Bukan Musik Biasa Pasca Sadra (dimuat di Koran Joglosemar edisi 3 Juni 2011)

 Bukan Musik Biasa Pasca Sadra 



Usai sudah pertunjukan musik bertajuk A Tribut to Wayan Sadra tanggal 29 Mei 2011 di Bentara Budaya Bali. Pementasan yang dimeriahkan oleh I Ketut Widianta dan I Dewa Ketut Alit itu ditujukan untuk mengenang I Wayan Sadra, komponis kontemporer yang telah meninggal pada 14 April 2011 di Surakarta. Sebelumnya peringatan 40 hari I Wayan Sadra dengan tajuk Homage to Sadra juga telah digelar di pendopo Taman Budaya Jawa Tengah pada 16 Mei lalu. Beberapa musisi kondang seperti Sawung Jabo, Jaduk Ferianto dengan kelompoknya Kua Etnika serta gitaris kenamaan Totok Tewel turut meramaikan acara tersebut.
I Wayan Sadra adalah komponis musik kontemporer yang namanya begitu mendunia setelah mendapatkan perhargaan ‘Leonardo New Horizon Award’, diperuntukkan bagi seseorang yang telah berhasil membuat inovasi musik dengan media baru dari International Society for Art, Sciences, and Technology (ISAST) USA tahun 1991.
Begitu besar nama yang disandangnya hingga tak hanya di Solo, namun beberapa kota besar seperti Jakarta, Bandung dan Bali juga turut memperingati kepergiannya. Bahkan untuk acara 100 harinya juga telah tersusun rapi di kota-kota tersebut. Jika menengok lebih jauh ke belakang, Sadra telah meninggalkan tongak forum musik yang monumental tak hanya bagi masyarakat dan seniman Solo namun dunia. Tonggak itu adalah event ‘Bukan Musik Biasa’ (BMB) yang secara rutin diselenggarakan setiap dua bulan sekali di Wisma Seni Taman Budaya Solo sejak tiga tahun yang lalu. Seperti apa forum itu? Serta menjadi penting untuk dipertanyakan, bagaimana kelangsungan forum itu sesudah Sadra Tiada?

Bukan Musik Biasa
Perdebatan akan bunyi sebagai musik dan tak musik memang telah berlangsung lama. Berabad-abad lamanya kita telah mencoba merumuskan kategori keindahan suara dan bunyi-bunyian. Bagi kalangan publik, seperti halnya dijelaskan Culver (1941) dan Merriam (1964), suara dengan harmoni yang terumuskan, pitch yang runtut dan ketukan ajeg atau bahkan akord yang tersetruktur rapi telah mampu menjadi simbol akan kredo bunyi yang indah, hingga pada akhirnya itulah yang mereka sebut sebagai ‘musik’. Di luar itu ‘noise’, bukan musik, yakni suara-suara terpinggirkan yang tidak dikehendaki kehadirannya.
Jika musik adalah bahasa (Hagberg, 1995), tentu tiap individu mempunyai gaya ungkapan yang berbeda. Tiap individu dapat menentukan kualitas selera estetis dengan menempatkan kategori bunyi yang ia inginkan. Bukan berarti ketika musik tersebut noise dan keluar dari batas norma populis dengan serta-merta kita menyebutnya jelek. Padahal justru dengan “kejelekan bunyi” itulah terkadang seorang seniman merasa mampu menjadi dirinya sendiri. Mengangkat ideologi yang ia miliki keluar dari batas keterikatan dan kearifan belenggu musik populis (pop) yang selama ini menggempur lewat berbagai media seperti televisi dan radio.
Itulah konsep awal yang mendasari kenapa forum BMB menjadi penting digulirkan. I Wayan Sadra sangat sadar bahwa banyak seniman atau musisi yang memilih jalan bermusik menyimpang, keluar dari yang populis. Namun, tak banyak ruang untuk menumpahkannya. Forum BMB diharapkan mampu menampung spirit musik yang masih liar dan tak terbatas. Menjadi katalisator kebebasan kreatif dan usaha-usaha untuk menemukan jati diri. Keliaran musikal yang selama ini tertutupi oleh jargon-jargon populis, lewat forum ini menjadi semakin nampak sebagai sebuah representasi atau ungkapan estetika bunyi yang mahal harganya.

Membebaskan Bunyi
Dalam forun BMB sering kali komponis mengacak-acak alat musik dengan tidak selazimnya. Gong yang bagi orang Jawa begitu agung kemudian harus digergaji atau di bentur-benturkan ke lantai, gitar tidak lagi harus di petik namun bisa jadi akan dibanting berulang kali, bunyi kereta api bisa saja dihadirkan dengan sangat noise, menganggu telinga. Semua untuk mendapatkan kualitas estetika bunyi yang diinginkan. Nuansa aneh, asing, menyimpang, abnormal adalah kesan pertama yang akan kita jumpai pada produksi bunyi di forum itu.
Musisi yang selama ini memiliki keliran musikal aneh namun tiada menemukan ruang pewacanaannya menjadi begitu berharap banyak pada forum BMB. Uniknya, forum ini bersifat non-profit, musisi yang tampil tidak dibayar, namun yang antri untuk ikut berpartisipasi jumlah tak terbendung, baik dari dalam maupun luar negeri. Hal ini mengindikasikan bahwa kehadiran BMB menjadi penting bagi mereka.
Memang semangat musik baru telah timbul dengan mengatasnamakan gerakan kontemporer dan menunjukkan resistensinya pada yang populis. Ruang-ruang pewacanaannya pada pertengahan hingga akhir abad 20 telah bertebaran di mana-mana, akan tetapi hanya di beberapa lokus saja yang masih nampak denyut nadinya. Selebihnya, event-event musik kontemporer yang selama ini berdengung itu sedang kembang kempis, kalau bukannya telah mati.
Boleh dikata, BMB menjadi satu-satunya tempat dan muara untuk musik atau bunyi yang aneh namun kontemporer itu. Segala keliaran musikal seperti yang selama ini dianggap ab-normal (menyimpang) dapat terbebaskan dengan leluasa lewat forum ini. Ibarat warna, keliaran musikal yang mereka miliki tidak lagi dapat terdikotomikan menjadi putih maupun hitam. Keliaran musikal yang mereka miliki adalah abu-abu, tidak menginduk pada apapun, baik yang populis maupun yang tradisi sekalipun. Mereka berada di tengah-tengah sebagai yang aneh, unik, menggelitik namun menarik tapi juga eksentrik.
Selama ini forum BMB digelar di Wisma Seni Taman Budaya Solo. Pihak Taman Budaya juga turut membantu dalam fasilitas tata cahaya maupun penginapan. Namun demikian perlu digaris bawahi bahwa musisi yang tampil secara gratis itu bukan semata melihat besarnya event BMB, namun siapa di balik itu, yakni I Wayan Sadra. Mereka susah-susah datang ke Solo dengan dana pribadi karena menghargai Sadra sebagai pemimpin barisan terdepan musik kontemporer Indonesia. Mereka akan sangat tersanjung dan bangga tampil di BMB karena merasa terpilih, terseleksi dan dianggap layak oleh I Wayan Sadra yang selama ini dianggap sebagai maestro, guru serta panutan. Sadra menjadi icon BMB, namanya begitu menjual. Hal itulah yang mendasari kenapa forum BMB mampu menjadi event community hingga dapat berjalan lebih dari tiga tahun.
Kini Sadra tiada, forum inipun menjadi tidak jelas. Sebuah pertanyaan besar, apakah pihak Taman Budaya akan mengambil alih? Kalaupun ya bagaimana formatnya? Karena kita tahu event-event yang selama ini digulirkan oleh taman budaya senantiasa berorientasi pada hitung-hitungan dana yang jumlahnya tidak sedikit. Kalaupun ada musisi yang mampu menggantikan Sadra sebagai icon dan kurator di BMB, siapakah dia? Padahal selama ini setahu saya hanya Sadra satu-satunya musisi yang dengan teguh menziarahkan segala hidup dan apa yang dimilikinya untuk musik kontemporer.

Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta

Tidak ada komentar:

Pengikut