Seniman Dalam Selembar Sertifikat
Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Wiendu Nuryanti memang tak habis-habisnya membuat sensasi.
Setelah memicu pro dan kontra atas usahanya mendaftarkan tayub dan dangdut sebagai warisan budaya dunia lewat Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO), ia memunculkan wacana baru untuk menyertifikasi profesi seniman se-Indonesia. Keinginan itu disampaikan di sela-sela acara 24 jam menari ”Srawung Seni Segara Gunung” di Taman Aksobya Kompleks Candi Borobudur, Magelang (28 April 2012).
Alasannya, pekerja seni (seniman) dari luar negeri yang datang ke Indonesia banyak yang telah memiliki sertifikat internasional sebagai seniman profesional. Bu Wamenbud resah sebab saat ini seniman Indonesia belum memiliki standardisasi profesional guna berkompetisi di tingkat dunia. Ia khawatir, seniman-seniman Indonesia akan gugur saat diminta terlibat dalam forum internasional karena kalah dengan pekerja-pekerja seni negara lain yang bersertifikat.
Pertanyaannya kemudian, apakah seniman Indonesia membutuhkan sertifikat? Seperti apa gambaran dan ukuran seniman profesional ala Indonesia? Mengapa harus diukur dalam takaran selembar sertifikat? Apa dampak bagi para seniman?
Bukan Profesi Utama
Bagong Kussudiharjo dan RM Soedarsono (Kompas, 20-27 November 1994) mengungkapkan bahwa menjadi seniman profesional sekelas empu, misalnya, bukan perkara mudah. Bahkan, keduanya memandang, lebih mudah mencetak seorang doktor kesenian daripada mencetak seniman profesional.
Doktor atau sarjana seni sudah pasti mendapat ijazah dan sertifikat dengan gelar sarjana seni. Namun, ia tidak serta-merta dapat menjadi dan diakui sebagai seniman profesional.
Di sisi lain, seniman bukanlah pekerjaan utama dalam percaturan keprofesian masyarakat Indonesia. Umumnya kesenian di Indonesia hanya menjadi katarsis dalam meluapkan gejolak estetika di tengah impitan dan rutinitas kerja.
Seorang pemain gamelan yang andal, penari yang mumpuni, atau pelukis yang elok bisa jadi adalah seorang petani atau penjual jamu gendong. Mereka bukan sarjana bidang seni yang pernah mendapat pendidikan seni di jalur formal meski kemampuannya setaraf dengan maestro atau empu. Masih perlukah mereka mendapat sertifikat untuk pentas keliling dunia?
Pemerintah harus ingat, berbeda negara berbeda pula cara penyikapan dan penghargaan terhadap profesi seorang seniman. Tidak bisa disamaratakan. Di Amerika dan Eropa, seniman dijunjung tinggi. Seniman menjadi profesi yang ideal setara dengan profesi lain, seperti dokter, arsitek, polisi, dosen, ataupun pilot. Mereka mampu hidup dan menghidupi dirinya dengan hanya bekerja sebagai seniman semata, tidak mendua dengan profesi lain. Profesionalitas mereka benar-benar diperhitungkan sehingga sertifikat lebih bersifat sebagai penghargaan.
Di Indonesia, seniman atau pekerja seni (terutama tradisi) adalah sebuah profesi yang penuh dengan dinamika stereotip negatif. Siapa generasi muda saat ini yang mau menjadi pemain ludruk atau wayang wong? Bukankah lebih menjanjikan jika menjadi dokter, pilot, atau bekerja dengan gaji tetap?
Orientasi pemberian sertifikat berdasar keresahan gugurnya seniman Indonesia tampil di kancah internasional adalah pandangan yang sama sekali tidak berdasar. Seorang seniman profesional tidaklah dihargai dan diukur dari seberapa banyak dan agungnya sertifikat yang dimiliki, tetapi dari seberapa kuat karyanya mampu bersuara?
Bukan Ukuran
Apakah seniman yang tak bersertifikat tak bisa diterima dalam percaturan seni internasional? Profesionalitas kesenimanan seseorang tidak bisa diukur dari rutinitas dan seberapa sering ia pentas di luar negeri, tetapi dari pekatnya ziarah berkarya seni dengan sungguh-sungguh.
Seniman dilihat bukan karena siapa dia, melainkan sebagus apa karyanya. Sejauh pengetahuan saya, tidak ada seniman besar di Indonesia yang memiliki sertifikat resmi sebagai seorang seniman, akan tetapi toh terus melanglang buana. Misalnya, Rahayu Supanggah, I Wayan Sadra (alm), Sardono W Kusuma, Slamet Abdul Sjukur, dan Eko Supriyanto. Seniman bukanlah profesi yang dapat diformalitaskan layaknya dokter atau arsitek.
Bahkan, dari semua nama yang disebut di atas, hampir semuanya bukan seniman murni yang benar-benar menggantungkan hidup hanya dari dunia seni. Sebagian besar dari mereka adalah dosen dan pengajar seni. Otomatis, selain kualitas karya, jaringan atau hubungan menjadi faktor penting. Intinya, seberapa pun kerasnya pemerintah berniat menyertifikasi seniman Indonesia, jika seniman terkait tidak pernah dibukakan jalan dan dikenalkan dengan jaringan komunitas seni dunia, sampai kapan pun mereka tak akan mampu bersaing pada taraf internasional.
Terlebih jumlah seniman di Indonesia dapat mencapai ribuan bahkan jutaan orang. Apakah semua mau disertifikasi, termasuk mereka yang merangkap sebagai tukang jamu gendong hingga dosen, dari birokrat biasa hingga presiden kita yang suka menyanyi? Di sini, batasan dan ukuran profesionalitas kesenimanan menjadi sumir. Kemaestroan dan keprofesionalan seorang seniman tidak bisa diguratkan, dipatenkan dalam huruf dan kata pada sertifikat. Masyarakat luaslah yang menjadi kurator atas pengakuan profesinya.
Seniman Alam
Bahkan, FX Fidaryanto (2009) menuturkan bahwa pada masa lalu pendirian perguruan tinggi seni diampu oleh para seniman alam yang nyaris tak tersentuh pendidikan akademik dan tak memiliki sertifikat seniman. Mereka adalah para empu, pemegang otoritas yang mendapatkan pengakuan dari masyarakat.
Lihatlah ASRI Yogyakarta dengan Affandi, ASKI Surakarta dengan Martopangrawit, ASTI Bandung dengan Enoch Atmadibrata, Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta dengan Djaduk Djajakusuma, Konservatori Karawitan Surakarta dengan Sindusawarno, dan Konservatori Tari Yogyakarta dengan Hardjosoebroto. Merekalah maestro-maestro seni tanpa sertifikat yang memberi perubahan besar pada dunia seni kita dewasa ini. Bagi mereka tidak penting sertifikat yang didapat, tetapi sejauh mana sumbangan terhadap seni yang digelutinya.
Pertanyaan lain, apakah dengan mendapatkan sertifikat seorang seniman menjadi terbuka jalannya untuk berkesenian yang lebih baik?
Sertifikat selama ini tidak lebih dari sebuah penghargaan yang akhirnya akan menjadi sekadar pajangan di ruang tamu para seniman. Alangkah lebih baiknya jika pemerintah lebih memusatkan perhatian pada ruang pewacanaan terhadap karya-karya mereka. Di antaranya, memberi ruang publikasi, membantu pembiayaan dalam kompetisi proses berkarya, mempermudah dan mengenalkan jaringan baru, serta meneladani hasil jerih payah mereka dengan menempatkannya sebagai profesi yang menjanjikan.
Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta
Setelah memicu pro dan kontra atas usahanya mendaftarkan tayub dan dangdut sebagai warisan budaya dunia lewat Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO), ia memunculkan wacana baru untuk menyertifikasi profesi seniman se-Indonesia. Keinginan itu disampaikan di sela-sela acara 24 jam menari ”Srawung Seni Segara Gunung” di Taman Aksobya Kompleks Candi Borobudur, Magelang (28 April 2012).
Alasannya, pekerja seni (seniman) dari luar negeri yang datang ke Indonesia banyak yang telah memiliki sertifikat internasional sebagai seniman profesional. Bu Wamenbud resah sebab saat ini seniman Indonesia belum memiliki standardisasi profesional guna berkompetisi di tingkat dunia. Ia khawatir, seniman-seniman Indonesia akan gugur saat diminta terlibat dalam forum internasional karena kalah dengan pekerja-pekerja seni negara lain yang bersertifikat.
Pertanyaannya kemudian, apakah seniman Indonesia membutuhkan sertifikat? Seperti apa gambaran dan ukuran seniman profesional ala Indonesia? Mengapa harus diukur dalam takaran selembar sertifikat? Apa dampak bagi para seniman?
Bukan Profesi Utama
Bagong Kussudiharjo dan RM Soedarsono (Kompas, 20-27 November 1994) mengungkapkan bahwa menjadi seniman profesional sekelas empu, misalnya, bukan perkara mudah. Bahkan, keduanya memandang, lebih mudah mencetak seorang doktor kesenian daripada mencetak seniman profesional.
Doktor atau sarjana seni sudah pasti mendapat ijazah dan sertifikat dengan gelar sarjana seni. Namun, ia tidak serta-merta dapat menjadi dan diakui sebagai seniman profesional.
Di sisi lain, seniman bukanlah pekerjaan utama dalam percaturan keprofesian masyarakat Indonesia. Umumnya kesenian di Indonesia hanya menjadi katarsis dalam meluapkan gejolak estetika di tengah impitan dan rutinitas kerja.
Seorang pemain gamelan yang andal, penari yang mumpuni, atau pelukis yang elok bisa jadi adalah seorang petani atau penjual jamu gendong. Mereka bukan sarjana bidang seni yang pernah mendapat pendidikan seni di jalur formal meski kemampuannya setaraf dengan maestro atau empu. Masih perlukah mereka mendapat sertifikat untuk pentas keliling dunia?
Pemerintah harus ingat, berbeda negara berbeda pula cara penyikapan dan penghargaan terhadap profesi seorang seniman. Tidak bisa disamaratakan. Di Amerika dan Eropa, seniman dijunjung tinggi. Seniman menjadi profesi yang ideal setara dengan profesi lain, seperti dokter, arsitek, polisi, dosen, ataupun pilot. Mereka mampu hidup dan menghidupi dirinya dengan hanya bekerja sebagai seniman semata, tidak mendua dengan profesi lain. Profesionalitas mereka benar-benar diperhitungkan sehingga sertifikat lebih bersifat sebagai penghargaan.
Di Indonesia, seniman atau pekerja seni (terutama tradisi) adalah sebuah profesi yang penuh dengan dinamika stereotip negatif. Siapa generasi muda saat ini yang mau menjadi pemain ludruk atau wayang wong? Bukankah lebih menjanjikan jika menjadi dokter, pilot, atau bekerja dengan gaji tetap?
Orientasi pemberian sertifikat berdasar keresahan gugurnya seniman Indonesia tampil di kancah internasional adalah pandangan yang sama sekali tidak berdasar. Seorang seniman profesional tidaklah dihargai dan diukur dari seberapa banyak dan agungnya sertifikat yang dimiliki, tetapi dari seberapa kuat karyanya mampu bersuara?
Bukan Ukuran
Apakah seniman yang tak bersertifikat tak bisa diterima dalam percaturan seni internasional? Profesionalitas kesenimanan seseorang tidak bisa diukur dari rutinitas dan seberapa sering ia pentas di luar negeri, tetapi dari pekatnya ziarah berkarya seni dengan sungguh-sungguh.
Seniman dilihat bukan karena siapa dia, melainkan sebagus apa karyanya. Sejauh pengetahuan saya, tidak ada seniman besar di Indonesia yang memiliki sertifikat resmi sebagai seorang seniman, akan tetapi toh terus melanglang buana. Misalnya, Rahayu Supanggah, I Wayan Sadra (alm), Sardono W Kusuma, Slamet Abdul Sjukur, dan Eko Supriyanto. Seniman bukanlah profesi yang dapat diformalitaskan layaknya dokter atau arsitek.
Bahkan, dari semua nama yang disebut di atas, hampir semuanya bukan seniman murni yang benar-benar menggantungkan hidup hanya dari dunia seni. Sebagian besar dari mereka adalah dosen dan pengajar seni. Otomatis, selain kualitas karya, jaringan atau hubungan menjadi faktor penting. Intinya, seberapa pun kerasnya pemerintah berniat menyertifikasi seniman Indonesia, jika seniman terkait tidak pernah dibukakan jalan dan dikenalkan dengan jaringan komunitas seni dunia, sampai kapan pun mereka tak akan mampu bersaing pada taraf internasional.
Terlebih jumlah seniman di Indonesia dapat mencapai ribuan bahkan jutaan orang. Apakah semua mau disertifikasi, termasuk mereka yang merangkap sebagai tukang jamu gendong hingga dosen, dari birokrat biasa hingga presiden kita yang suka menyanyi? Di sini, batasan dan ukuran profesionalitas kesenimanan menjadi sumir. Kemaestroan dan keprofesionalan seorang seniman tidak bisa diguratkan, dipatenkan dalam huruf dan kata pada sertifikat. Masyarakat luaslah yang menjadi kurator atas pengakuan profesinya.
Seniman Alam
Bahkan, FX Fidaryanto (2009) menuturkan bahwa pada masa lalu pendirian perguruan tinggi seni diampu oleh para seniman alam yang nyaris tak tersentuh pendidikan akademik dan tak memiliki sertifikat seniman. Mereka adalah para empu, pemegang otoritas yang mendapatkan pengakuan dari masyarakat.
Lihatlah ASRI Yogyakarta dengan Affandi, ASKI Surakarta dengan Martopangrawit, ASTI Bandung dengan Enoch Atmadibrata, Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta dengan Djaduk Djajakusuma, Konservatori Karawitan Surakarta dengan Sindusawarno, dan Konservatori Tari Yogyakarta dengan Hardjosoebroto. Merekalah maestro-maestro seni tanpa sertifikat yang memberi perubahan besar pada dunia seni kita dewasa ini. Bagi mereka tidak penting sertifikat yang didapat, tetapi sejauh mana sumbangan terhadap seni yang digelutinya.
Pertanyaan lain, apakah dengan mendapatkan sertifikat seorang seniman menjadi terbuka jalannya untuk berkesenian yang lebih baik?
Sertifikat selama ini tidak lebih dari sebuah penghargaan yang akhirnya akan menjadi sekadar pajangan di ruang tamu para seniman. Alangkah lebih baiknya jika pemerintah lebih memusatkan perhatian pada ruang pewacanaan terhadap karya-karya mereka. Di antaranya, memberi ruang publikasi, membantu pembiayaan dalam kompetisi proses berkarya, mempermudah dan mengenalkan jaringan baru, serta meneladani hasil jerih payah mereka dengan menempatkannya sebagai profesi yang menjanjikan.
Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar