Empu di Tengah Peradaban (dimuat di Solopos edisi 10 Maret 2012)

 Empu di Tengah Peradaban



Beberapa waktu lalu Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta memberikan gelar ‘empu batik’ pada Santosa Doelah (29/02/2012). ISI Surakarta menjadi satu-satunya institusi pendidikan seni pertama di Indonesia yang memberikan gelar tersebut pada sosok atau tokoh tertentu yang dianggap memiliki kredibilitas tinggi dalam bidang seni. Empu dalam narasi sejarah Jawa merupakan abstraksi ketokohan yang tidak nyata. Keberadaannya tidak pernah dikukuhkan dalam semangat ingar-bingar pesta apalagi dalam wisuda formal akademis. Masyarakatlah yang memberi kuasa dalam legitimasi atas gelar itu.
Walau tak bersentuhan dan dilahirkan dalam rahim institusi formal, justru dari para empulah ruang-ruang pemikiran intelektualitas kebudayaan dan terurama kesenian dicetuskan. FX Fidaryanto (2009) menuturkan bahwa di masa lalu pendirian perguruan tinggi seni diampu oleh para seniman alam yang nyaris tak tersentuh pendidikan akademik. Mereka adalah pemegang otoritas kesenimanan yang mendapatkan pengakuan dari masyarakat yang tak lain adalah para empu. Lihatlah ASRI Yogyakarta dengan Affandi, ASKI Surakarta dengan Martopangrawit, ASTI Bandung dengan Enoch Atmadibrata, Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta dengan Djaduk Djajakusuma, Konservatori Karawitan Surakarta dengan Sindusawarno dan Konservatori Tari Yogyakarta dengan Hardjosoebroto.
Pandangan dan pemikiran para empu menjadi gudang ilmu pengetahun yang belum terejawantah dan terumuskan. Tugas institusi pendidikan seni yang kemudian meresapi, mempelajari dan menjadikannya nyata sebagai bangunan ilmu. Tak mengherankan kemudian jika Santosa Doelah digadang-gadang mampu menularkan pemikiran-pemikiran serta guratan konsep dan kekaryaan batik terhadap generasi muda masa kini. Lembaga pendidikan formal semacam ISI Surakarta mengambil kesempatan itu dengan segera membuka program studi baru yakni ‘batik’, menempatkan sosok Santosa Doelah sebagai bintangnya.
Terlepas dari kepentingan tersebut, menjadi menarik kiranya untuk diketahui kembali tentang guratan jejak empu dalam tradisi Jawa, serta sejauh mana kontribusi nyata dari eksistensinya? Adakah perlakuan-perlakuan khusus dan hak istimewa terhadap gelar itu, layaknya guru besar atau doktor misalnya? Formulasi seperti apa sehingga seseorang layak mendapat gelar empu?

Praktik dan Pengalaman
Menarik kiranya menilik pandangan yang diletupkan oleh RM Soedarsono (1994), menaganggap bahwa menjadi doktor dan sarjana -terutama seni- itu lebih mudah dari pada menjadi seorang empu. Menurutnya, seorang empu sudah pasti menguasai dan qatam pernak-pernik bidang yang dikuasainya, sedangkan seorang doktor belum tentu dan kadang hanya mampu dalam rutinitas ruang teoritis semata. Empu tidak ditempa dengan pendidikan yang penuh teori, namun lebih mengandalkan kemampuan praktik dan pekatnya pengalaman secara langsung. Otoritas karya yang dihasilkan lebih bermutu dan berbobot, karena bidang yang digelutinya adalah denyut yang menghidupinya. Empu ada dan besar dari dunia seni yang disemainya.
Dalam jejak sejarah keempuan Jawa, Waridi dalam salah satu bukunya berjudul Martopangrawit: Empu Karawitan Gaya Surakarta (2001) dengan lugas menyatakan bahwa Martopangrawit boleh dikata menjadi satu-satunya empu di Jawa –Surakarta- yang dibekali kemampuan ganda. Martopangrawit tidak hanya mafhum dalam dunia paktik karawitan secara paripurna namun juga mampu menularkan gagasan dan konsep pemikirannya secara jenius, runtut dan gamblang. Oleh karena itu, banyak teori-teori karawitan Jawa lahir atas pemikirannya, lewat tulisan dan ulasan analisis kritisnya. Sementara empu-empu karawitan yang lain justru sibuk dalam distorsi kekaryaan semata. Martopangrawit menjadi pilar yang menyangga degub berdirinya ASKI Surakarta terutama Jurusan Karawitan. Bahkan konsep pemikiran dan metodologi kekaryaannya masih menjadi rujukan penting hingga saat ini.
Sebutan empu bagi para tokoh seni mungkin terlalu Jawa sentris. Oleh karenanya pemahaman terhadap nilai-nilai arif konsep dan kekaryaan yang digoreskan kadang tak mampu terwacanakan dalam kompleksitas pemikiran nasional apalagi mendunia. Sebutan empu kemudian cair lalu menyublim menjadi aneka rasa gelar intelektual semacam sarjana, magister, doktor dan guru besar. Empu yang sejatinya justru semakin tereliminasi dalam ingar bingar dunia intelektualitas mutakhir. Empu kembali pada habitus akar tradisinya yang jika jujur diakui telah tersisih dalam realitas kehidupan nyata saat ini, secara masif tak lagi mendapat tempat dalam bangku sekolahan. Sejarah yang dibangun oleh Martopangrawit, Affandi, Hardjosoebroto tak tertampung dalam khasanah intelektual mutakhir. Kontribusinya lebih banyak mengabdikan diri dan hidup di luar tembok kampus.
Dalam peta sejarahnya, kuasa dan legitimasi keempuan seseorang justru tertampung lewat konstelasi keraton. Sebutan empu awalnya dicetak dan lahir dalam terminologi kemaestroan musisi dan seniman keraton. Martopangrawit misalnya, tidak hadir serta merta dianggap sebagai empu. Namun telah didasarkan atas pergulatan tajam dengan dunia yang digelutinya yakni karawitan dengan sebelumnya memegang sertifikat miji dari keraton (Waridi,2005).
Miji adalah abdi dalem niyaga keraton yang dengan sah oleh komisi keraton dinyatakan telah memiliki kemampuan atau spesisalisasi dalam memainkan instrumen depan seperti rebab, kendang, atau gender. Para musisi karawitan yang mampu mendapatkan sertifikat tersebut adalah sosok yang menjadi panutan. Dianggap memiliki kelebihan dibanding dengan para musisi pada umumnya. Bahkan tak jarang pemegang sertifikat tersebut di antaranya dapat dikategorikan sebagai empu. Martopangrawit, Mlayawidodo, Warsadiningrat, Tjakrawarsita adalah salah satunya. Keempuan mereka tidak semata qatam dalam memainkan gamelan, namun juga menjadi mahzab mutakhir perkembangan karawitan terutaman di Jawa dan Surakarta pada khususnya.
Selebihnya seniman-seniman di luar tembok keraton dengan intuisi dan kemampuan sebanding kadang luput dari jepretan lensa kata empu. Nartosabdo misalnya, apakah ia seorang empu? Pada zaman keemasannya dianggap sosok nyleneh, eksentrik, aneh, kolot, urakan oleh kalangan seniman keraton karena kegenitan dan kenakalannya dalam berkarya. Ia dihujat pada zamannya namun dipuja sesudahnya. Ia salah satu pendobrak tradisi keraton yang dianggapnya stagnan. Barulah kemudian lewat pandangan dan gebrakan kekaryaan ia dikultuskan sebagai empu pedalangan paling mahsyur dan belum tergantikan hingga saat ini.

Formulasi
Bagong Kussudiharjo dalam artikelnya berjudul Tari Gaya Yogyakarta Krisis Empu (1994) menjelaskan bahwa empu adalah orang yang mencurahkan segala daya hidupnya terhadap bidang seni yang digelutinya. Dengan demikian empu sejatinya sebuah pilihan hidup. Untuk itu seorang empu sebenarnya tidak dapat dicetak apalagi oleh pendidikan formal. Ia lahir dengan sendirinya dan masyarakatlah yang mengkultuskannya.
Geliat pengakuan keempuan seseorang memang belum terformulasikan. ISI Surakarta yang mencoba membangunkan kembali wacana keempuan seseorang sudah selayaknya memberi garis dan formulasi ideal terkait dengan bagaimana dan seperti apa batasan sosok empu dewasa ini. Apa yang didapat setelah seseorang menerima predikat empu juga belum terwacanakan secara bernas apalagi dalam kacamata kajian ilmiah. Hanya sekedar embel-embel pemanis semata, atau mampu berperan optimal dalam ruang pendidikan layaknya Martopangrawit dulu? Pertanyaan-pertanyaan itu wajar ditujukan pada ISI Surakarta, agar gelar empu yang telah digelontorkan tidak lagi sumir tujuan, banal arti, atau bahkan sekedar euforia dan pesta semata. Namun memiliki pandangan dan konsep yang dapat dipertanggungjawabkan dengan sahih.

Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta

Solo Gila Kirab (dimuat di Koran Joglosemar edisi 10 Maret 2012)

Solo Gila Kirab 


 
Dalam beberapa tahun terakhir Solo mendadak menjadi kota yang sesak dengan berbagai macam kirab. Semua mengambil dalih imaji kultural sebagai ajangnya. Sepak terjang Jokowi selaku walikota  Solo, memoles kirab sebagai solusi ideal dalam berbagai aspek tak terkecuali politik, hukum, ekonomi dan bahkan mungkin kebudayaan. Deal-deal politik-ekonomi yang selama ini bermuara pada stereotip kekerasan justru dengan sangat lentur mampu terpecahkan lewat sesaji kirab. Lihatlah kemudian bagaimana kirab boyongan pedagang pasar Windujenar, dari lokasi pasar darurat di kawasan Taman Sriwedari hingga ke lokasi bangunan baru Pasar Windujenar di kawasan Ngarsapura pada 2009 lalu. Kirab kala itu menjadi penanda ritual yang penuh nalar kedamaian. Mendekostruksi aroma kekerasan, menepikan rasa arogansi untuk saling mengerti. Hal tersebut yang justru jarang kita jumpai di wilayah lain Indonesia untuk kasus serupa masa kini. Kirab menjelma sebagai katalisator yang mencairkan kebuntuan hidup di abad XXI. Apapun kemudian dapat dikirab, bahkan mobil Esemkapun tak luput olehnya (28/02/12). Pertanyaannya kemudian, bagaimana jika kirab yang agung itu harus tereduksi dengan wajahnya yang glamour? Wajah yang telah bersolek menjadi ambisi proyek sekaligus investasi penuh pamrih yang setiap saat menyapa kita di kota Solo, bak jamur di musim hujan.

Glamour
Pada awalnya, kuasa pemegang kirab hanya dimiliki oleh pusat-pusat pemerintahan yang memegang peranan penting dalam domain kebudayaan. Solo dan Yogya menjadi barometer dalam konteks ini. Supremasi keraton menunjukkan keagungannya lewat simbol-simbol ritual yang penuh makna (Surya Kenchana, 2007). Menghipnotis publik dengan menempatkan aura keratonis sebagai muara dari pegangan hidup yang sarat akan mitos. Kirab adalah salah satunya. Dalam wikipedia, secara sederhana dapat kita ketahui bahwa kirab berarti sebuah prosesi dalam mengarak atau mempertontontan sesuatu (benda) yang sakral kepada publik yang biasanya dimiliki oleh suatu kerajaan atau keraton, dilangsungkan pada hari, bulan dan tahun tertentu. Kirab sebagai penanda bahwa detak hidup keraton masih berdegub.
Kirab menjadi legitimasi kebesaran keraton. Ia begitu sakral dan pekat dengan nalar pikir yang cenderung transenden, kadang tak mampu ditembus dengan logika awam. Simak bagaimana kirab kebo bule keraton dengan kotorannya yang menjadi ributan warga. Atau air jamasan dari pusaka keraton setelah dikirab yang konon menjadi minuman penuh berkah, vitalitas dan menyehatkan. Menyembuhkan segala macam penyakit yang melebihi mahalnya obat dari resep dokter masa kini. Kirab menjelma sebagai jembatan yang menjadikan tiran kuatnya mitos atas logika.
Namun, sejak keraton (Solo) mengalami kebangkrutan eksistensi kebudayaan, kirab digiring dan diambil alih oleh kaum-kaum pemegang otoritas yang lebih memiliki supremasi. Kirab dirias menjadi begitu glamour. Menepikan berbagai mitos dan membuatnya lebih populis. Penentuan waktu tak lagi penting. Kirab menjadi model anak turun kebudayaan berbau pesanan. Semua forum dan peristiwa dapat dikirab kapanpun sejauh menguntungkan. Lihatlah bagaimana ASEAN ParaGames Solo harus dikirab tanggal 14 Desember 2011 lalu, Kirab Parlemen Asia dalam Kegiatan Asian Parliamentary Assembly (APA) atau Konferensi Parlemen Asia (KPA) di Solo (28 September 2011), Kirab Solo Membatik (3 Oktober 2011), Kirab Larung Sikerta (19 Oktober 2011), Kirab Kongres PSSI (9 Juli 2011), dan seabreg kirab lainnya. Ataubahkan jika anda memiliki kepentingan dan dana, silahkan mengajukan diri untuk dikirab.
Kirab tidak lagi bersuara lantang dalam menunjukkan eksistensi akar tradisi kultural. Kirab sarat akan berbagai kepentingan politis ekonomi dalam usaha menjadikan kota Solo sebagai lahan subur bisnis pelancongan dan pariwisata. Bisnis ini tentu saja hanya menyanjung beberapa gelitir pihak yang dengan tekun menyemai pundi-pundi keuntungan. Selebihnya kepentingan pubik (Solo) diabaikan. Masyarakat hanya dijejali dengan ‘tontonan kirab’ yang kini cenderung membosankan. Memacetkan jalan-jalan kota Solo, muaranya kembali pada masyarakat lagi yang harus dirugikan sekaligus dikorbankan hanya untuk kuasa pihak-pihak pemegang kepentingan. Kirab telah kehilangan legitimasi pemaknaan kultural.

Keramaian
Anderson Sutton (1996) dan Shin Nakagawa (1999) memandang bahwa masyarakat Indonesia gemar akan keramaian. Segala peristiwa dianggap berhasil jika menunjukkan eksistensinya dalam format keramaian yang memuncak. Tak heran kemudian sebuah acara atau peristiwa dianggap sukses jika mampu menyedot animo masyarakat luas. Semakin ramai menandakan peristiwa yang bersangkutan bersekala besar. Klaim-klaim peristiwa dan momen acara yang demikian menjadi siasat dalam merebut antuasias publik kota Solo dewasa ini. Kirab menjadi korban akan hal itu. Ia dianggap sebagai sebuah momen yang mampu menunjukkan denyut keagungan penguasa masa kini walau takjarang ada pamrih tersembunyi yang coba digapai. Ekstase Solo sebagai kota budaya justru semakin memberi titik terang utuk melegalkan kepentingan terselubung dengan dalih atas nama kirab.
Uniknya, di kala Solo telah beranjak menjauh meninggalkan segala romantisme kirab keraton yang sarat mitos. Justru pada wilayah-wilayah di luar batas kuasa Solo berusaha mengelaborasi kirab ala keraton yang dianggapnya sebagai pegangan hidup yang adi luhung. Lihatlah kemudian di berbagai daerah Jawa (Magetan, Seragen, Nganjuk, Ponorogo, Madiun, Blitar, Jember) mencipta kirab dengan pekatnya bumbu-bumbu mitos yang sebelumnya tidak pernah ada. Tumpeng berbentuk gunungan kembar yang berbalut hasil bumi kemudian harus dikirab, diperebutkan banyak masyarakat seolah mengikuti jejak-jejak kejayaan keraton Solo-Yogya masa silam. Kirab memang telah menjadi virus keramaian publik-penguasa mutakhir abad ini. Tak jelas dalam menunjukkan jatidirinya sebagai peristiwa budaya atau hanya sekadar geliat ekstase berbagai tempelan kepentingan semata.
Solo sudah selayaknya berbenah. Kembalikan kirab pada ruang dan wacana yang sejatinya. Konstruksi pikir sebagai kota pusat budaya harusnya mampu menciptakan ruang-ruang yang baru dan lebih kreatif tanpa harus mendekonstruksi dan mengorbankan yang lama dengan akarnya yang kuat. Memang pada konteks ini nuansa kirab yang mentradisi (keratonis) masih dipertahankan. Namun dengan membuncahnya berbagai kirab baru, tentu akan menepikan kesakralan dan keagungan yang telah ada sebelumnya. Di sisi lain, kemonotonan kirab menjadikan kejenuhan bagi publik, yang harus berkorban waktu dan bahkan mungkin materi atas efek yang ditimbulkannya. Tak heran jika kemudian Solo dianggap sebagai kota yang ‘gila’ kirab.

Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta

STKW dalam Harapan dan Kepahitan Baru Pendidikan Seni Jawa Timur (dimuat di Radar Surabaya edisi 3 Maret 2012)

STKW dalam Harapan dan Kepahitan Baru Pendidikan Seni Jawa Timur



 
STKW (Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta) Surabaya pada Januari 2012 kemarin tidak lagi berada di bawah suatu yayasan swasta tertentu. Namun ia telah diambil alih Pemerintah Propinsi Jawa Timur dalam naungan Dinas Pariwisata dengan menjadikannya salah satu UPT (Unit Penunjang Teknis). Angin perubahan telah berhembus. Jika berkaca pada sejarah, detak hidup yang dialami satu-satunya sekolah tinggi seni (pertunjukan dan seni rupa) di Jawa Timur itu memang berada dalam persimpangan nalar yang mengenaskan. Di balik ekstase dan militansi berbagai festival budaya, Jawa Timur tidak ditopang dengan konstruksi pilar institusi pendidikan seninya yang kokoh. Banyak karya seni monumental lahir tapi miskin katalisator pewacanaan pada publik. Banyak festival dan forum seni digelar namun sedikit yang mampu terdokumentasi dalam ruang kajian yang lebih analitis. Jawa Timur berpacu dalam roda penciptaan seni pertunjukan namun aus dalam narasi kritik.
Oleh karena itu, awalnya STKW digadang-gadang mampu menjadi palang pintu yang memegang kendali keseimbingan antara hasrat berkarya dengan lahirnya kritikus serta peneliti seni yang handal. Ironisnya, ia justru lebih khusyuk hanya dalam nostalgia kekaryaan seni dengan mengafirmasi segala proses berkesenian demi imaji materi alias uang. Profil eksistensi STKWpun tak luput dalam degub profil ramainya pasar seni. Ia belum mampu berdiri tegak dalam jinjingan kakinya sendiri sebagai institusi pendidikan, namun masih butuh “dipelihara” oleh ‘tangan-tangan’ pengambil kebijakan. Status baru membawa harapan baru di tahun 2012. Akankan STKW mampu menunjukkan taringnya sebagai medan yang memiliki kuasa dalam ‘kontrol-mengontrol’ arus pendidikan seni pertunjukan di Jawa Timur. Atau justru hanya menjadi biduk permainan politik penguasa yang mulai mengarah dalam ambisi penuh pamrih?

Jawa Timur
Boleh dikata, Jawa Timur dalam peta percaturan budaya Nusantara dan khususnya Jawa menjadi barometer dalam gelimang kekayaan seni pertunjukan. Setiap daerah memiliki kekuatan lokus seni yang unik, tipikal bahkan purbawi dengan usianya yang telah teruji. Ludruk, sandur, reog, gandrung, angklung caruk, remo, jaranan dan masih banyak lagi wujud seni pertunjukan lain yang menjadi ciri khas keunggulan daerahnya masing-masing. Bergelimangnya seni pertunjukan (rakyat) tersebut seolah menandaskan identitas karakter performa Jawa Timur yang tidak lagi tunggal, namun dibangun atas kesadarannya yang plural.
Terlebih dalam beberapa dekade terakhir ekstase festival seni mulai membuncah dari pelosok kampung hingga ramainya kota. Sebut saja misalnya dimulai dari Festival Seni Surabaya, Surabaya Full Music, Jember Fashion Carnaval, Pekan Seni Pelajar, Pertunjukan Wayang-Ludruk periodik (Taman Budaya), Festival Teater Remaja, Festival Seni Islami, Festival Seni Lintas Budaya dan lain sebagainya. Intensitas perhatian pemerintah setempat cukup kencang yang ditandai dengan lacarnya kran kucuran dana. Terbukti, selain sesaknya festival seni, setiap tahun forum penghargaan pada seniman juga senantiasa diberlangsungkan. Afirmasi tinggi pemerintah Jawa Timur pada denyut nadi kesenian dalam imaji festival menunjukan legalitas kerendahan hati penguasa yang tak melulu disibukkan oleh kegenitan politik. Imbasnya, forum-forum budaya kemudian juga sarat akan berbagai kepentingan dalam menjadikan Jawa Timur sebagai bisnis pelancongan dan pariwisata kesenian. Ambisi ‘memproyekkan’, menawarkan lalu menjual seni tak bisa lagi dielakkan. Bagi seniman seni pertunjukan Nusantara, Jawa Timur adalah tambang emas yang dapat dikeruk, disemai dan setiap saat memberi pundi-pundi keuntungan.
Surabaya harus diakui sebagai basis daya pikat yang memegang peranan kunci. Bagi seniman tradisi Jawa Timur, berpentas di Surabaya menjadi gerbang pengakuan terhadap kualitas kesenimanannya. Oleh karena itu hampir 80 persen lebih forum seni diselenggarakan di kota metropolis itu. Surabaya menjadi alat ukur objektif dalam melihat determinasi gaung kesenian di Jawa Timur. Dan untuk mewadahi luapan kekaryaan itulah lembaga pendidikan seni didirikan di Surabaya guna lebih dekat dalam meneropong wacana seni secara makro. STKW berdiri anggun mengiringi derasnya hujan seni pertunjukan (juga senirupa) tradisi, kekaryaan dan festival seni di Jawa Timur khususnya Surabaya. Ia bersolek menjadi medan konservasi yang tak hanya mengembangkan seni namun juga mempertahankan –alih-alih melestarikan-. Ironisanya, sumbangan STKW belum juga mampu didengar, dirasakan apalagi dinikmati. Ia justru turut larut dalam ingar bingar pesta seni itu, tanpa mampu memberi narasi kritik dan seolah lupa akan kodratnya sebagai ‘bengkel’ pendidik. Banalitas posisi STKW itulah yang menjadikannya gamang akan reduksi arti. Terlebih kini ia berada dalam lembaga –dinas- kepariwisataan yang seolah mengkokohkan derajadnya sebagai medan pelancongan dan pajangan bisnis kesenian yang disemai untuk mengahasilkan pamrih yang menggiurkan.

Kepahitan-Harapan
Di balik timbunan kekayaan seni yang melimpah, STKW justru miskin mahasiswa. Ia bukan perguruan tinggi negeri. Tak heran jika kemudian tak dilirik. Pemerintah setempat kurang sadar akan pentingnya posisi STKW. Di saat daerah-daerah Indonesia lainnya seperti Kalimantan, Aceh, Papua berlomba-lomba mendirikan institusi pendidikan seni karena sadar akan manfaat dalam mencari dan menyemai karakter identitasnya, Jawa Timur justru seolah lupa memiliki STKW. Ia dibiarkan ‘tumbuh liar’, tanpa pernah diberi goresan kuasa untuk mementukan arah hidup yang lebih baik. Dari ketujuh perguruan tinggi seni di Indonesia yang tergabung dalam BKS-PTSI (Badan Kerja Sama Perguruan Tinggi Seni Indonesia) yakni Institut Seni Indonesia (Surakarta, Denpasar, Yogyakarta, Padang Panjang), Sekolah Tinggi Seni Indonesia Bandung, Institut Kesenian Jakarta, posisi STKW menjadi satu-satunya institusi yang paling ‘vakum’ perhatian pemerintah.
Banyak calon mahasiswa kemudian lari ke daerah-daerah luar Jawa Timur. Di ISI Surakarta dan Yogyakarta misalnya, hampir 70 persen mahasiswanya tersuplai dari berbagai daerah Jawa Timur. STKW belum menjadi rujukan studi yang ideal. Oleh karena itu, dengan kejelasan statusnya di tahun ini menjadi katalisator ideal dalam menarik perhatian minat studi seni masyarakat Jawa Timur. Ajang promosi yang sebelumnya tidak intens untuk digalakkan kini sayup-sayup mulai diwacanakan lewat berbagai forum. Bukankah karakter kualitas peradaban suatu masyarakat terlihat dalam kegamblangan dalam menghargai seninya. Pembentukan karakter, sikap, kualitas intelejensia dan mentalitas berfikir tentunya hanya dapat dilakukan lewat jalur pendidikan (seni) yang ideal. Dengan demikian, wajah STKW menjadi wajah yang menarasikan karakter harga diri Jawa Timur. Menepikan STKW berarti pula menepikan Jawa Timur dalam monopoli pendidikan kesenian Nusantara.
Beberapa persoalan masih menghantui. Status STKW yang berada di bawah naungan Dinas Pariwisata Jawa Timur masihkah mampu mempertebal identitas kodratnya sebagai ruang pendidikan, bukan pajangan bingkai pariwisata? Ataukah statusnya kini hanya sekedar retorika permainan politik, yang akan tumbang ketika penguasa “pemelihara” turun tahta? STKW memang sangat rawan dipermainkan dalam labirin politik selama belum memiliki kekuatan dan kejelasan ruang hidupnya. Dengan melihat peta, semarak dan pentingnya kedudukan seni di Jawa Timur, pertanyaannya kemudian, apa sih susahnya menjadikan STKW sebagai institusi -seni- negeri? yang mampu menyuplai denyut hidupnya sendiri tanpa harus senantiasa ‘mengemis oksigen’ pada pengendali kebijakan.

Aris Setiawan
Etnomusikolog asal Jawa Timur, Pencinta STKW Surabaya dan Pengajar di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta

Pengikut