Empu di Tengah Peradaban
Beberapa
waktu lalu Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta memberikan gelar
‘empu batik’ pada Santosa Doelah (29/02/2012). ISI Surakarta menjadi
satu-satunya institusi pendidikan seni pertama di Indonesia yang
memberikan gelar tersebut pada sosok atau tokoh tertentu yang dianggap
memiliki kredibilitas tinggi dalam bidang seni. Empu dalam narasi
sejarah Jawa merupakan abstraksi ketokohan yang tidak nyata.
Keberadaannya tidak pernah dikukuhkan dalam semangat ingar-bingar pesta
apalagi dalam wisuda formal akademis. Masyarakatlah yang memberi kuasa
dalam legitimasi atas gelar itu.
Walau tak bersentuhan dan dilahirkan dalam rahim institusi formal, justru dari para empulah ruang-ruang pemikiran intelektualitas kebudayaan dan terurama kesenian dicetuskan. FX Fidaryanto (2009) menuturkan bahwa di masa lalu pendirian perguruan tinggi seni diampu oleh para seniman alam yang nyaris tak tersentuh pendidikan akademik. Mereka adalah pemegang otoritas kesenimanan yang mendapatkan pengakuan dari masyarakat yang tak lain adalah para empu. Lihatlah ASRI Yogyakarta dengan Affandi, ASKI Surakarta dengan Martopangrawit, ASTI Bandung dengan Enoch Atmadibrata, Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta dengan Djaduk Djajakusuma, Konservatori Karawitan Surakarta dengan Sindusawarno dan Konservatori Tari Yogyakarta dengan Hardjosoebroto.
Pandangan dan pemikiran para empu menjadi gudang ilmu pengetahun yang belum terejawantah dan terumuskan. Tugas institusi pendidikan seni yang kemudian meresapi, mempelajari dan menjadikannya nyata sebagai bangunan ilmu. Tak mengherankan kemudian jika Santosa Doelah digadang-gadang mampu menularkan pemikiran-pemikiran serta guratan konsep dan kekaryaan batik terhadap generasi muda masa kini. Lembaga pendidikan formal semacam ISI Surakarta mengambil kesempatan itu dengan segera membuka program studi baru yakni ‘batik’, menempatkan sosok Santosa Doelah sebagai bintangnya.
Terlepas dari kepentingan tersebut, menjadi menarik kiranya untuk diketahui kembali tentang guratan jejak empu dalam tradisi Jawa, serta sejauh mana kontribusi nyata dari eksistensinya? Adakah perlakuan-perlakuan khusus dan hak istimewa terhadap gelar itu, layaknya guru besar atau doktor misalnya? Formulasi seperti apa sehingga seseorang layak mendapat gelar empu?
Praktik dan Pengalaman
Menarik kiranya menilik pandangan yang diletupkan oleh RM Soedarsono (1994), menaganggap bahwa menjadi doktor dan sarjana -terutama seni- itu lebih mudah dari pada menjadi seorang empu. Menurutnya, seorang empu sudah pasti menguasai dan qatam pernak-pernik bidang yang dikuasainya, sedangkan seorang doktor belum tentu dan kadang hanya mampu dalam rutinitas ruang teoritis semata. Empu tidak ditempa dengan pendidikan yang penuh teori, namun lebih mengandalkan kemampuan praktik dan pekatnya pengalaman secara langsung. Otoritas karya yang dihasilkan lebih bermutu dan berbobot, karena bidang yang digelutinya adalah denyut yang menghidupinya. Empu ada dan besar dari dunia seni yang disemainya.
Dalam jejak sejarah keempuan Jawa, Waridi dalam salah satu bukunya berjudul Martopangrawit: Empu Karawitan Gaya Surakarta (2001) dengan lugas menyatakan bahwa Martopangrawit boleh dikata menjadi satu-satunya empu di Jawa –Surakarta- yang dibekali kemampuan ganda. Martopangrawit tidak hanya mafhum dalam dunia paktik karawitan secara paripurna namun juga mampu menularkan gagasan dan konsep pemikirannya secara jenius, runtut dan gamblang. Oleh karena itu, banyak teori-teori karawitan Jawa lahir atas pemikirannya, lewat tulisan dan ulasan analisis kritisnya. Sementara empu-empu karawitan yang lain justru sibuk dalam distorsi kekaryaan semata. Martopangrawit menjadi pilar yang menyangga degub berdirinya ASKI Surakarta terutama Jurusan Karawitan. Bahkan konsep pemikiran dan metodologi kekaryaannya masih menjadi rujukan penting hingga saat ini.
Sebutan empu bagi para tokoh seni mungkin terlalu Jawa sentris. Oleh karenanya pemahaman terhadap nilai-nilai arif konsep dan kekaryaan yang digoreskan kadang tak mampu terwacanakan dalam kompleksitas pemikiran nasional apalagi mendunia. Sebutan empu kemudian cair lalu menyublim menjadi aneka rasa gelar intelektual semacam sarjana, magister, doktor dan guru besar. Empu yang sejatinya justru semakin tereliminasi dalam ingar bingar dunia intelektualitas mutakhir. Empu kembali pada habitus akar tradisinya yang jika jujur diakui telah tersisih dalam realitas kehidupan nyata saat ini, secara masif tak lagi mendapat tempat dalam bangku sekolahan. Sejarah yang dibangun oleh Martopangrawit, Affandi, Hardjosoebroto tak tertampung dalam khasanah intelektual mutakhir. Kontribusinya lebih banyak mengabdikan diri dan hidup di luar tembok kampus.
Dalam peta sejarahnya, kuasa dan legitimasi keempuan seseorang justru tertampung lewat konstelasi keraton. Sebutan empu awalnya dicetak dan lahir dalam terminologi kemaestroan musisi dan seniman keraton. Martopangrawit misalnya, tidak hadir serta merta dianggap sebagai empu. Namun telah didasarkan atas pergulatan tajam dengan dunia yang digelutinya yakni karawitan dengan sebelumnya memegang sertifikat miji dari keraton (Waridi,2005).
Miji adalah abdi dalem niyaga keraton yang dengan sah oleh komisi keraton dinyatakan telah memiliki kemampuan atau spesisalisasi dalam memainkan instrumen depan seperti rebab, kendang, atau gender. Para musisi karawitan yang mampu mendapatkan sertifikat tersebut adalah sosok yang menjadi panutan. Dianggap memiliki kelebihan dibanding dengan para musisi pada umumnya. Bahkan tak jarang pemegang sertifikat tersebut di antaranya dapat dikategorikan sebagai empu. Martopangrawit, Mlayawidodo, Warsadiningrat, Tjakrawarsita adalah salah satunya. Keempuan mereka tidak semata qatam dalam memainkan gamelan, namun juga menjadi mahzab mutakhir perkembangan karawitan terutaman di Jawa dan Surakarta pada khususnya.
Selebihnya seniman-seniman di luar tembok keraton dengan intuisi dan kemampuan sebanding kadang luput dari jepretan lensa kata empu. Nartosabdo misalnya, apakah ia seorang empu? Pada zaman keemasannya dianggap sosok nyleneh, eksentrik, aneh, kolot, urakan oleh kalangan seniman keraton karena kegenitan dan kenakalannya dalam berkarya. Ia dihujat pada zamannya namun dipuja sesudahnya. Ia salah satu pendobrak tradisi keraton yang dianggapnya stagnan. Barulah kemudian lewat pandangan dan gebrakan kekaryaan ia dikultuskan sebagai empu pedalangan paling mahsyur dan belum tergantikan hingga saat ini.
Formulasi
Bagong Kussudiharjo dalam artikelnya berjudul Tari Gaya Yogyakarta Krisis Empu (1994) menjelaskan bahwa empu adalah orang yang mencurahkan segala daya hidupnya terhadap bidang seni yang digelutinya. Dengan demikian empu sejatinya sebuah pilihan hidup. Untuk itu seorang empu sebenarnya tidak dapat dicetak apalagi oleh pendidikan formal. Ia lahir dengan sendirinya dan masyarakatlah yang mengkultuskannya.
Geliat pengakuan keempuan seseorang memang belum terformulasikan. ISI Surakarta yang mencoba membangunkan kembali wacana keempuan seseorang sudah selayaknya memberi garis dan formulasi ideal terkait dengan bagaimana dan seperti apa batasan sosok empu dewasa ini. Apa yang didapat setelah seseorang menerima predikat empu juga belum terwacanakan secara bernas apalagi dalam kacamata kajian ilmiah. Hanya sekedar embel-embel pemanis semata, atau mampu berperan optimal dalam ruang pendidikan layaknya Martopangrawit dulu? Pertanyaan-pertanyaan itu wajar ditujukan pada ISI Surakarta, agar gelar empu yang telah digelontorkan tidak lagi sumir tujuan, banal arti, atau bahkan sekedar euforia dan pesta semata. Namun memiliki pandangan dan konsep yang dapat dipertanggungjawabkan dengan sahih.
Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta
Walau tak bersentuhan dan dilahirkan dalam rahim institusi formal, justru dari para empulah ruang-ruang pemikiran intelektualitas kebudayaan dan terurama kesenian dicetuskan. FX Fidaryanto (2009) menuturkan bahwa di masa lalu pendirian perguruan tinggi seni diampu oleh para seniman alam yang nyaris tak tersentuh pendidikan akademik. Mereka adalah pemegang otoritas kesenimanan yang mendapatkan pengakuan dari masyarakat yang tak lain adalah para empu. Lihatlah ASRI Yogyakarta dengan Affandi, ASKI Surakarta dengan Martopangrawit, ASTI Bandung dengan Enoch Atmadibrata, Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta dengan Djaduk Djajakusuma, Konservatori Karawitan Surakarta dengan Sindusawarno dan Konservatori Tari Yogyakarta dengan Hardjosoebroto.
Pandangan dan pemikiran para empu menjadi gudang ilmu pengetahun yang belum terejawantah dan terumuskan. Tugas institusi pendidikan seni yang kemudian meresapi, mempelajari dan menjadikannya nyata sebagai bangunan ilmu. Tak mengherankan kemudian jika Santosa Doelah digadang-gadang mampu menularkan pemikiran-pemikiran serta guratan konsep dan kekaryaan batik terhadap generasi muda masa kini. Lembaga pendidikan formal semacam ISI Surakarta mengambil kesempatan itu dengan segera membuka program studi baru yakni ‘batik’, menempatkan sosok Santosa Doelah sebagai bintangnya.
Terlepas dari kepentingan tersebut, menjadi menarik kiranya untuk diketahui kembali tentang guratan jejak empu dalam tradisi Jawa, serta sejauh mana kontribusi nyata dari eksistensinya? Adakah perlakuan-perlakuan khusus dan hak istimewa terhadap gelar itu, layaknya guru besar atau doktor misalnya? Formulasi seperti apa sehingga seseorang layak mendapat gelar empu?
Praktik dan Pengalaman
Menarik kiranya menilik pandangan yang diletupkan oleh RM Soedarsono (1994), menaganggap bahwa menjadi doktor dan sarjana -terutama seni- itu lebih mudah dari pada menjadi seorang empu. Menurutnya, seorang empu sudah pasti menguasai dan qatam pernak-pernik bidang yang dikuasainya, sedangkan seorang doktor belum tentu dan kadang hanya mampu dalam rutinitas ruang teoritis semata. Empu tidak ditempa dengan pendidikan yang penuh teori, namun lebih mengandalkan kemampuan praktik dan pekatnya pengalaman secara langsung. Otoritas karya yang dihasilkan lebih bermutu dan berbobot, karena bidang yang digelutinya adalah denyut yang menghidupinya. Empu ada dan besar dari dunia seni yang disemainya.
Dalam jejak sejarah keempuan Jawa, Waridi dalam salah satu bukunya berjudul Martopangrawit: Empu Karawitan Gaya Surakarta (2001) dengan lugas menyatakan bahwa Martopangrawit boleh dikata menjadi satu-satunya empu di Jawa –Surakarta- yang dibekali kemampuan ganda. Martopangrawit tidak hanya mafhum dalam dunia paktik karawitan secara paripurna namun juga mampu menularkan gagasan dan konsep pemikirannya secara jenius, runtut dan gamblang. Oleh karena itu, banyak teori-teori karawitan Jawa lahir atas pemikirannya, lewat tulisan dan ulasan analisis kritisnya. Sementara empu-empu karawitan yang lain justru sibuk dalam distorsi kekaryaan semata. Martopangrawit menjadi pilar yang menyangga degub berdirinya ASKI Surakarta terutama Jurusan Karawitan. Bahkan konsep pemikiran dan metodologi kekaryaannya masih menjadi rujukan penting hingga saat ini.
Sebutan empu bagi para tokoh seni mungkin terlalu Jawa sentris. Oleh karenanya pemahaman terhadap nilai-nilai arif konsep dan kekaryaan yang digoreskan kadang tak mampu terwacanakan dalam kompleksitas pemikiran nasional apalagi mendunia. Sebutan empu kemudian cair lalu menyublim menjadi aneka rasa gelar intelektual semacam sarjana, magister, doktor dan guru besar. Empu yang sejatinya justru semakin tereliminasi dalam ingar bingar dunia intelektualitas mutakhir. Empu kembali pada habitus akar tradisinya yang jika jujur diakui telah tersisih dalam realitas kehidupan nyata saat ini, secara masif tak lagi mendapat tempat dalam bangku sekolahan. Sejarah yang dibangun oleh Martopangrawit, Affandi, Hardjosoebroto tak tertampung dalam khasanah intelektual mutakhir. Kontribusinya lebih banyak mengabdikan diri dan hidup di luar tembok kampus.
Dalam peta sejarahnya, kuasa dan legitimasi keempuan seseorang justru tertampung lewat konstelasi keraton. Sebutan empu awalnya dicetak dan lahir dalam terminologi kemaestroan musisi dan seniman keraton. Martopangrawit misalnya, tidak hadir serta merta dianggap sebagai empu. Namun telah didasarkan atas pergulatan tajam dengan dunia yang digelutinya yakni karawitan dengan sebelumnya memegang sertifikat miji dari keraton (Waridi,2005).
Miji adalah abdi dalem niyaga keraton yang dengan sah oleh komisi keraton dinyatakan telah memiliki kemampuan atau spesisalisasi dalam memainkan instrumen depan seperti rebab, kendang, atau gender. Para musisi karawitan yang mampu mendapatkan sertifikat tersebut adalah sosok yang menjadi panutan. Dianggap memiliki kelebihan dibanding dengan para musisi pada umumnya. Bahkan tak jarang pemegang sertifikat tersebut di antaranya dapat dikategorikan sebagai empu. Martopangrawit, Mlayawidodo, Warsadiningrat, Tjakrawarsita adalah salah satunya. Keempuan mereka tidak semata qatam dalam memainkan gamelan, namun juga menjadi mahzab mutakhir perkembangan karawitan terutaman di Jawa dan Surakarta pada khususnya.
Selebihnya seniman-seniman di luar tembok keraton dengan intuisi dan kemampuan sebanding kadang luput dari jepretan lensa kata empu. Nartosabdo misalnya, apakah ia seorang empu? Pada zaman keemasannya dianggap sosok nyleneh, eksentrik, aneh, kolot, urakan oleh kalangan seniman keraton karena kegenitan dan kenakalannya dalam berkarya. Ia dihujat pada zamannya namun dipuja sesudahnya. Ia salah satu pendobrak tradisi keraton yang dianggapnya stagnan. Barulah kemudian lewat pandangan dan gebrakan kekaryaan ia dikultuskan sebagai empu pedalangan paling mahsyur dan belum tergantikan hingga saat ini.
Formulasi
Bagong Kussudiharjo dalam artikelnya berjudul Tari Gaya Yogyakarta Krisis Empu (1994) menjelaskan bahwa empu adalah orang yang mencurahkan segala daya hidupnya terhadap bidang seni yang digelutinya. Dengan demikian empu sejatinya sebuah pilihan hidup. Untuk itu seorang empu sebenarnya tidak dapat dicetak apalagi oleh pendidikan formal. Ia lahir dengan sendirinya dan masyarakatlah yang mengkultuskannya.
Geliat pengakuan keempuan seseorang memang belum terformulasikan. ISI Surakarta yang mencoba membangunkan kembali wacana keempuan seseorang sudah selayaknya memberi garis dan formulasi ideal terkait dengan bagaimana dan seperti apa batasan sosok empu dewasa ini. Apa yang didapat setelah seseorang menerima predikat empu juga belum terwacanakan secara bernas apalagi dalam kacamata kajian ilmiah. Hanya sekedar embel-embel pemanis semata, atau mampu berperan optimal dalam ruang pendidikan layaknya Martopangrawit dulu? Pertanyaan-pertanyaan itu wajar ditujukan pada ISI Surakarta, agar gelar empu yang telah digelontorkan tidak lagi sumir tujuan, banal arti, atau bahkan sekedar euforia dan pesta semata. Namun memiliki pandangan dan konsep yang dapat dipertanggungjawabkan dengan sahih.
Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta