STKW dalam Harapan dan Kepahitan Baru Pendidikan Seni Jawa Timur (dimuat di Radar Surabaya edisi 3 Maret 2012)

STKW dalam Harapan dan Kepahitan Baru Pendidikan Seni Jawa Timur



 
STKW (Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta) Surabaya pada Januari 2012 kemarin tidak lagi berada di bawah suatu yayasan swasta tertentu. Namun ia telah diambil alih Pemerintah Propinsi Jawa Timur dalam naungan Dinas Pariwisata dengan menjadikannya salah satu UPT (Unit Penunjang Teknis). Angin perubahan telah berhembus. Jika berkaca pada sejarah, detak hidup yang dialami satu-satunya sekolah tinggi seni (pertunjukan dan seni rupa) di Jawa Timur itu memang berada dalam persimpangan nalar yang mengenaskan. Di balik ekstase dan militansi berbagai festival budaya, Jawa Timur tidak ditopang dengan konstruksi pilar institusi pendidikan seninya yang kokoh. Banyak karya seni monumental lahir tapi miskin katalisator pewacanaan pada publik. Banyak festival dan forum seni digelar namun sedikit yang mampu terdokumentasi dalam ruang kajian yang lebih analitis. Jawa Timur berpacu dalam roda penciptaan seni pertunjukan namun aus dalam narasi kritik.
Oleh karena itu, awalnya STKW digadang-gadang mampu menjadi palang pintu yang memegang kendali keseimbingan antara hasrat berkarya dengan lahirnya kritikus serta peneliti seni yang handal. Ironisnya, ia justru lebih khusyuk hanya dalam nostalgia kekaryaan seni dengan mengafirmasi segala proses berkesenian demi imaji materi alias uang. Profil eksistensi STKWpun tak luput dalam degub profil ramainya pasar seni. Ia belum mampu berdiri tegak dalam jinjingan kakinya sendiri sebagai institusi pendidikan, namun masih butuh “dipelihara” oleh ‘tangan-tangan’ pengambil kebijakan. Status baru membawa harapan baru di tahun 2012. Akankan STKW mampu menunjukkan taringnya sebagai medan yang memiliki kuasa dalam ‘kontrol-mengontrol’ arus pendidikan seni pertunjukan di Jawa Timur. Atau justru hanya menjadi biduk permainan politik penguasa yang mulai mengarah dalam ambisi penuh pamrih?

Jawa Timur
Boleh dikata, Jawa Timur dalam peta percaturan budaya Nusantara dan khususnya Jawa menjadi barometer dalam gelimang kekayaan seni pertunjukan. Setiap daerah memiliki kekuatan lokus seni yang unik, tipikal bahkan purbawi dengan usianya yang telah teruji. Ludruk, sandur, reog, gandrung, angklung caruk, remo, jaranan dan masih banyak lagi wujud seni pertunjukan lain yang menjadi ciri khas keunggulan daerahnya masing-masing. Bergelimangnya seni pertunjukan (rakyat) tersebut seolah menandaskan identitas karakter performa Jawa Timur yang tidak lagi tunggal, namun dibangun atas kesadarannya yang plural.
Terlebih dalam beberapa dekade terakhir ekstase festival seni mulai membuncah dari pelosok kampung hingga ramainya kota. Sebut saja misalnya dimulai dari Festival Seni Surabaya, Surabaya Full Music, Jember Fashion Carnaval, Pekan Seni Pelajar, Pertunjukan Wayang-Ludruk periodik (Taman Budaya), Festival Teater Remaja, Festival Seni Islami, Festival Seni Lintas Budaya dan lain sebagainya. Intensitas perhatian pemerintah setempat cukup kencang yang ditandai dengan lacarnya kran kucuran dana. Terbukti, selain sesaknya festival seni, setiap tahun forum penghargaan pada seniman juga senantiasa diberlangsungkan. Afirmasi tinggi pemerintah Jawa Timur pada denyut nadi kesenian dalam imaji festival menunjukan legalitas kerendahan hati penguasa yang tak melulu disibukkan oleh kegenitan politik. Imbasnya, forum-forum budaya kemudian juga sarat akan berbagai kepentingan dalam menjadikan Jawa Timur sebagai bisnis pelancongan dan pariwisata kesenian. Ambisi ‘memproyekkan’, menawarkan lalu menjual seni tak bisa lagi dielakkan. Bagi seniman seni pertunjukan Nusantara, Jawa Timur adalah tambang emas yang dapat dikeruk, disemai dan setiap saat memberi pundi-pundi keuntungan.
Surabaya harus diakui sebagai basis daya pikat yang memegang peranan kunci. Bagi seniman tradisi Jawa Timur, berpentas di Surabaya menjadi gerbang pengakuan terhadap kualitas kesenimanannya. Oleh karena itu hampir 80 persen lebih forum seni diselenggarakan di kota metropolis itu. Surabaya menjadi alat ukur objektif dalam melihat determinasi gaung kesenian di Jawa Timur. Dan untuk mewadahi luapan kekaryaan itulah lembaga pendidikan seni didirikan di Surabaya guna lebih dekat dalam meneropong wacana seni secara makro. STKW berdiri anggun mengiringi derasnya hujan seni pertunjukan (juga senirupa) tradisi, kekaryaan dan festival seni di Jawa Timur khususnya Surabaya. Ia bersolek menjadi medan konservasi yang tak hanya mengembangkan seni namun juga mempertahankan –alih-alih melestarikan-. Ironisanya, sumbangan STKW belum juga mampu didengar, dirasakan apalagi dinikmati. Ia justru turut larut dalam ingar bingar pesta seni itu, tanpa mampu memberi narasi kritik dan seolah lupa akan kodratnya sebagai ‘bengkel’ pendidik. Banalitas posisi STKW itulah yang menjadikannya gamang akan reduksi arti. Terlebih kini ia berada dalam lembaga –dinas- kepariwisataan yang seolah mengkokohkan derajadnya sebagai medan pelancongan dan pajangan bisnis kesenian yang disemai untuk mengahasilkan pamrih yang menggiurkan.

Kepahitan-Harapan
Di balik timbunan kekayaan seni yang melimpah, STKW justru miskin mahasiswa. Ia bukan perguruan tinggi negeri. Tak heran jika kemudian tak dilirik. Pemerintah setempat kurang sadar akan pentingnya posisi STKW. Di saat daerah-daerah Indonesia lainnya seperti Kalimantan, Aceh, Papua berlomba-lomba mendirikan institusi pendidikan seni karena sadar akan manfaat dalam mencari dan menyemai karakter identitasnya, Jawa Timur justru seolah lupa memiliki STKW. Ia dibiarkan ‘tumbuh liar’, tanpa pernah diberi goresan kuasa untuk mementukan arah hidup yang lebih baik. Dari ketujuh perguruan tinggi seni di Indonesia yang tergabung dalam BKS-PTSI (Badan Kerja Sama Perguruan Tinggi Seni Indonesia) yakni Institut Seni Indonesia (Surakarta, Denpasar, Yogyakarta, Padang Panjang), Sekolah Tinggi Seni Indonesia Bandung, Institut Kesenian Jakarta, posisi STKW menjadi satu-satunya institusi yang paling ‘vakum’ perhatian pemerintah.
Banyak calon mahasiswa kemudian lari ke daerah-daerah luar Jawa Timur. Di ISI Surakarta dan Yogyakarta misalnya, hampir 70 persen mahasiswanya tersuplai dari berbagai daerah Jawa Timur. STKW belum menjadi rujukan studi yang ideal. Oleh karena itu, dengan kejelasan statusnya di tahun ini menjadi katalisator ideal dalam menarik perhatian minat studi seni masyarakat Jawa Timur. Ajang promosi yang sebelumnya tidak intens untuk digalakkan kini sayup-sayup mulai diwacanakan lewat berbagai forum. Bukankah karakter kualitas peradaban suatu masyarakat terlihat dalam kegamblangan dalam menghargai seninya. Pembentukan karakter, sikap, kualitas intelejensia dan mentalitas berfikir tentunya hanya dapat dilakukan lewat jalur pendidikan (seni) yang ideal. Dengan demikian, wajah STKW menjadi wajah yang menarasikan karakter harga diri Jawa Timur. Menepikan STKW berarti pula menepikan Jawa Timur dalam monopoli pendidikan kesenian Nusantara.
Beberapa persoalan masih menghantui. Status STKW yang berada di bawah naungan Dinas Pariwisata Jawa Timur masihkah mampu mempertebal identitas kodratnya sebagai ruang pendidikan, bukan pajangan bingkai pariwisata? Ataukah statusnya kini hanya sekedar retorika permainan politik, yang akan tumbang ketika penguasa “pemelihara” turun tahta? STKW memang sangat rawan dipermainkan dalam labirin politik selama belum memiliki kekuatan dan kejelasan ruang hidupnya. Dengan melihat peta, semarak dan pentingnya kedudukan seni di Jawa Timur, pertanyaannya kemudian, apa sih susahnya menjadikan STKW sebagai institusi -seni- negeri? yang mampu menyuplai denyut hidupnya sendiri tanpa harus senantiasa ‘mengemis oksigen’ pada pengendali kebijakan.

Aris Setiawan
Etnomusikolog asal Jawa Timur, Pencinta STKW Surabaya dan Pengajar di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta

Tidak ada komentar:

Pengikut