Kidungan Kartoloan (dimuat di Jawapos 30 September 2013)

Kidungan Kartoloan



Bagi masyarakat pecinta karawitan Jawatimuran, tentu sudah tak asing lagi mendengar kata Jula-juli. Sejenis musik dengan menggunakan gamelan laras selendro yang biasanya dibawakan lewat pertunjukan ludruk. Terdapat vokal yang disebut sebagai kidungan. Jika kita sering menyaksikan pertunjukan lawak (dagelan) cak Kartolo di Jawapos Media Televisi (JTV), sebelum acara inti dimulai, pasti diawali dengan lantunan vokal kidungan. Biasanya berisi tentang kritik sosial, humor, nasihat, pesan dan harapan. Kidungan dalam jejak sejarahnya juga dimanfaatkan sebagai medan perjuangan oleh para seniman ludruk di Jawa Timur. Durasim, adalah salah satunya. Ia gugur karena melantunkan lirik kidungan yang pedas bagi penjajah Jepang kala itu (1940an). Bekupon omahe dara, melok nipon awak tambah sara (bekupon rumah burung dara, ikut jepang tambah sengsara). Kini, nasib kidungan semakin sulit menampakkan ujudnya secara lebih terbuka. Era ludruk telah mengalami kebangkrutan eksistensi. Tergantikan dengan media digital yang lebih menghibur. Terlebih di Surabaya, telah perpacu dengan begitu cepat dalam mengafirmasi segala perubahan. Habitus akar tradisi semakin tak dapat dilacak. Namun beruntung, masih ada Cak Kartolo. Sosok seniman ludruk yang dengan teguh menziarahkan hidupnya demi keberlangsungan hidup Kidungan Jula-juli dan Ludruk. Beberapa waktu lalu, ia menerima penghargaan untuk kategori tokoh inspiratif pelestari seni tradisi pilihan para pelajar Jawa Timur 2013. Apa yang dapat kita baca dari Kartolo dan karya (kidungan) yang Kartoloan itu?

Media  
Nama Kartoloan tak serta merta menunjuk sesosok maestro ludruk bernama Kartolo yang lahir 2 Juli 1957 di Pasuruan. Namun sebutan itu merujuk pada sebuah kesan, karakter dan ciri khas dari ujud seni suara berupa kidungan. Ya! Biasanya masyarakat lebih akrab menyebutnya dengan “Gaya Kartoloan”. Kidungan Kartolo telah begitu terkenal di masyarakat Jawa Timur. Terlebih di tahun 80-an. Kaset-kaset analog hasil rekaman olah suaranya laris manis di pasaran. Mengangkat namanya untuk kemudian disejajarkan dengan para maestro, empu seni tradisi karawitan Jawa Timuran. Kidungannya unik, tak bertele-tele dan bahasanya mudah dimengerti. Ia juga yang mendobrak kebekuan kidungan dengan menawarkan bentuk lirik baru yang tak harus mengacu dari pantun. Kidungan Kartoloan kadang kala meniadakan unsur sampiran (kiasan), hanya berbentuk isi (jawaban). Hal yang awalnya dianggap aneh, namun kemudian diikuti oleh banyak pengidung dan pelawak ludruk di Jawa Timur. Tak lagi penting apakah liriknya termasuk pantun, syair, gurindam, puisi atau lain sebagainya. Yang penting pesan dapat sampai ke nurani pendengar.
Kartolo tak memiliki profesi lain selain sebagai pengidung jula-juli dan pemain ludruk. Profesi itu masih dipertahankannya hingga kini. Banyak lirik-lirik kidungan menggoda telah diciptakannya. Mulai dari berbau asmara atau cinta-cintaan, petuah, pitutur hingga banyolan. Mendengarkan kidungannya seolah membawa kita manapaki jejak-jejak kebesaran ludruk di nusantara dan khususnya di Jawa Timur. Titik kulminasi terjadi kala pergolakan antara Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan Partai Nasionalis Indonesia (PNI) di tahun 60-an. Kedua partai itu menggunakan kidungan jula-juli di gelaran ludruk sebagai corong dalam “dakwah” penyebaran idiologi politik. Banyak seniman dihidupi dan dicukupi kebutuhannya oleh kedua partai itu. Maklum saja, ludruk adalah hiburan yang cukup digemari oleh masyarakat Jawa Timur. Kidungan adalah salah satu babak sajian yang paling ditunggu-tunggu. Liriknya berkisah tentang keunggulan masing-masing partai itu. Soedarsono (2002) menuturkan, terjadi persaingan antar seniman dalam menciptakan bentuk kidungan jula-juli. Tidak jarang ada semacam “telik sandi” atau mata-mata yang secara khusus ditugaskan untuk mengamati, mengintai dan menganalisis kedalaman kidungan jula-juli di masing-masing kelompok yang bersebrangan.
Uninya, Kartolo tidak ikut ambil bagian dalam ruang kontestasi itu. Walau namanya belum membumi, namun ia turut merasakan panasnya idelogi politik dalam ludruk kala itu. Setelah PKI kalah dan “diharamkan”, banyak seniman ludruk yang “dihilangkan” keberadannya. Bahkan kontrol ketat dari pemerintah di rezim orde baru masih dapat dirasakan hingga dekade tahun 90-an. Tak jarang, Kartolo dan seniman pengidung jula-juli lainnya mendapat surat kaleng yang isinya mengingatkan agar tak mengkritik pemerintah jika tak ingin dianggap komunis. Kidungan Jula-juli masih dianggap sebagai media kritik yang ampuh, setara dengan lagu-lagu Iwan Fals dan Bob Marley. Di sisi lain, Kartolo justru berbeda dengan para pengidung kebanyakan. Ia mengambil jalan menyimpang, tak menggunakan jula-juli sebagai media berpolitik apalagi propaganda. Ia dengan tegas memanfaatkan jula-juli hanya untuk kepentingan pembangunan karakter, menghibur dan mendidik. Ia anti memasukkan faham-faham politik dalam lirik kidungannya. Ia selalu berkisah tentang semangat bekerja, nasihat hidup untuk rukun berumah tangga dan banyolan yang mencerdaskan. Terkesan ndeso memang, namun itulah kidungan ala kartolo yang apa adanya dan tanpa tendensi apapun.
Kartolo bukanlah politikus apalagi birokrat. Karenanya kidungan jula-juli gaya Kartoloan lebih diterima oleh masyarakat di Jawa Timur karena kepolosan dan kesederhanaannya. Sutowo lewat tulisannya Gending Jula-juli Suroboyo Gaya Kartolo (1994) menyebut Kartolo sebagai pelopor dalam mengembalikan kodrat jula-juli pada kedudukan yang semestinya, seni yang tak lagi terinvensi oleh berbagai kepentingan banal. Ia pun mengambil pilihan hidup di jantung Jawa Timur, Surabaya. Di mana tradisi yang setiap hari semakin tergerus oleh kepentingan kapitalis. Kartolo menjadi oase menyegarkan di belantara kota metropolis. Ia menjadi simpul yang mengikat kencang agar Surabaya tak lepas dari habitus akar tradisinya.

Popularitas
Titik puncak kejayaan Kartolo terjadi pada tahun 1980. Ia mendapat tawaran rekaman (audio) jula-juli dan lawakan di bawah perusahaan rekam Nirwana Record. Bersama Nelwan S. Wongsokadi dengan kelompok Karawitan Sawunggaling Surabaya, Kartolo melahirkan lakon-lakon cerita banyolan yang meledak di pasaran. Bahkan Peking Wasiat dan Welut Ndas Ireng mencapai angka penjualan fantastis hingga 10 ribu copy. Hal yang jarang dijumpai pada seni tradisi. Ia didukung oleh para pemain ludruk yang handal seperti Munawar, Sapari, Yakin, Basman, Sokran, Markeso, Umi Kalsum dan lain sebagainya. Membaca kidungan jula-juli dan ludrukan ala kartolo berarti menelisik sejarah peradaban kebudayaan akar rumput di Jawa Timur. Kisahnya senantiasa mengguratkan narasi tentang kampung. Mulai dari masalah ronda (siskamling), rebutan nasi tumpeng, sepeda ontel, pencurian jarik, jalan becek, keluarga berencana, tanam padi, mahalnya garam dan gula, hingga fenomena dukun palsu. Melihat kidungan ala kartolo tak cukup dengan hanya didengarkan lalu tertawa, namun ada pesan positif yang mencoba disampaikan. Kidungan Kartoloan menjadi bahan hiburan masyarakat yang merindukan nilai-nilai kedamaian, kebersamaan, persatuan dan toleransi.
Kidungan tak sekedar menyanyi, atau nembang. Ia tak terikat dengan hukum dan pakem. Kidungan hari ini bisa berbeda dengan sebelum atau sesudahnya. Kartolo senantiasa menggunakan tema baru agar nampak lebih segar dan kekinian. Tak jarang sebelum membuat kidungan, ia mewawancarai si penanggap seputar bisnis, isu dan kejadian lucu. Tema seputar itulah yang akan tertuang dalam lantunan kidungannya. Dengan demikian, penonton dapat tertawa terpingkal-pingkal karena lirik kidungan begitu dekat dan mengena. Ribuan lirik telah Kartolo ciptakan. Bahkan mungkin mampu menjadi “kitab” sastra Jawa Timuran dewasa ini. Ia adalah seniman yang menjadi legenda hidup di Surabaya dan Jawa Timur pada umumnya. Kidungan gaya kartoloan telah menyebar dan menjadi “virus” dalam dunia seni pertunjukan Ludruk. Ia menjadi pahlawan di tengah gersangnya kecintaan generasi masa kini pada tradisi.
Aris Setiawan

Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta

Tidak ada komentar:

Pengikut