Perayaan Suara Adzan Nusantara
Ada
wacana yang menarik saat Wakil Presiden Boediono membuka acara Muktamar
VI Dewan Masjid Indonesia (DMI) di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta pada
27 April 2012 lalu. Dalam acara tersebut, Boediono meminta agar umat
Islam lebih memperhatikan masjid sebagai pusat peribadatan. Termasuk
soal pengeras suara saat adzan. Beodiono menghimbau kepada Dewan Masjid
Indonesia kiranya dapat mulai membahas tentang pengaturan penggunaan
pengeras suara di masjid-masjid. Menurutnya, suara adzan yang
sayup-sayup dari jauh terasa lebih merasuk dan indah daripada suara yang
keras, menghentak dan dekat dengan telinga. Suara adzan menjadi
soundscape (bunyi lingkungan) yang pada jam-jam tertentu berkelindan di
telinga kita, bahkan kadang saling tumpang tindih, noise dan bising.
Dalam konteks ini saya tidak berusaha untuk memusatkan perhatian pada
legalitas hukum-hukum Islam terkait dengan adzan, namun lebih menekankan
bagaimana fenomena adzan di Indonesia menjadi satu soundscape yang
mencerminkan detak suara kebudayaan dari karakter masyarakatnya.
Bunyi dari Suara Kebudayaan
Penelitian
tentang suara adzan dan juga bunyi lingkungan di Indonesia (Jawa pada
khususnya) pernah dilakukan Shin Nakagawa, etnomusikolog asal Jepang,
lewat bukunya yang berjudul Musik dan Kosmos (1999). Nakagawa
mencoba memilah dan menginformasikan suara-suara dalam kategori yang
menganggu dan merusak kesehatan terutama telinga. Buku tersebut menjadi
menarik sebagai bahan pertimbangan dalam memberlakukan asupan bunyi yang
masuk ke indera pendengaran kita. Walaupun demikian, ada satu keunikan
dalam konstruksi bunyi di Indonesia yang tidak dimiliki oleh negara
lain. Suara bising, noise, ramai, gaduh kadang tidak sekedar dihadirkan
dalam ruang formalitas semata, namun sengaja dikonstruksi, dibangun,
dibuat guna menandakan sebuah denyut perayaan produk kebudayaan. Diamini
sebagai legalitas akan stereotip yang melakat pada masyarakat
Indonesia.
Anderson Sutton (1996) memandang bahwa hasil kebudayaan
di Indonesia tidak sebatas tergambar dalam bunyi yang dituangkan dalam
pahatan ruang estetika. Dapat dihayati dan dinikmati dalam konteks
artistiknya layaknya gamelan, sasando, dangdut, pop, dan lain
sebagainya. Adakalanya, bunyi noise juga sengaja diciptakan untuk
mendeklarasikan sebuah status, golongan dan kebersamaan. Masyarakat
Indonesia gemar membangun legitimasi harga dirinya lewat bunyi yang
noise dan gaduh. Semakin ramai dan gaduh sebuah peristiwa
diberlangsungkan seolah menunjukkan bahwa derajad peristiwa yang
bersangkutan berskala besar. Oleh karena itu seringkali kita jumpai
masyarakat Indonesia dan khususnya Jawa lebih mengkesploitasi suara dan
bunyi-bunyian setiap kali menggelar acara atau pesta. Simaklah ketika
prosesi nikahan, kithanan, arisan dan perayaan lain senantiasa
menggunakan pengeras suara berskala besar dan didengungkan selama
berhari-hari. Konvoi partai saat pemilu, atau penggagum setia klub
sepakbola yang mengeluarkan bunyi berisik (menggeber) lewat kenalpot
sepeda motornya. Dalam ruang perayaan kesenianpun dapat kita jumpai,
bagaimana kegaduhan bunyi saat pasar sekaten, Ngarot di Jawa Barat, Sape
Sono di Madura. Kebisingan yang tak menganggu, kegaduhan yang
diinginkan, noise yang dinikmati.
Begitu pula dengan suara adzan
di Indonesia. Dalam satu kampung bisa memiliki empat sampai lima masjid
atau mushola dengan jarak yang saling berdekatan. Semua menggunakan
pengeras suara dengan kapasitasnya yang keras guna menjangkau wilayah
sebar bunyi seluas dan sejauh mungkin. Saat waktu sholat tiba, suara
adzan saling bermunculan, tumpang tindih, bersahutan, gaduh, serentak
dan intens. Uniknya, masyarakat setempat tidak merasa terganggu dengan
suara lingkungan (soundscape) adzan yang demikian. Bukan hanya
karena suara tersebut adalah panggilan untuk menghadap sang pencipta.
Namun, justru dari riuhnya suara itulah masyarakat diajak terlibat dalam
‘rekreasi bunyi’ yang membentuk ruang representasi sosial, religi dan
kebudayaan.
Kegaduhan bunyi adakalanya tidak hanya dirumahkan
namun juga harus dirayakan sebesar mungkin. Lalu pertanyaannya kemudian
bagaimana jika soundscape adzan tersebut diatur dan dikontrol ‘keagungan
bunyinya’? Jika faktor kebudayaan menjadi sarana dan rujukan dalam
mengambil kebijakan, tentu banyak pertimbangan yang harus diambil. Tak
hanya sekedar faktor bunyi yang noise namun juga menarasikan karakter,
harga diri dan deklarasi sosial.
Estetika
Kementerian
Agama sesungguhnya telah mengeluarkan sebuah peraturan sejak 1978.
Peraturan itu tertuang dalam Instruksi Direktur Jenderal Bimas Islam
Nomor KEP/D/101/1978 tentang Tuntunan Penggunaan Pengeras Suara di
Masjid, Langgar dan Mushola. Dalam instruksi tersebut tertulis bahwa
suara adzan sebagai tanda masuknya sholat memang harus ditinggikan,
dikeraskan agar mampu menyebar dan terdengar sampai jauh.
Persoalannya
kemudian, memang tidak ada hal yang mengatur seberapa kencang (dalam
ukuran hertz) pengeras suara di masjid-masjid. Poin yang mencoba
ditekankan justru pada muadzin (pelantun adzan). Sebagaimana yang
tertuang dalam wedsite kementrian agama Republik Indonesia
(bimasislam.kemenag.go.id), muadzin selayaknya memiliki suara yang enak,
syahdu, merdu dan indah dalam melantunkan bait-bait kalimat adzan.
Otomatis, sebenarnya suara seorang muadzin bukanlah perkara bunyi
semata, namun juga persoalan estetika, artistik dan rasa. Semakin indah
dengung bunyi yang dilantunkan maka semakin menyejukkan telinga
pendengarnya, dan secara otomatis pula sholat menjadi lebih khusyuk.
Menjadi
muadzin setara dengan penyanyi musik profesional. Didengarkan publik
dan sekaligus juga akan dinilai. Sekeras apapun pengeras suara yang
digunakan namun jika suara muadzin sumbang dan tak layak untuk konsumsi
telinga maka tetap akan menganggu juga. Uniknya, faktor estetika bunyi
adzan tidaklah bisa dibakukan dalam kaidah hukum-hukum musik seperti
harmoni atau bahkan nada dan tonika. Suara adzan justru mampu
mencerminkan dan mempresentasikan denyut kebudayaan masyarakat
pemiliknya. Jangan heran kemudian jika suara adzan pada beberapa masjid
di Yogyakarta lebih terdengar dalam balutan nada slendro gamelan Jawa.
Atau suara adzan di pesisir Jawa Timur yang seolah ke arab-araban
sebagai imbas dari akulturasi budaya Persia dan Arab. Atau dapat pula
kita jumpai suara adzan yang diatonis, menggunakan kontruksi musikal
dalam musik Barat.
Semuanya sah, karena suara adzan
mempresentasikan bunyi kultural. Justru apabila dilihat dalam kacamata
psikologi musik, adzan adalah suara yang paling hakiki, jujur dan paling
personal dalam diri seseorang. Ia tidak harus menjadi siapapun untuk
melantunkan adzan, namun menjadi dirinya sendiri dengan idealisme,
tafsir, kekuatan atas elaborasi ayat yang dilantunkannya tanpa harus
takut terusut oleh hukum baku musik. Otomatis masjid, mushola, langgar
sebenarnya telah menjadi pusat laboratorium eksperimentasi bunyi.
Oleh
karena itu kebisingan suara adzan yang bagi beberapa orang dianggap
menganggu, menyakiti telinga harusnya mampu dilihat serta disikapi lewat
bangunan kebudayaan, historis dan sosial. Wacana mengatur pengeras
suara adzan mungkin terlalu banal jika melihat beberapa faktor yang
melatar belakangi di atas. Namun apa yang diungkapkan oleh Wapres
Boediono terkait persoalan adzan juga menjadi catatan penting
tersendiri. Mengingat saat ini beribu suara adzan dengan
karakteristiknya yang berbeda-beda telah berdengung di Nusantara namun
satu kajian dan perhatian terkait olehnya saat ini justru belum tentu
lahir.
Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta