Korea Utara dan Selatan serta Malaysia dan Indonesia pada akhir-akhir ini. Dengan demikian, harusnya wilayah-wilayah pada garis margin ini memiliki posisi tawar kebudayaan dan peradaban yang lebih maju.
Banyak makanan atau kuliner, pakaian adat, upacara adat, seni, arsitektur, kearifan lokal yang khas dimiliki oleh mereka. Sayangnya hal tersebut selama ini tidak terekam dengan baik. Sementara apabila dilakukan penguatan pada salah satu diantaranya, bukan satu hal yang mustahil kemudian akan menjadi citra positif yang dapat diunggulkan pada dunia. Terlebih jika perangkat kebudayaan tersebut masuk menjadi menu utama dalam pendidikan, tentu akan sangat membanggakan. Pemikiran semacam ini bagi Sri Hastanto (2011) adalah solusi ideal dalam mengatasi masalah pelik yang beberapa dekade ini dihadapi masyarakat wilayah Indonesia pada garis margin itu. Mereka dapat menghidupi dirinya dengan layak ketika keunikan, kekhasan, kekuatan lokal mampu dimunculkan dan diwacanakan dengan luas hingga menarik perhatian media dan pemerintah untuk senantiasa bersinergi lewat regulasi kebudayaan dan pariwisata yang konstruktif.
Bahkan usulan Hastanto disambut dengan baik oleh kementerian pendidikan dan kebudayaan untuk mendirikan sekolah tinggi seni pada tahun 2012 mendatang di beberapa daerah batas margin yang selama ini dianggap memiliki potensi untuk diolah, koservasi dan dikembangkan. Dengan demikian daerah yang selama ini dianggap margin tidak lagi marginal. Mampu bersaing dengan wilayah lainnya yang selama ini dianggap glamour dan ideal.

Dekonstruksi Budaya
Pandangan yang selama ini menganggap bahwa daerah perbatasan yang paling marginal dari seluruh wilayah NKRI, tidaklah sepenuhnya benar. Dalam peradaban kotapun sejatinya banyak kebudayaan yang termarginalkan. Kebudayaan Banyumas, Cilacap, Magelang, Brebes adalah daerah yang termarginalkan di antara ingar-bingar kebudayaan Jawa dengan Yogja dan Solo sebagai pusatnya. Atau Betawi dengan Jakarta sebagai sentralnya.
Ironisnya, suatu kebudayaan dikatakan lebih maju jika memiliki sistem klasifikasi yang lebih kompleks dan terstruktur. Bagaimana strata Priyayi, Santri dan Abangan di Jawa terutama Yogja dan Solo dianggap sebagai sebuah hierarki hasil olah kebudayaan yang adiluhung dibanding dengan Banyumas atau Magelang atau daerah perbatasan yang cenderung kerakyatan.
Bagaimana juga dengan kesenian keraton yang dianggap berkelas karena memiliki sistem praktek yang kompleks dan konstruktif dibanding dengan lainnya. Bahasa Jawa Solo yang terdiri dari berbagai tingkatan struktur itu (alus, krama, ngoko, inggil dan lain sebagainya) dianggap hasil dari olah kebudayaan yang lebih mapan atau elit. Sementara bahasa Banyumasan atau Surabayan dianggap sebagai bahasa kerakyatan yang kasar. Oleh karena itu tidak heran bila hingga kini bahasa yang terstruktur tersebut menjadi satu mata pelajaran wajib di berbagai sekolah di Jawa, mengalahkan bahasa lokal di lokus yang sebenarnya.
Yang tak bernama dianggap tak jelas, yang tak beraturan dianggap tak bernilai, yang tak kompleks dianggap tak bermutu. Kebudayaan dengan konsep-konsepnya yang dapat dijelaskan sampai pada bagian-bagian terkecil dianggap sebagai kebudayaan yang terbaik, beradab (civilization) sementara yang lain layaknya di daerah perbatasan adalah ‘marginal’. Oleh karena itu, kadang jika seseorang yang tidak bisa mengikuti tatacara dari kebudayaan ‘kasta tinggi’ itu, maka dengan serta-merta ia dicap sebagai ‘kampungan’ alias ‘primitif’. Hal ini yang mengispirasi Trans TV menggunakan kata ‘Primitif Runaway’ sebagai tajuk salah satu acaranya dengan menganggap masyarakat margin itu kolot dan kuno. Judul acara tersebut kemudian beralih menjadi ‘ethnic runaway’ setelah mendapat kritik dari berbagai kalangan.
Dengan demikian sudah selayaknya kita mendekostruksi kebudayaan dengan stereotipnya yang demikian dan menempatkannya dalam satu ruang kesetaraan, karena tidak ada yang lebih baik ataupun rendah di antaranya.


Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta

Tidak ada komentar:

Pengikut