STKW dalam Harapan dan Kepahitan Baru Pendidikan Seni Jawa Timur
STKW
(Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta) Surabaya pada Januari 2012 kemarin
tidak lagi berada di bawah suatu yayasan swasta tertentu. Namun ia
telah diambil alih Pemerintah Propinsi Jawa Timur dalam naungan Dinas
Pariwisata dengan menjadikannya salah satu UPT (Unit Penunjang Teknis).
Angin perubahan telah berhembus. Jika berkaca pada sejarah, detak hidup
yang dialami satu-satunya sekolah tinggi seni (pertunjukan dan seni
rupa) di Jawa Timur itu memang berada dalam persimpangan nalar yang
mengenaskan. Di balik ekstase dan militansi berbagai festival budaya,
Jawa Timur tidak ditopang dengan konstruksi pilar institusi pendidikan
seninya yang kokoh. Banyak karya seni monumental lahir tapi miskin
katalisator pewacanaan pada publik. Banyak festival dan forum seni
digelar namun sedikit yang mampu terdokumentasi dalam ruang kajian yang
lebih analitis. Jawa Timur berpacu dalam roda penciptaan seni
pertunjukan namun aus dalam narasi kritik.
Oleh karena itu,
awalnya STKW digadang-gadang mampu menjadi palang pintu yang memegang
kendali keseimbingan antara hasrat berkarya dengan lahirnya kritikus
serta peneliti seni yang handal. Ironisnya, ia justru lebih khusyuk
hanya dalam nostalgia kekaryaan seni dengan mengafirmasi segala proses
berkesenian demi imaji materi alias uang. Profil eksistensi STKWpun tak
luput dalam degub profil ramainya pasar seni. Ia belum mampu berdiri
tegak dalam jinjingan kakinya sendiri sebagai institusi pendidikan,
namun masih butuh “dipelihara” oleh ‘tangan-tangan’ pengambil kebijakan.
Status baru membawa harapan baru di tahun 2012. Akankan STKW mampu
menunjukkan taringnya sebagai medan yang memiliki kuasa dalam
‘kontrol-mengontrol’ arus pendidikan seni pertunjukan di Jawa Timur.
Atau justru hanya menjadi biduk permainan politik penguasa yang mulai
mengarah dalam ambisi penuh pamrih?
Jawa Timur
Boleh
dikata, Jawa Timur dalam peta percaturan budaya Nusantara dan khususnya
Jawa menjadi barometer dalam gelimang kekayaan seni pertunjukan. Setiap
daerah memiliki kekuatan lokus seni yang unik, tipikal bahkan purbawi
dengan usianya yang telah teruji. Ludruk, sandur, reog, gandrung,
angklung caruk, remo, jaranan dan masih banyak lagi wujud seni
pertunjukan lain yang menjadi ciri khas keunggulan daerahnya
masing-masing. Bergelimangnya seni pertunjukan (rakyat) tersebut seolah
menandaskan identitas karakter performa Jawa Timur yang tidak lagi
tunggal, namun dibangun atas kesadarannya yang plural.
Terlebih
dalam beberapa dekade terakhir ekstase festival seni mulai membuncah
dari pelosok kampung hingga ramainya kota. Sebut saja misalnya dimulai
dari Festival Seni Surabaya, Surabaya Full Music, Jember Fashion
Carnaval, Pekan Seni Pelajar, Pertunjukan Wayang-Ludruk periodik (Taman
Budaya), Festival Teater Remaja, Festival Seni Islami, Festival Seni
Lintas Budaya dan lain sebagainya. Intensitas perhatian pemerintah
setempat cukup kencang yang ditandai dengan lacarnya kran kucuran dana.
Terbukti, selain sesaknya festival seni, setiap tahun forum penghargaan
pada seniman juga senantiasa diberlangsungkan. Afirmasi tinggi
pemerintah Jawa Timur pada denyut nadi kesenian dalam imaji festival
menunjukan legalitas kerendahan hati penguasa yang tak melulu disibukkan
oleh kegenitan politik. Imbasnya, forum-forum budaya kemudian juga
sarat akan berbagai kepentingan dalam menjadikan Jawa Timur sebagai
bisnis pelancongan dan pariwisata kesenian. Ambisi ‘memproyekkan’,
menawarkan lalu menjual seni tak bisa lagi dielakkan. Bagi seniman seni
pertunjukan Nusantara, Jawa Timur adalah tambang emas yang dapat
dikeruk, disemai dan setiap saat memberi pundi-pundi keuntungan.
Surabaya
harus diakui sebagai basis daya pikat yang memegang peranan kunci. Bagi
seniman tradisi Jawa Timur, berpentas di Surabaya menjadi gerbang
pengakuan terhadap kualitas kesenimanannya. Oleh karena itu hampir 80
persen lebih forum seni diselenggarakan di kota metropolis itu. Surabaya
menjadi alat ukur objektif dalam melihat determinasi gaung kesenian di
Jawa Timur. Dan untuk mewadahi luapan kekaryaan itulah lembaga
pendidikan seni didirikan di Surabaya guna lebih dekat dalam meneropong
wacana seni secara makro. STKW berdiri anggun mengiringi derasnya hujan
seni pertunjukan (juga senirupa) tradisi, kekaryaan dan festival seni di
Jawa Timur khususnya Surabaya. Ia bersolek menjadi medan konservasi
yang tak hanya mengembangkan seni namun juga mempertahankan –alih-alih
melestarikan-. Ironisanya, sumbangan STKW belum juga mampu didengar,
dirasakan apalagi dinikmati. Ia justru turut larut dalam ingar bingar
pesta seni itu, tanpa mampu memberi narasi kritik dan seolah lupa akan
kodratnya sebagai ‘bengkel’ pendidik. Banalitas posisi STKW itulah yang
menjadikannya gamang akan reduksi arti. Terlebih kini ia berada dalam
lembaga –dinas- kepariwisataan yang seolah mengkokohkan derajadnya
sebagai medan pelancongan dan pajangan bisnis kesenian yang disemai
untuk mengahasilkan pamrih yang menggiurkan.
Kepahitan-Harapan
Di
balik timbunan kekayaan seni yang melimpah, STKW justru miskin
mahasiswa. Ia bukan perguruan tinggi negeri. Tak heran jika kemudian tak
dilirik. Pemerintah setempat kurang sadar akan pentingnya posisi STKW.
Di saat daerah-daerah Indonesia lainnya seperti Kalimantan, Aceh, Papua
berlomba-lomba mendirikan institusi pendidikan seni karena sadar akan
manfaat dalam mencari dan menyemai karakter identitasnya, Jawa Timur
justru seolah lupa memiliki STKW. Ia dibiarkan ‘tumbuh liar’, tanpa
pernah diberi goresan kuasa untuk mementukan arah hidup yang lebih baik.
Dari ketujuh perguruan tinggi seni di Indonesia yang tergabung dalam
BKS-PTSI (Badan Kerja Sama Perguruan Tinggi Seni Indonesia) yakni
Institut Seni Indonesia (Surakarta, Denpasar, Yogyakarta, Padang
Panjang), Sekolah Tinggi Seni Indonesia Bandung, Institut Kesenian
Jakarta, posisi STKW menjadi satu-satunya institusi yang paling ‘vakum’
perhatian pemerintah.
Banyak calon mahasiswa kemudian lari ke
daerah-daerah luar Jawa Timur. Di ISI Surakarta dan Yogyakarta misalnya,
hampir 70 persen mahasiswanya tersuplai dari berbagai daerah Jawa
Timur. STKW belum menjadi rujukan studi yang ideal. Oleh karena itu,
dengan kejelasan statusnya di tahun ini menjadi katalisator ideal dalam
menarik perhatian minat studi seni masyarakat Jawa Timur. Ajang promosi
yang sebelumnya tidak intens untuk digalakkan kini sayup-sayup mulai
diwacanakan lewat berbagai forum. Bukankah karakter kualitas peradaban
suatu masyarakat terlihat dalam kegamblangan dalam menghargai seninya.
Pembentukan karakter, sikap, kualitas intelejensia dan mentalitas
berfikir tentunya hanya dapat dilakukan lewat jalur pendidikan (seni)
yang ideal. Dengan demikian, wajah STKW menjadi wajah yang menarasikan
karakter harga diri Jawa Timur. Menepikan STKW berarti pula menepikan
Jawa Timur dalam monopoli pendidikan kesenian Nusantara.
Beberapa
persoalan masih menghantui. Status STKW yang berada di bawah naungan
Dinas Pariwisata Jawa Timur masihkah mampu mempertebal identitas
kodratnya sebagai ruang pendidikan, bukan pajangan bingkai pariwisata?
Ataukah statusnya kini hanya sekedar retorika permainan politik, yang
akan tumbang ketika penguasa “pemelihara” turun tahta? STKW memang
sangat rawan dipermainkan dalam labirin politik selama belum memiliki
kekuatan dan kejelasan ruang hidupnya. Dengan melihat peta, semarak dan
pentingnya kedudukan seni di Jawa Timur, pertanyaannya kemudian, apa sih
susahnya menjadikan STKW sebagai institusi -seni- negeri? yang mampu
menyuplai denyut hidupnya sendiri tanpa harus senantiasa ‘mengemis
oksigen’ pada pengendali kebijakan.
Aris Setiawan
Etnomusikolog asal Jawa Timur, Pencinta STKW Surabaya dan Pengajar di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar