Mengimajinasi Majapahit (dimuat di Majalah Bende, Oktober 2013)

Mengimajinasi Majapahit



Jawa Timur menghelat pertunjukan besar bertajuk Festival Majapahit Internasional (FMI) yang diselenggarakan pada 11-13 September 2013 di Amphiteater Taman Candrawilwatikta Pandaan, Jawa Timur. Festival tersebut diikuti oleh sembilan negara, di antaranya India, Kamboja, Singapura, Myanmar, Malaysia, Laos, Filipina, Thailand dan Indonesia. Hal ini menjadi osae menyegarkan bagi denyut hidup dunia seni pertunjukan Jawa Timur. Maklum saja, selama ini festival seni pertunjukan bertaraf internasional masih didominasi oleh Solo, Yogya dan Jakarta. Lihatlah Solo International Ethnic Music (SIEM), Ramayana International Festival, Festival Gamelan Internasional, Mahakarya Borobudur, Solo International Performance Arts (SIPA), Art Summit Jakarta, Indonesia Dance Festival, Matah Ati, Ariah, dan lain sebagainya. Dengan demikian FMI menjadi ajang pembuktian, sekaligus tolok ukur dalam melihat sejauh mana Jawa Timur telah berproses, bermetamorfosis menjadi “rumah baru” yang nyaman bagi seni pertunjukan Indonesia bahkan dunia. FMI menggambil Majapahit sebagai tema utama. Seolah ingin menunjukkan pada dunia bahwa Jawa Timur -dalam peta sejarah- merupakan tempat berdirinya kerajaan terbesar nusantara. Mengguratkan beribu tafsir, tesis bahkan antitesis terhadapnya. Namun demikian, sudahkan festival itu digagas cukup matang, sehingga para penyaji dengan mafhum mengetahui tema besar yang digagas oleh panitia?

Gayatri
Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW) Surabaya yang menjadi wakil Indonesia selain Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar menempatkan Gayatri sebagai pintu dalam meneropong kejayaan Majapahit masa silam. Gayatri adalah istri dari Raden Wijaya, pendiri kerajaan Majapahit. Ia dengan setia menemani Wijaya dalam setiap pembabakan laku hidup, dari orang terbuang di tengah hutan Maja, hingga menjadi raja besar di nusantara. Persoalan pengorbanan wanita seringkali terlupakan dalam percaturan kisah sukses para pemimpin (laki-laki) di dunia. Mereka berperan hanya di balik layar. Namanya jarang didendangkan. Namun pengaruhnya tak bisa dielakkan. Wajar kemudian jika ada pepatah “di balik laki-laki besar ada wanita besar”. Gayatri adalah salah satunya. Saat di mana Wijaya telah pergi untuk selamanya, ia lebih memilih menghabiskan hidupnya sebagai pendeta wanita. Menjadi pribadi yang setiap nafas dalam hidup hanya di isi dengan doa pada sang suami yang terlebih dahulu meninggalkannya. Cinta tak pernah putus. Terkesan klise namun begitulaha adanya.
Wanita dalam jagat seni pertunjukkan Indonesia dewasa ini agaknya sedang menjadi gagasan dan narasi besar penciptaan oleh para seniman, baik komponis maupun koreografer. Lihatlah banyak pertunjukan mutakhir yang menempatkan wanita sebagai sumber kekaryaan. Di awali dengan Matah Ati yang disutradarai oleh Atilah Soeryadjaya, berkisah tentang perempuan bernama Rubiyah yang menjadi pendamping dari Pengeran Samber Nyawa pendiri Pura Mangkunegaran di Solo. Berikutnya ada Ariah, gadis betawi yang dengan kekeh mempertahankan idealisme dan prinsipnya dalam menentang ketertindasan terhadap kaum hawa, dipentaskan di Monumen Nasional (Monas) saat ulang tahun Jakrta. Ada pula Ontosoroh, kisah perempuan berjiwa besar dalam novel Bumi Manusia karya Pramodya Ananta Toer yang beberapa hari lalu diangkat sebagai sumber karya musik oleh komposer Peni Candra Rini. Karya-karya itu lahir sebagai sintesis terhadap semakin menguatnya ambisi perempuan di negara ini dalam mewacanakan dan memperjuangkan kesetaraan jender.
Namun, Majapahit selama ini seolah telah larut dalam kisah-kisah klasik yang senantiasa hanya mengisahkan tentang perang, arogansi, maskulinitas, pemberontakan, perebutan kekuasaan, dan tragedi penghianatan. Kisah-kisah itu muncul di pelbagai ruang dan media. Di banyak buku pelajaran sekolah, film, televisi, bahkan novel. Kekerasan seolah menjadi menu wajib yang dihidangkan. Sementara di sisi lain, kita tak pernah mengetahui ada kisah pengorbanan, kesetiaan, cinta dan kedamaian. Majapahit kemudian hanya ditafsirkan secara tunggal dan mempribadi. Tak lagi jamak dengan memunculkan beribu kisah, tafsir berisi tuntunan yang kehadirannya mungkin masih relevan dan dapat kita rasakan hingga kini. Karya Gayatri dari STKW Surabaya setidaknya mencoba memberi tafsir lain atas Majapahit.
Sajian dari STKW juga berkisah tentang nasib “Karawitan Jawatimuran”. Kenapa demikian? Bukan rahasia lagi, karawitan Jawatimuran selama ini kurang dapat menampakkan ujudnya dengan lebih terbuka bagi masyarakat di Jawa Timur dan nusantara pada umumnya. Pembahasan tentang karawitan Jawatimuran hanya menjadi nukilan kecil dalam ingar bingar karawitan nusantara dengan menempatkan gaya Solo dan Yogya sebagai narasi besarnya. Tak banyak karya-karya baru karawitan Jawatimuran tercipta. Kalaupun ada, hanya dilakukan oleh segelintir pihak yang bernanung di bawah institusi pendidikan semacam STKW dan Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) Surabaya –sekarang SMKN 12-. Di sisi lain, kajian dan penelitian yang mengangkat Karawitan Jawatimuran juga terhitung sangat jarang –kalau bukannya tak ada-. Di kampus STKW misalnya, dalam 10 tahun terakhir tak dijumpai kegiatan penelitian dan hanya menghasilkan satu karya skripsi yang mengulas gadingan (salah satu gending dalam karawitan Jawatimuran). Selebihnya lebih disibukkan urusan “kekaryaan kontemporer” dengan mengusung musik-musik aneh, namun menihilkan peran dan basis tradisi musiknya. Para maestro, pakar, empu jumlahnya juga semakin menyusut. Diawali dengan meninggalnya Diyat Sariredjo, Silan, Madun, Widodo dan banyak lagi lainnya. Padahal gagasan, kemampuan dan pemikirannya belum sepenuhnya terserap. Dengan demikian pertunjukan FMI haruslah dimaknai sebagai satir yang berusaha mengingatkan kita betapa pentingnya menjaga, merawat dan mengembangkan kekayaan tradisi yang telah dimiliki oleh Jawa Timur.

Kritik
Bisa jadi, FMI menjadi batu loncatan dalam membuka horizon pemikiran, cakrawala diskusi dan wacana strategi politik kebudayaan di Jawa Timur ke depan. Bukan satu hal yang aneh, kesenian adalah sarana diplomasi paling efektif. Memepererat hubungan dan mengahapus sekat perbedaan. FMI adalah wajah Jawa Timur bahkan Indonesia di mata dunia. Namun sayang, FMI tak diimbangi dengan kesediaan dalam membingkai pertunjukan dalam kerangka satu alur dan tujuan yang sama. Majapahit tak sepenuhnya menjadi tema utama. Mungkin hanya STKW yang dengan teguh menziarahkan konsep kekaryaannya berdasarkan epos kerajaan terbesar itu. Selebihnya tidak demikian halnya dengan peserta lain. Maklum saja, ke delapan negara yang tampil itu sebelumnya telah menggelar pertunjukan bertajuk Festival Ramayana Internasional (FRI) di Panggung Terbuka Ramayana Candi Prambanan, Yogyakarta pada 6-9 September 2013 lalu. Mereka membawakan satu karya yang berkisah tentang Ramayana. Dan dalam waktu yang relatif mendadak mereka diminta tampil di Jawa Timur. Hasilnya tak dijumpai kisah dan narasi Majapahit, karena mereka tetap menampilkan karya serupa (Ramayana). Pada titik inilah terlihat manajemen pertunjukan yang tak disiapkan dengan matang. Ironisnya beberapa peserta tak mengetahui, bahkan tak pernah mendengar tentang apa itu Majapahit. Tema besar yang disajikan kemudian terlihat banal dan mengada-ada. Sebatas memfasilitasi para peserta untuk tampil tanpa diimbangi dengan kesamaan visi.
Dialog, seminar dan diskusi sebenarnya menjadi penting digelar dalam menunjang keberhasilan sebuah pertunjukan. Apalagi dengan predikatnya yang bertaraf “internasional”. Hasilnya, publik dapat mengetahui kertas kerja yang berisi maksud dan tujuan yang hendak dicapai dalam gelaran pertunjukan itu.  Dengan demikian, pertunjukan yang ada tak terhenti dalam domain festival semata namun juga menjadi perbincangan, wacana pemikiran, kontemplasi dan turut menghangatkan denyut hidup kesenian di Jawa Timur. Ada bekas yang dapat digali dan “diramaikan”. Hal yang jarang kita jumpai untuk forum-forum kesenian –pertunjukan- di Jawa Timur. Namun demikian, FMI bagaimanapun juga patut mendapatkan apresiasi karena dengan terselenggaranya event itu berarti Jawa Timur telah diperhitungkan dalam arus besar percaturan kesenian di Indonesia bahkan dunia.
Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta


1 komentar:

Unknown mengatakan...

Masih beruntang ada yang mau memfasilitasi...apa jadinya kalau sekolah seni tidak mempunyai denyut untuk menghidupkan peradaban nusantara..bisa dipaten tuh sama negara lain...

Pengikut