Perayaan Suara Adzan Nusantara (dimuat di Jawapos edisi 11 Mei 2012)

 Perayaan Suara Adzan Nusantara 



Ada wacana yang menarik saat Wakil Presiden Boediono membuka acara Muktamar VI Dewan Masjid Indonesia (DMI) di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta pada 27 April 2012 lalu. Dalam acara tersebut, Boediono meminta agar umat Islam lebih memperhatikan masjid sebagai pusat peribadatan. Termasuk soal pengeras suara saat adzan. Beodiono menghimbau kepada Dewan Masjid Indonesia kiranya dapat mulai membahas tentang pengaturan penggunaan pengeras suara di masjid-masjid. Menurutnya, suara adzan yang sayup-sayup dari jauh terasa lebih merasuk dan indah daripada suara yang keras, menghentak dan dekat dengan telinga. Suara adzan menjadi soundscape (bunyi lingkungan) yang pada jam-jam tertentu berkelindan di telinga kita, bahkan kadang saling tumpang tindih, noise dan bising. Dalam konteks ini saya tidak berusaha untuk memusatkan perhatian pada legalitas hukum-hukum Islam terkait dengan adzan, namun lebih menekankan bagaimana fenomena adzan di Indonesia menjadi satu soundscape yang mencerminkan detak suara kebudayaan dari karakter masyarakatnya.

Bunyi dari Suara Kebudayaan
Penelitian tentang suara adzan dan juga bunyi lingkungan di Indonesia (Jawa pada khususnya) pernah dilakukan Shin Nakagawa, etnomusikolog asal Jepang, lewat bukunya yang berjudul Musik dan Kosmos (1999). Nakagawa mencoba memilah dan menginformasikan suara-suara dalam kategori yang menganggu dan merusak kesehatan terutama telinga. Buku tersebut menjadi menarik sebagai bahan pertimbangan dalam memberlakukan asupan bunyi yang masuk ke indera pendengaran kita. Walaupun demikian, ada satu keunikan dalam konstruksi bunyi di Indonesia yang tidak dimiliki oleh negara lain. Suara bising, noise, ramai, gaduh kadang tidak sekedar dihadirkan dalam ruang formalitas semata, namun sengaja dikonstruksi, dibangun, dibuat guna menandakan sebuah denyut perayaan produk kebudayaan. Diamini sebagai legalitas akan stereotip yang melakat pada masyarakat Indonesia.
Anderson Sutton (1996) memandang bahwa hasil kebudayaan di Indonesia tidak sebatas tergambar dalam bunyi yang dituangkan dalam pahatan ruang estetika. Dapat dihayati dan dinikmati dalam konteks artistiknya layaknya gamelan, sasando, dangdut, pop, dan lain sebagainya. Adakalanya, bunyi noise juga sengaja diciptakan untuk mendeklarasikan sebuah status, golongan dan kebersamaan. Masyarakat Indonesia gemar membangun legitimasi harga dirinya lewat bunyi yang noise dan gaduh. Semakin ramai dan gaduh sebuah peristiwa diberlangsungkan seolah menunjukkan bahwa derajad peristiwa yang bersangkutan berskala besar. Oleh karena itu seringkali kita jumpai masyarakat Indonesia dan khususnya Jawa lebih mengkesploitasi suara dan bunyi-bunyian setiap kali menggelar acara atau pesta. Simaklah ketika prosesi nikahan, kithanan, arisan dan perayaan lain senantiasa menggunakan pengeras suara berskala besar dan didengungkan selama berhari-hari. Konvoi partai saat pemilu, atau penggagum setia klub sepakbola yang mengeluarkan bunyi berisik (menggeber) lewat kenalpot sepeda motornya. Dalam ruang perayaan kesenianpun dapat kita jumpai, bagaimana kegaduhan bunyi saat pasar sekaten, Ngarot di Jawa Barat, Sape Sono di Madura. Kebisingan yang tak menganggu, kegaduhan yang diinginkan, noise yang dinikmati.
Begitu pula dengan suara adzan di Indonesia. Dalam satu kampung bisa memiliki empat sampai lima masjid atau mushola dengan jarak yang saling berdekatan. Semua menggunakan pengeras suara dengan kapasitasnya yang keras guna menjangkau wilayah sebar bunyi seluas dan sejauh mungkin. Saat waktu sholat tiba, suara adzan saling bermunculan, tumpang tindih, bersahutan, gaduh, serentak dan intens. Uniknya, masyarakat setempat tidak merasa terganggu dengan suara lingkungan (soundscape) adzan yang demikian. Bukan hanya karena suara tersebut adalah panggilan untuk menghadap sang pencipta. Namun, justru dari riuhnya suara itulah masyarakat diajak terlibat dalam ‘rekreasi bunyi’ yang membentuk ruang representasi sosial, religi dan kebudayaan.
Kegaduhan bunyi adakalanya tidak hanya dirumahkan namun juga harus dirayakan sebesar mungkin. Lalu pertanyaannya kemudian bagaimana jika soundscape adzan tersebut diatur dan dikontrol ‘keagungan bunyinya’? Jika faktor kebudayaan menjadi sarana dan rujukan dalam mengambil kebijakan, tentu banyak pertimbangan yang harus diambil. Tak hanya sekedar faktor bunyi yang noise namun juga menarasikan karakter, harga diri dan deklarasi sosial.

Estetika
Kementerian Agama sesungguhnya telah mengeluarkan sebuah peraturan sejak 1978. Peraturan itu tertuang dalam Instruksi Direktur Jenderal Bimas Islam Nomor KEP/D/101/1978 tentang Tuntunan Penggunaan Pengeras Suara di Masjid, Langgar dan Mushola. Dalam instruksi tersebut tertulis bahwa suara adzan sebagai tanda masuknya sholat memang harus ditinggikan, dikeraskan agar mampu menyebar dan terdengar sampai jauh.
Persoalannya kemudian, memang tidak ada hal yang mengatur seberapa kencang (dalam ukuran hertz) pengeras suara di masjid-masjid. Poin yang mencoba ditekankan justru pada muadzin (pelantun adzan). Sebagaimana yang tertuang dalam wedsite kementrian agama Republik Indonesia (bimasislam.kemenag.go.id), muadzin selayaknya memiliki suara yang enak, syahdu, merdu dan indah dalam melantunkan bait-bait kalimat adzan. Otomatis, sebenarnya suara seorang muadzin bukanlah perkara bunyi semata, namun juga persoalan estetika, artistik dan rasa. Semakin indah dengung bunyi yang dilantunkan maka semakin menyejukkan telinga pendengarnya, dan secara otomatis pula sholat menjadi lebih khusyuk.
Menjadi muadzin setara dengan penyanyi musik profesional. Didengarkan publik dan sekaligus juga akan dinilai. Sekeras apapun pengeras suara yang digunakan namun jika suara muadzin sumbang dan tak layak untuk konsumsi telinga maka tetap akan menganggu juga. Uniknya, faktor estetika bunyi adzan tidaklah bisa dibakukan dalam kaidah hukum-hukum musik seperti harmoni atau bahkan nada dan tonika. Suara adzan justru mampu mencerminkan dan mempresentasikan denyut kebudayaan masyarakat pemiliknya. Jangan heran kemudian jika suara adzan pada beberapa masjid di Yogyakarta lebih terdengar dalam balutan nada slendro gamelan Jawa. Atau suara adzan di pesisir Jawa Timur yang seolah ke arab-araban sebagai imbas dari akulturasi budaya Persia dan Arab. Atau dapat pula kita jumpai suara adzan yang diatonis, menggunakan kontruksi musikal dalam musik Barat.
Semuanya sah, karena suara adzan mempresentasikan bunyi kultural. Justru apabila dilihat dalam kacamata psikologi musik, adzan adalah suara yang paling hakiki, jujur dan paling personal dalam diri seseorang. Ia tidak harus menjadi siapapun untuk melantunkan adzan, namun menjadi dirinya sendiri dengan idealisme, tafsir, kekuatan atas elaborasi ayat yang dilantunkannya tanpa harus takut terusut oleh hukum baku musik.  Otomatis masjid, mushola, langgar sebenarnya telah menjadi pusat laboratorium eksperimentasi bunyi.
Oleh karena itu kebisingan suara adzan yang bagi beberapa orang dianggap menganggu, menyakiti telinga harusnya mampu dilihat serta disikapi lewat bangunan kebudayaan, historis dan sosial. Wacana mengatur pengeras suara adzan mungkin terlalu banal jika melihat beberapa faktor yang melatar belakangi di atas. Namun apa yang diungkapkan oleh Wapres Boediono terkait persoalan adzan juga menjadi catatan penting tersendiri. Mengingat saat ini beribu suara adzan dengan karakteristiknya yang berbeda-beda telah berdengung di Nusantara namun satu kajian dan perhatian terkait olehnya saat ini justru belum tentu lahir.

Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta

Tidak ada komentar:

Pengikut