Hajar Satoto ber-Gamelan Pamor (dimuat di Majalah Basis edisi Desember 2013)



Hajar Satoto ber-Gamelan Pamor



Hajar Satoto, seniman dan perupa serba bisa asal Solo telah meninggal dunia di usia ke-62 tahun pada 26 Agustus 2013 karena sakit stroke dan diabetes yang telah lama dideritanya. Membicarakan sosoknya tak senantiasa pekat bersentuhan dengan dunia kesenirupaan Indonesia, namun juga seni musik, terutama gamelan. Ia adalah tokoh yang mempelopori terciptanya gamelan pamor. Gamelan yang tak semata logam, namun berhiaskan guratan-guratan semacam akar pada muka wilayahan layaknya keris. Walaupun demikian, suara gamelan itu tak kalah dengan gamelan pada umumnya, merdu dan jernih mengalun. Sumbangan besarnya yang mungkin masih dapat kita nikmati hingga saat ini. Hajar adalah seniman yang mendedikasikan hidupnya untuk keberlangsungan seni rupa dan seni pertunjukan Indonesia. Ia juga seorang penari yang ulung. Kemampuan yang multitalenta membuatnya dijuluki sebagai seniman lintas batas. Tak hanya masyarakat seni rupa Indonesia yang berduka, namun juga jagat seni pertunjukan. Menuliskan sosoknya tak berarti nostalgia, namun mencoba mendudukkan kembali sumbangan besar dan jasanya dalam kebudayaan dan terutama kesenian Indonesia.

Multitalenta
Fadjar Sutardi lewat tulisannya Seni Rupa Solo: Ada Apa Kemarin, Hari Ini dan Esok (2012) menjelaskan bahwa Hajar Satoto mulai dikenal oleh kalangan seniman pada tahun 1960-an sebagai penari bersama Sal Murgianto, Sardono W.Kusumo, Marsudi, Reto Maruti, Rusini dan sebagainya. Tahun 1970-an ia hijrah ke Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta untuk kuliah dan mendalami seni patung serta lukis. Namanya semakin mencuat kala bersama Suprapto Suryo Darmo membuat seni mulimedia di Mendut dalam pergelaran Wayang Budha yang diciptakannya sekitar 30 tahun silam. Bagi kebanyakan seniman sebayanya, karya-karya Hajar dianggap berkarakter Jawa “priyayi”, berasa aristokrat. Ia senantiasa menempatkan tradisi sebagai pijakan dan sumber utama dalam setiap karyanya. Lihatlah wayang wanda anyar, patung musikal, rebab sungging dan gamelan pamor. Semua hasil karya itu selain bisa di “operasionalkan” atau “dimainkan” sebagaimana lazimnya, juga mampu menjadi benda koleksi yang indah.
Tak banyak seniman yang memiliki kemampuan komplit seperti dirinya. Ia mampu memunculkan kekayaan pada seni tradisi untuk kepentingan seni kontemporer masa kini. Tradisi menjembatani dirinya dengan dunia “avant garde”. Hal ini sekaligus mendekonstruksi anggapan bahwa tradisi telah membasi. Di tangannya tradisi justru nampak lentur, baru dan bergairah. Hajar Satoto menjadi magnet bagi dunia seni rupa dan seni pertunjukan Indonesia. Beberapa koleksinya ia sumbangkan ke kantung-kantung kebudayaan semacam museum Radya Pustaka dan Ranggawarsito. Ia hanya berharap karyanya dapat dirawat dan dinikmati dari satu generasi ke generasi yang lain. Mengapresiasi karyanya berarti menjelajah dunia kejawaan, yang begitu penuh nilai dan sesak simbol.
Hajar Satoto atau biasa dipanggil Totok adalah pribadi yang sahaja. Ia lahir dari seorang dalang bernama Soesiloatmodjo yang juga seniman sungging serta guru seni. Bakat itulah yang telah ia warisi. Ia membuat karyanya dengan penuh perhitungan. Tidak asal, apalagi yang penting laku. Lihatlah Wayang Budha, ukurannya cukup besar, sepuluh kali lipat dari bentuk wayang kulit biasa. Jika di gamelan dapat disetarakan dengan gamelan Sekaten. Walaupun bentuknya yang raksasa, namun detail sungging serta ornamentasinya nampak begitu jelas dan nyata. Bahkan tak kalah dengan sungging wayang diukuran lazim. Wayang Budha menjadi cikal bakal lahirnya pertunjukan Wayang Sandosa yang kala itu dikomposeri oleh Martapangrawit. Dunia kekaryaan bukannya dilalui dengan lancar. Sinisme dan cibiran sempat menyertai perjalanannya. Karya-karya baru yang berpijak tradisi sering kali dianggap sebagai pengingkaran pakem. Namun zaman membuktikan bahwa Totok mampu bertahan dan membuktikan keunggulan karyanya, yang di kemudian hari menjadi panutan dan kiblat bagi generasi sesudahnya.
Dunia wayang telah habis diolahnya, gamelan menjadi sasaran selanjutnya. Ia menciptakan gamelan berpamor. Lagi-lagi ia membuat sensasi. Gamelan itu nampak begitu indah, layaknya luk keris yang mempunyai arti dan makna mendalam. Sekilas memang tak ada beda antara gamelan pamor dengan gamelan biasa. Namun coba gosoklah muka gamelan itu, maka urat-uratnya akan kelihatan jelas. Uniknya, gamelan berpamor yang dibuatnya justru tahan lebih lama. Konon kualitas bunyinya tidak mudah goyang, sumbang atau falsch. Tidak harus sering dilaras seperti gamelan biasa. Tempaan dalam membentuk pamor mengakibatkan kepadatan logam semakin teruji. Hal inilah yang menyebabkan gamelan berpamor Hajar Satoto bisa dikata lebih unggul dibanding yang lain.
            Tak hanya dalam hal kekaryaan. Hajar juga dikenal sebagai perintis kantung kebudayaan bernama “Bentara Budaya” di Yogyakarta bersama Sindhunata, GM. Sudarta, Ardus M. Sawega, Rustam Affandi, YB Kristianto. Ia adalah salah satu kurator yang diperhitungkan. Pemikiran-pemikirannya tentang kebudayaan ditumpahkan lewat lembaga itu. Walau tak berselang lama ia keluar dan lebih memilih berkarya seni. Namun pengalaman di lembaga non plat-merah itu menunjukkan sosoknya sebagai seniman yang ngayomi, peduli terhadap nasib sesama seniman atau mayarakat pecinta seni yang kala itu membutuhkan ruang serta wadah sebagai ajang kreatif dan ekperimentatif.

Gamelan
Harian Tempo pada 2 Agustus 2006 secara eksklusif meliput karya Hajar Satoto dengan judul “Gamelan Pamor Hajar Satoto”. Dijelaskan bahwa kala itu, penonton yang menyaksikan pementasan gamelan berbondong-bondong mendekat. Bukan untuk menyalami para pemain yang telah melantunkan beberapa gending. Namun melihat “keanehan” pada muka gamelan. Penuh guratan alias pamor. Sebuah hal langka yang jarang dijumpai. Pamor itu tak semata visual, namun membuat penonton berimajinasi. Gamelan pamor tak ubahnya senjata, keris, parang maupun pedang. Tergores penuh kisah. Gamelan karya Hajar Satoto menjadi cerita manis dalam sejarah perjalanan gamelan di Nusantara.
Terlebih kini isu semakin mendunianya gamelan tak dapat dihindarkan. Banyak gamelan-gamelan baru tercipta, diekspor dan dimainkan oleh masyarakat musik di berbagai benua. Namun sedikit yang memiliki keunikan dan kelebihan. Di sililah posisi tawar Gamelan Pamor karya Hajar dibanding yang lain. Ia menyemarakkan dunia kekaryaan dalam gamelan. Sama halnya ketika AL Suwardi menciptakan Gemelan Genta dan Rahayu Supanggah dengan Gamelan Mr. Black. Ia secara tak langsung menginspirasi kreator musik kontemporer masa kini untuk berkarya meneruskan apa yang telah ia tekuni. Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta hingga saat ini juga masih menyimpan gamelan pamor karya Hajar Satoto. Terdapat Gong Kemodong, Gender Barung, Kempul, Saron dan demung yang tersimpan rapi. Gamelan itu tidak lagi dibunyikan, baik oleh mahasiswa maupun pengajar karawitan (dosen). Namun di simpan untuk dipamerkan dan dinikmati keindahan visualnya.
Terlebih kala Hajar kini telah tiada. Koleksinya akan menjadi benda peninggalan yang berharga. Jika rusak, tak ada lagi lainnya. Tak banyak memang sosok yang dengan tekun menziarahkan hidupnya bagi dunia organologi eksperimentatif (metalurgi) gamelan. Hajar termasuk salah satu dan telah mengenyam kesuksesan. Kita bisa melihat kepribadian lewat guratan karyanya. Jika kesenian adalah representasi dari karakter, sikap dan sifat dari pengkaryanya. Maka karya Hajar yang nJawani itu sejatinya adalah dirinya. Hajar menjadikan bilah-bilah gender dan gamelan itu layaknya kanvas, yang dengan indah dilukiskan sebuah cerita tantang dirinya.
Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta

Tidak ada komentar:

Pengikut